Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN SYI’AH IMAMIYAH DAN IMAM SYAFI’I TENTANG WASIAT TERHADAP AHLI WARIS


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan kepada hamba-hamba-Nya  kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan demi terwujudnya kebaikan dalam  kehidupan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Oleh karena itu segala  ketetapan Allah SWT, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Sunnah  Rasul saw harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. Hal ini sesuai dengan  firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat: 59  َ   Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,  dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat  tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan  Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan  hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik  akibatnya”.(QS An-Nisa’ ayat: 59)  Ayat di atas, menjelaskan bahwasanya Allah SWT memerintahkan  kepada orang-orang yang beriman untuk mentaati segala sesuatu yang telah  ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni diwajibkan mentaati segala  yang telah diperintahkan Allah SWT dalam al-Qur’an maupun segala yang  ditetapkan Rasul-Nya dalam Sunnah. Berkaitan dengan firman Allah SWT di   Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 128   atas, Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis\ yang diriwayatkan oleh alDaruqutni : َ.( Artinya: ”Dari Abi s\a’labah al-khasyniyyira. Dari Rasulullah saw bersabda:  Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan beberapa kewajiban,  maka janganlah engkau sia-siakan. Dan Allah telah menetapkan  batasan-batasan (larangan-larangan), maka janganlah engkau  melanggarnya. Dan Allah telah mengharamkan beberapa hal, maka  janganlah engkau terjang. Dan  Allah pun mendiamkan banyak hal  bukan karena lupa, maka oleh karena itu tentang hal ini janganlah  engkau membahasnya.” (HR.Daruqutni).
 Dari hadis\ di atas jelas bahwa ketentuan-ketentuan Allah SWT dan  Rasul-Nya bukan hanya sekedar berlakunya atau diamalkan, melainkan  bermaksud untuk kemaslahatan hidup manusia. Untuk itu manusia dituntut agar  berbuat adil, baik kepada dirinya maupun kepada orang lain.

Manusia bercita-cita supaya amal perbuatannya di dunia diakhiri dengan  amal-amal tabarru’nya  kepada Allah SWT yang telah dimilikinya. Maka wasiat  adalah salah satu cara yang digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada  Allah SWT. Yang pada akhir kehidupan agar kebaikannya bertambah atau   Al-Daruqutni, Sunan al-Daruqutni,Juz II h. 91   Tabarru’ ialah Derma, sukarela.Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan  Islam..,h.109   memperoleh apa yang terlewat olehnya karena di dalam wasiat itu terdapat  kebajikan dan pertolongan bagi manusia.
 Wasiat merupakan salah satu syari’at Islam yang bersumber dari alQur’an dan Hadis\. Maka dari itu, pelaksanaannya sendiri harus sesuai dengan  tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Berdasarkan sumbernya, maka wasiat merupakan  cara yang dapat digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah  sampai akhir hidupnya agar kebaikannya bertambah atau memperoleh apa yang  terlewat olehnya karena dalam wasiat itu terdapat kebaikan, dan pertolongan  bagi sesama manusia.
Wasiat artinya pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang  akan dilakukan terhadap hartanya sesudah dia meninggal kelak. Menurut katakata dan untuk pemakaian soal-soal lain di luar kewarisan, maka wasiat berarti  pula nasehat-nasehat atau kata-kata yang baik yang disampaikan seseorang  kepada dan untuk orang lain yang berupa kehendak orang yang berwasiat itu  untuk dikerjakan terutama nanti sesudah meninggal.
 Transaksi wasiat merupakan akad yang dilakukan seseorang dengan  orang lain untuk memberikan sesuatu agar dilaksanakan setelah orang yang  berwasiat (ﻰﺻﺍﻮﻟﺍ) meninggal dunia. Wasiat ini tidak menjadi hak bagi orang   Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,Jilid 14,Terj. Mudzakir A.S, h.
 Idris Ramulyo ,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan  Menurut Hukum Perdata. h. 132   yang diberinya, kecuali setelah pemberinya meninggal dan hutang-hutangnya  dibereskan.
 Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 180.
Artinya: ”diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan  (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat  untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,  (ini adalah)  kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.(QS.Al-Baqarah: 180)  Ayat di atas menjelaskan tentang hukum wasiat. Namun demikian, para  ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat, mayoritas ulama  berpendapat bahwa wasiat hukumnya tidak fard}u ain.
 Baik kepada orang tua  maupun kerabat yang sudah menerima warisan, termasuk juga kepada mereka  yang karena suatu hal tidak mendapatkan bagian warisan.
Selain itu, wasiat juga mempunyai batasan-batasan yang harus  diperhatikan oleh pewasiat. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wasiat tidak boleh  diberikan kepada ahli waris\ dan pelaksanaannya tidak boleh melebihi dari  sepertiga dari harta. Ketentuan ini berdasarkan pada hadis\ Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah..,h.
 Ma’ruf ialah adil dan baik.Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan  Hukum Positif di Indonesia, h. 146   Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. ( Artinya:”Dari Sa’id bin Abi Waqqas ra berkata: Nabi Muhammad saw telah  datang menengokku, sedangkan aku berada di Makkah, beliau tidak  ingin mati dimana beliau hijrah, kata Nabi: semoga Allah mengasihi  anak dari Afra’, aku berkata: wahai Rasulullah apakah aku harus  mewasiatkan semua hartaku ? beliaumenjawab: tidak, kemudian aku  bertanya: sepertiga beliau menjawab: ya, sepertiga dan sepertiga itu  banyak, sesungguhnya apabila kamu meninggalkan ahli waris kaya  itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadan  miskin yang meminta-minta kepada orang banyak, sesungguhnya  nafkah yang kamu berikan merupakan sedekah sebagai makanan yang  kamu berikan kepada isterimu. Semoga Allah memuliakanmu  sehingga orang lain dapat mengambilmanfa’at darimu dan sebagian  yang lain tidak, padahal waktu itu tidak memiliki ahli waris kecuali  seorang anak perempuan”. (HR. Bukhari)  Dan juga hadis  Artinya : ”Diriwayatkan Qutaibah bin Said dari Abu ’Awanah dari Qatadah dari  Sahri Ibn Hausyab dari Abdur Rahman Ibn Gunmi dari ’Amr Ibn  Kharijah berkata, Rasulullah saw dalam khutbahnya bersbda : ”  Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang  yang punya hak, untuk itu tiada wasiat bagi para waris.” (HR. AlNasa’iy).
  Imam Bukhari, S}ah}i@h} al- Bukha>ri , Juz III, h. 254   Jalaluddin al-Syuyuti, Syarah} Sunan Nasa’i,Juz V. h. 262   Hadis\ di atas menjadi batasan dalam melaksanakan wasiat harta yang  kemudian dijadikan sebagai acuan oleh imam Syafi’i bahwa wasiat tidak boleh  diberikan kepada ahli waris\ dan pelaksanaannya tidak boleh melebihi ketentuan  sepertiga dari harta.
Di dalam kitab al-Ummimam Syafi’i berpendapat bahwa wasiat itu  diperuntukkan untuk orang yang diwasiatkan asalkan bukan dari ahli waris\,  kalau wasiat itu diberikan kepada orang yang menerima pusaka dari mayat, maka  batal wasiat tersebut. Dan kalau wasiat tersebut kepada orang yang tidak  menerima pusaka dari mayat, maka diperbolehkan wasiat itu.
 Berdasarkan  hadis\ Nabi: ” Tiada wasiat bagi ahli waris",yang telah disebut di atas.
Namun sebaliknya, berbeda dengan pendapat di atas, ulama dari  kalangan Imamiyah memperbolehkan wasiatuntuk ahli waris\ tanpa pengesahan  dan persetujuan para ahli waris\ yang lain sepanjang harta yang diwasiatkan tidak  lebih dari sepertiga, sedangkan kalau wasiatyang melebihi sepertiga, maka harus  dengan adanya persetujuan dari ahli waris\ yang lain.
 Pendapat ini berlandaskan kepada ayat 180 surat Al- Artinya : ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan  (tanda-tanda) maut, jika ia  meninggalkan harta yang banyak,  Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini   Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, h. 32   Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis, h. 262   adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.(QS. AlBaqarah: 180)  Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa  ayat di atas sudah dinasakh(dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat  yang mengatur pembagian harta warisan. Menurut mereka yang dinasakhhanya  hukum wajibnya wasiat kepada ahli waris\. Setelah hukum wajibnya dihapuskan  oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan, maka ayat tersebut  tetap berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat kepada ahli waris\.
Sehingga menurut mereka ” Wasiat bolehuntuk ahli waris\ maupun bukan ahli  waris\, dan tidak bergantung pada persetujuan para ahli waris\ lainnya, sepanjang  tidak melebihi sepertiga harta warisan”.
 Bolehnya berwasiat kepada ahli waris\ menurut mereka dengan beberapa  pertimbangan, antara lain, dari sekian jumlah anak umpamanya ada yang telah  banyak mengurus dan mengabdi kepada orang tuanya di masa keduanya masih  hidup. Untuk hal yang seperti ini adalahwajar mengkhususkan sebagian harta  untuk mereka dengan jalan wasiat, disamping pembagian warisan yang akan  diterimanya. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, bisa jadi ada diantara  ahli waris\ yang hidupnya kurang beruntung di bidang ekonomi dibandingkan  dengan ahli waris\ yang lain. Untuk membela nasib mereka, orang tuanya dapat  mempertimbangkan, sebelum meninggal, untuk mewasiatkan sebagian hartanya   Depag RI, Al Quran dan Terjemahnya,h.
 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Maz\ab, h. 240   untuk anaknya itu. Hal ini juga mempertimbangkan ketentuan untuk tidak  meninggalkan keturunan yang lemah secara ekonomi. Sebagaimana ayat alQur’an ْ Artinya:  Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya  meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka  khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah  mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan  Perkataan yang benar.(An-Nisa’: 9)  Tema perbedaan hukum, khususnya dalam hal wasiat, sangat menarik  untuk dikaji dalam wacana fiqih yang selalu dinamis dan membuka ruang untuk  berijtihad. Berdasarkan argumen serta kaidah yang kuat dan bertanggung jawab  untuk mencari satu kesesuaian formathukum, penulis tertarik untuk mencoba  mengkomparatifkan pendapat Imamiyah dan Imam Syafi’i tentang wasiat dalam  sebuah skripsi yang berjudul ” Studi Komparatif Pemikiran Syi’ah Imamiyah dan  Imam Syafi’i Tentang Wasiat Terhadap Ahli Waris.
B. Rumusan Masalah  Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat penulis  rumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :  1.  Bagaimana Pemikiran Syi’ah Imamiyahdan Imam Syafi’i Tentang Wasiat  Terhadap Ahli Waris\ ?   Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 124   2.  Bagaimana Istinbat} Hukum Pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Imam Syafi’i  Tentang Wasiat Terhadap Ahli Waris\ ?  3.  Apa Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Imam Syafi’i  Tentang Wasiat Terhadap Ahli Waris\ ?  
C. Tujuan Penelitian  Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang dikehendaki  dari penelitian ini adalah :  1.  Untuk mengetahui pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Imam Syafi’i tentang  wasiat terhadap ahli waris\.
2.  Untuk mengetahui istinbat} hukum yang di pakai oleh pemikiran Imamiyah  dan Imam Syafi’i tentang wasiat terhadap ahli waris\.
3.  Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan pemikiran Syi’ah Imamiyah  dan Imam Syafi’i tentang wasiat terhadap ahli waris\.
D.Kajian Pustaka  Kajian pustaka ini bertujuan untuk mengetahui orisinalitas karya dalam  penelitian. Peneliti-peneliti terdahulu menjadi satu pijakan awal untuk selalu  bersikap berbeda dengan penelitian yang lain. Suatu perbedaan menjadi satu  bentuk yang harus dikongkritkan dalam tulisan. Sekalipun bentuk tulisan skripsi  ini adalah konten analisis. Namun hal itu tidak menjadikan surut untuk selalu  berbeda dengan tulisan orang lain.
 Dalam kajian terdahulu terdapat skripsi yang membahas tentang  ”Analisis Hukum Islam terhadap Wasiat Seluruh Harta kepada Sebagian Ahli  Waris dalam Putusan MA No 75 k/AG/1995 tentang Kewarisan.” yang ditulis  oleh Ahmad Dofir Mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syahsiyah  IAIN Surabaya. Dalam skripsinya, Ahmad Dofir mengulas tentang analisis  hukum Islam terhadap putusan MA yang mengabulkan dan mengesahkan  terjadinya wasiat seluruh harta kepada sebagian ahli waris
� r a `� �� ila  nantinya orang tua mereka telah meninggal dunia.  2.  Anak laki-laki sulung adalah anak yang telah banyak berbakti pada orang tua  dan banyak berjasa pada saudara-saudaranya (adik-adiknya).  3.  Keegoan anak laki-laki sulung yang tidak mau meminta persetujuan dan  mendapatkan setara dengan saudara-saudaranya yang lain (adik-adiknya),  dalam menerima harta pemberian orang tua dengan cara wasiat, karena anak  laki-laki sulung merasa lebih berhak atasharta benda orang tuanya, dari pada  saudara-saudaranya yang lain.   Ibid.
  Ibid.   Melihat dari konsep hukum Islam tentang tatacara pemberian wasiat,  ketika dipertemukan dengan realitas adat (kebiasaan) masyarakat di Desa Tlagah  Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan dalam memberikan harta peninggalan  melalui wasiat kepada anak laki-laki sulung, dapat diketahui, bahwa praktek  semacam itu tidak diatur dalam konsephukum Islam, oleh sebab itu penulis  tertarik untuk melakukan penelitian dalam menemukan titik terang, tentang  hukum atas praktek adat pemberian wasiat kepada anak laki-laki sulung di Desa  Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan tersebut, tujuannya adalah untuk  mengetahui secara jelas, bagaimana status hukum dari pada adat pemberian  wasiat kepada anak laki-laki sulung yang dilakukan oleh masyarakat di Desa  Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan.
  


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi