Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:RELEVANSI PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I DENGAN PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA RUJUK


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar belakang  Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada  semua makhluk, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
 Sesuai  dengan firman Allah surat Az|-Z|ariya>t ayat : Artinya :”Dan segala sesuatu kami ciptakanberpasang-pasangan supaya kamu  mengingat kebesaran Allah”.
 Pernikahan adalah suatu akad atauperjanjian untuk mengikatkan diri  antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin  antara kedua belah pihak dengan dasar suka rela dan rid}ho kedua belah pihak  untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang meliputi kasih  sayang dan keutamaan dengan cara-cara yang dirid}hoi oleh Allah.
 Keluarga yang terbentuk melalui perkawinan adalah unit terkecil dan  fundamental bagi pembinaan masyarakat. Ikatan perkawinan adalah lahir batin  dan tanggung jawab yang berlanjut, bukan hubungan keperdataan antara sesama  manusia sewaktu hidup di dunia saja, tetapi akan di pertanggung jawabkan di   Sayyid sabiq,Fiqh Sunnah, VI, h.

 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemah, h.
 Soemiyati,Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, h.8  2  akhirat kelak.
4Sesuai dengan firman Allah SWT surat An-Nisa>’ ayat 21 yang  berbunyi :  َ   Artinya :”Bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal sebagaian kamu  bergaul (bercampur ) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan  mereka (istri-istrimu )telah mengambil dari kamu perjanjian yang  kuat.
 Perkawinan adalah cara yang dipilih Allah untuk membentuk keluarga  yang sakinah, mawaddah wa rah}mah. Hal ini dapat di fahami dari firman-Nya  dalam surat Ar-Ru>m ayat : Artinya :”Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya adalah dia menciptakan  untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan  merasa tentram kepadanya dan di jadikannya di antara mu rasa kasih  sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat  tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
 Menurut Umar Said, perkawinan bukan saja merupakan jalan mengatur  kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi lebih dari itu ia merupakan  wasilah bagi terbentuklah sebuah tatanan kekeluargaan dan kekerabatan.
  Umar Said,Hukum Islam di Indonesia Tentang Perkawinan, h.
 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemah, h.
 Ibid, h.
 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Perkawinan, h. 27  3  Akan tetapi tidak jarang di dalam suatu perkawinan tidak tercipta suatu  rumah tangga yang sakinah,  mawaddah,  wa rahmah, melainkan kadang kala  terjadi gelombang cobaan yang tak terkendali. Sehingga suasana hidup rukun dan  damai sudah berganti dengan perselisihan yang tidak dapat diatasi lagi. Tentulah  masing-masing ketenangan jiwa diluar rumah tangga sehingga berakibat buruk  bagi anak-anak dan seluruh isi rumah tangga. Oleh karena itu Islam  membolehkan jalan perceraian dengan alasan tidak bisa hidup rukun dan damai  lagi.
Istilah perceraian didalam Islam  tidaklah memutus hubungan antara  suami isteri secara total, melainkan sejak talak itu diikrarkan oleh suami masih  terjadi masa iddahyang harus dilalui oleh seorang isteri. Yang mana dalam masa  iddah itu status isteri masih tetap sebagai isteri dalam artian masih berhak  menerima nafkah lahir sebagaimana biasanya. Bahkan jika suami meninggal  isteri masih berhak menerima harta waris dari suami, hanya saja yang tidak  diperkenankan dalam masa iddahitu adalah satu tempat tidur.
Iddahmerupakan suatu masa untuk berfikir, merenungkan atau  menghitung kesalahan demi kesalahan yang dilakukan. Sehingga didalam masa  iddahitu banyak suami yang tersentuh hatinya untuk berkumpul lagi, melupakan  masa lalu dan kesadaran suami untuk melaksanakan rujuk. Karena hanya didalam  masa iddahitulah seorang suami berhak kembali (rujuk) kepada isterinya tanpa  dikehendaki, itupun hanya terbatas talak raj’isaja. Tentunya dalam talak raj’iini  4  disyaratkan pada yang telah digauli.
 Maksudnya disyariatkan iddahadalah suatu  masa dimana perempuan yang telah diceraikan baik cerai hidup maupun cerai  mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau  kosong dari kandungan.
 Islam membolehkan rujukberdasarkan firman Allah dalam surat AlBaqarah ayat 228 yang berbunyi :  ُ  Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga  kali quru' tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan  Allah dalam rahimnya, jika merekaberiman kepada Allah dan hari  akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa  menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para  wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut  cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan  kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha  Bijaksana”.
 Juga Hadist Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi :  َ Slamet Abidin, Aminuddi, Fiqh Munakahat II, h.
 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemah, h. 55  5  Artinya : ”Dari Annas bin Siriin ia berkata : Saya bertanya kepada Ibnu Umar  tentang perempuannya yang telah dicerai, maka Ibnu Umar berkata :  Saya telah mencerai istriku dalam keadaan haid, maka Annas  mengatakan : hal itu kepada Umar dan Umar menuturkan kepada  Nabi SAW., maka Nabi bersabda : Suruhlah dia kembali kepada  isterinya”.
 Adapun tata cara rujukmenurut pendapat Imam Malik mengatakan rujuk boleh (sah) dilakukan melalui perbuatan yang disertai dengan niat untuk rujuk.
Akan tetapi bila suami mencampuri isterinya tersebut tanpa niat rujuk, maka  wanita tersebut tidak bisa kembali (menjadi isterinya) kepadanya. Namun  percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya h}ad(hukuman) maupun  keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari percampuran tersebut  dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampuri itu. Wanita tersebut harus  menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil.
 Imam Malik  bahwa rujukitu diperbolehkan dengan berwat}’i, hal ini harus disertai dengan  adanya niat. Disini Imam Malik tidak mewajibkan adanya saksi dalam peristiwa  itu sendiri.
Sedangkan tata cara rujukpendapat Imam Syafi’i mengatakan dengan  rujukharus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu rujuktidak sah bila  dilakukan dengan mencampuri, sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk.
Suami haram mencampurinya dalam iddah. Kalau dia melakukan hal itu ia harus  membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pada   Imam Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim, Al-Jami’atus Shahih II, h.
 M. Jawad Al-Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,h.428  6  percampuran syubhat.
 Bahwa Imam Syafi’i menolak dengan keras bahwa rujuk itu sah harus melalui ucapan. Ucapan disini boleh dengan cara tulisan maupun  langsung. Imam Syafi’i memberikan argument ini dengan menqiyaskan rujukitu  sama halnya dengan nikah. Disini rujukmaupun nikah sama-sama bersifat  menghalalkan setelah terjadi pengharaman dan diwajibkan adanya saksi dalam  rujuk. Maka dari itu, dalam rujukdiharuskan adanya ucapan atau ikrar yang  sebagaimana dalam hal nikah. Jadi nikah itu harus melalui ucapan tidak dengan  berwat}’iatau jima’.
B.  Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah-masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan  masalah sebagai berikut :  1.  Bagaimana tata cara rujukmenurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i?  2.  Bagaimana relevansi pendapat ImamMalik dan Imam Syafi’i dengan  Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007 tentang tata cara rujuk?  
C.  Kajian Pustaka  Tinjauan pustaka ini pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran  hubungan topik yang akan diteliti dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Skripsi yang ditulis oleh Nur Kolis ( 2003 ) dengan judul: ” Studi komparasi  tentang tata cara pelaksanaan rujukdalam perspektif mazhab Syafi’i dan KHI”.
 Ibid, h. 482  7  Skripsi ini membandingkan cara rujuk menurut mazhab Syafi’i dan menurut  KHI. Penulis skripsi ini menjelaskan apa perbedaan dan persamaan tata cara  rujuk menurut Syafi’i dan KHI. Sedangkan skripsi yang berjudul ” Relevansi  pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan Peraturan Menteri Agama No.11  tahun 2007, menjelaskan tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i  dengan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007. Selama ini, penulis belum  pernah menemukan skripsi yang berkaitan dengan tema tersebut. Jadi,  pembahasan ini merupakan skripsi pertama yang membahas tentang tema  tersebut. Dengan demikian skripsi ini murni penelitian yang dilakukan penulis  dan tidak merupakan duplikasi dari skripsi yang lain.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi