BAB I PENDAHULUAN
A
Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah Hidup
berpasang-pasangan pada dasarnya
telah menjadi naluri
dari makhluk Allah
SWT. Tidak hanya
manusia, melainkan tumbuh-tumbuhan dan hewan pun
juga memiliki naluri
untuk berpasangan. Naluri
laki-laki cenderung menyukai
perempuan dan demikian
sebaliknya. Sejak
dilahirkan manusia memang telah di lengkapi naluri untuk
senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Nabi Adam
As sebagai manusia pertama yang diciptakan Allah juga telah ditetapkan
pasangannya yang kemudian
hidup bersama membentuk
sebuah keluarga. Sebagaimana
dalam surat an-Nisa’ayat
Artinya: Hai sekalian manusia,
bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari pada
satu diri, dan
dari padanya Allah menciptakan
pasangannya; dan memperkembangbiakkan dari keduanya lelaki dan perempuan yang banyak. Muhjab
Mahalli, Menikahlah, Engkau Menjadi
Kaya. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2008), Departemen
Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, 140 Islam memperhatikan masalah keluarga,
mengarahkan pembentukannya di atas landasan
yang sehat dan
sistem yang lurus,
serta pedoman-pedoman yang kokoh. Pernikahan
yang mengikat laki-laki
dan perempuan dalam
lembaga berbentuk keluarga
di atur dalam
syariat Islam sebagai
bentuk aturan demi kesejahteraan manusia.
Kesejahteraan akan di
dapatkan jika manusia mendapatkan
kebahagiaan, ketenangan dan
ketenteraman dalam hidupnya.
Hal ini sebagaimana surat
ar-Rumayat 21.
Artinya: Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan kamu istri dari
jenismu supaya kamu
cenderung dan tenteram
bersamanya, dan Dia jadikan cinta dan kasih sayang di antara
kamu. Sesungguhnya pada yang demikian
itu menjadi tanda-tanda
bagi orang-orang yang berpikir.
Pasal 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
memberikan definisi bahwa
“Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara
seorang pria dengan
seorang wanita sebagai
suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga
yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Departemen
Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, 796 Direktorat Jenderal Bimbingan Islam
Kementrian Agama Republik Indonesia,
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan,
(2010), Pasal 2
Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan , 17 Ikatan lahir batin dalam definisi ini
menunjukkan bahwa hubungan suami istri
tidak boleh semata berupa ikatan lahiriah saja hidup bersama dalam ikatan formal,
akan tetapi keduanya
harus membina ikatan
batin. Ikatan lahir
mudah sekali terlepas jika tidak
diikuti oleh ikatan batin. Ikatan lahir dan batin lah yang menjadi
fondasi yang kokoh
dalam membangun dan
membina keluarga yang bahagia
dan kekal.
Kompilasi Hukum
Islam memberikan bahasa
lain dari ikatan
lahir batin tersebut dalam sebuah definisi bahwa
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat
kuat atau mi>s\a>qan gali>z}an untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah
ibadah”.
Ungkapan akad
yang sangat kuat
atau mi>s\a>qan gali>z}an merupakan penjelasan dari “ikatan lahir batin” yang
terdapat dalam rumusan Pasal 2 Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
yang mengandung arti
bahwa akad pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang
bersifat keperdataan .
Mi>s\a>qan gali>z}an mengandung arti
perjanjian yang kokoh. Dalam al-Qur'an kata
mi>s\a>qan gali>z}an hanya dipakai 3 kali saja: 1.
Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (al-Ahzab33:7) M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997 ), 27 Direktorat
Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam), 234 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2006), 40.
2. Allah
SWT mengangkat bukit
T{ur di atas kepala
bani Israil dan
menyuruh mereka bersumpah setia
pada Allah (an-Nisa>’4:154) 3. Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan
(an-Nisa>’4:21) Perjanjian pernikahan
antara suami dan istri di setarakan dengan perjanjian para Nabi, perjanjian dengan bani Israil,
sesuatu yang agung dan berat.
Sudah selayaknya kewajiban bagi suami dan istri
untuk menjaga dengan baik perjanjian yang
telah mereka ikrarkan.
Kata
al-mi>s\a>q berasal
dari kata dasar
was\aqa. Dari kata
dasar ini juga muncul kata
as\-s\iqah, al-was\a>qah, al-was\a>q, dan
at-taus\i>q. Ketika terjadi kesepakatan
di antara kedua
belah pihak atas
dasar kepercayaan, maka
itulah yang disebut
al-mi>s\a>q, akan tetapi
jika terjadi kesepakatan
atas dasar keterpaksaan dan pemaksaan, maka disebut
al-was\a>q.
Mi>s\a>qan gali>z}an
merupakan perjanjian yang
membingkai suami istri secara khusus
dan keluarga secara
umum. Perjanjian pernikahan
merupakan perjanjian suami
istri kepada Allah
SWT untuk menunaikannya
bersama, mengandung aspek-aspek
kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam
menjalani hidup bersama. Oleh
karenanya, kealpaan salah satu pihak untuk menunaikannya, Hilmy
Nugraha, Mi>s\a>qan Gali>z}an,
dalam http: //menjadihilmy.blogspot.com/2009/12/ mitsaqan-ghalidza.html, (07 Juni 2011) Muh}ammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer
(Yogyakarta: Elsa Press, Cet V , 2008)
440-441 baik seluruh atau sebagian,
akan mengakibatkan tuntutan perceraian karena telah melanggar dan melalaikan perjanjian dengan
Allah SWT.
Akad nikah
menimbulkan kewajiban hukum
yang mengikat bagi
suami istri. Akad nikah juga
mengandung unsur sakral serta mempunyai dampak yang berkepanjangan
bagi wanita yang
dinikahi. Oleh sebab
itu, setiap orang
perlu bersikap hati-hati
dalam melaksanakan akad
nikah demi terpeliharanya kehormatan serta masa depan keluarga.
Kerelaan dari
pihak laki-laki dan
perempuan serta persetujuan
mereka untuk mengikat
janji hidup bersama
adalah rukun yang
mendasar dalam pernikahan. Kerelaan yang diwujudkan dengan
persetujuan oleh masing-masing calon suami
istri sangat penting
karena agar masing-masing
dapat memasuki gerbang
perkawinan dan rumah
tangga benar-benar dapat
dengan senang hati membagi
tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional.
Karena kerelaan
adalah rasa yang
bersifat abstrak yang
tidak dapat di indera oleh
mata, maka harus
ada perlambang yang
tegas untuk menunjukkan kemauan
melakukan ikatan bersama
sebagai suami istri.
Perlambang tersebut adalah berupa akad dari kedua belah pihak.
Ibid.
Nina M.
Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2005), 124 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 73-74 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,juz 2 (Beirut:
Dar al-Fath}, 2006), 467 Pernyataan pertama
oleh pihak pertama
menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan
bersama suami istri
disebut ijab. Dan
pernyataan selanjutnya oleh pihak
kedua yang mengadakan akad untuk menyatakan rasa rida disebut kabul. Selanjutnya kedua pernyataan
tersebut disebut akad nikah.
Pada zaman
ketika setiap orang
memiliki berbagai macam
kesibukan ini sering kali seseorang tidak sempat melakukan
bermacam urusannya. Oleh karena itu bantuan
orang lain untuk
melakukan urusan tersebut
kadang kala juga diperlukan.
Penyerahan urusan pribadi kepada orang lain inilah yang diistilahkan dengan
waka>lah.
Para fuqaha’ telah
sepakat bahwa setiap
akad yang dapat dilakukan
sendiri oleh manusia boleh untuk diwakilkan kepada orang lain. Baik dalam
hal jual beli,
melaksanakan hak-hak tertentu, pertikaian, pernikahan, perceraian dan akad yang lain yang boleh diwakilkan.
Akad nikah
sebagai penentu sahnya
pernikahan adakalanya dalam pelaksanaannya suami
sebagai pihak yang
mengucapkan kabul berhalangan hadir.
Maka suami yang
demikian wajib mengirim
wakil atau menulis
surat kepada pihak lain untuk
meminta dilaksanakan akad nikah untuknya.
Hal ini
diperbolehkan berdasarkan pada
ta>ri>kh yang
menyebutkan bahwa Nabi
SAW pernah mewakilkan
akad kepada Aba>
Ra>fi‘ ketika menikah
dengan Ibid.
Chairuman
Lubis, Suhrawardi K.Lubis,
Hukum Perjanjian dalam
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1994), 19 Sayyid Sa>biq, Fiqh
as-Sunnah, 524 Ibid, 470.
Ummul Mu’mini>n
Maimu>nah, dan mewakilkan
kepada ‘Amar bin
Umayyah ketika menikah dengan
Ummu H{abi>bah.
Sebagaimana disebutkan
bahwa Raja Naja>syi
meminta Kha>lid bin
Sa‘i>d yang menjadi
wakil dari pihak
Ummu H{abibah untuk
menikah dengan Nabi SAW.
Dengan mahar sebesar empat ratus dinar Kha>lidkemudian berkata: “Saya telah melakukan apa yang diminta oleh
Rasulullah SAW. Saya nikahkan beliau dengan
Ummu H{abi>bah”.
Pasal
29 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa“Yang berhak mengucapkan
kabul adalah calon
mempelai pria secara pribadi”.
Pasal
ini secara jelas menyebutkan
bahwa kabul semestinya menjadi keharusan bagi suami secara pribadi.
Pasal
29 ayat 2
Kompilasi Hukum Islam
juga menunjukkan kebolehan suami
mewakilkan kabul dalam
akad nikah .
“Dalam hal-hal tertentu
ucapan kabul nikah dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria
memberi kuasa yang
tegas secara tertulis
bahwa penerimaan wakil
atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria”.
Mansyur
bin Yu>nus bin Idri>s al-Bahuti , Kasya>f al-qina>‘i ‘an matan
al-aqna>‘, (Beirut: Da>r al-Fikr,
1972), 80 Abi ‘Umar Yu>suf bin
‘Abdullah bin Muh}ammad bin ‘Abd al-Bar al-Qurt}ubiy, al-Isti‘a>b fi Ma‘rifah al-As}h}a>b, Juz 4, (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, tt ), 483-484 Direktorat Jenderal Bimbingan Islam
Kementrian Agama Republik Indonesia,Kompilasi Hukum Islam), 239 Direktorat Jenderal Bimbingan Islam
Kementrian Agama Republik Indonesia,
Kompilasi Hukum Islam), 240 Pernikahan yang melibatkan dua pihak yakni
calon suami dan calon istri, diatur
secara seimbang tanpa menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Oleh karenanya dalam pasal 29 ayat 3 Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan bahwa: “Dalam hal
calon mempelai wanita
atau wali keberatan
calon mempelai pria diwakili, maka
akad nikah tidak
boleh dilangsungkan”.
Hal
ini untuk menghindari tidak adanya kerelaan dari
masing-masing pihak yang menjadi dasar rukun
pernikahan.
Pada tahun 2000 KUA kecamatan Wungu Kabupaten
Madiun, menikahkan Siti Masfufah dan
Agus Kholiq. Pernikahan ini dilangsungkan dengan cara suami mewakilkan
kabul dalam akad
nikah. Yaitu dari
Agus Kholiq kepada
saudara laki-lakinya Faifsan
Taufiq. Pelaksanaan pernikahan dengan cara
suami mewakilkan kabul
dalam akad nikah
jarang sekali terjadi
di masyarakat, oleh karenanya
permasalahan ini menarik perhatian penulis untuk membahasnya.
Permasalahan
ini penulis rumuskan
dengan judul “Implementasi
Pasal 29 Kompilasi
Hukum Islam tentang
Ketentuan Kebolehan Suami
Mewakilkan Kabul dalam
Akad Nikah (Studi
Kasus di Kantor
Urusan Agama kecamatan Wungu Kabupaten Madiun)”.
Melalui
judul ini penulis
ingin mengetahui bagaimana
pernikahan yang dilaksanakan
dengan cara suami
mewakilkan kabul dalam
akad nikah di KUA
kecamatan Wungu.
Apakah sudah sesuai
dengan ketentuan yang
ada dan Ibid.
mengetahui pendapat
kepala KUA bagaimana
pelaksanaan pernikahan yang dilaksanakan
dengan cara suami mewakilkan kabul dalam
akad nikah di wilayah kerjanya.
B Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi dan Batasan Masalah Dari latar
belakang masalah yang
telah peneliti paparkan
di atas, maka identifikasi
masalah yang peneliti peroleh adalah sebagai berikut: 1.
Akad nikah berupa
s}i>gat ijab kabul
merupakan salah satu
dari syarat sah nikah.
2.
S{i>gat kabul adalah
pernyataan pihak kedua
yaitu suami untuk
menyatakan kerelaan.
3.
Dalam hal-hal tertentu
suami boleh mewakilkan
kabul dalam akad nikah menurut
hukum Islam. Baik menurut pendapat para imam mazhab, pasal 29 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 20 Peraturan
Menteri Agama.
4.
Alasan pernikahan dilaksanakan dengan cara suami mewakilkan kabul dalam akad
nikah.
5.
Syarat orang yang mewakili kabul dalam akad nikah.
6.
Kasus pernikahan yang
dilaksanakan dengan cara
suami mewakilkan kabul dalam akad nikah di KUA kecamatan Wungu
Kabupaten Madiun.
7.
Ketentuan Pasal 29
Kompilasi Hukum Islam
tentang ketentuan kebolehan suami mewakilkan kabul dalam akad nikah.
8. Implementasi pasal 29 Kompilasi Hukum Islam
dalam kasus pernikahan yang dilaksanakan
dengan cara suami mewakilkan kabul dalam akad nikah di KUA kecamatan Wungu Kabupaten Madiun.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi