BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di dalam
masyarakat yang beradab,
seseorang meninggal dunia
tidak cukup hanya dimandikan,
ataupun dimakamkan. Lebih dari itu, perlu dirinci dan dibagi pula harta peninggalannya untuk
diserahkan kepada ahli warisnya yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan
Hukum Islam. Inilah yang disebut pembagian
warisan.
Mengapa
pembagian waris perlu
diatur ? Sebab,
dengan aturan tersebut setiap pembagian harta waris bisa mengikuti suatu aturan yang bermuara pada terciptanya
keadilan dan kesetaraan
di antara para
ahli waris. Selain
itu, persoalan pembagian
harta waris terkadang
menimbulkan pertikaian dan perselisihan karena
bersinggungan dengan persoalan
materi dan hak kepemilikan. Sering
kali, saudara berselisih
dengan saudaranya, anak
dengan bapaknya, suami dengan
istrinya dan kerabat satu dengan kerabat yang lainnya.
Intinya, persoalan waris bisa menjadi pemicu
keretakan hubungan keluarga.
M. Sanusi,
Panduan Lengkap &
Mudah Membagi Harta
Waris, (Yogjakarta: Diva
Press, 2012), 6-7.
Sudah jelas
bahwa dalam al-Quran
bagian-bagian dari ahli
waris yang berhak menerima harta waris asalkan tidak
terhalang/terhijab oleh alasan yang menyebabkan seseorang
tidak mendapatkan warisan.
Allah telah berfirman dalam Surat an-Nisa> ayat 7Artinya :
“Bagi orang laki-laki
ada hak bagian
dari harta peninggalan
kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi
orang wanita ada
hak bagian (pula)
dari harta peninggalan
kedua orang tua
dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Tidak jarang
terjadi bahwa persoalan
harta waris itu
baru muncul ke permukaan dalam
bentuk gugatan di
pengadilan setelah relatif
lama interval waktunya
dengan saat kematian
pewaris dan itu
dipersengketan oleh satu generasi
baik anak maupun cucu. Atau dengan
kata lain bahwa sengketa harta waris itu baru muncul ke permukaan setelah
jauh jarak waktunya.
Dalam interval
waktu yang relatif
panjang itu sangat
tidak tertutup kemungkinannya
kalau ada di antara atau bahkan
mungkin seluruh harta waris itu
dipindahtangankan kepada pihak ketiga atau
dikuasai oleh salah satu pihak Departemen Agama
Republik Indonesia, Al-Qur’an
Terjemah Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2001),
142.
Abdul Manaf,
Refleksi Beberapa Materi
Cara Beracara di
Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2008), 212.
yang
mungkin sudah beralih status kepemilikannya tanpa diketahui oleh pihak yang lainnya.
Kemudian
untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan
perdata yang terjadi di antara
anggota masyarakat, salah satu pihak yang
bersengketa harus mengajukan permintaan
pemeriksaan kepada pengadilan.
Apabila salah satu pihak mengajukan
permintaan, persengketaan menjelma
menjadi “perkara” di sidang
pengadilan.
Seseorang yang mengajukan gugatan bermaksud
menuntut haknya. Kalau tergugat telah
memenuhi tuntutan penggugat sebelum perkara diputuskan, maka tidak
ada lagi alasan
untuk melanjutkan tuntutannya
bagi penggugat sepenuhnya berhak
untuk mencabut gugatan
atau tuntutannya. Kemungkinan lain
sebagai alasan pencabutan
gugatan ialah karena
penggugat menyadari kekeliruannya dalam mengajukan gugatannya.
Pencabutan gugatan
perkara perdata pada
tingkat pertama, tingkat banding, tingkat
kasasi, dan bahkan
pada tingkat peninjauan
kembali (request civil) dimungkinkan dapat terjadi. Pencabutan
perkara, sekalipun tidak diatur di dalam
HIR (Het Herziene
Indoneisch Reglement) dan
R.Bg. (Reglement Buitteegewesten), namun
kebutuhan praktik peradilan
mengharuskan adanya pedoman dalam pelaksanaan. Karena
kekosongan hukum (Rechtvacuum) aturan Ibid.,
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogjakarta:
Liberty, 1981), 69.
itulah, Pasal
271-272 Rv. (Reglement
op de burgerlijke
rechsvordering) dapat dijadikan
sebagai pedoman oleh
pengadilan. Ada suatu
prinsip yang harus dijunjung
oleh pengadilan, bahwa pencabutan perkara merupakan hak penggugat yang
melekat pada diri
penggugat seperti halnya
pengajuan gugatan bagi Penggugat.
Kalau
pencabutan perkara dilakukan
sebelum perkara diperiksa
di persidangan atau sebelum
tergugat memberi jawabannya, maka tergugat secara resmi
belum tahu akan
adanya gugatan itu,
yang berarti bahwa
secara resmi tergugat
belum terserang kepentingannya. Dalam
hal ini tidak
perlu adanya persetujuan dari pihak tergugat.
Sebaliknya jika pencabutan itu
terjadi setelah tergugat
memberi jawabannya atas
gugatan penggugat, kecuali
bahwa secara resmi
tergugat diserang kepentingannya, kemungkinan
besar sekali bahwa
tergugat telah mengeluarkan
biaya yang tidak
sedikit untuk menanggapi
gugatan penggugat.
Tergugat
sudah terlanjur mengeluarkan
biaya banyak, nama
baiknya tersinggung; baginya
lebih baik kalau
perkaranya dilanjutkan. Oleh
karena kemungkinan timbul
pertentangan kepentingan antara penggugat dan tergugat, maka pencabutan gugatan sesudah tergugat
memberi jawabannya perlu diminta persetujuan
dari tergugat.
Ibid., Ibid., Sebagai
akibat dari pencabutan
perkara, berdasarkan pasal
272 Rv.
Mengatur akibat hukum pencabutan gugatan,
akibat hukum pencabutan gugatan yang dianggap
penting diperhatikan, dapat
dijelaskan hal-hal berikut: pencabutan mengakhiri perkara, tertutup segala upaya hukum bagi
para pihak, para pihak kembali kepada
keadaan semula (restitution in integrum) dan biaya perkara dibebankan kepada penggugat.
Walaupun pada
asasnya semua perkara
dapat dicabut dengan
cara tertentu, apabila
pencabutan terjadi karena
kesepakatan (perdamaian) antara penggugat dan
tergugat dengan akta
perdamaian yang sudah
diwujudkan di muka hakim, maka perkara itu tidak boleh
diajukan lagi selama-lamanya, sebab perdamaian dianggap sama dengan putusan,
sedangkan putusan ada asas nebis in idem.
Dalam praktik
Peradilan Agama, ada
dua cara yang
ditempuh dalam pelaksananaan
pencabutan perkara yang
sudah disidangkan. Pertama,
jika pencabutan perkara
terjadi setelah perkara
didaftarkan di kepaniteraan,
maka pencabutannya cukup
dilaksanakan oleh Panitera dengan mengeluarkannya dari register perkara, tidak perlu dibuat penetapan
atau produk pengadilan lainnya, M. Yahya
Harahap, Hukum Acara
Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), 87-89.
Yang
dimaksud dengan asas nebis in idem adalah suatu larangan pengajuan gugatan untuk
kedua kalinya dalam perkara yang sama
mengenai subjeknya, objeknya, dan alasannya telah diputus oleh pengadilan yang sama. Nebis in idem
ini diatur dalam Pasal 1917 BW.
Lihat di buku Sarwono, Hukum Acara
Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 90-91.
pada kolom
keterangan register perkara
cukup ditulis bahwa
perkara telah di cabut sejak
tanggal pencabutan perkara
dilaksanakan. Kedua, jika
terjadi pencabutan perkara
sesudah disidangkan, pencabutan tidak cukup dilaksanakan oleh Panitera tetapi harus dicatat oleh
Panitera yang ikut sidang dalam Berita Acara
Sidang dan Majelis Hakim membuat produk pengadilan berupa penetapan yang menyatakan bahwa perkara yang disidangkan
telah dicabut.
Akan
tetapi jika telah mendapat putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Agama,
dan para pihak
beranggapan penetapan atau
putusan tidak tepat
atau tidak adil,
maka ada jalan
bagi mereka untuk
meminta agar penetapan
atau putusan dikoreksi
dan diperiksa kembali
oleh pengadilan yang
lebih tinggi tingkatannya dari
Pengadilan Agama. Pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan upaya hukum dalam hal ini
banding.
Sehubungan
dengan hal tersebut
di atas, penulis
mendapatkan putusan dan ingin
melakukan penelitian terhadap
Pembatalan Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr.
oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
Nomor : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. tentang gugatan waris.
Akar
masalahnya berawal dari
pencabutan gugatan oleh
Edi Prastiyono dan
Endrijati yang semula
menjadi para penggugat
bersama dengan, Endah Prastiyowati, Ertanto,
Eni Retnawati, Evi
Warianti melawan tergugat
Tri Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana,
2009), 47.
Atmodjowati dan
para turut tergugat
Etik Herawati dan
Ernawati. Dengan alasan itu hakim menilai bahwa pencabutan oleh
beberapa penggugat tadi, maka para
penggugat kolektif tersebut tidak memiliki
kedudukan dan kapasitas yang tepat
menurut hukum, oleh
karena itu para
penggugat cacat formil
sehingga dianggap error
in persona dan
akhirnya gugatan para
penggugat dinyatakan tidak diterima/ NO (Neit Ontvankelijke
verklaand).
Kemudian para
penggugat yang tidak mencabut
gugatannya mengajukan banding
ke Pengadilan Tinggi
Agama Surabaya, setelah
Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Surabaya
memeriksa, menimbang dan
mengadili, memutuskan membatalkan
putusan Pengadilan Agama Kediri. Dari pemaparan di atas timbul suatu permasalahan mengapa
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya membatalkan
putusan hakim Pengadilan Agama Kediri.
Hal
inilah yang kemudian
mendorong penulis untuk
mengkaji dan menganalisis produk
pengadilan tersebut dalam
skripsi yang diformulasikan dalam sebuah judul: “Analisis Yuridis Pembatalan Putusan
Pengadilan Agama Kediri Nomor:
207/Pdt. G/2011/PA. Kdr.
Oleh Pengadilan Tinggi
Agama Surabaya Nomor : 375/Pdt.
G/2011/PTA. Sby. Tentang Gugatan Waris.” B.
Identifikasi dan Batasan Masalah Sesuai dengan
paparan latar belakang
masalah di atas
dapat diketahui timbulnya
beberapa masalah yang
berhubungan dengan pembatalan
Putusan Pengadilan Agama
Kediri Nomor: 207/Pdt.
G/2011/PA. Kdr. oleh
Pengadilan Tinggi Agama
Surabaya Nomor: 375/Pdt.
G/2011/PTA. Sby. tentang
gugatan waris sebagai berikut : 1.
Pencabutan gugatan 2. Dasar hukum
pencabutan gugatan 3. Prosedur
pencabutan gugatan 4. Akibat hukum
pencabutan gugatan 5. Penggabungan gugatan 6. Perubahan gugatan 7. Syarat-syarat error in persona 8. Gugatan yang tidak diterima// NO (Neit
Ontvankelijke verklaand).
9.
Dasar dan pertimbangan
hakim Pengadilan Agama
Kediri Nomor: 207/Pdt.
G/2011/PA.
Kdr. dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Agama
Surabaya Nomor: 375/Pdt.
G/2011/PTA. Sby. tentang gugatan waris.
Dari identifikasi masalah tersebut peneliti
membatasi masalah yaitu a. Dasar dan
pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya yang membatalkan
putusan Pengadilan Agama
Kediri Nomor: 207/Pdt.
G/2011/PA. Kdr. tentang gugatan waris.
b.
Analisis yuridis pembatalan
putusan Pengadilan Agama
Kediri Nomor: 207/Pdt.
G/2011/PA. Kdr. oleh
Pengadilan Tinggi Agama
Surabaya Nomor: 375/Pdt.
G/2011/PTA. Sby. tentang gugatan waris.
C. Rumusan Masalah Rumusan masalah
berbeda dengan masalah.
Masalah itu merupakan kesenjangan
antara yang diharapkan
dengan yang terjadi,
maka rumusan masalah
itu merupakan suatu
pertanyaan yang akan
dicarikan jawabannya melalui
pengumpulan data.
Berdasarkan dari
pemaparan latar belakang masalah di atas muncul beberapa rumusan
masalah di antaranya : 1. Bagaimana pertimbangan
dan dasar hukum
Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Surabaya membatalkan Putusan
Hakim Pengadilan Agama
Kediri tentang gugatan waris? 2. Bagaimana
analisis yuridis pembatalan
putusan Pengadilan Agama
Kediri Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. oleh
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor:
375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. tentang gugatan waris? D. Kajian Pustaka Kajian pustaka
pada penelitian ini
pada dasarnya untuk
memperoleh gambaran mengenai
permasalahan yang akan
diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
sehingga diharapkan tidak ada pengulangan
penelitian secara mutlak.
Sugiyono,
Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2010), 35.
Waris
merupakan salah satu masalah yang penting untuk dikaji, karena Hukum Kewarisan
Islam merupakan bagian
dari Hukum Keluarga,
sehingga yang membahas
dan mengkaji masalah
waris ini cukup
banyak. Setelah menelusuri
tentang masalah gugatan
waris pada Pengadilan
Agama yang mengalami upaya hukum banding antara lain
dilakukan oleh Citra Puspita Sari Jurusan Ahwa>l
Al Syakhsiyyah Syariah
IAIN Sunan Ampel
Surabaya pada tahun 2006 tentang judul skripsi “Studi
Analisis Terhadap Putusan PA Surabaya dan PTA
Surabaya dalam menyelesaikan
gugatan Waris”
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi