Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:KHURUJ SEBAGAI SYARAT NIKAH, STUDI KASUS DALAM PERNIKAHAN ANGGOTA JAMAAH TABLIG DI DESA PAKAPURAN, AMUNTAI KALSEL


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Islam  adalah  agama  sempurna  dan  satu-satunya  yang  diridai  Allah,  sempurna  dalam  artian  bahwa  ia  mengatur  seluruh  aspek  kehidupan  manusia.
 Sebagaimana  yang  diterangkan  Muhammad  Ali  As-S}a>bu>ni  dalam  kitab  S}afwa>tut  Tafa>si>r,  bahwa  yang  dimaksud  pada  surah  al-Maidah  ayat  5  tentang  kesempurnaan agama adalah kesempurnaan syari’at,  yaitu segala sesuatu yang  bersumber  dari  Allah  sebagai  Sya>ri’,  yang  di  dalamnya  tercakup  hablum  minalla>h dan hablum minanna>s.
 Salah  satu  bentuk  konkrit  dari  hablum  minanna>s  adalah  pernikahan,  yaitu  sebuah  akad  yang  menghalalkan  kedua  belah  pihak  (suami  dan  istri)  untuk  menikmati pihak satunya.

  Hubungan  perkawinan  merupakan  suatu  fitrah  dan  kecenderungan  alami  manusia  sebagai  makhluk  jasmaniyah,  namun  ia  harus  diatur  sedemikian  rupa  demi tercapainya tujuan pernikahan yang utama, yaitu  saki>nah,  mawaddah, dan  rah}mah.  Hal  ini  disebutkan  dalam  firman  Allah  surat  ar-Ru>m  ayat  21  yang  berbunyi:  Muhammad Ali As-S}a >bu>ni, S}a fwa>tut Tafa> si>r, Juz I, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 2001)   Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minha>j Al-Muslim, (Kairo: Da>r Al- Hadi>s|, 2004), Artinya  :‚Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah  dia  menciptakan  untukmu  istri-istri  dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih  dan  sayang.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
 Demi  mewujudkan  tujuan  pernikahan  tersebut,  ditetapkanlah  hukum  pernikahan dari berbagai aspeknya di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Secara  umum, hukum pernikahan tersebut mencakup apa saja yang harus, boleh, atau  dilarang  dilakukan  oleh para  pihak  sebelum  pernikahan,  saat  pembacaan akad,  ketika berlangsungnya pernikahan, dan pasca berakhirnya pernikahan. Hukumhukum  tersebut  kemudian  dipahami  dan  diajarkan  oleh  para  ulama  madza>hib sesuai dengan latar belakang masing-masing.
 Diantara hukum-hukum tersebut misalnya sebelum pernikahan, pihak lakilaki  diharuskan  untuk  bersedia  membayar  mahar  (maskawin)  kepada  pihak  perempuan  yang  menjadi  simbol  penghormatan  Islam  kepada  kedudukan  perempuan.  dimana mahar tersebut hanya diperuntukkan kepada pihak istri dan  tidak boleh  disentuh  oleh siapapun tanpa kerelaannya.
  Kewajiban menunaikan  mahar tersebut diterangkan dalam surat an-Nisa>’  ayat 4: ً Artinya    Berikanlah  maskawin  (mahar)  kepada  wanita  (yang  kamu  nikahi)  sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
  H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 37   Batasan minimal atau maksimal atas kuantitas maupun kualitas mahar pada  dasarnya  tidak  ditentukan  dalam  syari’at,  selama  ia  adalah  sesuatu  yang  bernilai, banyak atau sedikit. Sesuatu yang bernilai tersebut bisa berupa  materi ataupun  non-materi  seperti  mengajarkan  al-Qur’an  kepada  istrinya.
  Hal  ini  tersirat dalam sebuah hadis yang berbunyi: Artinya  :  Seorang  wanita  dari  suku  Bani  Faza>rah  menikah  dengan  mahar  sepasang  sandal.  Rasulullah  pun  bertanya  ‚Apakah  kamu  merelakan  dirimu  dan  segala  yang  kamu  punyai  dengan  sepasang  sandal? wanita itu menjawab ‚ya. Maka Rasulullah pun membolehkannya.
  Adapun  saat  berlangsungnya  pernikahan,  diperbolehkan  pula  bagi  para  pihak  untuk  mengadakan  perjanjian  pernikahan,  yaitu  suatu  persetujuan  yang  dibuat  oleh  kedua  calon  mempelai  pada  waktu  atau  sebelum  perkawinan  dilangsungkan,  dan  masing-masing  pihak  tersebut  berjanji  akan  mentaati  apa  yang disebutkan dalam persetujuan itu.
  Hal ini didasarkan pada salah satu hadis  Nabi yang berbunyi:  Sayyid Sa>biq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Kairo: Da>r Al-Fath Lil I’la>m Al-‘Arabiy, 1999),   At-Tirmiz|i, Sunan At-Tirmiz|i, Juz II, (Beirut: Da>r Al-Garbi Al-Islami, 1998),   Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), Artinya  :  ‚Syarat  yang  paling  berhak  untuk  dipenuhi  adalah  syarat  yang  dengannya dihalalkan kemaluan.
  Apabila pada masa berlangsungnya pernikahan terjanji pelanggaran atas isi  perjanjian  tersebut,  maka  pihak  yang  dirugikan  boleh  menjadikannya  sebagai  alasan untuk meminta perceraian jika ia menginginkannya.  Hal ini dikarenakan  pada  saat  terjadinya  pelanggaran,  perceraian  tidak  langsung  jatuh  dengan  sendirinya,  melainkan  harus  diajukan  terlebih  dahulu  kepada  Pengadilan  Agama.
  Isi perjanjian pernikahan ini pada dasarnya adalah bebas, namun ada sedikit  batasan yang dirumuskan oleh para ulama, yaitu bahwa perjanjian tersebut boleh  berupa  apapun  dan  harus  ditepati  selama  ia  adalah  sesuatu  yang  tidak  bertentangan  dengan  hukum  Islam  dan  hakikat  pernikahan,  atau  dilarang  oleh  syariat.  Oleh  karena  itu  tidak  sah  jika  syarat  pernikahannya  berupa  tidak  memberi  nafkah  batin  maupun  lahir,  tidak  ada  pemberian  mahar,  harus  menceraikan  istri  sebelumnya,  dan  lain-lain.  Syarat-syarat  seperti  ini  batal  dengan sendirinya dan tidak boleh dipenuhi.
   Al-Bukha>ri, S}ahi>h Al-Bukha>ri, Juz III, (Boulaq: Al-Mat}ba’ah Al-Kubra> Al-Ami>riyyah, 1312  H),   Kompilasi Hukum Islam, Pasal   Sayyid Sa>biq, Fiqh As-Sunnah, 34   Demikianlah  beberapa  aturan  fikih  yang  berkaitan  dengan  pernikahan.
 Selain dua hal di atas masih banyak lagi aturan fikih yang saling melengkapi  satu sama lain yang pada intinya bertujuan untuk mewujudkan pernikahan yang  saki>nah,  mawaddah, dan  rah}mah. Sebut saja nafkah, waris, pemeliharaan anak,  talak,  cerai  gugat,  dan  lain  sebagainya.  Hal  ini  dapat  dipahami  mengingat  pernikahan merupakan sebuah  ikatan paling suci dan paling kokoh atau disebut mi>s|a>qan gali>z}an, yang melahirkan banyak akibat hukum. Allah berfirman dalam  surat an-Nisa> ayat 4: Artinya  :  ‚Bagaimana  kamu  akan  mengambilnya  kembali,  padahal  sebagian  kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri.
 Dan  mereka  (istri-istrimu)  telah  mengambil  dari  kamu  perjanjian  yang kuat.
 Namun  betapapun  banyaknya  aturan-aturan  fikih  mengenai  pernikahan  tersebut,  tentu  masih  ada  beberapa  kasus  yang  baru  bermunculan  dan  belum  tersentuh oleh fiqih klasik. Hal ini dikarenakan seiring  dengan berkembangnya  zaman, maka akan semakin kompleks pula masalah-masalah hukum agama yang  dihadapi ummat Islam.
 Salah  satunya  adalah  kasus  yang  terjadi  di  Desa  Pakapuran  antara  Bapak  Ainur dan Ibu Fathimah, yaitu ketika Bapak Ainur mengajukan lamaran kepada  calon  mertuanya,  ia  diminta  khuru>j  terlebih  dahulu  selama  40  hari  sebelum   melangsungkan  pernikahan.  Sang  mertua  dan  Bapak  Ainur  sendiri  memang  merupakan pengikut Jama>’ah Tabli>g.
  Jama>’ah  Tabli>g  adalah  sebuah  komunitas  informal  yang  pergerakannya berfokus  dalam  dakwah  Islam.  Gerakan  tersebut  didirikan  tahun  1926  oleh  Muhammad  Ilyas  di  India.  Saat  ini  Jama>’ah  Tabli>g  merupakan  salah  satu  gerakan Islam terpenting di dunia muslim kontemporer, yang mana pengikutnya  tersebar  di  seluruh  penjuru.  Hal  ini  terbukti  pada  tahun  1993  ketika  diadakan  musyawarah tahunan dalam skala internasional di Pakistan, pertemuan tersebut  dihadiri  lebih  dari  satu  juta  muslim  dari  sembilan  puluh  empat  negara.
 Pertemuan tahunan ini kemudian menjadi perkumpulan muslim terbesar kedua  di dunia setelah ibadah haji di Makkah.
  Aktivitas  Jama>’ah  Tabli>g  dipusatkan  di  mesjid-mesjid  dan  mushallamushalla,  dengan  tujuan  untuk  meramaikan  mesjid  dan  mengajak  kembali  ummat ini agar mencintai mesjid.  Kegiatan-kegiatan tersebut  diantaranya yaitu  musyawarah,  taklim,  silaturahmi,  muzakarah  tentang  pentingnya  iman  dan  amal,  dan sebagainya.  Namun, kegiatan terpenting  mereka adalah dakwah yang  dikemas dalam bentuk khuru>j.
   Fitrina, wawancara via Facebook, 11 Desember   Tim Penyusun, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol IV (New York:  Oxford University Press, 1995),   Jamaah Tabligh, http://id.wikipedia.org/wiki/Jamaah_Tabligh, diakses tanggal 29 Desember  2011   Khuru>j  artinya  keluar,  maksudnya yaitu keluar dari daerah kediaman untuk  bergerak di jalan Allah, dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu mesjid  ke mesjid yang lain, demi menjalin silaturahmi dan berdakwah atau tabligh.
 Pelaksanaan khuru>j  didasarkan atas filosofi sederhana, yaitu bahwa manusia  telah  menghabiskan  banyak    waktunya  untuk  kebutuhan  duniawi,  maka  apa  artinya  mengorbankan  beberapa  hari  saja  untuk  totalitas  dalam  beribadah.  Ia  merupakan  salah  satu  media  untuk  melatih  pengorbanan  seseorang  di  jalan  Allah.
  Pada  dasarnya,  khuru>j  dilaksanakan  tiga  hari  dalam  sebulan,  empat  puluh  hari dalam setahun,  dan  empat  bulan selama seumur hidup. Namun  khuru>j  juga  tidak  terikat  kepada  bilangan-bilangan  tersebut,  karena  seseorang  boleh  melakukannya  lebih  ataupun kurang  dari itu. Bahkan untuk santri atau pelajar  ada  khuru>j  satu  hari,  karena  pada  umumnya  pelajar  hanya  memiliki  satu  hari  libur dalam setiap minggunya, dan kegiatan belajar adalah hal yang lebih utama  bagi mereka. Jadi jangka waktu  khuru>j  ini lebih tergantung kepada kemampuan  dan kesempatan masing-masing individunya.
 Khuru>j  ini  kemudian  menimbulkan  beberapa  permasalahan  hukum,  terutama  tentang  apa-apa  yang  berhubungan  dengan  pernikahan.  Sebut  saja  masalah  nafkah  lahir  untuk  keluarga  yang  ditinggalkan,  nafkah  biologis  untuk   Abu Muhammad Ahmad Abduh, Kupas tuntas Jamaah Tabligh 3, (Bandung: Khoiru Umat,  2008), 148   istri,  pemeliharaan  anak,  dan  lain-lain.  Namun  yang  lebih  menarik  perhatian  penulis  adalah  kasus  salah  satu  pengikut  Jama>’ah  Tabli>g   yang  menjadikan  khuru>j  sebagai  syarat  nikah,  yaitu  ketika  seorang  laki-laki  mengajukan  lamarannya, wali atau perempuan yang ingin dinikahi itu sendiri mensyaratkan  sang laki-laki untuk melakukan khuru>j terlebih dahulu sebelum menikah.
 Kasus ini menjadi masalah karena dalam teori fiqih sendiri tidak pernah ada  pembahasan  mengenai  syarat  nikah  dari  pihak  istri  atau  mertua  yang  dilaksanakan  sebelum  pelaksanaan  pernikahan.  Kajian  fiqih  yang  paling  mendekati hal ini adalah mahar yang seyogyanya harus dipenuhi sebelum akad  nikah,  atau  perjanjian  pernikahan.  Namun  khuru>j  yang  menjadi  syarat  nikah  disini  bukanlah  termasuk  mahar  maupun  perjanjian  pernikahan,  karena  ia bukanlah sesuatu yang bernilai langsung kepada pihak istri, sedangkan ia harus  dilaksanakan  sebelum  pernikahan,  berbeda  dengan  perjanjian  pernikahan  yang  berlangsung  saat  berjalannya  pernikahan  dan  bisa  menjadi  alasan  permintaan  cerai jika terjadi pelanggaran.
 Hal ini menarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang  khuru>j  sebagai syarat nikah.Untuk itu penulis mengambil judul  Khuru>j Sebagai  Syarat Nikah, Studi Kasus dalam Pernikahan 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi