BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah menjadikan
makhluknya
berpasang-pasangan,
menjadikan laki-laki dan perempuan hikmanya adalah supaya manusia
berpasang-pasangan sebagai suami istri
membangun rumah tanggah yang damai dan teratur, ikatan lahir oleh pasangan suami
istri merupakan hubungan
resmi yang bersifat
sakral dan nyata
di dalam kehidupan
manusia.
Sesuai dengan
firman Allah surat
An-Nisa’ ayat 1 yang
berbunyi Artinya
: ‚Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu
dari seorang diri,
dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya;
dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu
sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan Mengawasi kamu.‛ Perkawinan bagi umat manusia adalah hubungan yang sangat
sakral dalam arti bahwa perkawinan yang dilaksanakan oleh orang-orang Islam
khususnya secara prinsip tidak
lepas dari hukum
Islam. Perkawinan bukan
semata-mata untuk Idris Ramulyo Hukum Perkawinan Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 26.
Departemen
Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya
Jakarta, 1997, 114.
memuaskan
nafsu, melainkan meraih ketenangan, ketentraman dan sikap yang saling mengayomi diantara kedua belah pihak antara
suami dan istri dengan dilandasi cinta dan kasih
sayang yang mendalam.
Agar tujuan dalam
perkawinanan tercapai, dan mampu
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah mawaddah warahmah.
Hal ini demi terciptanya kehidupan rumah
tangga yang ideal.
Pada
dasarnya asas dalam
perkawinan sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal, dapat dijelaskan bahwa
prinsip perkawinan adalah untuk seumur hidup (kekal)
dan tidak boleh
terjadi suatu perceraian.karena tujuan
perkawinan adalah membentuk
keluarga bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersulit
perceraian. menyebutkan bahwa
hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Perkawinan
yang berlaku di dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya
dan lingkungan dimana
masyarakat itu berada,
dan yang paling
dominan adalah dipengaruhi
oleh adat istiadat
dan budaya dimana
masyarakat tersebut berdomisili. Walaupun agama islam telah
memberikan aturan yang tegas dan jelas tentang
perkawinan, akan tetapi
didalam realitas kehidupan
masyarakat indonesia yang
plularis masih banyak
diketemukan pelaksanaan perkawinan
yang berbeda- Wacana Intelektual
Press Undang-undang RI No,1 tahun 1974 tentang Perkawinan 12.
beda di
kalangan umat islam. karena akibat perbedaan pemahaman tentang agama, adat
istiadat dan budaya,
sehingga dalam perkawinan
mempunyai corak atau
adat yang unik seiring ketentuan
agama.
Salah
satu adat istiadat
masyarakat Jawa mengucapkan
seserahan perkawinan atau
disebut juga peningsetan
memiliki arti yang
mendalam.
Peningsetan
berasal dari kata
singset (artinya mengikat)
yang memiliki arti
tanda ikatan hati
antara dua keluarga
yang akan menjadi
satu dalam perkawinan.
Seserahan
perkawinan tersebut juga merupakan simbol atau tanda tanggung jawab dari calon
pengantin pria untuk
meyakinkan calon mertuanya
bahwa dirinya telah siap
memberi nafkah lahir dan batin pada calon mempelai wanita.
Istilah
daerah untuk ‚seserahan‛ ialah di
antaranya : ‚beuli
niha‛ (Nias Selatan), ‚unjuk‛
(Gayo), ‚unjung‛, ‚sinamot‛, ‚pangoli‛, ‚boli‛, ‚tuhor‛ (Batak), ‚jujur‛ (Tapanuli Selatan
dan Sumatera Selatan),
‚seroh‛ (Lampung), ‚kule‛
(Pasemah), ‚wilin‛, ‚beli‛ (Maluku), ‚belis‛ (Timor), ‚patuku
n luh‛ (Bali), yang dalam
bahasa Belanda disebut ‚bruidsschat‛ yang
artinya mahar. Dengan membayar jujur ini istri masuk dalam calon suaminya,
sehingga anak-anaknya dilahirkan dari calon
suami.
Adapun tradisi
masyarakat Desa Compang
Lawi, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten
Manggarai Timur, Nusa
Tenggara Timur. Masyarakan Iman Sudiyat hukum adat (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,1981), 117.
Soekanto
meninjau hukum adat indonesia (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada,1981), 102.
Manggarai mengucapkan
belis (mas kawin/mahar)
adalah sejumlah uang,
hewan ternak seperti
kuda, kerbau, sapi
dan barang yang
diberikan oleh pihak
keluarga pengantin laki-laki
kepada pengantin perempuan
sebagai syarat pengesahan perkawinan.
Pihak laki-laki harus
memberikan belis karena
pengantin perempuan akan menjadi
bagian dari suku
mereka. Pengantin perempuan
meninggalkan orang tua
dan meninggalkan keanggotaannya dalam
suku orang tuanya
untuk masuk menjadi bagian dari suku suaminya.
Suatu perkawinan
akibat perkenalan antara
laki-laki dan perempuan.
Jika antara laki-laki
dan perempuan sudah
ada pengertian dan
persetujuan un tuk hidup bersama sebagai
suami isteri, maka
keluarga laki-laki melamar
(cangkang) pada keluraga
perempuan. Dalam hal
itu keluarga perempuan
biasanya akan meminta suatu mas kawin (paca) seperti membayar uang
dengan jumlah yang tinggi, kerbau jantan dan
kuda jantan. Besarnya
belis tidak merupakan
lambang pemabayaran seoarang
perempuan tetapi penghargan
kepada orang tua
perempuan yang telah membesarkannya. sedangkan
mereka akan juga
memberi kepada keluarga
laki-laki sebagai imbalan
suatu pemberian yang
besar juga. Hubungan
yang terjadi antara keluarga yang seperti itu, ialah antara
anak Wina (keluarga mempelai laki-laki) dan anak Rona (keluarga mempelai perempuan) yang
biasanya sangat resmi.
Aman,
‚Rumah Perempuan Kupang‛ http : //rumah perempuan.com/index. php/ component/ con tent/article/1-opini/57-belis-komoditas-perempuan-ntt
(16 Maret 2012).
Imam, ‚Perkawinan
Adat Manggarai‛
http://gema-budaya.blogspot.com/2012/09/perkawinan adat-masyarakat-manggarai.html (25 September
2012).
Akibat
pertunangan yaitu : 1. Bahwa satu pihak
terikat perjanjian untuk kawin dengan pihak lain.
2.
Timbulnya keharusan memberi hadiah pertunangan, jadi bilamana tidak ada hadiah pertunangan, maka pertunangan dibatalkan.
3.
Perlindungan terhadap perempuan supaya terhindar dari pergaulan yang bebas.
4.
Mulai timbulnya pada pergaulan tertentu antara calon menantu laki-laki dengan kedua orang tua dari pihak perempuan.
Istilah
belis itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak Wina
kepada anak Rona . Dan
biasanya berdasarkan atas kesepakatan sebelumnya dan
upacara kesepakatan atas
mas kawin itu
disebut pongo (kesepakatan
belis) Setelah semuanya mencapai
kesepakatan, ada waktu
yang telah ditentukan
untuk menyerahkan mas kawin itu
di sebuah acara adat yaitu wagal ( salah
satu pesta adat dalam tata cara
perkawinan orang Manggarai), dan acara ini lebih meriah dari acara pongo. Acara
wagal ini biasanya disertai
dengan tarian caci (tarian khas manggarai).
Perlu
diingat bahwa, pada
saat pongo, terjadi
proses tawar menawar
yang begitu dahsyat antara
tongka (juru bicara) dari pihak
anak Rona dan anak
Wina. Mempelai perempuan
memberikan patokan belis yang harus dibayar kemudian ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa
tawar-menawar sebelum adanya keputusan yang Soerjono
Soekanto dan Soleman
b. Taneko Hukum
Adat Indonesia (Jakarta
: CV. Rajawali, 1983), 247.
benar. Kadang
tidak ditemukanya kesepakatan
dan apabila kesepakatan
tidak ditemukan, maka acara itu
ditunda lagi.
Hasil wawancara
dengan bapak Aris
yang bertempat tinggal
di Jalan Adi Sucipto Kota Ruteng
Kabupaten Manggarai mengatakan
bahwa Adat Belis
tetap dipertahankan sebagai
‚ritual‛ sebelum pasangan
melangsungkan perkawinan.
Untuk Belis, orang Manggarai biasanya menggunakan sejumlah
uang, hewan ternak seperti kuda ( jarang
), kerbau (kaba ), sapi. Hubungan kekerabatan antara anak rona dan anak
wina dalam perkawinan
sangat resmi. Sebagaimana
dilihat ketika pihak anak
wina melakukan tawar-menawar dengan pihak anak rona. Menyangkut besaran belis
mas kawin dalam
acara peminangan (du
ngo taeng). Selain
besaran nominal belis
yang diminta pihak anak rona relatif tinggi, tuntutan cara pembayarannya
juga begitu ketat. Upacara perkawinan
di Manggarai mestinya
disadari sebagai permulaan bagi kehidupan keluarga yang baru. Keluarga
anak Rona dan anak
Wina mulai dari teing hang (upacara kepada roh
nenek moyang) sampai selesai acara pun melapor ke rumah
gendang (rumah adat
Manggarai) fungsinya untuk
bermusyawarah kepada kepala
suku adat di
rumah gendang. Selama
acara adat berlangsung,
antara anak rona dan anak wina terpisah.
Ali ‚Belis
di Manggarai‛, http
://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-floresbarat-504080.html
(25 Oktober 2012).
Aris
(umur 32, Pekerjaan Pengawai di Pengadilan Agama), Wawancara, (28 Desember
2012).
Rata-rata
pengeluaran acara perkawinan sekarang ini paling cepat 50 jutaan (ditanggung
kedua belah pihak).
Bagi keluarga lelaki
belis yang diterimah
tinggal ditambah dengan
semampunya. Diatas 100
juta sudah mahal
sekali. Namun semuanya juga relatif tergantung acaranya akan
seperti apa dan kekuatan keluarga perempuan
menyiapkan acaranya. Makin sedikit
belis, acara pernikahan bisa diatur lebih
sederhana. Makin mahal
belis makin meriah
pestanya. Dari keluarga perempuan yang menyiapkan acara dan keluarga
pria yang menyiapkan belis harus dibicarakan dengan keluarga besar,
mereka memberikan uang kepada anak rona
yang melakukan persiapan
berbulan-bulan sebelumnya. Selama
proses pernikahan, anak wina bisa
berpangku tangan, tetapi
anak rona pontang
panting menyiapkan acara.
Bagus atau tidak bagusnya acara adalah
pertaruhan nama baik anak rona.
Acara
perkawinan dan segala
kelebihan dan kekurangannya
dalam tradisi kami
tetap menjadi bagian
favorit kami. Harapan
kami bahwa tradisi
ini tetap dipahami
sebagai penyatuan kedua
calon pengantin dan
keluarga besarnya tanpa menggeser nilai
adat yang tanpa
perasaan keras. Dan
jangan ada belis
yang tidak masuk akal.
Perkawinan yang
tidak bisa rukun
dan damai di
dalam masyarakat, dan terjadi putusnya
hubungan perkawinan itu
dapat pula karena
didorong oleh kepentingan
kerabat dan masyarakat.
Di pedesaan Manggarai
dalam masalah adat perceraian itu
sangat sulit untuk
ditemukan, karna masyarakatnya
mayoritas Aris (umur 32,
Pekerjaan Pengawai di Pengadilan Agama) Wawancara (4 Desember 2012).
katholik yang
tidak mengenal istilah
cerai, jadi masyarakat
muslim di Manggarai ketika perkawinan hanya mengenal mahar dari
hukum islam dan hukum adat, akan tetapi
cerainya mengikuti tata cara hukum islam.
Terlepas
dari adat masyarakat yang terjadi di Manggarai, di dalam Pasal 19 huruf f PP No 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 19 huruf f berbunyi perceraian dapat
terjadi karena alasan : antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah
tangga. Akan tetapi
Majelis Hakim harus mempertimbangkan hal-hal
tertentu di dalam
memutuskan perkara perceraian, seperti
jika terjadi tuntutan
dari pihak suami
terhadap istri alasan
seserahan yang diberikan oleh suami. Dalam hal ini apakah
Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara tersebut
?, bagaimana pertimbangan
Majlis Hakim tentang
perkara perceraian dengan syarat
pihak perempuan harus mengembalian seserahan adat ? dan bagaimana
pula pandangan Islam
tentang perkara perceraian
dengan syarat pihak perempuan harus
mengembalian seserahan adat ? padahal
syari’at mengajarkan, bahwa agama Islam tidak mempersulit, tapi
mempermudah.
Permasalahan
tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ‚studi analisis hukum Islam terhadap
putusan perceraian dengan syarat pihak perempuan
harus mengembalikan seserahan
adat (Putusan No.012/Pdt.G/2012/PA.Rtg)‛.
Aris
(umur 32, Pekerjaan Pengawai di Pengadilan Agama) Wawancara (4 Desember 2012).
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah Latar belakang masalah di
atas, maka dapat diketahui beberapa identifikasi masalah sebagai berikut : 1. yang melatar belakangi terjadinya budaya
seserahan dalam perkawinan.
2.
kegunaan dan kerugian yang dicapai oleh seserahan.
3.
tinjauan hukum islam
terhadap suami yang
menuntut istri untuk mengembalikan
seserahan yang pernah diberikan kepada istrinya.
4.
Faktor- faktor yang menyebabkan
salah satu pihak melakukan kekerasan dalam rumah Tangga .
5. dasar pertimbangan hakim menolak perkara
seserahan.
Agar
supaya penelitian lebih
terarah dan tidak
menyimpang dari pokok penelitian,
maka dari itu penulis memfokuskan pada masalah, yaitu: 1. Pertimbangan
Majlis Hakim dalam
Memutuskan Perceraian dengan syarat Pihak Perempuan harus Mengembalikan Seserahan Adat. 2. Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Majlis
Hakim dalam Memutuskan Perkara Perceraian
dengan syarat Pihak
Perempuan harus Mengembalikan Seserahan Adat.
C.
Rumusan Masalah Dengan
memperhatikan latar belakang
diatas, maka penulis
dapat memberikan rumusan sebagai
berikut : 1. Bagaimana Pertimbangan
Majlis Hakim dalam Memutuskan
Perceraian dengan syarat
Pihak Perempuan harus
Mengembalikan Seserahan Adat ? 2. Bagaimana Analisis Hukum Islam Terhadap
Pertimbangan Majlis Hakim dalam
Memutuskan Perkara Perceraian dengan syarat Pihak Perempuan harus Mengembalikan Seserahan Adat ?
D. Kajian Pustaka Kajian tentang
seserahan bukanlah kajian
yang baru, namun
terdapat beberapa mahasiswa
yang telah mengangkat
masalah tentang seserahan.
Berdasarkan temuan penulis ada penelitian
serupa dengan skripsi ini yaitu: Syaeful
Bakhri (skripsi :
2008), yang berjudul
‛Tinjauan Hukum Islam Terhadap Beban Calon Suami Dalam Adat
Seserahan di Desa Malahayu Kecamatan Banjarharjo Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah‛, skripsi ini
membahas tentang menganalisis
seserahan pada perkawinan
adat di Desa
Malahayu Kecamatan Banjarharjo
Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi