BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama
rah}matan li al-‘a>lami>n, diantara prinsip-prinsip dasar dan umum dalam syari’at Islam adalah mudah dan
memudahkan (al-yusr wa
altaisi>r), toleransi dan
keseimbangan (al-tasa>muh wa
al-i’tidal) dan menghindari kesulitan
dalam memahami ketentuan
hukum syariah. Islam
adalah sebagai agama
dan juga sebagai
hukum. Jika kita
berbicara tentang hukum
secara sederhana terlintas
dalam pikiran kita seperangkat norma yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat. Dalam sistem hukum
Islam terdapat istilah al-ah}ka>m alkhamsah
yakni penggolongan hukum
yang lima yaitu
mubah}, sunah, makruh, wajib, h}aram.
Segala aturan
atau hukum tersebut
berfungsi untuk mengintegrasikan kepentingan manusia
sehingga tercipta suatu
keadaan yang tertib.
Tujuan dari hukum-hukum tersebut
adalah al-maqa>sid al-syari> ’ah yaitu: 1. memelihara agama, 2. memelihara jiwa, 3. memelihara akal, 4. memelihara keturunan, 5.
memelihara harta.
Zainuddin
Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Ibid., h 12.
Islam sebagai
agama tidak hanya
mengatur aspek-aspek ‘ubudiyah semata,
tetapi juga mengatur
aspek-aspek mu’a> malah (sosial
kemasyarakatan).
Salah
satu aspek mu’a>malah
yang terpenting adalah
pengaturan tentang harta warisan yaitu
harta yang ditinggalkan
oleh seseorang yang
telah meninggal memerlukan
pengaturan tentang siapa
yang berhak menerimanya,
berapa jumlahnya dan bagaimana
cara mendapatkannya.
Nabi
Muhammad SAW bersabda bahwa: ‚Ilmu itu ada tiga macam (ilmu yang
utama), dan selain
dari yang tiga
itu adalah tambahan,
adapun ilmu yang tiga itu
adalah: 1. Ayat
Al-Qur’an, 2. Sunnah
yang datang dari
Nabi, dan 3.
Faridhah (ilmu faraidh/hukum kewarisan) yang
adil‛.
Al-Quran sebagai
kitab pedoman telah
menggariskan secara rinci seperangkat
ayat-ayat hukum kewarisan, yang didalamnya telah ditentukan porsi atau bagian secara pasti bagi masing-masing
ahli waris sebagai zaw al-furud yang dinyatakan
dengan angka-angka pecahan
yaitu 1/8 (satu
per delapan), 1/6
(satu per enam), ¼ (satu per
empat), 1/3 (satu per tiga), ½ (satu per dua), dan 2/3 (dua per
tiga). Selain itu
ada juga bagian
yang tidak pasti
atau disebut dengan ‘Ashabah.
Amir
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2004), h 3.
Suhrawardi
K.Lubis, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h 6.
Al-imam al-hafiz
Jalaluddin ‘Abdurrahman bin
Abi Bakr al-Suyuti,
Syarah Muslim bin Hajjaj,
Jilid III, (Lebanon: Dar al-Kitab al-‘ilmiyah,2006 ), h 377.
Hal tersebut
secara rinci dijelaskan
dalam QS. Al-Nisa’
: 11-12 berikut ini: Artinya: Allah
mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk)
anakanakmu. Yaitu bagian
seorang anak lelaki
sama dengan bagian
dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu
semuanya perempuan lebih
dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan
unuk dua orang ibu, bapak, masingmasingnya
seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai
anak; jika yang meninggal iu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat
seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut
diatas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia
buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya.
(tentang) anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Surat
Al-Nisa’ ayat 7: Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung:
CV. Penerbit Diponegoro, 2005), h 63.
Artinya:
‚Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan
kerabatnya, dan bagi
orang wanita ada
hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang
telah ditetapkan‛.
Berdasarkan
uraian diatas, sangat jelas, bahwa hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi
ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.
Pembagian harta
peninggalan atau harta
warisan setelah meninggalnya
pewaris merupakan bentuk
kewajiban karena berdasarkan
nash yang qat’i (jelas, tegas
serta tidak memerlukan penjelasan lain).
Meskipun al-Quran
dan Hadis telah
memerintahkan untuk membagi harta waris, namun pada prakteknya sering
timbul persoalan-persoalan kewarisan yang tidak
hanya dapat diselesaikan
berdasarkan waris Islam,
sehingga timbul cara-cara lain dalam menyelesaikan persoalan
tersebut.
Karena setiap orang memiliki kepribadian,
tradisi, kemampuan, profesi, kepentingan dan patokan tingkah laku yang beraneka ragam,
maka hal itu dapat juga menjadi
sumber perselisihan, pertentangan
dan persengketaan di
antara mereka. Oleh karena
itu, dibutuhkan lembaga peradilan
sebagai tempat mencari keadilan. Dalam
literatur fiqih Islam,
untuk berjalannya peradilan
dengan baik Ibid., h 78.
Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 171, (Jakarta: Media Center, 2006) Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1981), h 34.
dan normal,
diperlukan adanya enam
unsur yakni: Qa>dhi
(Hakim), H}ukum, Mah}ku>m Bihi
(Penggugat), Mah}ku<m alaih
(Tergugat), Mah}ku< m lahu (permohonan
suatu hak), dan Putusan.
Hukum
yang digunakan dalam
lingkup Pengadilan Agama
ada dua macam
yakni hukum materiil meliputi Al-quran, hadits, kitab-kitab fiqih, UU no.
1
tahun 1974 tentang
perkawinan, PP no.
9 tahun 1975
tentang pelaksanaan undang-undang
no.1 tahun 1974
tentang perkawinan, Instruksi
Presiden no. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum
Islam, dan yurisprudensi. Sedangkan hukum
formalnya meliputi HIR
(Herzeine Inlandsch Reglement),
RBg (Reglement Buiten Govesten),
UU no. 5
tahun 2004 tentang
perubahan atas undang-undang
nomor 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung, UU no. 7 tahun 1989
tentang peradilan agama,
UU no. 3
tahun 2006 tentang
perubahan atas undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, dan UU
no. 20 Tahun 1947 tentang UU perulangan.
Yurisprudensi
merupakan salah satu hukum materiil Pengadilan Agama yang berhubungan langsung dengan penelitian
peneliti. Yurisprudensi merupakan keputusan
hakim yang selalu
dijadikan pedoman hakim
yang lain dalam memutuskan
kasus-kasus yang sama.
Keluarnya
Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama membawa Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia,
(Malang: UIN-Malang Press, 2009), h 193.
perubahan mendasar
terhadap Peradilan Agama
yaitu bertambahnya kewenangan dan kompetensi
absolut Peradilan Agama yang
semula hanya menangani
perkara di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat
dan hibah yang
dilakukan berdasarkan Hukum Islam
dan wakaf dan shadaqah ditambah dengan zakat, infaq dan ekonomi syariah.
Hal ini
bisa dilihat dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan
bahwa: ‚Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan,
waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq,
shadaqah; dan ekonomi
syariah.‛ Kemudian
dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan "ekonomi
syariah" adalah perbuatan
atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut
prinsip syariah, antara
lain meliputi: bank
syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah,
asuransi syariah, reksadana
syariah, obligasi syariah
dan surat berharga
berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana
pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
Jaenal
Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h 229-230.
Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Berdasarkan keterangan
Undang-Undang di atas
maka Pengadilan Agama Jombang
memiliki kewenangan untuk mengadili
perkara waris. Dari data di
Pengadilan Agama Jombang,
di temukan perkara
waris dengan nomor: 1056/Pdt.G/2010/PA.Jbg. Bahwa
penggugat dengan surat
gugatannya tertanggal 31 Mei 2010
telah mengajukan gugatan tentang
pembagian harta waris, gugatan telah terdaftar
di kepanitraan Pengadilan
Agama Jombang tanggal
1 Juni 2 dengan nomor : 1056/Pdt.G/2010/PA.Jbg
dengan dalil-dalil sebagai berikut: Dahulu di
Dusun Kedungpapar, Desa
Kedungpapar, kecamatan Sumobito,
Kabupaten Jombang, pernah
hidup seorang bernama
RAOKAN, di mana pada tahun 1965 telah meninggal
dunia. Selama hidupnya pernah menikah dengan
seorang perempuan yang
bernama Ratih (Al-marhumah)
dan tidak mempunyai anak.
Selain
mempunyai istri, almarhum
Raokan juga mempunyai
3 (tiga) orang
saudara kandung yang
masing-masing bernama: a)
Soeberi (Al-marhum), yang telah meninggal dunia pada tanggal 13
April 1999, semasa hidupnya pernah menikah dengan Kamilah (Al-marhumah), dan
tidak mempunyai anak. b) Sihab (Al-marhum) yang
telah meninggal dunia
pada tahun 1957,
semasa hidupnya pernah menikah dengan Kasminah (Al-marhumah),
dan mempunyai anak bernama Kayah (Penggugat
IV) dan Munipah
(Penggugat III). c)
Maisaroh (Almarhumah), yang
telah meninggal dunia
pada tanggal 20
April 2002, semasa Berkas Putusan Pengadilan Agama Jombang no.
1056/Pdt.G/2010/PA.Jbg hidupnya pernah
menikah dengan Rateman
(Al-marhum) dan mempunyai
anak bernama Yahdi (Penggugat I)
dan Yasir (Penggugat II).
Selain
meninggalkan Para Ahli
Waris sebagaimana tersebut
di atas, almarhum
Raokan juga meninggalkan
harta peninggalan yang
sekarang telah dikuasai
oleh Noenanik (Tergugat)
dan sebagian telah
dijual oleh Noenanik kepada H. Dhuha (Turut Tergugat).
Di
tengah-tengah proses persidangan
ternyata Munipah (penggugat
III) dan Kayah
(penggugat IV) melakukan
pencabutan kuasanya dan
pencabutan gugatan sebagaimana
dalam suratnya bertanggal
11 Februari 2011
yang telah dilegalisasikan pada Notaris dan telah
disetujui oleh Tergugat.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi