BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan kepada
hamba-hamba-Nya kewajiban-kewajiban dan
larangan-larangan demi terwujudnya kebaikan dalam kehidupan baik di dunia maupun di akhirat
nanti. Oleh karena itu segala ketetapan
Allah SWT, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasul saw harus dilaksanakan dengan
sebenar-benarnya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat: 59 َ Artinya
: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS An-Nisa’ ayat: 59) Ayat di atas, menjelaskan bahwasanya Allah
SWT memerintahkan kepada orang-orang
yang beriman untuk mentaati segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni
diwajibkan mentaati segala yang telah
diperintahkan Allah SWT dalam al-Qur’an maupun segala yang ditetapkan Rasul-Nya dalam Sunnah. Berkaitan
dengan firman Allah SWT di Depag RI, Al
Qur’an dan Terjemahnya, h. 128 atas,
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis\ yang diriwayatkan oleh alDaruqutni
: َ.( Artinya: ”Dari Abi
s\a’labah al-khasyniyyira. Dari Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan
beberapa kewajiban, maka janganlah
engkau sia-siakan. Dan Allah telah menetapkan batasan-batasan (larangan-larangan), maka
janganlah engkau melanggarnya. Dan Allah
telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah
engkau terjang. Dan Allah pun mendiamkan
banyak hal bukan karena lupa, maka oleh
karena itu tentang hal ini janganlah engkau
membahasnya.” (HR.Daruqutni).
Dari hadis\ di atas jelas bahwa
ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya
bukan hanya sekedar berlakunya atau diamalkan, melainkan bermaksud untuk kemaslahatan hidup manusia.
Untuk itu manusia dituntut agar berbuat
adil, baik kepada dirinya maupun kepada orang lain.
Manusia bercita-cita supaya amal
perbuatannya di dunia diakhiri dengan amal-amal
tabarru’nya kepada Allah SWT yang telah
dimilikinya. Maka wasiat adalah salah
satu cara yang digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang pada akhir kehidupan agar
kebaikannya bertambah atau Al-Daruqutni,
Sunan al-Daruqutni,Juz II h. 91 Tabarru’
ialah Derma, sukarela.Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam..,h.109 memperoleh apa yang terlewat olehnya karena
di dalam wasiat itu terdapat kebajikan
dan pertolongan bagi manusia.
Wasiat merupakan salah satu syari’at Islam
yang bersumber dari alQur’an dan Hadis\. Maka dari itu, pelaksanaannya sendiri
harus sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya. Berdasarkan sumbernya, maka wasiat merupakan cara yang dapat digunakan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah sampai
akhir hidupnya agar kebaikannya bertambah atau memperoleh apa yang terlewat olehnya karena dalam wasiat itu
terdapat kebaikan, dan pertolongan bagi
sesama manusia.
Wasiat artinya pernyataan
kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah dia
meninggal kelak. Menurut katakata dan untuk pemakaian soal-soal lain di luar
kewarisan, maka wasiat berarti pula
nasehat-nasehat atau kata-kata yang baik yang disampaikan seseorang kepada dan untuk orang lain yang berupa kehendak
orang yang berwasiat itu untuk
dikerjakan terutama nanti sesudah meninggal.
Transaksi wasiat merupakan akad yang dilakukan
seseorang dengan orang lain untuk
memberikan sesuatu agar dilaksanakan setelah orang yang berwasiat (ﻰﺻﺍﻮﻟﺍ)
meninggal dunia. Wasiat ini tidak menjadi hak bagi orang Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,Jilid 14,Terj.
Mudzakir A.S, h.
Idris Ramulyo ,Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut
Hukum Perdata. h. 132 yang diberinya,
kecuali setelah pemberinya meninggal dan hutang-hutangnya dibereskan.
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat
180.
Artinya: ”diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”.(QS.Al-Baqarah: 180) Ayat di
atas menjelaskan tentang hukum wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum
wasiat, mayoritas ulama berpendapat
bahwa wasiat hukumnya tidak fard}u ain.
Baik kepada orang tua maupun kerabat yang sudah menerima warisan,
termasuk juga kepada mereka yang karena
suatu hal tidak mendapatkan bagian warisan.
Selain itu, wasiat juga mempunyai
batasan-batasan yang harus diperhatikan
oleh pewasiat. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris\ dan
pelaksanaannya tidak boleh melebihi dari sepertiga dari harta. Ketentuan ini
berdasarkan pada hadis\ Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah..,h.
Ma’ruf ialah adil dan baik.Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, h. 146 Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. ( Artinya:”Dari Sa’id bin Abi Waqqas ra
berkata: Nabi Muhammad saw telah datang
menengokku, sedangkan aku berada di Makkah, beliau tidak ingin mati dimana beliau hijrah, kata Nabi:
semoga Allah mengasihi anak dari Afra’,
aku berkata: wahai Rasulullah apakah aku harus mewasiatkan semua hartaku ? beliaumenjawab:
tidak, kemudian aku bertanya: sepertiga
beliau menjawab: ya, sepertiga dan sepertiga itu banyak, sesungguhnya apabila kamu meninggalkan
ahli waris kaya itu lebih baik daripada
kamu meninggalkan mereka dalam keadan miskin
yang meminta-minta kepada orang banyak, sesungguhnya nafkah yang kamu berikan merupakan sedekah
sebagai makanan yang kamu berikan kepada
isterimu. Semoga Allah memuliakanmu sehingga
orang lain dapat mengambilmanfa’at darimu dan sebagian yang lain tidak, padahal waktu itu tidak
memiliki ahli waris kecuali seorang anak
perempuan”. (HR. Bukhari) Dan juga hadis
Artinya : ”Diriwayatkan Qutaibah bin
Said dari Abu ’Awanah dari Qatadah dari Sahri
Ibn Hausyab dari Abdur Rahman Ibn Gunmi dari ’Amr Ibn Kharijah berkata, Rasulullah saw dalam
khutbahnya bersbda : ” Sesungguhnya
Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang yang punya hak, untuk itu tiada wasiat bagi
para waris.” (HR. AlNasa’iy).
Imam Bukhari, S}ah}i@h} al- Bukha>ri , Juz III, h. 254 Jalaluddin al-Syuyuti, Syarah} Sunan
Nasa’i,Juz V. h. 262 Hadis\ di atas
menjadi batasan dalam melaksanakan wasiat harta yang kemudian dijadikan sebagai acuan oleh imam
Syafi’i bahwa wasiat tidak boleh diberikan
kepada ahli waris\ dan pelaksanaannya tidak boleh melebihi ketentuan sepertiga dari harta.
Di dalam kitab al-Ummimam Syafi’i
berpendapat bahwa wasiat itu diperuntukkan
untuk orang yang diwasiatkan asalkan bukan dari ahli waris\, kalau wasiat itu diberikan kepada orang yang
menerima pusaka dari mayat, maka batal
wasiat tersebut. Dan kalau wasiat tersebut kepada orang yang tidak menerima pusaka dari mayat, maka diperbolehkan
wasiat itu.
Berdasarkan hadis\ Nabi: ” Tiada wasiat bagi ahli
waris",yang telah disebut di atas.
Namun sebaliknya, berbeda dengan
pendapat di atas, ulama dari kalangan
Imamiyah memperbolehkan wasiatuntuk ahli waris\ tanpa pengesahan dan persetujuan para ahli waris\ yang lain
sepanjang harta yang diwasiatkan tidak lebih
dari sepertiga, sedangkan kalau wasiatyang melebihi sepertiga, maka harus dengan adanya persetujuan dari ahli waris\
yang lain.
Pendapat ini berlandaskan kepada ayat 180 surat
Al- Artinya : ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini Muhammad bin Idris
al-Syafi’i, al-Umm, h. 32 Muhammad
Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis, h. 262 adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.(QS. AlBaqarah: 180) Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa ayat di atas sudah
dinasakh(dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan. Menurut
mereka yang dinasakhhanya hukum wajibnya
wasiat kepada ahli waris\. Setelah hukum wajibnya dihapuskan oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta
warisan, maka ayat tersebut tetap
berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat kepada ahli waris\.
Sehingga menurut mereka ” Wasiat
bolehuntuk ahli waris\ maupun bukan ahli waris\, dan tidak bergantung pada persetujuan
para ahli waris\ lainnya, sepanjang tidak
melebihi sepertiga harta warisan”.
Bolehnya berwasiat kepada ahli waris\ menurut
mereka dengan beberapa pertimbangan,
antara lain, dari sekian jumlah anak umpamanya ada yang telah banyak mengurus dan mengabdi kepada orang
tuanya di masa keduanya masih hidup.
Untuk hal yang seperti ini adalahwajar mengkhususkan sebagian harta untuk mereka dengan jalan wasiat, disamping
pembagian warisan yang akan diterimanya.
Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, bisa jadi ada diantara ahli waris\ yang hidupnya kurang beruntung di
bidang ekonomi dibandingkan dengan ahli
waris\ yang lain. Untuk membela nasib mereka, orang tuanya dapat mempertimbangkan, sebelum meninggal, untuk
mewasiatkan sebagian hartanya Depag RI,
Al Quran dan Terjemahnya,h.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Maz\ab, h.
240 untuk anaknya itu. Hal ini juga
mempertimbangkan ketentuan untuk tidak meninggalkan
keturunan yang lemah secara ekonomi. Sebagaimana ayat alQur’an ْ Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.(An-Nisa’: 9) Tema perbedaan hukum, khususnya dalam hal
wasiat, sangat menarik untuk dikaji
dalam wacana fiqih yang selalu dinamis dan membuka ruang untuk berijtihad. Berdasarkan argumen serta kaidah
yang kuat dan bertanggung jawab untuk
mencari satu kesesuaian formathukum, penulis tertarik untuk mencoba mengkomparatifkan pendapat Imamiyah dan Imam
Syafi’i tentang wasiat dalam sebuah
skripsi yang berjudul ” Studi Komparatif Pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Imam Syafi’i Tentang Wasiat Terhadap Ahli
Waris.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di
atas, dapat penulis rumuskan
masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana Pemikiran Syi’ah Imamiyahdan Imam Syafi’i Tentang Wasiat Terhadap Ahli Waris\ ? Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 124 2.
Bagaimana Istinbat} Hukum Pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Imam Syafi’i Tentang Wasiat Terhadap Ahli Waris\ ? 3. Apa
Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Imam Syafi’i Tentang Wasiat Terhadap Ahli Waris\ ?
C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka
tujuan yang dikehendaki dari penelitian
ini adalah : 1. Untuk mengetahui pemikiran Syi’ah Imamiyah
dan Imam Syafi’i tentang wasiat terhadap
ahli waris\.
2. Untuk mengetahui istinbat} hukum yang di
pakai oleh pemikiran Imamiyah dan Imam
Syafi’i tentang wasiat terhadap ahli waris\.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan
pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Imam
Syafi’i tentang wasiat terhadap ahli waris\.
D.Kajian Pustaka Kajian pustaka ini bertujuan untuk mengetahui
orisinalitas karya dalam penelitian.
Peneliti-peneliti terdahulu menjadi satu pijakan awal untuk selalu bersikap berbeda dengan penelitian yang lain.
Suatu perbedaan menjadi satu bentuk yang
harus dikongkritkan dalam tulisan. Sekalipun bentuk tulisan skripsi ini adalah konten analisis. Namun hal itu
tidak menjadikan surut untuk selalu berbeda
dengan tulisan orang lain.
Dalam kajian terdahulu terdapat skripsi yang
membahas tentang ”Analisis Hukum Islam
terhadap Wasiat Seluruh Harta kepada Sebagian Ahli Waris dalam Putusan MA No 75 k/AG/1995 tentang
Kewarisan.” yang ditulis oleh Ahmad
Dofir Mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syahsiyah IAIN Surabaya. Dalam skripsinya, Ahmad Dofir
mengulas tentang analisis hukum Islam
terhadap putusan MA yang mengabulkan dan mengesahkan terjadinya wasiat seluruh harta kepada
sebagian ahli waris
� r a `� �� ila nantinya orang tua mereka telah meninggal
dunia. 2. Anak laki-laki sulung adalah anak yang telah
banyak berbakti pada orang tua dan
banyak berjasa pada saudara-saudaranya (adik-adiknya). 3.
Keegoan anak laki-laki sulung yang tidak mau meminta persetujuan dan mendapatkan setara dengan saudara-saudaranya
yang lain (adik-adiknya), dalam menerima
harta pemberian orang tua dengan cara wasiat, karena anak laki-laki sulung merasa lebih berhak atasharta
benda orang tuanya, dari pada saudara-saudaranya
yang lain. Ibid.
Ibid. Melihat dari konsep hukum Islam tentang
tatacara pemberian wasiat, ketika
dipertemukan dengan realitas adat (kebiasaan) masyarakat di Desa Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan dalam
memberikan harta peninggalan melalui
wasiat kepada anak laki-laki sulung, dapat diketahui, bahwa praktek semacam itu tidak diatur dalam konsephukum
Islam, oleh sebab itu penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dalam menemukan titik terang, tentang hukum atas praktek adat pemberian wasiat
kepada anak laki-laki sulung di Desa Tlagah
Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan tersebut, tujuannya adalah untuk mengetahui secara jelas, bagaimana status
hukum dari pada adat pemberian wasiat
kepada anak laki-laki sulung yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi