BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku
kepada semua makhluk hidup yang
ada di dunia
ini, baik manusia,
hewan, maupun tumbuhan.
Perkawinan,
khususnya bagi manusia, ialah sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan
perintah menjalankan sunnah
Rasul. Di dalam
Al-Quran banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang perkawinan. Begitu
pula didalam hadis, tidak sedikit sabda Nabi
yang menjelaskan masalah
perkawinan. Sebab, perkawinan merupakan suatu bentuk peresmian hubungan
seorang laki-laki dan perempuan.
Dan
hubungan antara laki-laki
dan perempuan tersebut
tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus melalui tahapan-tahapan
agar hubungan itu menjadi resmi dan sah.
Sehingga hubungan terlarang antar sesama manusia bisa terhindarkan.
Selain
itu, perkawinan bagi
manusia bermanfaat untuk
mendapatkan keturunan dan
melestarikan kehidupan. Bisa dibayangkan apabila manusia hidup di
dunia ini tanpa
sebuah ikatan perkawinan.
Generasi manusia ke
depan akan punah
disebabkan tidak adanya
penerus yang menjalankan
roda kehidupan.
Maka, sudah seharusnya perkawinan itu
dilaksanakan sebaik mungkin dan sesuai Sayyid
Sabiq, Fiqhussunnah, diterjemahkan
oleh Mohammad Thalib,
Jilid 6, (Bandung:PT Alma’arif,1980), Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 2 dengan aturan
yang berlaku. Hal ini
bertujuan agar manusia bisa
hidup dengan baik dan membedakan
manusia dengan makhluk hidup yang lainnya.
Di Indonesia
perkawinan diatur dalam
sebuah perangkat hukum
yang dimaksudkan untuk
mengatur kehidupan manusia
khususnya yang meliputi hubungan
lain jenis. Hal
ini kemudian dikenal
dengan istilah hukum
positif.
Hukum positif di Indonesia terbagi ke dalam
hukum perdata dan hukum pidana.
Sedangkan perkawinan itu sendiri termasuk
wilayah hukum perdata, yaitu hukum yang
bersifat privat (pribadi).
Dalam
masalah perkawinan ada
dua landasan hukum
yang merupakan referensi
untuk menjelaskan pokok-pokok
permasalahan dalam perkawinan, yaitu
Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Undang-Undang
No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Dua produk hukum
tersebut, yakni KHI
dan UndangUndang No.
1 Tahun 1974
telah menjadi rujukan
utama bagi institusi,
badan ataupun lembaga di Indonesia
saat ini yang berkecimpung di dalam hukum islam khususnya
di bidang perkawinan.
Baik KHI maupun
Undang-Undang Perkawinan, mengatur
segala ketentuan seputar
perkawinan. Mulai dari
dasar perkawinan, syarat,
pencegahan, perjanjian hingga masalah perceraian.
KHI
dalam sejarahnya merupakan
gabungan dari beberapa
pendapat Imam Madzhab
yang populer di
kalangan umat Islam,
seperti Imam Syafi’i, Hanafi,
Maliki, Hanbali. Berbagai
pendapat imam-imam tersebut
kemudian Andi Tahir
Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang
Peradilan Agama dan
Bidangnya, (Jakarta : Sinar
Grafika, 1996), Edited withthe trial
version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping
3 diambil dan disesuaikan
dengan hukum, kondisi
dan masyarakat di
Indonesia.
Selain
itu, KHI dalam
perumusannya juga mengadopsi
dari beberapa UndangUndang dan hukum adat
yang berlaku di indonesia.
Hal itu dimaksudkan agar KHI
bisa berlaku efektif
pada rakyat Indonesia
yang beragam dan
majemuk.
Sehingga pada akhirnya KHI disahkan melalui
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Isi KHI sendiri
terdiri dari tiga
buku, yaitu buku I tentang Perkawinan, buku II tentang
Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan.
Dan
yang akan dibahas dalam penelitian kali ini hanya fokus kepada bab Perkawinan saja.
Adapun Undang-Undang perkawinan terbentuk
melalui sidang paripurna DPR pada
tanggal 22 Desember
1973 setelah mengalami
sidang-sidang yang berlangsung selama tiga bulan. Undang-Undang
tersebut kemudian diundangkan sebagai
UU. No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974.
Dalam
penelitian ini, penulis ingin
mengkomparasikan satu poin permasalahan
yang terdapat pada KHI dan UU. No. 1 Tahun 1974, yaitu masalah masa
iddah. Masa iddah
adalah masa menunggu
seorang wanita setelah
dia diceraikan suaminya.
Pada masa itu
dia tidak diperbolehkan
menikah atau menawarkan
diri kepada laki-laki
lain untuk menikahinya.
Tujuannya
selain untuk mengetahui
kebersihan rahim seorang
wanita, juga memberi
kesempatan Amir Syarifuddin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2006), Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta:PT.
Raja Grafindo Persada, 2007), Syaikh Kamil
Muhammad Uwaidah, Al-Jami’
Fii Fiqhi An-Nisa’
,Abdul Ghoffar, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998), Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 4 kepada suami untuk memikirkan kembali
keputusannya untuk bercerai. Bisa saja selama masa
iddah berlangsung, si
suami menyadari dan
menyesalkan keputusannya untuk
menceraikan istrinya. Dengan begitu, dia bisa rujuk kepada istrinya
dan menjalani kembali
hubungan perkawinan tanpa
harus mengadakan akad baru.
Masa
iddah di dalam KHI diatur dalam
Bab 17 bagian kedua pasal 153 ayat 1-6.
WAKTU
TUNGGU Pasal 153 1)
Bagi seorang istri
yang putus perkawinannya
berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuali qobla
al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami 2)
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a.
Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus
tiga puluh) hari b. Apabila
perkawinan putus karena
perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari,
dan bagi yang tidak
haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari c.
Apabila perkawinan putus
karena perceraian sedang
janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan d.
Apabila perkawinan putus
karena kematian, sedang
janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan 3)
Tidak ada waktu
tunggu bagi yang
putus perkawinan karena perceraian
sedangkan antara janda
tersebut dengan bekas suaminya
qobla al dukhul 4) Bagi perkawinan
yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, sedangkan
bagi perkawinan yang
putus karena kematian,
tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, (Surabaya : Arkola, t.t), Edited
withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice,
visit: www.foxitsoftware.com/shopping 5 5) Waktu
tunggu bagi istri
yang pernah haid
sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui,
maka iddahnya tiga kali waktu suci 6)
Dalam hal keadaan
pada ayat (5)
bukan karena menyusui,
maka iddahnya selama
satu tahun, akan
tetapi bila dalam
waktu satu tahun
tersebut ia berhaid
kembali, maka iddahnya
menjadi tiga kali waktu suci Sedangkan pada UU. No. 1 Tahun 1974 masa iddah
terdapat dalam bab 7 pasal 39 ayat 1-3.
WAKTU
TUNGGU Pasal 39 1)
Waktu tunggu bagi
seorang janda sebagai
dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai
berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian,
walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari b.
Apabila perkawinan putus
karena perceraian, waktu
tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang
tidak berdatang bulan
ditetapkan 90 (sembilan
puluh) hari c.
Apabila perkawinan putus
karena perceraian sedang
janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan 2)
Tidak ada waktu
tunggu bagi yang
putus perkawinan karena perceraian
sedangkan antara janda
tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin 3) Bagi
perkawinan yang putus
karena perceraian, tenggang
waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan
Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang
tetap, sedangkan bagi perkawinan yang
putus karena kematian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami Secara substansi
isi dari pasal
39 UU. No.
1 Tahun 1974
hampir sama dengan
apa yang terdapat
dalam KHI pasal
153. Yang membedakan
hanyalah Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 6 jumlah
pasalnya. Pasal 153
KHI lebih banyak
dari pada pasal
39 UU. No. 1 Tahun 1974.
Namun
jika melihat pada
Pasal yang lain,
ada perbedaan antara
pasalpasal pada KHI dan pasal-pasal yang terdapat dalam UU. No. 1 tahun
1974 yang juga berkaitan
dengan masa iddah.
Ini mengacu kepada
cara penetapan masa iddah
yang terdapat pada keduanya. Pada KHI perceraian terjadi ketika si suami mengikrarkan
talaknya di depan
sidang Pengadilan setelah
Pengadilan mengeluarkan keputusan
tentang terjadinya Talak.
Hal ini berdasar
pada KHI Pasal 131 ayat 3.
Pasal 131 (3)
Setelah keputusan mempunyai
kekuatan hukum tetap,
suami mengikrarkan talaknya
di depan
sidang Pengadilan Agama, dihadiri
oleh istri atau kuasanya Sedangkan
di dalam UU.
No. 1 Tahun
1974 perceraian terjadi
ketika perceraian tersebut mulai
dinyatakan di depan sidang Pengadilan. Hal ini terdapat pada Bab 5 Pasal 18 UU. No. 1 Tahun 1974.
Pasal 18 “Perceraian
ini terjadi terhitung
pada saat perceraian
itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan” Dari situlah kemudian
timbul permasalahan. Manakah dari kedua sumber hukum
tersebut yang akan
dipakai untuk menentukan
masa iddah. Sebab,
jika Edited withthe trial version
of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping
7 melihat pada kedua pasal tersebut,
perbedaan penetapan masa iddahnya sangatlah jelas.
Dalam KHI, masa
iddah dimulai setelah
ada ketetapan hukum
dari Pengadilan, sedangkan
menurut UU. No. 1 Tahun
1974 masa iddah
dimulai ketika perceraian
mulai dinyatakan di
depan Pengadilan sekalipun
belum mempunyai ketetapan hukum.
Melihat
dari permasalahan tersebut,
penulis ingin melakukan
penelitian yang berjudul
“Analisis komparatif tentang model penetapan masa iddah dalam KHI
dan UU. No.
1 Tahun 1974”
dengan maksud ingin
mengkomparasikan pasal-pasal yang
terdapat dalam KHI dan pasal-pasal yang ada di dalam UU. No.
1
Tahun 1974. Hal
ini dimaksudkan agar
diketahui ciri khas
masing-masing dalam menetapkan
suatu ketetapan hukum
khususnya yang berkaitan
dengan masalah iddah.
B.
Identifikasi dan Batasan Masalah Dari latar
belakang masalah di
atas penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini,
yaitu : 1. Apa definisi iddah dan apa saja pasal-pasal
yang menerangkan tentang masa iddah.
2.
Bagaimana metode yang digunakan KHI dalam menentukan status hukum.
3.
Bagaimana metode yang
digunakan UU. No.
1 Tahun 1974
dalam menentukan status hukum.
Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 8 4.
Mengapa pasal-pasal dalam
KHI lebih banyak
daripada pasal-pasal yang terdapat
dalam UU. No. 1 Tahun 1974.
Agar
permasalahan dalam skripsi
ini lebih fokus,
maka penulis membatasi permasalahan untuk dibahas sebagai
berikut : 1. Bagaimana aplikasi KHI dalam menetapkan masa
iddah.
2.
Bagaimana aplikasi UU. No. 1 Tahun 1974 dalam menetapkan masa iddah.
C. Rumusan Masalah Agar
penelitian ini lebih
fokus, maka rumusan
masalah yang akan dibahas
adalah : 1. Bagaimana metode penetapan masa iddah dalam
KHI dan UU. No. 1 Tahun 1974 ? 2.
Bagaimana persamaan dan perbedaan tentang metode penetapan masa
iddah dalam KHI dan UU. No. 1
Tahun 1974 ?
D. Kajian Pustaka Pada penelitian-penelitian yang pernah ditulis
sebelumnya, ada beberapa judul yang
pembahasannya hampir mirip
dengan judul penelitian
yang akan penulis
bahas sekarang, yakni
skripsi-skripsi terdahulu yang
juga membahas Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 9 tentang
Iddah. Di bawah
ini ada beberapa
judul penelitian yang
pernah ditulis sebelumnya : 1. Dalam skripsi yang berjudul “Iddah dalam
perspektif Hukum Islam dan Masa Tunggu dalam
perspektif Hukum Perdata
(BW) “ yang ditulis
oleh Masrani (IAIN
Sunan Ampel) membahas
tentang komparasi masa
iddah menurut Hukum
Islam yang lebih
difokuskan kepada pendapat
Imam Syafi’i dan menurut
Hukum Perdata atau yang lebih dikenal dengan BW.
2. Skripsi
yang ditulis oleh
Siti Hauroh Zubaidah
(IAIN Sunan Ampel)
yang berjudul “Keharusan
Suami Mengajukan Permohonan
Izin Menikah Lagi dalam Masa
Tunggu (Iddah) Istri
: Studi Kasus
di Pengadilan Agama Sidoarjo”. Skripsi
ini menerangkan tentang
seorang laki-laki yang
ingin menikah lagi akan tetapi
istrinya masih berada dalam masa iddah. Sehingga si suami harus mengajukan permohonan izin menikah
lagi ke Pengadilan setempat yaitu
Pengadilan Agama Sidoarjo.
3. “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap
Pernikahan dalam Masa
Iddah Pada Masyarakat
Dayak Bakumpai Desa
Muara Bumban Kecamatan
Murung Kabupaten Murung Raya
Kalimantan Tengah”. Dalam skripsi yang ditulis oleh Zainuddin
ini membahas tentang
bagaimana kronologi pernikahan
yang dilaksanakan dalam masa
iddah yang terjadi pada masyarakat Dayak di sebuah daerah
di Kalimantan Tengah,
dan bagaimana Hukum
Islam menyikapi masalah tersebut.
Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 10 Sedangkan
dalam skripsi ini,
penulis membahas tentang
perbandingan masa iddah
menurut Kompilasi Hukum
Islam dan menurut
Undang-Undang Perkawinan yaitu UU. No. 1 Tahun 1974. Jadi dapat
diketahui bahwa penelitian dalam
skripsi ini bukan
merupakan duplikasi atau
sama dengan penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi