BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah salah satu asas pokok
kehidupan yang paling utama dalam
pergaulan masyarakat yang sempurna. Banyaknya ayat Al-Quran dan h}adi>s| menjadi bukti bahwa perkawinan
adalah hal yang sakral. Seperti firman Allah
pada surat An-Nisa> ayat Artinya: “Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan
darinyalah Allah menciptakan istrinya, dan
dari keduanya Allah memeperkembangkan keturunan laki-laki dan perempuan yang banyak….” Kata Nikahberasal dari bahasa
ArabNika>h}unyang merupakan masdaratau kata asal dari kata kerja nakah}a.
Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
perkawinan.Kata nikahsering kita
pergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya, Mahkota,
1989), h. 114.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam,
(Bandung, Pustaka Setia, 2000), h. 11.
Menurut istilah ilmu fikih, nikah berarti
suatu akad (perjanjian) yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai kata-kata (lafaz|) nikah atautazwij.
Dalam Islam, pembentukan keluarga dimulai dari
sebuah ikatan kuat yang disebut
pernikahan. Pernikahan inilah yang menjadi awal dari segala dialektika kehidupan dalam berumah tangga. Oleh karena
itulah dalam al-Quran dan asSunnah banyak teks yang menyebutkan dan menjelaskan
persoalan-persoalan terkait pernikahan,
baik pra-nikah, ketikapernikahan sudah berlangsung, ataupun pada setelah nikah (ketika terjadi
perceraian). Hal ini menunjukkan bahwa persoalan
pernikahan bukanlah hal yang main-main dan bersifat kebutuhan seksual sementara belaka, tapi lebih dariitu,
pernikahan merupakan suatu ikatan yang
sangat kuat (mis|aqon goli>z}an) untuk terciptanya kehidupan rumah tangga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rohmah.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq
yang dimaksud aqad tersebut adalah untuk
selamanya dan seterusnya sampai meninggal dunia, dengan tujuan agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah
tangga sebagai tempat berlindung,
menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anakanaknya hidup dalam
pertumbuhan yang baik.
Oleh karena itu Allah sangat membenci
perbuatan ketika ada hambanya yang
memutuskan perjanjian suci tersebut atau kata lain bercerai, hal ini Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan
Islam,(Bandung, Pustaka Setia, 2000), h.
12- Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid
VIII, Penerj. Moh. Thalib, h. 9.
tercermin dalam salah satu h}adi>s| Nabi
dari Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, sabda Nabi: ِ
Artinya: “Dari Ibnu Umar, dari NabiSAW.
telah bersabda, sesuatu yang h}alal yang amat dibenci Allah ialah talaq.” 1.
Perkawinan Di Bawah Umur Mengenai
perkawinan di bawah umur, Imam al-ghazali menekankan agar seorang istri harus terlepas darihambatan
yang menyebabkan tidak halal untuk di
kawini oleh seorang calon suami, yaitu dalam kalimat: Artinya : “Seseorang janda yang belum cukup umur (belum
dewasa, baligh) dalam kedewasaannya ini
tidak sah nikahnya kecuali setelah baligh”.
Kalimat ini menjelaskan bahwa al-Ghazali
sangat menekankan pernikahan
dilaksanakan ketika seorang calon suami-istri ini harus baligh. alGhazali tidak
menentukan batas usia secara jelas akan tetapi hanya Imam Khafid Abi Dawud Sulaiman Ibn Asy‘as
As-Sajastani, Sunan Abi Dawud juz 2, Kitab Talaq, No. 2178, h. 120.
Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
Ihya’ Ulum al-Din, Juz II, h. 40.
memeberikan batasan baligh yaitu ditandai
dengan tumbuhnya bulu ketiak yang
merupakan bukti balighnya seseorang.
Akan tetapi imam Syafi’i yang merupakan
pelopor madzhab yang diikuti al-Ghazali
dalam hal ini (batasusia dewasa) membatasi usia baligh untuk laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun.
Dari beberapa keterangan tadi dapat diambil
benang merah bahwasanya upaya
pendewasaan usia kawin sampai cukup dewasa agar mencapai kematangan fisik dan psikologiadalah
suatu ikhtiyar manusia yang patut
dihargai dan dapat dipertanggung jawabkan, kecuali ada faktor-faktor lain yang meyebabkan pernikahan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan harus
dipercepat guna memeliharanya dari dosa yang akan membawa akibat lebih buruk bagi calon
suami-istri tersebut.9 2. Perkawinan di Bawah UmurMenurut Hukum Islam Perkawinan menurut hukum Islam tidak
menyebutkan mengenai ketentuan batasan
usia dewasa untuk kawin. Batasan kedewasaan itu hanya upaya ulama, itupun terbatas hanya imam Abu
Hanifah yang menetapkan usia dewasa,
yakni 15 tahun. Jika usiadewasa dikaitkan dengan kewajiban untuk melakukan sholat, maka Islam telah
menentukan aqil baligh seseorang perempuan
adalah ditandai dengan menstruasi (biasanya diusia 13 tahun) Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab,
h. 317.
Ibid, h. 318.
Nashruddin, Ilmu Perkawinan, h. 22.
sedang laki-laki dengan ‘mimpi basah’(biasanya
14 tahun), namun kedua tanda kedewasaan
ini bukan isyarat (langsung dimaknai sebagai ketentuan) yang membolehkan mereka kawin (batas usia
kawin). Usia kawin itu terkait dengan
urusan sosial kemasyrakatan. Jadi, mesti dilihat dulu apa saja kaedahkaedah
sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Para ulama dari empat mazhab sepakat mengenai
bolehnya perkawinan pasangan anak
laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil pula, apabila akadnya
dilakukan oleh walinya. Tetapi ada pula
sekelompok ulama, antara lainAbu> Bakar al-Asham dan Ibnu Syubrumah yang melarang adanya perkawinan
anak-anak sebelum mereka sampai pada
usia kawin: Ibnu Syubrumah berpendapat tidak diperbolehkan bagi orang tua menikahkan anak gadisnya yang
masih dibawah umur, kecuali setelah
baligh dan mendapatkan izin darinya ,
mereka beralasan dengan firman Allah
yang berbunyi : Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup
umur untuk kawin..... ” (Q.S
an-Nisa>’: 6) Ratna Batara Munti,
Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta, LKIS Yogyakarta, 2005), h. 53-54.
Syaikh kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita,
(Jakarta, Qisthi Press, 2005), h, Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya, Mahkota, 1989), h. 115 Sebagian orang Islam di Indonesia (khususnya
di pedesaan) menjalankan pernikahan
dengan penuh kesempurnaan sesuai dengan ketentuan
al-Quran, as-Sunnahdan tidak sesuai
prosedur perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Akantetapi sebagian lagi
menganggap bahwa sebagai seorang muslim,
dia hanya wajib mematuhi aturan-aturan yang
dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnahsecara rinci, dan juga aturanaturan yang
dijelaskan oleh ulama>’ fiqh pada masa lalu, yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh klasik, khususnya menurut
mazhab fiqh yang empat (Imam Maliki,
Hanafi, Syafi’i dan Hanbali). Namun dia bersifat apatis dan enggan mematuhi aturan-aturan yang dituangkan dalam
hukum positif Indonesia, dalam hal ini
adalah UU No. 1 Tahun !974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Termasuk pada
permasalahan ini adalah kasus pernikahan
dibawah umur.
Untuk lebih memahami definisi di
atas, maka terdapat 6 asas dalam pernikahan,
yaitu : a. Perkawinan di bawah umur tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal.Hal ini dijelaskan secara implisitdalam al-Qur’an Surat ar- Ru>m ayat 21.
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.
Ar-Ru>m ayat 21) b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada
ketentuan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing.
c. Asas monogami. Asas ini sesuai dengan prinsip
dasar yang digariskan oleh al- Quran
surat an- Nisa>’ ayat 3 Artinya: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamumengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” d. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa
dan raganya. Asas ini juga disandarkan
pada kandungan implisitSurat ar- Ru>m Ayat Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Surabaya, Mahkota, 1989), h. 644.
Ibid, h, 115.
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu denganlurus kepada
agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan padafitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” e. Mempersulit terjadinya perceraian. Asas ini
sesuai dengan intisari hadis Nabi yang
artinya “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (perceraian) (H.R. Abu> Daud dan al-
Tirmiz\i).
f. Hak dan kedudukan suami istri adalah
seimbang. Asas terakhir ini sesuai dengan
kandungan Surat an- Nisa>’ Ayat 32 Artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan,
dan bagi para wanita (pun)ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” Sedangkan
kenyataan masyarakat muslim di Indonesia
pada umumnya, tidak semua elemen
masyarakat menjalankan pernikahan sesuai dengan definisi, rukun, syarat dan
asas-asasnya. Banyak sekali varian yang Ibid, h. 645.
Ibid, h. 122.
terjadi di dalam masyarakat
terkait dengan pelaksanaan pernikahan, diantaranya
adalah: a. Pada zaman para Nabi a.s.
1) Hajar merawat anaknya, Ismail, karena
khawatir binasa 2) Wanita yang tidak mau memasukiparit yang
berisi api demi kebenaran, karena
mengkhawatirkan kesalamatan anaknya.
=� P o m (>� �� 'text-align:justify'> Dalam skripsi Lilis Sulistyarini yang berjudul
“Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan
Penipuan Status Calon Suami di PA Banyumas". Lilis mencoba menjawab pertanyaan pokok, pertama, dapatkah
penipuan status calon suami sebagai
alasan pembatalan perkawinan? Kedua, apa dasar dan pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan
perkara pembatalan perkawinan karena
penipuan status calon suami? Ketiga, sanksi-sanksi apa yang dikenakan bagi orang yang melakukan penipuan
status calon suami dan bagi Pejabat
Pencatat Nikah (KUA) yang telah teledor dalam memeriksa proses pelaksanaan proses perkawinan? Dalam
skripsi Asmaul Husna, yang berjudul "Pemalsuan Kutipan Akta Nikah dan Implikasinya Terhadap
StatusPerkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam".Asmaul
Husna berupaya menjawab pertanyaan pokok, pertama, bagaimana deskripsi proses pemalsuan kutipan
akta nikah terhadap status perkawinan?
kedua, bagaimana implikasi pemalsuan kutipan akta nikah terhadap status perkawinan? 3.
Dari masalah-masalah yang mereka angkat itu jelas sekali bahwa yang di
tulis Lilis dan Asmaul Husna berbeda
fokus kajiannya dengan apa yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini, yakni pertama,
apa pertimbangan hakim terhadap penetapan
Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor. 94/Pdt.p/2008/PA.Sda, tentang perubahan nama suami dalam perkawinan? Kedua, bagaimana analisis terhadap
pertimbangan hakim dalam penetapan
Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor. 94/Pdt.p/2008/PA.Sda, tentang perubahan nama suami dalam perkawinan? Dengan demikian, meskipun telah ada kajian
tentang pemalsuan identitas yang telah
dilakukan sebelumnya, namun kajian penggunaan nama Lilis Sulistyarini, Pembatalan Perkawinan
Dengan Alasan Penipuan Status Calon Suami di PA Banyumas,Skripsi Sarjana S1 IAIN Surabaya, h.
Asmaul Husna, Pemalsuan Kutipan Akta Nikah dan
Implikasinya Terhadap Status Perkawinan Dalam
Perspektif Hukum Islam, Skripsi Sarjana S1 IAIN Surabaya, h.9 palsu dalam perkawinan bukan merupakan
duplikasi atau pengulangan dari kajian
terdahulu karena segi yang menjadi fokus kajiannya memang berbeda.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi