Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:IMPLEMENTASI PASAL 29 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG KETENTUAN KEBOLEHAN SUAMI MEWAKILKAN KABUL DALAM AKAD NIKAH (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun)


BAB I PENDAHULUAN
A  Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah  Hidup  berpasang-pasangan  pada  dasarnya  telah  menjadi  naluri  dari  makhluk  Allah  SWT.  Tidak  hanya  manusia,  melainkan  tumbuh-tumbuhan  dan  hewan  pun  juga  memiliki  naluri  untuk  berpasangan.  Naluri  laki-laki  cenderung  menyukai  perempuan  dan  demikian  sebaliknya. Sejak  dilahirkan  manusia  memang telah di lengkapi naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang  lain. Nabi Adam As sebagai manusia pertama yang diciptakan Allah juga telah  ditetapkan  pasangannya  yang  kemudian  hidup  bersama  membentuk  sebuah  keluarga. Sebagaimana dalam surat an-Nisa’ayat
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah  menciptakan  kamu  dari  pada  satu  diri,  dan  dari  padanya  Allah  menciptakan pasangannya; dan memperkembangbiakkan dari keduanya  lelaki dan perempuan yang banyak. Muhjab Mahalli,  Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2008), Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, 140   Islam memperhatikan masalah keluarga, mengarahkan pembentukannya di  atas  landasan  yang  sehat  dan  sistem  yang  lurus,  serta  pedoman-pedoman  yang  kokoh.  Pernikahan  yang  mengikat  laki-laki  dan  perempuan  dalam  lembaga  berbentuk  keluarga  di  atur  dalam  syariat  Islam  sebagai  bentuk  aturan  demi  kesejahteraan  manusia.  Kesejahteraan  akan  di  dapatkan  jika  manusia  mendapatkan  kebahagiaan,  ketenangan  dan  ketenteraman  dalam  hidupnya.  Hal  ini sebagaimana surat ar-Rumayat 21.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan kamu istri  dari  jenismu  supaya  kamu  cenderung  dan  tenteram  bersamanya,  dan  Dia jadikan cinta dan kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya pada  yang  demikian  itu  menjadi  tanda-tanda  bagi  orang-orang  yang  berpikir.
  Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan  memberikan  definisi  bahwa  “Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang  wanita  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  atau  rumah  tangga  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa”.
   Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, 796   Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia,  Himpunan  Peraturan  Perundang-undangan  Perkawinan,   (2010),  Pasal  2  Undang-Undang  No  1  Tahun  1974  tentang Perkawinan , 17   Ikatan lahir batin dalam definisi ini menunjukkan bahwa hubungan suami  istri tidak boleh semata berupa ikatan lahiriah saja hidup bersama dalam ikatan  formal,  akan  tetapi  keduanya  harus  membina  ikatan  batin.  Ikatan  lahir  mudah  sekali terlepas jika tidak diikuti oleh ikatan batin. Ikatan lahir dan batin lah yang  menjadi  fondasi  yang  kokoh  dalam  membangun  dan  membina  keluarga  yang  bahagia dan kekal.
  Kompilasi  Hukum  Islam  memberikan  bahasa  lain  dari  ikatan  lahir  batin  tersebut dalam sebuah definisi bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah  pernikahan,  yaitu  akad  yang  sangat  kuat  atau  mi>s\a>qan  gali>z}an untuk  menaati  perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”.
  Ungkapan  akad  yang  sangat  kuat  atau  mi>s\a>qan  gali>z}an merupakan  penjelasan dari “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Pasal 2 Nomor  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan  yang  mengandung  arti  bahwa  akad  pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan  .
 Mi>s\a>qan gali>z}an mengandung arti perjanjian yang kokoh. Dalam al-Qur'an  kata mi>s\a>qan gali>z}an hanya dipakai 3 kali saja:  1.  Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi Nuh,  Ibrahim, Musa dan  Isa (al-Ahzab33:7)   M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997 ),  27   Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia,  Kompilasi  Hukum Islam), 234   Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2006), 40.
  2.  Allah  SWT  mengangkat  bukit  T{ur di  atas  kepala  bani  Israil  dan  menyuruh  mereka bersumpah setia pada Allah (an-Nisa>’4:154)  3.  Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (an-Nisa>’4:21)  Perjanjian pernikahan antara suami dan istri di setarakan dengan perjanjian  para Nabi, perjanjian dengan bani Israil, sesuatu yang agung dan berat.
  Sudah  selayaknya kewajiban bagi suami dan istri untuk menjaga dengan baik perjanjian  yang telah mereka ikrarkan.
 Kata  al-mi>s\a>q berasal  dari  kata  dasar  was\aqa.  Dari  kata  dasar  ini  juga  muncul  kata  as\-s\iqah,  al-was\a>qah,  al-was\a>q,  dan  at-taus\i>q.  Ketika  terjadi  kesepakatan  di  antara  kedua  belah  pihak  atas  dasar  kepercayaan,  maka  itulah  yang  disebut  al-mi>s\a>q,  akan  tetapi  jika  terjadi  kesepakatan  atas  dasar  keterpaksaan dan pemaksaan, maka disebut al-was\a>q.
  Mi>s\a>qan  gali>z}an   merupakan  perjanjian  yang  membingkai  suami  istri  secara  khusus  dan  keluarga  secara  umum.  Perjanjian  pernikahan  merupakan  perjanjian  suami  istri  kepada  Allah  SWT  untuk  menunaikannya  bersama,  mengandung  aspek-aspek  kemanusiaan  dan  kemasyarakatan  dalam  menjalani  hidup bersama. Oleh karenanya, kealpaan salah satu pihak untuk menunaikannya,    Hilmy  Nugraha,  Mi>s\a>qan  Gali>z}an,  dalam  http:  //menjadihilmy.blogspot.com/2009/12/  mitsaqan-ghalidza.html, (07 Juni 2011)   Muh}ammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: Elsa Press, Cet V  , 2008) 440-441   baik seluruh atau sebagian, akan mengakibatkan tuntutan perceraian karena telah  melanggar dan melalaikan perjanjian dengan Allah SWT.
  Akad  nikah  menimbulkan  kewajiban  hukum  yang  mengikat  bagi  suami  istri. Akad nikah juga mengandung unsur sakral serta mempunyai dampak yang  berkepanjangan  bagi  wanita  yang  dinikahi.  Oleh  sebab  itu,  setiap  orang  perlu  bersikap  hati-hati  dalam  melaksanakan  akad  nikah  demi  terpeliharanya  kehormatan serta masa depan keluarga.
  Kerelaan  dari  pihak  laki-laki  dan  perempuan  serta  persetujuan  mereka  untuk  mengikat  janji  hidup  bersama  adalah  rukun  yang  mendasar  dalam  pernikahan. Kerelaan yang diwujudkan dengan persetujuan oleh masing-masing  calon  suami  istri  sangat  penting  karena  agar  masing-masing  dapat  memasuki  gerbang  perkawinan  dan  rumah  tangga  benar-benar  dapat  dengan  senang  hati  membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional.
  Karena  kerelaan  adalah  rasa  yang  bersifat  abstrak  yang  tidak  dapat  di  indera  oleh  mata,  maka  harus  ada  perlambang  yang  tegas  untuk  menunjukkan  kemauan  melakukan  ikatan  bersama  sebagai  suami  istri.  Perlambang  tersebut  adalah berupa akad dari kedua belah pihak.
   Ibid.
  Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2005), 124   Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 73-74   Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,juz 2 (Beirut: Dar al-Fath}, 2006), 467   Pernyataan  pertama  oleh  pihak  pertama  menunjukkan  kemauan  untuk  membentuk  hubungan  bersama  suami  istri  disebut  ijab.  Dan  pernyataan  selanjutnya oleh pihak kedua yang mengadakan akad untuk menyatakan rasa rida  disebut kabul. Selanjutnya kedua pernyataan tersebut disebut akad nikah.
  Pada  zaman  ketika  setiap  orang  memiliki  berbagai  macam  kesibukan  ini  sering kali seseorang tidak sempat melakukan bermacam urusannya. Oleh karena  itu  bantuan  orang  lain  untuk  melakukan  urusan  tersebut  kadang  kala  juga  diperlukan. Penyerahan urusan pribadi kepada orang lain inilah yang diistilahkan  dengan  waka>lah.
  Para  fuqaha’ telah  sepakat  bahwa  setiap  akad  yang  dapat  dilakukan sendiri oleh manusia boleh untuk diwakilkan kepada orang lain. Baik  dalam  hal  jual  beli,  melaksanakan  hak-hak  tertentu, pertikaian,  pernikahan,  perceraian dan akad yang lain yang boleh diwakilkan.
  Akad  nikah  sebagai  penentu  sahnya  pernikahan  adakalanya  dalam  pelaksanaannya  suami  sebagai  pihak  yang  mengucapkan kabul  berhalangan  hadir.  Maka  suami  yang  demikian  wajib  mengirim  wakil  atau  menulis  surat  kepada pihak lain untuk meminta dilaksanakan akad nikah untuknya.
  Hal  ini  diperbolehkan  berdasarkan  pada  ta>ri>kh yang  menyebutkan  bahwa  Nabi  SAW  pernah  mewakilkan  akad  kepada  Aba>  Ra>fi‘  ketika  menikah  dengan   Ibid.
   Chairuman  Lubis,  Suhrawardi  K.Lubis,  Hukum  Perjanjian  dalam  Islam,  (Jakarta:  Sinar  Grafika, 1994), 19   Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, 524   Ibid, 470.
  Ummul  Mu’mini>n  Maimu>nah,  dan  mewakilkan  kepada  ‘Amar  bin  Umayyah  ketika menikah dengan Ummu H{abi>bah.
  Sebagaimana  disebutkan  bahwa  Raja  Naja>syi  meminta  Kha>lid  bin  Sa‘i>d  yang  menjadi  wakil  dari  pihak  Ummu  H{abibah  untuk  menikah  dengan  Nabi  SAW. Dengan mahar sebesar empat ratus dinar Kha>lidkemudian berkata: “Saya  telah melakukan apa yang diminta oleh Rasulullah SAW. Saya nikahkan beliau  dengan Ummu H{abi>bah”.
  Pasal 29 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa“Yang berhak  mengucapkan  kabul  adalah  calon  mempelai  pria  secara pribadi”.
   Pasal  ini  secara jelas menyebutkan bahwa kabul semestinya menjadi keharusan bagi suami  secara pribadi.
 Pasal  29  ayat  2  Kompilasi  Hukum  Islam  juga  menunjukkan  kebolehan  suami  mewakilkan  kabul  dalam  akad  nikah  .  “Dalam  hal-hal  tertentu  ucapan  kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai  pria  memberi  kuasa  yang   tegas  secara  tertulis  bahwa  penerimaan  wakil  atas  akad nikah itu adalah untuk mempelai pria”.
   Mansyur bin Yu>nus bin Idri>s al-Bahuti , Kasya>f al-qina>‘i ‘an matan al-aqna>‘, (Beirut: Da>r  al-Fikr, 1972), 80   Abi ‘Umar Yu>suf bin ‘Abdullah bin Muh}ammad bin ‘Abd al-Bar al-Qurt}ubiy, al-Isti‘a>b fi  Ma‘rifah al-As}h}a>b, Juz 4, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, tt ), 483-484   Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia,Kompilasi  Hukum Islam), 239   Direktorat Jenderal Bimbingan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia,  Kompilasi  Hukum Islam), 240   Pernikahan yang melibatkan dua pihak yakni calon suami dan calon istri,  diatur secara seimbang tanpa menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Oleh  karenanya dalam pasal 29 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:  “Dalam  hal  calon  mempelai  wanita  atau  wali  keberatan  calon  mempelai  pria  diwakili,  maka  akad  nikah  tidak  boleh  dilangsungkan”.
   Hal  ini  untuk  menghindari tidak adanya kerelaan dari masing-masing pihak yang menjadi dasar  rukun pernikahan.
 Pada tahun 2000 KUA kecamatan Wungu Kabupaten Madiun, menikahkan  Siti Masfufah dan Agus Kholiq. Pernikahan ini dilangsungkan dengan cara suami  mewakilkan  kabul  dalam  akad  nikah.  Yaitu  dari  Agus  Kholiq  kepada  saudara  laki-lakinya  Faifsan  Taufiq.  Pelaksanaan  pernikahan dengan  cara  suami  mewakilkan  kabul  dalam  akad  nikah  jarang  sekali  terjadi  di  masyarakat,  oleh  karenanya permasalahan ini menarik perhatian penulis untuk membahasnya.
 Permasalahan  ini  penulis  rumuskan  dengan  judul  “Implementasi  Pasal  29  Kompilasi  Hukum  Islam  tentang  Ketentuan  Kebolehan  Suami  Mewakilkan  Kabul  dalam  Akad  Nikah  (Studi  Kasus  di  Kantor  Urusan  Agama  kecamatan  Wungu Kabupaten Madiun)”.
 Melalui  judul  ini  penulis     ingin  mengetahui  bagaimana  pernikahan  yang  dilaksanakan  dengan  cara  suami  mewakilkan  kabul  dalam  akad  nikah  di  KUA  kecamatan  Wungu.  Apakah  sudah  sesuai  dengan  ketentuan  yang  ada  dan   Ibid.
  mengetahui  pendapat  kepala  KUA   bagaimana  pelaksanaan  pernikahan  yang  dilaksanakan dengan cara suami mewakilkan kabul  dalam akad nikah  di wilayah  kerjanya.
 B Identifikasi dan Batasan Masalah Identifikasi dan Batasan Masalah  Dari  latar  belakang  masalah  yang  telah  peneliti  paparkan  di  atas,  maka  identifikasi masalah yang peneliti peroleh adalah sebagai berikut:  1.  Akad  nikah  berupa  s}i>gat  ijab  kabul  merupakan  salah  satu  dari  syarat  sah  nikah.
 2.  S{i>gat  kabul  adalah  pernyataan  pihak  kedua  yaitu  suami  untuk  menyatakan  kerelaan.
 3.  Dalam  hal-hal  tertentu  suami  boleh  mewakilkan  kabul dalam  akad  nikah  menurut hukum Islam. Baik menurut pendapat para imam mazhab, pasal 29  Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 20 Peraturan Menteri Agama.
 4.  Alasan pernikahan dilaksanakan dengan cara suami mewakilkan kabul  dalam  akad nikah.
 5.  Syarat orang yang mewakili kabul dalam akad nikah.
 6.  Kasus  pernikahan  yang  dilaksanakan  dengan  cara  suami  mewakilkan  kabul dalam akad nikah di KUA kecamatan Wungu Kabupaten Madiun.
 7.  Ketentuan  Pasal  29  Kompilasi  Hukum  Islam  tentang  ketentuan  kebolehan  suami mewakilkan kabul dalam akad nikah.
  8.  Implementasi pasal 29 Kompilasi Hukum Islam dalam kasus pernikahan yang  dilaksanakan dengan cara suami mewakilkan kabul dalam akad nikah di KUA  kecamatan Wungu Kabupaten Madiun.
  



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi