Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:STUDI KOMPARASI TENTANG BATAS USIA ANAK DALAM HAK HADANAH PASCA PERCERAIAN MENURUT ORDINAN 43 KELUARGA ISLAM NEGERI SARAWAK TAHUN 2001 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM


BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah   Anak adalah makhluk sosial yang harus diakui keberadaannya, dihargai  harkat martabatnya sebagaimana orang dewasa, karena anak adalah aset yang  sangat berharga dibandingkan dengan  harta kekayaan lainnya, dalam  membentuk keluarga, masyarakat, dan negara. Anak juga merupakan amanah,  nikmat dan anugerah serta karunia yang Allah berikan kepada manusia.
   Bagi orang tua, anak tersebut diharapkan dapat mengangkat derajat dan  martabat orang tua kelak apabila ia dewasa, menjadi anak yang baik yang selalu  mendoakannya apabila ia meninggal. Berangkat dari pemikiran inilah, baik  bapak maupun ibu dari anak-anak itu sama-sama mempunyai keinginan keras  untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya agar dapat membimbing langsung  dan mendidiknya agar kelak ketika anak-anaknya sudah dewasa dapat tercapai  apa yang dicita-citakan itu.

   Demikian pula anak-anak yang terlahirdari perkawinan itu, selalu ingin  dekat dengan orang tuanya sampai mereka dapat berdiri sendiri dalam  mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini. Anak adalah amanah Allah SWT  sebagai hasil perkawinan antara ayah dan ibu, sebagai amanah anak harus dijaga  sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Mempunyai anak   yang saleh dan selalu mendoakan orang tuanya merupakan idamansetiap orang,  seperti mana dalam sebuah hadis Nabi menjelaskan Artinya:  “Dari Abu Hura>irah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Apabila  anak keturunan Adam meninggal dunia,maka akan terputuslah amal  daripadanya kecuali dari tiga perkara: s}ada>qah ja>riyyah, ilmu yang  bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya.”    Dalam perspektif hukum Islam pengasuhan anak sering dikenal dengan  sebutan kata H{ad}a>nah yang menurut bahasanya berarti “meletakkan sesuatu  dekat tulang rusuk atau di pangkuan”,karena ibu waktu menyusukan anaknya  meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan  memelihara anaknya, sehingga “H{ad}a>nah” dijadikan istilah yang maksudnya:  “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri  sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.
Para ahli fiqh mendefinisikan h} ad} a>nahialah “melakukan pemeliharaan  anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar,  tetapi belum tamy>iz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang  menjadikan kebaikannya, menjaganyadari sesuatu yang menyakiti dan   Abu al-H}usain Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisy an-Naisa>buriy, S}ah}ih} Muslim , Juz III,  (Dahlan: Indonesia, tt.), h. 1255   Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana,2003), h. 175   merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri  menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
    Manakala definisi menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak  Tahun 2001 ialah hak untuk menjaga anak-anak dengan memiliki hak penjagaan  ke atasnya serta memelihara kebajikannya termasuk memberi kasih sayang,  menyediakan tempat tinggal, memberi pendidikan dan membiayai pelajaran  anak-anak itu.
    Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang dijelaskan  dalam pasal 1 huruf (g) yang berbunyi: “Pemeliharaan anak atau h}ad}a>nahialah  kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu  berdiri sendiri”.
    Masalah pemeliharaan dan pendidikan anak telah diatur dalam hukum  Islam dengan jelas, bahwa orang tuanyalah yang memegang peran penting  (tanggung jawab) untuk melakukan dan melaksanakan h}ad} a>nahterhadap anakanaknya (keturunan) dengan sebaik-baiknya. Tapi malangnya, kebanyakan  timbulnya perselisihan dalam rumah tangga adalah kurangnya kepercayaan  antara suami istri, sehingga kadang-kadang membawa keguncangan serta  berakhir dengan perceraian. Dengan adanyaperceraian, maka salah satu pihak   Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, (Bandung: PT Alma’arif, 1980), h. 173   Arieff Salleh Rosman, Isu Wanita dalam Perundangan Islam, (Johor Darul Takzim,  Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia, 2008), h. 24   Dedi Supriyadi, Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung:  Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 118   yang paling dirugikan adalah sang anak, karena dengan perceraian tersebut maka  anak kehilangan kasih sayang yang selama ini telah dia dapatkan.
   Dalam hadis Rasulullah SAW menyatakan bahwa ibulah yang paling  berhak dalam pengasuhan anak yang belum mumay>yiz seperti dalam hadis  berikut:  ْ(  Artinya:  “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari  kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata  kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku  ini telah menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air  susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku tempat berteduhnya.
 Sedang ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk  mengambilnya dari ku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu  lebih berhak terhadapnya selama belum menikah”.
   Berdasarkan Ordinan 43 KeluargaIslam Negeri Sarawak Tahun 2001  tentang bab pemeliharaan anak, orang yang paling berhak memelihara anak yang  belum mumay>yizadalah ibunya. Seperti yang terkandung di dalam seksyen  (pasal) 85 sub sekysen (ayat) 1 yang berbunyi:  1.  Tertakluk kepada seksyen 86, ibu adalahyang paling berhak dari segala  orang bagi menjaga anak kecilnyadalam masa ibu itu masih dalam  perkahwinan dan juga selepas perkahwinannya dibubarkan.
 2.  Jika Mahkamah berpendapat bahawaibu adalah hilang kelayakkan  mengikut Undang-undang Islam dari mempunyai hak terhadap h}ad}a>nahatau   Abu Daud Sulaiman bin Al-‘Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar  Fikr, 2003), h, 525   penjagaan anaknya, maka hak itu, tertakluk kepada sub seksyen (3),  hendaklah berpindah kepada salah seorang daripada yang berikut mengikut  susunan keutamaan yang berikut, iaitu:  a.  Nenek sebelah ibu hingga ke atas;  b.  Bapa;  c.  Nenek sebelah bapa hingga ke atas;  d.  Kakak atau adik perempuan seibu sebapa;  e.  Kakak atau adik perempuan seibu;  f.  Kakak atau adik perempuan sebapa;  g.  Anak perempuan dari kakak atau adik perempuan seibu sebapa;  h.  Anak perempuan dari kakak atau adik perempuan seibu;  i.  Anak perempuan dari kakak atau adik perempuan sebapa;  j.  Emak saudara sebelah ibu;  k.  Emak saudara sebelah bapa;  l.  Saudara mara lelaki yang boleh menjadi warisnya sebagai ‘asabah.
  Adapun di dalam KHI pasal 156 ayat (a) mengatakan:  a.  Anak yang belum mumay>yizberhak mendapatkan h}ad} a>nah dari ibunya,  kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan  oleh:  1)  Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;  2)  Ayah;  3)  Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;  4)  Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;  5)  Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;  6)  Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
   Adapun masa berakhirnya pengasuhan bagi ibu apabila si anak tidak  memerlukan pelayanan perempuan, telah mumay>yizdan dapat berdiri sendiri,  serta telah mampu mengurus sendiri kebutuhan pokoknya seperti makan sendiri,  berpakaian dan mandi.
  Universiti Kebangsaan Malaysia, Koleksi Esei Undang-undang,(Bangi, Selangor: Fakulti  Undang-undang Universiti Kebangsaan Malaysia, 1995), h, 97   Kompilasi Hukum Islam, pasal 156 (a)     Menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 di  dalam seksyen 88 (1) tentang berakhirnya batas usia anak dalam hak h}ad}a>nah pasca perceraian yang menyatakan:  1.  Hak h}ad}i>nahbagi menjaga seseorang kanak-kanak adalah tamat setelah  kanak-kanak itu mencapai umur tujuh tahun, jika kanak-kanak itu lelaki,  dan umur sembilan tahun jika kanak-kanak itu perempuan, tetapi  Mahkamah boleh, atas permohonan h}ad}i>nah, membenarkan dia menjaga  kanak-kanak itu sehingga kanak-kanak itu mencapai sembilan tahun, jika  kanak-kanak itu lelaki, dan umur sebelas tahun, jika kanak-kanak itu  perempuan.
    Berbeda dengan KHI, bahwa anak yang belum mumay>yiz atau belum  berumur 12 tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya. Sebagaimana  diatur dalam pasal 105 KHI huruf (a) yaitu:  a.  Pemeliharaan anak yang belum mumay>yizatau belum berumur 12 tahun  adalah hak ibunya.
    Dari pemaparan beberapa hukum di atas, terjadi perbedaan dalam masa  mengasuh anak antara Ordinan 43 dengan KHI, khususnya tentang  permasalahan batasan usia dalam hak h}ad}a>nahterhadap ibu. Dengan itu, penulis  ingin meneliti dan menganalisis secaradetail terhadap kedua Undang-undang  yang mengatur masalah pembatasan umur pengasuhan bagi ibu.
   Maka dari sederhananya deskripsi ini penulis tertarik untuk mengkaji  serta meneliti masalah yang berjudul “Studi Komparasi Tentang Batas Usia   Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 pasal 88 (1)   Kompilasi Hukum Islam, pasal 105 (a)   Anak Dalam Hak H{ad}a>nahPasca Perceraian Menurut Ordinan 43 Keluarga  Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 dan Kompilasi Hukum Islam”.
 B.  Indentifikasi Dan Batasan Masalah    Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka  dapat digambarkan masalah yang mungkin timbul yaitu : 1.  Definisih}ad} a>nah.
 2.  Orang yang berhak mendapatkanh}ad}a>nah.
 3.  Latar belakang Ordinan 43 KeluargaIslam Negeri Sarawak Tahun 2001.
 4.  Latar belakang Kompilasi Hukum Islam.
 5.  Batas usia anak dalam hak h}ad}a>nahpasca perceraian menurut Ordinan 43  Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001  6.  Batas usia anak dalam hak h}ad}a>nahpasca perceraian menurut Kompilasi  Hukum Islam.
 7.  Persamaan dan perbedaan batas usia anak dalam hak h}ad}a>nahpasca  perceraian menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001  dan Kompilasi Hukum Islam.
   Dari identifikasi masalah tersebut di atas. Maka permasalahan yang akan  penulis bahas, penulis batasi sebagai berikut :  1.  Batas usia anak dalam hak h}ad}a>nahpasca perceraian menurut Kompilasi  Hukum Islam.
  2.  Batas usia anak dalam hakh}ad}a>nah pasca perceraian menurut Ordinan 43  Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001.
 3.  Persamaan dan perbedaan batas hakh}ad}a>nahpasca perceraian menurut  Kompilasi Hukum Islam dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak  Tahun 2001.
 C.  Rumusan Masalah    Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas,  kiranya dapat ditarik beberapa perumusan masalah, antara lain:  1.  Bagaimana batas usia anak dalam hak h}ad}a>nahpasca perceraian menurut  Kompilasi Hukum Islam?  2.  Bagaimana batas usia anak dalam hak h}ad}a>nahpasca perceraian menurut  Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001?  3.  Bagaimana persamaan dan perbedaan batas usia anak dalam hak h}ad}a> nah pasca perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Ordinan 43 Keluarga  Islam Negeri Sarawak Tahun 2001?  D.  Kajian Pustaka    Kajian pustaka pada penelitiankali ini, pada dasarnya untuk  mendapatkan gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang  pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak  adanya pengulangan materi secara mutlak.
    Seperti beberapa skripsi yang pernah peneliti kaji sebelum pembuatan  skripsi di antaranya:  1.  Dewi Masyitoh dengan judul skripsinya “Tinjauan Hukum Islam Terhadap  Putusan Pengadilan Agama GresikNo. 223/Pdt.G/2007/PA.Gs. Tentang  Hak Asuh Anak”. Skripsi ini membahas tentang alasan mengapa hakim PA  Jombang memberikan hak asuh anak usia 10 tahun kepada ayahnya dan  analisis hukum Islam terhadap permasalahan tersebut.
 2.  Mifatahul Jannah dengan judulnya “Hak Asuh Anak Yang Belum  Mumay>yizOleh Ayah Setelah Terjadinya Perceraian Di PA Gersik Dan PA  Kota Malang”. Skripsi ini membahas alasan mengapa Pengadilan Agama  Gresik dan Pengadilan Agama Kota Malang memberikan hak asuh pada  ayah dan implikasi hukumnya serta tinjauan hukum Islam dan undangundang.
 3.  Anik Wahyuni dengan judulnya “Hak H{ad}a>nahTerhadap Anak Yang Belum  Muma}}{y>yizzAkibat Perceraian Di PA Jombang”. Di dalam skripsi ini  membahas tentang anak yang ikut ayahnya disebabkan ayah dan ibunya  terjadi perselisihan, salah sangka, tapi ibu merelakan anak diasuh oleh  ayahnya.
  E.  Tujuan Penelitian    Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian perlu  mengetahui satu persatu dari rumusan masalah di atas antaranya sebagai  berikut: 1.  Untuk mengetahui secara detail masalah batas usia anak dalam hak h}ad}a>nah pasca perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam.
 2.  Untuk mengetahui secara detail masalah batas usia anak dalam hak h}ad}a>nah pasca perceraian menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak  Tahun 2001.
 3.  Untuk mengkaji persamaan dan perbedaan tentang batas usia anak dalam  hak h}ad}a>nahpasca perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan  Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2  


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi