Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERKARA Nomor 98Pdt.G2009PA.Sby. TENTANG CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA (Perspektif Perma RI Nomor 1 Tahun 2008)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Akad pernikahan dalam Hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,  melainkan ikatan suci (mi>s|a>qangali@z}an) yang terkait dengan keyakinan dan  keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah  pernikahan. Namun, seringkali apa yang menjadi tujuan pernikahan kandas di  tengah jalan. Sebenarnya putusnya pernikahan merupakan hal yang wajar saja,  karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan  pernikahan pada dasarnya adalah kontrak.
  Dalam konteks keindonesiaan yang notabene adalah negara hukum, maka  segala sesuatu Permasalahan harus diselesaikan secara hukum. Tak berbeda  dengan Permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan. Semuanya telah diatur  dan dituangkan dalam bentuk undang-undang. Seluruh sahabat Nabi SAW  menetapkan bahwa di antara hal-hal yang ditetapkan oleh agama ialah  mendirikan peradilan.

  Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 206   Mereka menetapkan peradilan itu adalah “Suatu fard}u yang dikokohkan dan suatu tradisi yang harus diikuti”.
  Lembaga peradilan bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan  berdasarkan undang-undang dalam kehidupan bernegara. Karena itu lembaga ini  tidak mungkin terlepas dari negara.
  Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dinyatakan:  “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk  menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan  berdasarkan Pancasila dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik  Indonesia”.
  Menurut Yahya Harahap, lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama  Nomor 7 Tahun 1989 yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989,  sepintas telah membawa kejelasan dan kejernihan fungsi dan kewenangan  Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan pelaksana kekuasaan  kehakiman. Karena bila ditinjau dari segi tujuan kelahirannya, undang-undang ini  bermaksud mengidentifikasikan serta mempositifkan bidang hukum perdata apa  saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama, terutama  berhadapan dengan lingkungan Peradilan Umum.
  Sedangkan menurut Daniel S.
  T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 36-  Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, h.
  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman  Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.v   Lev, pengadilan merupakan salah satu simbol kekuasaan dan Pengadilan Agama  Islam adalah simbol dari kekuasaan Islam.
  Dalam sistem peradilan di Indonesia terdapat saluran yang bisa  digunakan oleh masyarakat agar sengketa bisa diselesaikan dengan sederhana,  cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat 2  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yaitu melalui lembaga perdamaian  (dading). Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg mengatur mengenai perdamaian. Di  dalam pasal tersebut diaturbahwa pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri  oleh para pihak, pengadilan melalui ketua sidang berusaha untuk mendamaikan  sengketa yang terjadi. Bila perdamaiandisepakati maka dibuatlah akta  perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan, terhadap  putusan yang demikian tidak dapat diupayakan banding.
  Allah telah mengingatkan kepada kita akan posisi antar sesama manusia  dalam surat al- Hujura@t ayat 10 Artinya:  “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah  (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,  supaya kamu mendapat rahmat.” (Q. S. Al-Hujura@t:10)   Daniel S. Lev,Peradilan Agama Islam di Indonesia, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, dari buku  Islamic Courts In Indonesia, h.
  R. Soesilo, RIB/HIR dengan penjelasan, h.
  Depag RI, Al-Qur’a@n dan Terjemahnya, h. 517   Pasal 1851 KUH Perdata menyatakan:  “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan  menyerahkan, menjajikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu  perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
 Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”.
  Kata perdamaian adalah jawaban yang paling lembut sekaligus  penyelesaian yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) dan tidak ada  yang merasa dipecundangi, rasa egoisme para pihak akan sirna seiring dengan  terpenuhinya perdamaian sehingga terbangun nilai-nilai persaudaraan yang lebih  kuat. Dalam menciptakan konsep tersebut bukan hal yang mudah, karena  masing-masing pihak telah terbius dengan ambisi masing-masing untuk saling  ingin menguasai, memenangkan, dan mengalahkan.
 Kaitannya dengan mediasi, sebagai upaya untuk mengoptimalkan  perdamaian para pihak yang bersengketa dan untuk mencegah banyaknya perkara  yang menumpuk di pengadilan, Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi  penyelenggara kekuasaan kehakiman selalu berusaha mencari solusi yang terbaik  demi tegaknya hukum dan keadilan.
 Dalam hal menumpuknya perkara dan ketidakpuasan para pencari  keadilan terhadap putusan pengadilan, Mahkamah Agung mencoba  mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi) dalam hal   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terj. Soesilo dan Pramudji R, Burgerlijk Wetboek,  h. 413   ini mediasi ke dalam proses peradilan (litigasi), yaitu dengan menggunakan  proses mediasi untuk mencapai perdamaian.
  Ketentuan mediasi di pengadilan yang berlaku saat ini mengacu pada  Perma RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan guna  mengoptimalkan peran mediator sebagai penengah dalam meyelesaikan  sengketa.
 Dalam Pasal 1 Perma RI Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan:  “Hakim adalah hakim tunggal atau majlis hakim yang ditunjuk oleh ketua  Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengadili perkara perdata”(Pasal 1 ayat  3 Perma RI Nomor 1 Tahun 2008) “Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses  perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa  tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah  penyelesaian”(Pasal 1 ayat 6 Perma RI Nomor 1 Tahun 2008).
  Berpijak pada ketentuan pasal tersebut, dalam rangka memberikan akses  pada para pihak yang berperkara untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian  yang memuaskan atas perkara yang dihadapi dengan cara yang lebih cepat dan  murah, di Pengadilan Agama Surabaya telah membuat sebuah lembaga mediasi  yang mendayagunakan dan mengoptimalkan peran hakim yang dianggap  memiliki potensi untuk dijadikan mediator  dalam mengupayakan perdamaian  bagi para pihak yang berperkara. Misalnyadalam perkara cerai gugat, di mana   http://www.badilag.netAbdul Halim, Kontekstualisasi Mediasi dalam Perdamaian (diakses tanggal 11 Juli 2009)  Perma RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan  Berdasarkan pada Sur##at Keputusan Ketua Pengadilan Agama Nomor: W13-A/1049/Hk.
 05/1/2009 Tanggal: 05 Januari 2009, di Pengadilan Agama Surabaya terdapat 11 Hakim Mediator  dari 12 hakim yang ada.
  isteri yang mengajukan gugatan perceraian. Seperti halnya salah satu perkara di  Pengadilan Agama Surabaya dengan Nomor 98/Pdt.G/2009/PA.Sby. dalam  melaksanakan hukum acaranya, ditunjuklah seorang Hakim Mediator utuk  mengupayakan perdamaian antara para pihak.
 Dalam perkara perceraian, hakim berkewajiban untuk mendamaikan  suami isteri yang hendak bercerai. Hal ini tercantum dalam Pasal 39 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun  1975 jo. Pasal 65 dan 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Apabila upaya  perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil, barulah hakim  menjatuhkan putusan cerai.
  Peran Hakim Mediator hanya sebagai penengah yang bersifat imparsial  (tidak memihak) pada pihak manapun, dan juga sebagai penolong yang berusaha  untuk membicarakan bersama mengenai masalah yang dihadapi oleh para pihak  untuk mencari dan menemukan solusi yang dapat diterima secara mufakat.
 Mediator sebagai pengemudi penyelesaian perselisihan harus berjiwa besar,  sabar, ulet dan menjiwai baik karakter para pihak maupun masalah yang  dihadapi.
 Kepiawaian mediator dalam menghantarkan para pihak menemukan jalan  tengah untuk menyelesaian perselisihannya adalah syarat utama yang tidak dapat   Evi Sofiah, ”Putusan Perdamaian dan Penerapannya di Pengadilan Agama”, Jaih Mubarok  (ed.), Peradilan Agama di Indonesia, h. 123   ditawar-tawar lagi. Tawaran konsep yang menyentuh hati sangatlah dibutuhkan  dalam tingkat mediasi ini, karena tujuan mediasi bukan saja mengakhiri  perselisihan, akan tetapi, juga membangun keikhlasan para pihak tanpa ada yang  merasa dikalahkan, sehingga muara akhir mediasi yang dituangkan dalam bentuk  tulisan perdamaian adalah pilihan paling baik dari para pihak yang didasari oleh  saling rela.
 Dalam kurun waktu kurang lebih enamtahun sejak keluarnya Perma RI  Nomor 2 Tahun 2003 kemudian disempurnakan dengan Perma RI Nomor 1  Tahun 2008 Pengadilan Agama Surabayadalam menangani perkara yang  diajukan kepadanya berupaya mengaktifkan peran Hakim Mediator secara  optimal yang ada di dalamnya untuk menerapkan proses mediasi sebagai salah  satu penyelesaian sengketa alternatif, namun pada pelaksanaannya masih perlu  dipertanyakan bagaimana peran Hakim Mediator dalam menyelesaikan perkara  carai gugat. Oleh karenanya penulis berkeinginan untuk mencermati lebih jauh  dan menganalisis serta menuangkannya ke dalam penulisan skripsi yang berjudul  “Peran Hakim Mediator dalam  Menyelesaikan Perkara Nomor  98/Pdt.G/2009/PA.Sby tentang Cerai Gugat di Pengadilan Agama Surabaya  (Perspektif Perma RI Nomor 1 Tahun 2008)”.
  B.  Rumusan Masalah  Dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis dapat merumuskan  permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:  1.  Bagaimanakah peran Hakim Mediator dalam menyelesaikan perkara Nomor  98/Pdt.G/2009/PA.Sby tentang cerai gugat ?  2.  Bagaimanakah fungsi Hakim Mediator dalam menyelesaikan pada perkara  Nomor 98/Pdt.G/2009/PA.Sby tentang cerai gugat ?  3.  Bagaimanakah analisis Hukum Islam terhadap penyelesaian perkara Nomor  98/Pdt.G/2009/PA.Sby tentang cerai gugat ?  
C.  Kajian Pustaka  Masalah upaya perdamaian dengan sistem mediasi pada perkara perdata  dengan memfungsikan Hakim Mediator di luar persidangan, sebelumnya telah  dibahas oleh:  Atika Inatsun Najah, dalam karyanyayang berjudul “Penerapan Mediasi  dalam Mengupayakan Perdamaian di Pengadilan Agama Sidoarjo (Studi  Analisis dengan Perspektif Perma RI Nomor 2 Tahun 2003 dan Hukum  Islam)“  . Penelitian ini memfokuskan pada penerapan mediasi di Pengadilan   Atika Inatsun Najah, Penerapan Mediasi dalam Mengupayakan Perdamaian di Pengadilan  Agama Sidoarjo (Studi Analisis dengan Perspektif Perma RI Nomor 2 Tahun 2003 dan Hukum   Agama Sidoarjo dalam mengupayakan damai kepada pihak-pihak yang  berperkara dan produk hukum Pengadilan Agama Sidoarjo terhadap hasil  kesepakatan perdamaian melalui mediasi.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi