Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN N O (Niet Onvankelijkverklaart) DALAM GUGAT REKONVENSI CERAI TALAK PADA PERKARA VERZET (Studi Putusan Nomor 1884 Pdt G Verzet 2012 PA Kab Mlg)


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Agama  Islam  yang  diturunkan  oleh  Allah  SWT  adalah  sebagai  pembawa  rahmat bagi seluruh alam, yang mengatur segala sendi kehidupan manusia dalam  semesta  ini,  diantara  aturan  tersebut  salah  satunya  adalah  hukum  mengenai  perkawinan.
 Perkawinan  adalah  ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita  sebagai  suami  isteri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  Perkawinan  diibaratkan  ikatan  yang  sangat  kuat  dan  sangat  sulit  terpisahkan.  Oleh  karena  itu  dalam  melaksanakan  pernikahan  haruslah  tepat  dalam segala aspek mulai dari pemilihan  calon mempelai dan juga dari keluarga,  karena  dalam  mengarungi  bahtera  rumah  tangga  haruslah  selaras  dari  keduanya  sehingga akan tercapai kehidupan yang harmonis.
 Sekiranya  konsep  al-Qur’an  dapat  tercapai  yaitu  Saki<nah  mawaddah  wa rah}mah seperti yang dijelaskan oleh firman Allah dalam surat ar-Ru>m ayat 21:  Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Artinya:  “Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaa-Nya  ialah  dia  menciptakan  untukmu  istri-istri  dari  jenismu  sendiri,  supaya  kamu  cenderung  dan  merasa  tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu kasih sayang. Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu,  benar-banar  terdapat  tanda-tanda  bagi  kaum  yang  berpikir.”  Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa kandungan pernikahan sangat  banyak  isinya  tidak  hanya  untuk  kepentingan  ummat  secara  umum  tetapi  juga  untuk kepentingan dari setiap individu untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi  yang menjadi tranformasi menuju kebahagiaan ukhrowi.
 Perkawinan  juga  merupakan  bentuk  dari  suatu  ikatan,  maka  ketika  ikatan  itu  berakhir  timbul  berbagai  akibat  hukum  sebagaimana  lazimnya  suatu  ikatan.
 Namun  demikian,  karena  perkawinan  merupakan  bentuk  ikatan  yang  bersifat  sangat  khusus,  yakni  berupa  ikatan  batiniah,  maka  pengaturannyapun  tidak  tunduk kepada ketentuan  pada umumnya, melainkan diatur secara khusus dalam  sebuah undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan  peraturan  pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975  sebagai  peraturan  pelaksanaan   Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya ,  (Surabaya:  Penerbit  Mahkota,  Cet.  V,  2001), 464.
  Undang-Undang  Nomor  1  tahun  1974  mengatur  berbagai  ketentuan  hukum  materil  perkawinan  dan  segala  sesuatu  yang  terkait  dengannya,  sedangkan  peraturan  pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975  mengatur  tentang  tata  cara  pelaksanaan yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian yang sekaligus  merupakan hukum acara.
 Di dalam hukum acara perdata ini pula akan diketahui tata cara atau proses  jalannya perkara di pengadilan,  mulai dari gugatan, pemeriksaan,  putusan bahkan  sampai  upaya  hukum  terhadap  putusan  tersebut.  Dalam  pemeriksaan  perkara  tentulah bukan hal yang mudah bagi para penegak hukum,  karena mereka harus  mempertimbangkan secara logis kebenaran pada suatu peristiwa.
 Pada  dasarnya  kenyataan  telah  menunjukkan  bahwa  hubungan  dalam  perkawinan  itu  tidak  selamanya  dapat  dipelihara  secara  harmonis,  namun  terkadang suami isteri mengalami kegagalan dalam mendirikan sebuah keluarga  yang  menemui  beberapa  masalah  yang  sulit  untuk  diatasi.  Kegagalan  ini  disebabkan  adakalanya  suami  isteri  yang  tidak  bisa  menunaikan  kewajibannya  atau ada sebab tertentu.
  Perceraian  sendiri  adalah  suatu  hal  yang  halal  untuk  dilakukan.  Namun jikalau  sepasang  suami-istri  melakukan  perceraian,  alkisah  mengatakan  bahwa  'Arsy  terguncang sebegitu dahsyatnya. Oleh karena hal tersebut, Allah membenci  perceraian, meski telah dikatakan bahwa hal ini adalah halal.
  Amir  Syarifuddin,  Hukum  Perkawinan  Islam  di  Indonesia  antara  Fiqh  Munakahat  dan  Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), 190.
  Sebagaimana sabda Nabi yang berbunyi: Artinya:  “Dari  Abdullah  ibn  Umar  r.a,  Rasulullah  SAW  bersabda:  perbuatan  halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.” (H.R. Abu Daud dan Ibn  Majah)  Dalam  menyelesaikan  sengketa  rumah  tangga  (perceraian),  selain  kedua  ketentuan  diatas  terdapat  pengaturan  lain  yang  dikhususkan  bagi  orang  yang  beragama Islam yaitu yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989  tentang Peradilan Agama yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun  2006  yang kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009  tentang Peradilan Agama.
 Hal-hal yang menjadi sebab  putusnya perkawinan antara seorang suami dan  seorang istri yang menjadi pihak-pihak terkait dalam perkawinan, menurut pasal  38  Undang-Undang  1  Tahun  1974  menyatakan  perkawinan  dapat  putus  karena  tiga sebab yaitu:  a.  Kematian;  Al  Qozwini,  Hafidz Abi  Abdillah M  ibn Yazid,  Sunan ibn Majah, (Beirut: Da>r al-fikr,  tt),  633.
  Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2006), 216.
  b.  Perceraian; c.  Atas putusan pengadilan.
 Berdasarkan  Undang-Undang  No.  7  Tahun  1989  pasal  49  ayat  (1),  Pengadilan  Agama  bertugas  dan  berwenang  memeriksa,  memutus  dan  menyelesaikan  perkara-perkara  di  tingkat  pertama  antara  orang-orang  yang  beragama Islam,  dan  salah satunya  adalah  dalam bidang perkawinan. Dalam hal  ini  yang  berwenang  mengadili  persengketaan  perkawinan  ini  adalah  Pengadilan  Agama.
  Sejalan  dengan  prinsip  atas  asas  Undang-Undang  perkawinan  untuk  mempersulit  terjadinya  perceraian,  maka  perceraian  hanya  dapat  dilakukan  di  depan  sidang  pengadilan,  setelah  pengadilan  yang  bersangkutan  berusaha  dan  tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini telah diatur dalam pasal  65  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  2006  yang  kemudian  dirubah  lagi  dengan  Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
 Undang-Undang  No.7  tahun  1989  tentang  Pengadilan  Agama  merupakan  sebuah  Undang-Undang  yang  mengatur  secara  khusus  mengenai  tata  cara  beracara  di  Pengadilan  Agama.  Namun  Pengadilan  Agama  masih  menggunakan  sumber hukum lainya seperti HIR, R.Bg, Rv, dan peraturan perundang-undangan  lainnya.
  Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, 23.
  Pasal  54  Undang-Undang  No.7  tahun  1989  menyatakan:  “  Hukum  acara  yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum  acara  perdata  yang  berlaku  pada  pengadilan  di  lingkungan  peradilan  Umum,  kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
  Kewenangan  mengadili  perkara  perdata  Islam  Pengadilan  Agama  diatur  dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor   7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama  yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan dirubah  lagi dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi:  “Pengadilan  Agama  bertugas  dan  berwenang  memeriksa,  memutus  dan  menyelesaikan  perkara-perkara  di  tingkat  pertama  antara  orang-orang  yang  beragama  Islam  di  bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,  wakaf, zakat, infak, sedekah, dan  ekonomi syariah.”  Salah  satu  yang  diatur  di  dalam  HIR  sebagai  sumber  hukum  acara  di  lingkungan  Peradilan  Agama  adalah  ketentuan  mengenai  persengketaan  perkawinan.
 Perceraian  merupakan  salah  satu  ujian  dalam  kehidupan  berumah  tangga.
 Hal  ini  dapat  dialami  oleh  siapa  saja  tanpa  terkecuali.  Syara’  menginginkan  pernikahan  terjalin  kekal  antara  suami  isteri  kecuali  karena  adanya  suatu  sebab  yang tidak dapat dihindari. Salah satunya yakni karena sebab meninggalnya salah   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
  A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), 149.
  satu  pihak  dan  atau  yang  lainnya.  Karena  itu  pula  syara’  tidak  mengikat  mati  pernikahan  dan  tidak  pula  mempermudah  perceraian.   Syara’  sendiri  telah  membenarkan  dan  mengizinkan  perceraian  kalau  itu  lebih  dapat  memperbaiki  kehidupan daripada tetap mempertahankan ikatan pernikahan.
  Tidaklah  mustahil  jika  didalam  masyarakat  dijumpai  bahwa  kehidupan  perkawinan  terkadang  dengan  suatu  sebab  atau  beberapa  sebab  menjadi  buruk,  bahkan  demikian  buruknya  sehingga  dirasakan  bahwa  kehidupan  suami  istri  itu  tidak  dapat  dilanjutkan  lagi.  Merasa  bahwa  kehidupan  perkawinan  tidak  dapat  dilanjutkan  lagi  oleh  salah  satu  pihak  atau  kedua  belah  pihak  dari  suami  istri  adalah  merupakan  alasan  pokok  dari  terjadinya  perceraian.
  Keadaan  ini  tidak  boleh  beralut–larut  dan  Islam  pun  telah  memahami  dan  menyadari  hal  ini,  oleh  karena  itu  Islam  membuka  kemungkinan  perpisahan  dengan  jalan  perceraian ataupun  yang  lainnnya  demi  menjunjung  tinggi  prinsip  kebebasan  dan  kemerdekaan manusia.
 Demikian  halnya dalam problem rumah tangga sebuah keluarga yang akan  menjadi bahan penelitian penulis,  yang  mana hubungan antara kedua belah pihak  (suami  isteri)  yang  sudah  tidak  harmonis  lagi,  selayaknya  awal  pernikahan.
 Suami  telah  meninggalkan  rumah  kurang  lebih  selama  3  tahun  tanpa  memberi  nafkah  kepada  sang  isteri  dan  anak-anaknya.  Setelah  kejadian  3  tahun  tersebut  Latif Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 30.
  Bachtiar  Efendi,  et.al,  Surat  Gugat  dan  Pembuktian  dalam  Hukum  Acara  Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 12.
  kemudian  suami  menceraikan  isterinya  melalui  Pengadilan  Agama  Kabupaten  Malang  dengan  putusan  verstek.  Dalam  hal  ini  Termohonlah  yang  tidak  hadir  dalam persidangan, karena ia merasa tidak pernah menerima surat panggilan dari  Pengadilan Agama Kota Malang selaku lembaga yang menangani kasus mereka.
 Di dalam  hukum  acara perdata dijelaskan bahwa    terhadap  putusan hakim  ada upaya-upaya hukum yang dapat di tempuh mana kala para pihak tidak dapat  menerima  terhadap  putusan   hakim  tersebut.
  Dalam  hal  ini  Termohon mangajukan  upaya  hukum,  yakni  verzet  atau  perlawanan  atas  putusan  verstek,  dengan nomor perkara  1884/Pdt.G/VERZET/20012/PA.Kab.Mlg.  Dalam putusan  tersebut  Termohon  juga telah mengajukan eksepsi dan juga  Rekonvensi, namun  dalam putusan itu  eksepsi tersebut ditolak  dan  Rekonvensinya pun juga di  N.O  (Niet Onvankelijkverklaart) atau tidak diterima.
 Akan  tetapi jika si Tergugat, dalam hal ini adalah  Termohon  di dalam  surat  jawabannya  juga  mengemukakan  eksepsi  (penangkisan)  bahwa  pengadilan  tersebut  tidak  berkuasa  memeriksa  perkaranya,  maka  meskipun  ia  sendiri  atau  wakilnya  tidak  datang,  maka  wajiblah  Pengadilan  tersebut  memberi  keputusan  tentang  eksepsi  itu  sebelum  hakim  melanjutkan  pemeriksaan  atas  pokok  perkaranya,  dan  putusan  ini  disebut  dengan  putusan  sela.
  Jika  hakim  berpendapat  bahwa  ia  berwenang  memeriksa  dengan  mengadili  perkara  dengan   Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 54.
  Mr. R. Tresna, HIR , (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), 107.
  alasan apa yang diperkarakan termasuk yuridiksi absolut atau relatif pengadilan  yang  bersangkutan,  maka  eksepsi  ditolak  dan  penolakan  tersebut  dituangkan  dalam bentuk putusan sela (interlocutory).
  Pada  dasarnya  perlawanan  verzet  ini disediakan bagi pihak  Termohon  yang  dikalahkan  namun  demikian  untuk  mengetahui  kenyataan  yang  sebenarnya  apakah  proses  tersebut  telah  sesuai  dengan  hukum  acara  yang  berlaku  di  Indonesia  atau tidak,  sesuai atau tidaknya putusan tersebut akan dibahas dalam  penelitian ini.
 Berdasarkan  data  sementara,  penulis  menemukan  permasalahan  pada  formulasi  putusan  yang dikeluarkan  oleh  Pengadilan  Agama  Kabupaten  Malang yang  kurang  tepat.  Yakni  dalam  amar  putusan  Rekonvensi  yang  dijatuhkan  menyatakan  bahwa  gugatan  Pelawan  tidak  dapat  diterima  atau  N.O  (Niet  Onvankelijkverklaart), namun pada  amar putusan Konvensi  dan Rekonvensi  yang  biasanya  hanya  berisi mengenai pembebanan biaya perkaranya  saja  tetapi dalam  putusan  nomor  1884/Pdt.G/VERZET/2012/PA.Kab.Mlg  melebihi  dari  itu,  yakni  nafkah  iddah  dan  nafkah  mut’ah  juga  masuk  didalamnya.  Selain  itu  dalam  hal  penolakan  eksepsi  yang  seharusnya  diputuskan  dengan  putusan  sela  terlebih  dahulu  namun  hakim  lansung  melanjutkan  sidang  dengan  pemeriksaan  perkara  yang tanpa diputus dengan putusan sela terlebih dahulu 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi