BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perwakafan tanah
milik merupakan perbuatan
suci, mulia dan
terpuji yang dilakukan
oleh seorang (umat
Islam) atau badan
hukum, dengan memisahkan
sebagian dari harta kekayaan yang ia cintai berupa tanah hak milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya, menjadi
tanah “wakaf-sosial”, yaitu
wakaf yang diperuntukkan
bagi kepentingan peribadatan
atau keperluan umum
lainnya, sesuai dengan ajaran
hukum Islam.
Sebagaimana
firman Allah SWT, dalam surat ali-Imra>n ayat 92 Artinya: "Kamu
sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya ".
(Q.S ali-Imra>n : 92) Firman Allah dalam surat al-Baqara>h ayat
267 yang bunyinya: Menurut UU No. 41/04 tentang Wakaf, bahwa wakaf juga
diperbolehkan untuk jangka waktu tertentu.
Budi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jakarta: Djambatan, 2008, cet. XII, hal. 348.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahannya. (Surabaya: Mekar, 2004), 77. Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik....." (Q.S al-Baqara>h
: 267) Redaksi al-Qur’a<n
surat ali-Imra>n ayat
92 dan al-Baqara>h ayat
267 tersebut, secara makna
tekstual tidak menjelaskan wakaf sama sekali, namun para ulama>’ menjadikan redaksi
ini sebagai referensi
wakaf tidak melihat
pada z}ahir ayat, namun
meninjau pada makna yang terkandung di dalamnya yang secara implisit menerangkan
wakaf ditinjau dari
keumuman sedekah, hal
ini sesuai dengan definisi wakaf yaitu mengeluarkan harta wakaf
untuk mendapatkan kebaikan.
Dalam konteks
inilah maka para
fuqaha>’ mengemukakan h}adi>s
Nabi Muhammad Saw
yang berbicara tentang
keutamaan sedekah ja>riyah
sebagai salah satu sandaran
wakaf. Diriwayatkan dari Abi>
Hurai>rah: Artinya: "Dari Abi>
Hurai>rah bahwasanya Rasulullah
Saw. bersabda: Apabila seorang meninggal dunia maka putuslah amalnya
kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah
atau ilmu yang
bermanfaat atau anak
shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya". (HR.
Muslim) Para ahli hadits dan kebanyakan
ahli fiqh mengidentikkan s{adaqah ja>riyah dalam hadits ini adalah wakaf, yang pahalanya
mengalir terus menerus kepada si wakif, selama harta
yang diwakafkan tersebut
dimanfaatkan guna urusan
ibadah atau Ibid., 49.
Abdul
Manna, Fiqih Lintas Madzhab, (Kediri: PP al-Falah, 2009), 57.
Ibn
Hajr al-Asqola@ni@, Bulu@ghul Mara@m, (Surabaya: Da@r al-Ilmu, 2007), 19.
kemaslahatan umum.
Untuk mewujudkan
tujuan wakaf tersebut,
maka pelaksanaannya harus
sesuai dengan peraturan-peraturan yang
berlaku, baik menurut
hukum Islam maupun
hukum yang telah
ditetapkan oleh Negara (hukum positif).
Sedangkan di Indonesia sumber-sumber
pengaturan wakaf, antara lain: Peraturan
Pemerintah No.
28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah
Milik, Permendagri No.
6 Tahun 1977
tentang tata cara
pendaftaran tanah mengenai Perwakafan
Tanah Milik, Permenag
No. 1 Tahun
1978 tentang Peraturan Pelaksana PP No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, dan berbagai surat keputusan
Menag dan Dirjen
Binbaga Islam Departemen
Agama, serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Yang
lebih penting diatas semua itu adalah Undang-undang
No. 41 tahun
2004 dan Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2006
tentang Perwakafan. Dalam
pasal 70 ditegaskan
bahwa “semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau
belum diganti dengan
peraturan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini”.\ Sebelum adanya UU
No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok Agraria dan peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, masyarakat
Islam Indonesia masih
menggunakan kebiasaan-kebiasaan Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia
Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1997), 8.
Samsul
Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Cakrawala, 2006), 63.
keagamaan,
seperti menggunakan kebiasaan perwakafan tanah dengan cara lisan atas dasar saling percaya terhadap seseorang
atau lembaga tertentu tanpa melalui prosedur
administrasi.
Pelaksanaan hukum
perwakafan di Indonesia
semula masih sangat sederhana tidak disertai administrasi, cukup
dilakukan Ikrar (pernyataan) secara lisan.
Pengurusan dan pemeliharaan
tanah wakaf kemudian
diserahkan ke nad{ir,
oleh karena tidak
tercatat secara administratif, maka
banyak tanah wakaf tidak
mempunyai bukti perwakafan
sehingga banyak tanah
wakaf yang hilang dan banyak pula yang menjadi sengketa
di pengadilan.
Hal ini
membuktikan bahwa pada
masa lalu orang
mewakafkan harta bendanya
untuk kegiatan keagamaan
hanya didasari rasa
ikhlas, berjuang membesarkan
agama Islam tanpa
memerlukan adanya bukti
tertulis, ini juga disebabkan karena perwakafan dalam literatur fiqh tidak
harus tertulis. Apalagi sebelum
keluarnya PP No.
28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Obyek
Milik, perwakafan obyek milik
tidak diatur secara tuntas dalam bentuk hukum positif Skripsi Arkamin, Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan PA
Nganjuk tentang Sengketa Wakaf di Desa
Puhkerap kecamatan Rejoso, 4.
Dalam
pengelolaan harta wakaf, pihak yang paling berperan dalam berhasil tidaknya
dalam pemanfaatan harta
wakaf adalah naz}ir,
yaitu seseorang atau
sekelompok orang dan
badan hukum yang
diserahi tugas oleh
si wa>qif (orang
yang mewakafkan harta)
untuk mengelola harta
wakaf sesuai peruntukannya.
Imam Suhadi,
Wakaf Untuk Kesejahteraan
Umat, (Yogyakarta: PT
Dana Bhakti Prima Yasa,
2002), 6.
dan belum
ada penegasan bahwa
Ikrar Wakaf tersebut
harus tertulis dalam bentuk
Akta Ikrar Wakaf.
Tanah wakaf
dalam perkembangannya masih
banyak terdapat masalah baik
dari segi pengelolaannya, maupun
dari segi pengamanan
atau Penguasaannya. Tidak
sedikit terdapat kasus
tanah wakaf yang
terjadi di tengah-tengah
masyarakat yang pada
akhirnya terjadi peralihan
penguasaan tanah wakaf
yang semula merupakan
aset umat dan
digunakan untuk kepentingan umat menjadi penguasaan hak milik
pribadi.
Hal
ini merupakan permasalahan
yang perlu diteliti
dan dikaji lebih lanjut untuk
memberikan solusi agar
pada masa mendatang
dapat dilakukan peralihan hak
atas tanah wakaf yang benar sesuai peraturan perundang-undangan dan
bermanfaat bagi kepentingan
umum dan umat
Islam secara khususnya.
Pembahasan
mengenai wakaf tanah
ini, ada kaitannya
dengan kasus yang ternyata wakaf
tanah tersebut digunakan
oleh penerima wakaf
(nad{ir) tidak sesuai
dengan peruntukannya, sehingga
wakaf dimohonkan pembatalan
ke pengadilan Agama oleh Ahli
warisnya, sebagaimana kasus di bawah ini.
K.H.
Ardjo Usman pada
tahun 1926 telah
mewakafkan sebidang tanah yang terletak
di Jln. Kedungsroko
Gg. V No.
15; 17; dan 19, Kelurahan Pacarkembang, Kecamatan Tambaksari,
Surabaya seluas 800 M2 (delapan ratus meter persegi), sebagaimana tercantum dalam (Petok D No. 107,
persil 21 D,II) Depag RI, Paradigma Baru Wakaf, Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Pengembangan zakat dan wakaf, 2004), 97.
di maksudkan
untuk “Madrasah Nahdlatul
Ulama” yang dikelola
(nad{ir) oleh Badan
Hukum yaitu “Yayasan
Taman Pendidikan Mahfudz
Samsulhadi,” di bawah
naungan Lembaga Pendidikan
Al-Ma’arif Nahdlatul Ulama.
Sebagai Ketua Umum Bapak Iswaf
Purnawirawan ABRI (Alm), Drs. Abd. Syakur Towil (Alm), dan H. Mochammad Toha.
Pada
tahun 1989, saat itu Ketua Yayasan Drs.
Abd. Syakur Towil selaku n<ad{hir,
diatas tanah wakaf
tersebut didirikan gedung
baru (Sekolahan Dipenegoro) terdiri dari TK, SD, SMP, SMA dan
SMK, serta merubah yayasan yang
semula bernama “Yayasan
Taman Pendidikan Mahfudz
Samsulhadi,” menjadi “Yayasan
Pendidikan Diponegoro.” Dalam
perjalanan berikutnya, setelah
Drs. Abd. Syakur
Towil meninggal, digantikan
oleh H. Mochammad Toha, selaku n<az}hir dan Ketua
Yayasan Diponegoro.
Pada
tanggal 17 Maret
2009, H. Mochammad
Toha datang ke
Kantor Urusan agama
Tambaksari, bermaksud untuk
mengurus Akta Ikrar
wakaf.
karena
tanah wakaf tersebut
selama 86 belum
bersertifikat dan pewakif
sudah meninggal, H. Mochammad
Toha menggunakan salah satu dari ahli waris (Nurul Afifah)
sebagai pewakif baru
untuk mengurus Akta
Ikrar wakaf, serta mengalihkan peruntukan
wakaf tersebut dari
“Madrasah Nahdlatul Ulama” dirubah pendahulunya menjadi “Sekolah
Diponegoro.” Pengadilan Agama
Surabaya, Berkas Putusan
Perkara Sengketa Wakaf,
Nomor: 3862/Pdt.G/2010/PA.Sby.
Menurut pasal
1 angka 3
UU No. 41
Tahun 2004 Ikrar
wakaf adalah: “Pernyataan kehendak
wa<kif yang diucapkan
secara lisan dan/atau
tulisan kepada naz{ir
untuk mewakafkan harta
benda miliknya”.
Sedangkan menurut pasal 17 UU No. 41 Tahun 2004 menentukan
sebagai berikut: 1. Ikrar wakaf
dilaksanakan oleh wakif
kepada nad}ir di
hadapan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (selanjutnya
disingkat PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
2.
Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau
tulisan serta dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW.
Dalam Pasal 3 UU No. 41 Tahun 2004 menentukan
bahwa: “Wakaf yang telah diikrarkan
tidak dapat dibatalkan”.
Berdasarkan
ketentuan hukum Islam
yang dinyatakan oleh
Jumhur Ulama>’ (kecuali
Imam Hanafi), bahwa
tanah yang sudah
diikrarkan untuk diwakafkan
tidak dapat dibatalkan
dengan alasan apapun,
karena sejak tanah tersebut diwakafkan,
maka kepemilikan tanah
tersebut terputus dan
menjadi milik umum berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Sehubungan
dengan sengketa wakaf,
di Pengadilan Agama
Surabaya pernah memutus perkara
tentang Pembatalan Akta Ikrar Wakaf dalam
(Putusan Nomor:
3862/Pdt.G/2010/PA.Sby).
Maka untuk menulusuri
apa yang menjadi pertimbangan hukum bagi hakim dalam
Pembatalkan Ikrar Wakaf di atas, dan bagaimana kesesuaian Pembatalkan Ikrar Wakaf
dalam Hukum Islam.
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Berdasarkan uraian
dari latar belakang
di atas, maka
penulis merasa tergerak
untuk mengadakan penelitian
mengenai: “Studi Analisis
Terhadap Putusan PA
Surabaya Nomor: 3862/Pdt.G/2010/PA.Sby Tentang
Pembatalan Ikrar Wakaf.” B. Identifikasi Dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan gambaran
dari latar belakang
diatas dapat dipahami bahwa masalah yang akan diteliti adalah: a. Deskripsi
putusan Nomor: 3862/Pdt.G/2010/PA.Sby tentang Pembatalan Ikrar Wakaf.
b.
Dasar hukum dan
Pertimbangan Hakim dalam
memutus perkara Nomor:
3862/Pdt.G/2010/PA.Sby tentang Pembatalan Ikrar Wakaf.
c.
Faktor-faktor Pembatalan Ikrar
Wakaf dalam putusan
Nomor: 3862/Pdt.G/2010/PA.Sby.
2.
Pembatasan Masalah Dalam
penelitian ini dibatasi pada: a.
Kesesuaian terhadap Pembatalan Ikrar Wakaf dalam Putusan Nomor: 3862/Pdt.G/2010/PA.Sby menurut Hukum Islam C.
Rumusan Masalah Mengantisipasi dari uraian latar belakang masalah dan
mengidentifikasi permasalahan di
atas maka penulis
dapat merumuskan permasalahan
dalam skripsi ini sebagai
berikut: 1. Bagaimana Kesesuaian
Pembatalan Ikrar Wakaf
dalam Putusan Nomor: 3862/Pdt.G/2010/PA.Sby menurut Hukum Islam? D. Kajian Pustaka Kajian
pustaka penelitian ini
pada dasarnya adalah untuk
mendapatkan gambaran hubungan
topik yang akan
diteliti dengan penelitian
sebelumnya sehingga diharapkan
tidak ada pengulangan
materi penelitian secara
mutlak.
Sejauh
ini penelitian yang dilakukan penulis terhadap karya-karya ilmiah yang pembahasannya mengenai sengketa tanah wakaf di Pengadilan Agama memang bukan yang pertama kalinya dilakukan, bahkan
secara global pernah dikaji pada skripsi-skripsi
sebelumnya. Diantaranya yaitu: “Analisis
Hukum Islam Terhadap
Penarikan Tanah Wakaf
Untuk Membayar Hutang
Ahli Waris di
Kelurahan Sidotopo Wetan
Kecamatan Kenjeran” yang
ditulis oleh Moh
Abdul Rohman tahun
2010. Skripsi ini memfokuskan pembahasannya
pada Apa saja
sebab-sebab penarikan tanah Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 135 wakaf
di kelurahan Sidotopo
Wetan, serta menganalisis
hukum Islam tentang penarikan tanah wakaf untuk membayar hutang
ahli waris
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi