Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PERCERAIAN DENGAN SYARAT PIHAK PEREMPUAN HARUS MENGEMBALIKAN SESERAHAN ADAT (PUTUSAN NO 012 PDT G 2012 PA RTG)


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Allah  menjadikan  makhluknya  berpasang-pasangan,  menjadikan  laki-laki  dan perempuan hikmanya adalah supaya manusia berpasang-pasangan sebagai suami  istri membangun rumah tanggah yang damai dan teratur, ikatan lahir oleh pasangan  suami  istri  merupakan  hubungan  resmi  yang  bersifat  sakral  dan  nyata  di  dalam  kehidupan  manusia.
  Sesuai  dengan  firman  Allah  surat  An-Nisa’  ayat  1  yang  berbunyi  Artinya  :  ‚Hai  sekalian    manusia,  bertakwalah  kepada  Tuhan-mu  yang  Telah  menciptakan  kamu  dari  seorang  diri,  dan  dari  padanya  Allah  menciptakan  isterinya;  dan  dari  pada  keduanya  Allah  memperkembang  biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada  Allah  yang  dengan  (mempergunakan)  nama-Nya  kamu  saling  meminta  satu  sama  lain,  dan  (peliharalah)  hubungan  silaturrahim.  Sesungguhnya  Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.   Perkawinan  bagi umat manusia adalah hubungan yang sangat sakral dalam  arti  bahwa perkawinan  yang dilaksanakan oleh orang-orang Islam khususnya secara  prinsip  tidak  lepas  dari  hukum  Islam.  Perkawinan  bukan  semata-mata  untuk   Idris Ramulyo Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),  26.

  Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya  Jakarta, 1997, 114.
   memuaskan nafsu, melainkan meraih ketenangan, ketentraman dan sikap yang saling  mengayomi diantara kedua belah pihak antara suami dan istri dengan dilandasi cinta  dan  kasih  sayang  yang  mendalam.  Agar  tujuan  dalam  perkawinanan  tercapai,  dan  mampu mewujudkan kehidupan rumah  tangga yang sakinah mawaddah  warahmah.
 Hal ini demi terciptanya kehidupan rumah tangga yang ideal.
 Pada  dasarnya  asas  dalam  perkawinan  sesuai  dengan  ketentuan  Pasal  1  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan adalah ikatan lahir batin  antara seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang  bahagia dan kekal, dapat dijelaskan bahwa prinsip perkawinan adalah untuk seumur  hidup  (kekal)  dan  tidak  boleh  terjadi  suatu  perceraian.karena  tujuan  perkawinan  adalah membentuk keluarga bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini  menganut  prinsip  untuk  mempersulit  perceraian.  menyebutkan  bahwa  hak  dan  kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan  rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
  Perkawinan yang berlaku di dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh  budaya  dan  lingkungan  dimana  masyarakat  itu  berada,  dan  yang  paling  dominan  adalah  dipengaruhi  oleh  adat  istiadat  dan  budaya  dimana  masyarakat  tersebut  berdomisili. Walaupun agama islam telah memberikan aturan yang tegas dan  jelas  tentang  perkawinan,  akan  tetapi  didalam  realitas  kehidupan  masyarakat  indonesia  yang  plularis  masih  banyak  diketemukan  pelaksanaan  perkawinan  yang  berbeda- Wacana Intelektual Press Undang-undang RI No,1 tahun 1974 tentang Perkawinan 12.
  beda di kalangan umat islam. karena akibat perbedaan pemahaman tentang agama,  adat  istiadat  dan  budaya,  sehingga  dalam  perkawinan  mempunyai  corak  atau  adat  yang unik seiring ketentuan agama.
 Salah  satu  adat  istiadat  masyarakat  Jawa  mengucapkan  seserahan  perkawinan  atau  disebut  juga  peningsetan  memiliki  arti  yang  mendalam.
 Peningsetan  berasal  dari  kata  singset  (artinya  mengikat)  yang  memiliki  arti  tanda  ikatan  hati  antara  dua  keluarga  yang  akan  menjadi  satu  dalam  perkawinan.
 Seserahan  perkawinan tersebut juga merupakan simbol atau tanda tanggung  jawab  dari  calon  pengantin  pria  untuk  meyakinkan  calon  mertuanya  bahwa  dirinya  telah  siap memberi nafkah lahir dan batin pada calon mempelai wanita.
 Istilah  daerah  untuk  ‚seserahan  ialah  di  antaranya  :  ‚beuli  niha  (Nias Selatan),  ‚unjuk (Gayo),  ‚unjung, ‚sinamot, ‚pangoli,  ‚boli, ‚tuhor  (Batak),  ‚jujur  (Tapanuli  Selatan  dan  Sumatera  Selatan),  ‚seroh  (Lampung),  ‚kule (Pasemah),  ‚wilin,  ‚beli  (Maluku),  ‚belis  (Timor),  ‚patuku  n  luh  (Bali),  yang  dalam bahasa Belanda disebut  ‚bruidsschat yang artinya mahar. Dengan membayar  jujur    ini istri masuk dalam calon suaminya, sehingga anak-anaknya dilahirkan dari  calon suami.
  Adapun  tradisi  masyarakat  Desa  Compang  Lawi,  Kecamatan  Sambi  Rampas,  Kabupaten  Manggarai  Timur,  Nusa  Tenggara  Timur.  Masyarakan   Iman Sudiyat hukum adat  (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,1981), 117.
  Soekanto meninjau hukum adat indonesia  (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1981), 102.
  Manggarai  mengucapkan  belis  (mas  kawin/mahar)  adalah  sejumlah  uang,  hewan  ternak  seperti  kuda,  kerbau,  sapi  dan  barang  yang  diberikan  oleh  pihak  keluarga  pengantin  laki-laki  kepada  pengantin  perempuan  sebagai  syarat  pengesahan  perkawinan.  Pihak  laki-laki  harus  memberikan  belis  karena  pengantin  perempuan  akan menjadi  bagian  dari  suku  mereka.  Pengantin  perempuan  meninggalkan  orang  tua  dan  meninggalkan  keanggotaannya  dalam  suku  orang  tuanya  untuk  masuk  menjadi bagian dari suku suaminya.
  Suatu  perkawinan  akibat  perkenalan  antara  laki-laki  dan  perempuan.  Jika  antara  laki-laki  dan  perempuan  sudah  ada  pengertian  dan  persetujuan  un tuk  hidup  bersama  sebagai  suami  isteri,  maka  keluarga  laki-laki  melamar  (cangkang)  pada  keluraga  perempuan.  Dalam  hal  itu  keluarga  perempuan  biasanya  akan  meminta  suatu mas kawin (paca) seperti membayar uang dengan jumlah yang tinggi, kerbau  jantan  dan  kuda  jantan.  Besarnya  belis  tidak  merupakan  lambang  pemabayaran  seoarang  perempuan  tetapi  penghargan  kepada  orang  tua  perempuan  yang  telah  membesarkannya.  sedangkan  mereka  akan  juga  memberi  kepada  keluarga  laki-laki  sebagai  imbalan  suatu  pemberian  yang  besar  juga.  Hubungan  yang  terjadi  antara  keluarga yang seperti itu, ialah antara anak  Wina  (keluarga mempelai laki-laki) dan  anak Rona (keluarga mempelai perempuan) yang biasanya sangat resmi.
   Aman, ‚Rumah Perempuan Kupang http : //rumah perempuan.com/index. php/ component/ con  tent/article/1-opini/57-belis-komoditas-perempuan-ntt (16 Maret 2012).
  Imam,  ‚Perkawinan  Adat  Manggarai  http://gema-budaya.blogspot.com/2012/09/perkawinan  adat-masyarakat-manggarai.html (25 September 2012).
  Akibat pertunangan yaitu : 1.  Bahwa satu pihak terikat perjanjian untuk kawin dengan pihak lain.
 2.  Timbulnya keharusan memberi hadiah pertunangan, jadi bilamana tidak  ada hadiah pertunangan, maka pertunangan dibatalkan.
 3.  Perlindungan terhadap perempuan supaya terhindar dari  pergaulan yang  bebas.
 4.  Mulai timbulnya pada pergaulan tertentu antara calon menantu laki-laki  dengan kedua orang tua dari pihak perempuan.
  Istilah belis itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak  Wina  kepada anak  Rona  .  Dan biasanya berdasarkan  atas kesepakatan  sebelumnya  dan  upacara  kesepakatan  atas  mas  kawin  itu  disebut  pongo  (kesepakatan  belis) Setelah  semuanya  mencapai  kesepakatan,  ada  waktu  yang  telah  ditentukan  untuk  menyerahkan mas kawin itu di sebuah acara adat yaitu wagal  ( salah satu pesta adat  dalam tata cara perkawinan  orang Manggarai),  dan acara ini lebih meriah dari acara  pongo. Acara  wagal  ini biasanya disertai dengan tarian caci (tarian khas manggarai).
 Perlu  diingat  bahwa,  pada  saat  pongo,  terjadi  proses  tawar  menawar  yang  begitu  dahsyat antara  tongka  (juru bicara) dari pihak anak  Rona  dan anak  Wina. Mempelai  perempuan memberikan patokan  belis  yang harus dibayar kemudian ditanggapi oleh  keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan yang   Soerjono  Soekanto  dan  Soleman  b.  Taneko    Hukum  Adat  Indonesia  (Jakarta  :  CV.  Rajawali,  1983), 247.
  benar.  Kadang  tidak  ditemukanya  kesepakatan  dan  apabila  kesepakatan  tidak  ditemukan, maka acara itu ditunda lagi.
  Hasil  wawancara  dengan  bapak  Aris  yang  bertempat  tinggal  di  Jalan  Adi  Sucipto  Kota  Ruteng  Kabupaten  Manggarai  mengatakan  bahwa  Adat  Belis  tetap  dipertahankan  sebagai  ‚ritual  sebelum  pasangan  melangsungkan  perkawinan.
 Untuk Belis,  orang Manggarai biasanya menggunakan sejumlah uang, hewan ternak  seperti kuda ( jarang ), kerbau (kaba ), sapi. Hubungan kekerabatan antara anak rona dan  anak  wina  dalam  perkawinan  sangat  resmi.  Sebagaimana  dilihat  ketika  pihak  anak wina melakukan tawar-menawar dengan pihak anak rona. Menyangkut besaran  belis  mas  kawin  dalam  acara  peminangan  (du  ngo  taeng).  Selain  besaran  nominal  belis  yang diminta pihak anak  rona  relatif tinggi, tuntutan cara pembayarannya juga  begitu ketat.    Upacara  perkawinan  di  Manggarai  mestinya  disadari  sebagai  permulaan  bagi kehidupan keluarga yang baru. Keluarga anak  Rona  dan anak  Wina  mulai dari  teing hang (upacara kepada  roh  nenek moyang) sampai selesai acara pun melapor ke  rumah  gendang  (rumah  adat  Manggarai)  fungsinya  untuk  bermusyawarah  kepada  kepala  suku  adat  di  rumah  gendang.  Selama  acara  adat  berlangsung,  antara  anak  rona dan anak wina terpisah.
   Ali  ‚Belis  di  Manggarai,  http  ://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-floresbarat-504080.html (25 Oktober 2012).
  Aris (umur 32, Pekerjaan Pengawai di Pengadilan Agama), Wawancara, (28 Desember 2012).
  Rata-rata pengeluaran acara perkawinan sekarang ini paling cepat 50 jutaan  (ditanggung  kedua  belah  pihak).  Bagi  keluarga  lelaki  belis  yang  diterimah  tinggal  ditambah  dengan  semampunya.  Diatas  100  juta  sudah  mahal  sekali.  Namun  semuanya juga relatif tergantung acaranya akan seperti apa dan kekuatan keluarga  perempuan menyiapkan acaranya. Makin sedikit  belis, acara pernikahan bisa diatur  lebih  sederhana.  Makin  mahal  belis  makin  meriah  pestanya.  Dari  keluarga  perempuan yang menyiapkan acara dan keluarga pria yang menyiapkan  belis  harus dibicarakan dengan keluarga besar, mereka memberikan  uang kepada anak rona yang  melakukan  persiapan  berbulan-bulan  sebelumnya.  Selama  proses  pernikahan,  anak  wina  bisa  berpangku  tangan,  tetapi  anak  rona  pontang  panting  menyiapkan  acara.
 Bagus atau tidak bagusnya acara adalah pertaruhan nama baik anak rona.
 Acara  perkawinan  dan  segala  kelebihan  dan  kekurangannya  dalam  tradisi  kami  tetap  menjadi  bagian  favorit  kami.  Harapan  kami  bahwa  tradisi  ini  tetap  dipahami  sebagai  penyatuan  kedua  calon  pengantin  dan  keluarga  besarnya  tanpa  menggeser  nilai  adat  yang  tanpa  perasaan  keras.  Dan  jangan  ada  belis  yang  tidak  masuk akal.
  Perkawinan  yang  tidak  bisa  rukun  dan  damai  di  dalam    masyarakat,  dan  terjadi  putusnya  hubungan  perkawinan  itu  dapat  pula  karena  didorong  oleh  kepentingan  kerabat  dan  masyarakat.  Di  pedesaan  Manggarai  dalam  masalah  adat  perceraian  itu  sangat  sulit  untuk  ditemukan,  karna  masyarakatnya  mayoritas   Aris (umur 32, Pekerjaan Pengawai di Pengadilan Agama) Wawancara (4 Desember 2012).
  katholik  yang  tidak  mengenal  istilah  cerai,  jadi  masyarakat  muslim  di  Manggarai  ketika perkawinan hanya mengenal mahar dari hukum islam dan hukum adat, akan  tetapi cerainya mengikuti tata cara hukum islam.
  Terlepas dari adat masyarakat yang terjadi di Manggarai, di dalam Pasal 19  huruf f PP No 9  Tahun 1975 jo Pasal 116  huruf f Kompilasi Hukum Islam  (KHI).
 Pasal 19 huruf f berbunyi perceraian dapat terjadi karena alasan : antara suami dan  istri  terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan  hidup  rukun  lagi  dalam  rumah  tangga.  Akan  tetapi  Majelis  Hakim  harus  mempertimbangkan  hal-hal  tertentu  di  dalam  memutuskan  perkara  perceraian,  seperti  jika  terjadi  tuntutan  dari  pihak  suami  terhadap  istri  alasan  seserahan  yang  diberikan oleh suami. Dalam hal ini apakah Pengadilan Agama berwenang mengadili  perkara  tersebut  ?,  bagaimana  pertimbangan  Majlis  Hakim  tentang  perkara  perceraian dengan syarat pihak perempuan harus mengembalian seserahan adat ? dan  bagaimana  pula  pandangan  Islam  tentang  perkara  perceraian  dengan  syarat  pihak  perempuan  harus  mengembalian  seserahan  adat  ?  padahal  syari’at  mengajarkan,  bahwa agama Islam tidak mempersulit, tapi mempermudah.
 Permasalahan  tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan  judul ‚studi analisis hukum Islam  terhadap  putusan perceraian dengan syarat pihak  perempuan   harus   mengembalikan   seserahan   adat   (Putusan  No.012/Pdt.G/2012/PA.Rtg).
  Aris (umur 32, Pekerjaan Pengawai di Pengadilan Agama) Wawancara (4 Desember 2012).
  B.  Identifikasi Masalah  dan Batasan Masalah Latar belakang masalah di atas, maka dapat diketahui beberapa identifikasi  masalah sebagai berikut : 1.  yang melatar belakangi terjadinya budaya seserahan dalam perkawinan.
 2.  kegunaan dan kerugian yang dicapai oleh seserahan.
 3.  tinjauan  hukum  islam  terhadap  suami  yang  menuntut  istri  untuk  mengembalikan seserahan yang pernah diberikan kepada istrinya.
 4.   Faktor- faktor  yang menyebabkan salah satu pihak melakukan kekerasan dalam  rumah Tangga .   5.  dasar pertimbangan hakim menolak perkara seserahan.
 Agar  supaya  penelitian  lebih  terarah  dan  tidak  menyimpang  dari  pokok  penelitian, maka dari itu penulis memfokuskan pada masalah, yaitu: 1.  Pertimbangan  Majlis  Hakim  dalam  Memutuskan  Perceraian  dengan  syarat Pihak Perempuan harus  Mengembalikan Seserahan Adat.   2.    Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Majlis Hakim dalam Memutuskan  Perkara  Perceraian  dengan   syarat   Pihak  Perempuan   harus  Mengembalikan Seserahan Adat.
  C. Rumusan Masalah Dengan  memperhatikan  latar  belakang  diatas,  maka  penulis  dapat  memberikan rumusan sebagai berikut : 1.  Bagaimana  Pertimbangan  Majlis Hakim  dalam Memutuskan Perceraian  dengan  syarat   Pihak  Perempuan   harus   Mengembalikan   Seserahan  Adat ?  2.  Bagaimana Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Majlis Hakim  dalam Memutuskan Perkara Perceraian dengan syarat Pihak Perempuan  harus Mengembalikan Seserahan Adat ?  
D. Kajian Pustaka Kajian  tentang  seserahan  bukanlah  kajian  yang  baru,  namun  terdapat  beberapa  mahasiswa  yang  telah  mengangkat  masalah  tentang  seserahan.
 Berdasarkan temuan penulis ada penelitian serupa dengan skripsi ini yaitu: Syaeful  Bakhri  (skripsi  :  2008),  yang  berjudul  Tinjauan  Hukum  Islam  Terhadap Beban Calon Suami Dalam Adat Seserahan di Desa Malahayu Kecamatan  Banjarharjo  Kabupaten  Brebes,  Jawa  Tengah,  skripsi  ini  membahas  tentang  menganalisis  seserahan  pada  perkawinan  adat  di  Desa  Malahayu  Kecamatan  Banjarharjo  Kabupaten  Brebes,  Jawa  Tengah.
  


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi