Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:EFEKTIVITAS MEDIASI PADA PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BONDOWOSO 4 TAHUN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Hukum merupakan bagian dari pergaulan hidup manusia, yang terwujud  dalam  prilaku  manusia  maupun  di  dalam  perangkat  kaedah-kaedah  yang  sebenarnya  juga  merupakan  abtraksi  dan  prilaku  manusia.
  Menurut  Soerjono  Soekanto:  Hukum tidak saja merupakan sarana pengendalian social, dalam arti suatu  sarana  pemaksa  yang  melindungi  masyarakat  dari  ancaman-ancaman  maupun  perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya, akan tetapi  di lain pihak hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar interaksi  social (law as a facilitation of human interaction).
 Secara  umum,  hukum  dibagi  atas  dua  macam,  yaitu  hukum  publik  (pidana) dan hukum privat (perdata). Perkawinan merupakan bagian dari bentuk  hukum  privat  (perdata)  telah  diatur  dalam  undang-undang  tersendiri,  yaitu  undang-undang  Nomor  1  tahun  1974  dimana  di  dalamnya  telah  diatur  secara  rinci mulai dari tahap awal proses perceraian dan akibat hukumnya. Perkawinan  sendiri merupakan ikatan suci (misaqan galidan) yang mempunyai tujuan untuk  membina keluarga kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah.

 Namun dalam kenyataannya, sebuah  ikatan perkawinan tidak selamanya  harmonis  bahkan  memungkinkan  adanya  perselisihan  dan  pertikaian  yang   Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), 49.
 Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peran Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: Kurnia Esa,  1970), 44.
 Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet Keenam, 2006), 1.
Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 2  mengakibatkan perceraian. Untuk menyelesaikan perkara perceraian ini, Negara  telah  mengatur  tentang  tata  cara  dan  proses  perceraian  agar  masalah  tersebut  dapat diselesaikan secara tertib tanpa merugikan pihak lain, diantaranya dengan  membentuk  lembaga  Peradilan  Agama  yang  salah  satu  fungsinya  adalah  menyelesaikan  masalah  perkawinan,  yang  termasuk  di  dalamnya  juga  adalah  masalah  perceraian.  Hal  ini  tercantum  dalam  Pasal  39  ayat  (1)  UU  Nomor  1  Tahun 1974 dan di dalam Pasal 115 KHI. “Perceraian hanya dapat dilakukan di  depan  sidang  Pengadilan  Agama  setelah  Pengadilan  Agama  tersebut  berusaha  dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
 Namun  sebelum  hakim  memutuskan suatu perkara dengan  jalan  litigasi,  maka  hakim  berhak  mendamaiakan  para  pihak  terlebih  dahulu,  dengan  cara  mediasi, hakim disini sebagai mediator atau sebagai katalisator yang mendorong  lahirnya diskusi-diskusi dalam membicarakan akar persengketaan mereka.
Sebagaimana  telah  diatur,  Pasal  4  Perma  Nomor  1  Tahun  2008  yang  menyebutkan, menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua  sengketa  perdata  yang  diajukan  ke  pengadilan  tingkat  pertama,  yaitu  perkara  perdata yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara yang menjadi kewenangan  lingkup peradilan umum dan lingkup Peradilan Agama.
  Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Arkola, t.t),  216.
 Perma Nomor. 1 Tahun 2008, Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Perma Nomor. 02 Tahun  2003, yaitu. semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu  diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 3  Salah  satu  langkah  untuk  menekan  terjadinya  penumpukan  perkara  dan  mengatasi tunggakan perkara dari tahun ke tahun di  Mahkamah  Agung dengan  mengoptimalkan  pemberdayaan  pengadilan  tingkat  pertama  dalam  menerapkan  lembaga  damai  dengan  memadukan  salah  satu  bentuk  atau  sarana  peyelesaian  sengketa, yang bisa disebut dengan Alternative Dispute Resolution(ADR) yaitu  mediasi  dengan  ditunjuknya  hakim  sebagai  mediator  dalam  proses  peradilan  (litigasi),  karena  perkara  atau  sengketa  yang  diakhiri  dengan  perdamaian  pada  tingkat  pertama  sudah  tertutup  kemungkinan  untuk  upaya  banding,  kasasi  dan  peninjauan kembali.
Ketua  Mahkamah  Agung,  Bagir  Manan,  dalam  pidatonya  juga  mengharapkan  pengintegrasian  mediasi  dalam  proses  beracara  di  pengadilan.
Banyak  keuntungan  menggunakan  mediasi  sebagai  salah  satu  altenatif  menyelesaikan  sengketa  di  luar  proses  peradilan.  Keuntungan  itu  antara  lain:  sengketa  dapat  diselesesaikan  dengan  prinsip  “win-win  solution” tidak  berkepanjangan, biaya lebih ringan, hubungan baik antara yang bersengketa tetap  dapat  dipertahankan.  Dalam  mediasi  atau  alternative  penyelesaian  sengketa  di  luar  proses  peradilan  pada  umumnya,  penyelesaian  lebih  ditekankan  pada  kemaslahatan bagi semua pihak.
 Upaya  perdamaian  sebenarnya  telah  diatur  dalam  Pasal  130  HIR/154  Rbg. Yang menyebutkan bahwa:   Mahkamah Agung, Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung RI, mimeo, 2004.
Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 4  Jika pada hari pesidangan yang telah ditetapkan, kedua belah pihak yang  berperkara  hadir  dalam  persidangan  maka  ketua  majelis  hakim  berusaha  mendamaikan  pihak-pihak  yang  berperkara  tersebut,  jika  dapat  dicapai  perdamaian,  maka pada  hari  itu  juga  dibuatkan  putusan  perdamaian  dan  kedua  belah  pihak  dihukum  untuk  mentaati  persetujuan  yang  telah  disepakati  itu,  terhadap putusan yang demikian itu tidak dapat dimohon banding.
 Perdamaian marupakan penyelesaian perkara perdata yang dianggap lebih  efektif. Disamping itu, penyelesaian perkara melalui perdamaian prosesnya cepat  dan biaya ringan, sehingga memberikan keuntungan yang praktis serta ekonomis  bagi  para  pihak  yang  bersengketa.  Subekti,  dalam  bukunya  mengatakan  “suatu  kompromi  dalam  penyelesaikan  perkara  perdata adalah  jalan  yang  terbaik,  dari  pada menunggu putusannya untuk mengetahui siapa yang kalah dan siapa yang  menang”.
 Namun meskipun ketentuan tentang upaya perdamaian telah diatur, dalam  kenyataan dilapangan  belum  berjalan dengan  maksimal. Selama  bertahun-tahun  pelaksanaan  upaya  perdamaian  hanya  berupa  formalitas  di  persidangan.  Hakim  tidak  sungguh-sungguh  dalam  mengupayakan  perdamaian  dan  para  pihak  juga  tidak memandang penting upaya perdamaian. Hal tersebut terbukti dengan masih  rendahnya  tingkat  keberhasilan  penyelesaian  sengketa  dengan  melalui  upaya  perdamain.
Untuk  menyikapi  hal  ini  Mahkamah  Agung  (MA)  sudah  mengatur  tentang  upaya  perdamaian  ini,  diantaranya  SEMA  (Surat  Edaran  Mahkamah  Agung)  Nomor  1  Tahun  2002  tentang  Pemberdayaan  Pengadilan  Tingkat   R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1995), 88.
 R. Subekti,Aneka Perjanjian Indonesia, (Bandung: Itermasa, 1982), 35.
Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 5  Pertama Menerapkan Lembaga Damai,  menginstruksikan semua majelis hakim  yang  menyidangkan  perkara,  dengan  sungguh-sungguh  mengusahakan  perdamaian  dengan  menerapkan  ketentuan  Pasal  130  HIR/154  Rbg,  namun  karena  beberapa  hal  yang  pokok  belum  secara  eksplisit  diatur  dalam  Sema  tersebut,  maka  Mahkamah  Agung  mengeluarkan  Perma  (Peraturan  Mahkamah  Agung)  Nomor  2  Tahun  2003  tentang  Prosedur  Mediasi  di  pengadilan  tingkat  pertama  yang  didalamnya  mengatur  mengenai  tata  cara  pelaksanaan  mediasi,  namun setelah dilakukan evaluasi, ternyata ada beberapa masalah, sehingga tidak  efektif  penerapannya  di  pengadilan.
  Sehingga  Perma  Nomor  2  Tahun  2003  direvisi dan disempurnakan dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008, sebagai upaya  mempertegas dan mempercepat serta mempermudah penyelesaian sengketa yang  harus dilakukannya mediasi terkait dengan proses berperkara di pengadilan.
 Pengadilan  Agama  (PA)  Bondowoso  merupakan  pengadilan  tingkat  pertama  dan  berada  di  lingkungan  Pegadilan  Agama  yang  berkedudukan  di  bawah  MA,  sudah  seharusnya  menerapkan  mediasi  dalam  proses  penyelesaian   Perma RI Nomor. I tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan  Lembaga  Damai  (eks  Pasal.  130  HIR/154  Rbg):  dan  kesimpulan  hasil  diskusi  komisi  II  tgl  24-27  September 2002 di Surabaya, yang intinya adalah:  -  Upaya  Perdamaian  hendaklah  dilaksanakan  dengan  sungguh-sungguh  dan  tidak  sekedar  formalitas.
-  Mediator  harus  netral,  tidak  boleh  terpengaruh  internal  maupun  eksternal,  tidak  berperan  seperti hakim  yang menilai  salah/benar.  Lihat  Nashruddin Salim,  “Pemberdayaan  Lembaga  Damai  pada Pengadilan  Agama”, di  dalam Mimbar Hukum;  No.63  tahun  XV,  edisi  MaretApril 2004,2.
  Perma  RI  Nomor  2  Tahun  2003  ditetapkan  tanggal  11  September  2003.  Lihat  juga  Perma  Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menimbang; poin d.
 Perma RI Nomor 1 Tahun 2008 ditetapkan tanggal 31 Juli 2008, yang intinya menyatakan jika  tidak  menempuh  prosedur  mediasi  berdasarkan  peraturan  ini  merupakan  pelanggaran  terhadap  ketentuan Pasal 130 HIR/Rbg, yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 6  perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama Bondowoso, khusunya pada perkara  perceraian, baik perkara perceraian yang diajukan oleh pihak suami atau isteri.
Untuk  itulah,  penulis  berupaya  mengukur  pelaksanaan  mediasi  pada  perkara  perceraian  di  Pengadilan  Agama  Bondowoso,  sebagai  salah  satu  penyelesaian  sengketa  (perceraian)  dapat  dikatakan  efektif  atau  adanya  penigkatan  pencabutan  perkara  perceraian  dengan  upaya  damai  atau  rukun,  dengan  cara  membandingkan  prosentase  perkara  perceraian  yang  masuk  pada  Pengadilan  Agama  Bondowoso  4  tahun  sesudah  berlakunya  Perma  Nomor  1  tahun 2009 sampai tahun 2012. Dengan menitik beratkan pada perkara perceraian  yang masuk pada Pengadilan Agama Bondowoso yang berhasil di cabut dengan  alasan damai atau rukun.
B.  Identifikasi dan Batasan Masalah  1.  Identifikasi Masalah  dalam skripsi ini terdapat beberapa identifikasi masalah yaitu:  a)  Pelaksanaan mediasi pada perkara perceraian  b)  Sifat mediasi  c)  Efektivitas mediasi  d)  Syarat- syarat putusan mediasi  e)  Faktor- faktor yang melatarbelakangi lahirnya mediasi  2.  Batasan Masalah  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 7  Batasan masalah merupakan proses agar penelitian lebih terarah dan  tidak  menyimpang  dari  sasaran  pokok  penelitian,  maka  dari  itu  penulis  memfokuskan pada masalah yaitu:  1.  Pelaksanaan  mediasi  pada  perkara  perceraian  di  Pengadilan  Agama  Bondowoso 4 tahun sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008  2.  Kendala  dalam  pelaksanaan  mediasi  pada  perkara  perceraian  di  Pengadilan  Agama  Bondowoso  4  tahun  sesudah  berlakunya  Perma  Nomor 1 Tahun 2008  3.  Efektivitas mediasi 4 tahun sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun  2008  
C. Rumusan Masalah  Berdasarkan  latar  belakang  tersebut,  maka  pokok  masalah  yang  akan  dibahas adalah sebagai berikut:  1.  Bagaimana  pelaksanaan  mediasi  pada  perkara  perceraian  di   Pengadilan  Agama  Bondowoso  4  tahun  sesudah  berlakunya  Perma  Nomor  1  Tahun  2008?  2.  Apa  saja  kendala  dalam  pelaksanaan  mediasi  pada  perkara  perceraian  di  Pengadilan Agama Bondowoso 4 tahun sesudah berlakunya Perma Nomor 1  Tahun 2008?  3.  Bagaimana  efektivitas  mediasi  pada  perkara  perceraian  di  Pengadilan  Agama  Bondowoso  4  tahun  sesudah  berlakunya  Perma  Nomor  1  Tahun  2008?  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 8  
D. Kajian Pustaka  Masalah  mediasi  sesungguhnya  telah  banyak  ditulis  secara  teoritis  di  dalam  literatur  dan  skripsi.  Beberapa  penelitian  yang  telah  dilakukan  oleh  para  peneliti, diantaranya adalah:  1.  Agustina  Kumala  Dewi  Sholichah,  dengan  skripsinya  yang  berjudul  ”Efektivitas  Mediasi  pada  Perkara  Perceraian  di  Pengadilan  Agama  Lamongan  sebelum  dan  sesudah  berlakunya  Perma  Nomor  1  Tahun  2008  Tentang Prosedur Mediasi” Dengan rumusan masalah: bagaimana efektivitas  mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Lamongan sebelum  dan  sesudah  berlakunya  Perma  Nomor  1  Tahun  2008  Tentang  Prosedur  Mediasi?,  kesimpulan  dari  penelitian  ini  adalah  mediasi  pada  perkara  perceraian di Pengadilan Agama Lamongan tidak Efektif.
 2.  Aini Rahmawatik, dengan skripsinya yang berjudul “Peran Hakim Mediator  dalam  Menyelesaikan  Perkara  No,  98/Pdt.G/2009/PA.Sby.  Tentang  Cerai  Gugat di Pengadilan Agama Surabaya (Prespektif Perma RI Nomor 1 Tahun  2008).”  Kesimpulan  dalam  penelitian  ini  adalah  mediasi  yang  diterapkan  dalam  perkara  tersebut  gagal/tidak  mencapai  kesepakatan.  Hal  tersebut  disebabkan  karena  pernikahan  tersebut  sudah  pecah  jauh  sebelum  perkara  tersebut dibawa ke Pengadilan Agama. Alasan perceraiannya adalah syiqaq   Agustina Kumala Dewi Sholichah, Efektivitas Mediasi pada Perkara Perceraian di Pengadilan  Agama Lamongan sebelum dan sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur  Mediasi,Skripsi Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 9  (pertengkaran  yang  terjadi  terus  menerus).  Sedangkan  peran  dari  hakim  mediator dalam penelitian ini, adalah merupakan pihak netral yang menjadi  penengah dari kedua belah pihak, sehingga gagalnya mediasi dalam kasus ini  bukan  karena  kesalahan  mediator,  namun  karena  dari  pribadi  para  pihak  sendiri yang tidak mencapai kesepakatan untuk berdamai.
 3.  Ayu  Mas’udah,  dengan  skripsinya  yang  berjudul  “Evektifitas  Peran  Lembaga  Mediasi  dalam  Penyelesaian  Perkara  di  Pengadilan  Agama  Sidoarjo  (Prespektif  Perma  Nomor  2  Tahun  2003).”  Dengan  rumusan  masalah:  bagaimana  efektivitas  lembaga  mediasi  di  Pengadilan  Agama  Sidoarjo  dan  kendala-kendala  apa  saja  yang  dihadapi  dalam  menerapkan  mediasi?,  Kesimpulan  dari  penelitian  ini  adalah  lembaga  mediasi  yang  berada di Pengadilan Agama Sidoarjo tidak efektif, sedangkan kendala yang  dihadapi  adalah  belum  adanya  pelatihan  yang  diadakan  oleh  Mahkamah  Agung sehingga belum ada hakim yang mempunyai sertifikat mediator.
 Sedangkan  penelitian  mengenahi  efektivitas  mediasi  pada  perkara  perceraian  4  tahun  sesudah  berlakunya  Perma  Nomor  1  tahun  2008  dalam  jangka  waktu  4  tahun  belum  pernah  ada  sebelumnya.  Sehingga  menurut  penulis,  penelitian  ini  diharapkan  mampu  mengisi  celah  yang  belum  diisi  dalam penelitian sebelumnya.
  Aini  Rahmawatik,  Peran  Hakim  Mediator  dalam  Menyelesaikan  Perkara  Nomor,  98/Pdt.G/2009/pa.Sby.  Tentang  Cerai  Gugat  di  Pengadilan  Agama  Surabaya  (Perspektif  Perma  Nomor 1 Tahun 2008). Skripsi Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
  Ayu  Mas’udah, Efektivitas  Peran  Lembaga  Mediasi  Dalam  Penyelesaian  Perkara  di  Pengadilan Agama Sidoarjo (Perspektif Perma Nomor 2 Tahun 2003), Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN  Sunan Ampel Surabaya, 2007  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 10  E.  Tujuan Penelitian  Adapun tujuan penelitian ini adalah:  1.  Untuk  mengetahui  pelaksanaan  mediasi  pada  perkara  perceraian  di  Pengadilan Agama Bondowoso 4 tahun sesudah berlakunya Perma Nomor 1  Tahun 2008.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi