BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum Acara Peradilan Agama adalah segala peraturan baik bersumber dari
peraturan Perundang-Undangan Negara
maupun Syari’at Islam
yang mengatur bagaimana orang
berproses kemuka Pengadilan Agama dalam rangka menyelesaikan
perkaranya.
Pengadilan Agama
adalah Peradilan Negara
yang sah, yakni Peradilan Islam
di Indonesia, yang diberi wewenang oleh
peraturan perundang-undangan oleh
Negara, yang menegakkan Hukum Islam dalam batasbatas kekuasaannya pada
jenis perkara Perdata tertentu dari Perdata Islam, bagi orang-orang di Indonesia.
Peradilan
Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan Hukum Agama Islam
kepada orang-orang Islam
yang dilakukan di
Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama.
Peradilan Agama, dalam
sistem Peradilan Nasional
Indonesia, di samping
Peradilan Umum, Peradilan
Militer, dan Peradilan
Tata Usaha Negara,
merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman
dalam Negara Republik
Indonesia. Keempat lembaga
peradilan itu mempunyai kedudukan yang sama, sederajat
dengan kekuasaan yang berbeda.
Roihan
A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Rajawali Pers cet. 6, 1991),
h.
Ibid,
h. 20 Sebagai lembaga
peradilan, Peradilan Agama
dalam bentuknya sederhana
berupa tahkim yaitu
lembaga penyelesaian sengketa
antara orangorang Islam
yang dilakukan oleh
para ahli agama,
telah lama ada
dalam masyarakat Indonesia
yakni sejak agama
Islam datang ke
Indonesia. Lembaga tahkim
yang menjadi asal-usul
Peradilan Agama itu,
tumbuh dan berkembang bersama
dengan perkembangan masyarakat muslim di kepulauan Nusantara ini.
Ia
telah lama berfungsi
sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah
(terutama) melaksanakan hukum perkawinan
dan hukum kewarisan yang merupakan rangkaian kesatuan dengan dan
menjadi komponen agama
Islam. Peradilan Agama
yang telah ada
sejak agama Islam datang ke Indonesia itulah yang kemudian
diakui dan dimantapkan kedudukanya di
Jawa dan Madura
tahun 1882, di
sebagian besar residensi Kalimantan Selatan dan Timur tahun 1937
dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang-undagan
pembentukannya.
Pengadilan
agama terdiri atas: a. Pengadilan Agama
(PA) sebagai pengadilan
tingkat pertama yang berkedudukan
di ibukota madya/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya pengecualian.
H.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam,
(Bandung, Pustaka Setia), h.251.
b. Pengadilan
Tinggi Agama (PTA)
sebagai pengadilan tingkat
banding yang berkedudukan di ibukota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi.
Untuk melaksanakan
tugas pokoknya Pengadilan
Agama berwenang memeriksa,
mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara yang
di atur UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 yang pasal
dan isinya tidak diubah dalam pembaharuan
kedua UU No. 50 Tahun
2009, dan perkara bidang ahwalusy
alsyakhsiyah (hukum keluarga).
Salah
satu di antara jenis perkara yang
menjadi kekuasaan Peradilan Agama adalah
tentang perkawinan, pasal 47 ayat (1) huruf (a) UU No.
7 Tahun. 1989. Menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan.
Salah satu
perkara perkawinan yang
diatur dalam UU
No. 1 Tahun.
1974 tentang perkawinan
adalah perkara perceraian,
yang menurut pasal
34 (1) UndangUndang ini bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Perkawinan juga merupakan bentuk
dari suatu perikatan,
maka ketika perikatan
itu berakhir timbul
berbagai akibat hukum
sebagaimana lazimnya Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Dan Mahkama Syar’iyah, h.
Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h.
Undang-Undang
No. 7 Th. 1989, Tentang Peradilan Agama dan Komentarnya, h.
Ibid,
h. 18 suatu perikatan.
Namun demikian, karena
perkawinan merupakan bentuk perikatan yang bersifat khusus berupa ikatan
batiniah, maka pengaturanya pun tidak tunduk
kepada ketentuan perikatan
pada umumnya, melainkan
diatur secara khusus
dalam sebuah Undang-Undang
tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974
dan PP Nomor
9 Tahun 1975
sebagai peraturan pelaksanannya
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 mengatur
berbagai ketentuan hukum materiil
perkawinan dan segala sesuatu yang terkait denganya, sedangkan
Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975
mengatur tentang tata cara
perkawinan dan percerian sekaligus merupakan hukum acara.
Jika seseorang
yang telah menikah
akan melakukan perceraian,
maka harus mengajukan
surat permohonan/gugatan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggal
pihak isteri, yang
berisi pemberitahuan bahwa
ia bermaksud untuk bercerai dengan alasan-alasan, serta
meminta kepada Pengadilan Agama untuk
mengadakan sidang demi keperluan tersabut.
Hal-hal
yang menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan
antara seorang suami
dan seorang isteri
yang menjadi pihak-pihak
terkait dalam perkawinan,
menurut pasal 38
UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 menyatakan perkawinan dapat putus karena tiga sebab yaitu: a.
Kematian Amiur Nuruddin dan
Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 190-1 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan
Agama, h. 2 Amiur Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 216 b.
Perceraian c. Atas Putusan
Pengadilan Ketiga sebab ini, apabila diperhatikan dari sisi pihak-pihak yang
berakad, ternyata bahwa sebab itu ada
yang merupakan hak pada pihak suami, ada yang merupakan hak pada pihak isteri, dan ada pula yang di luar hak mereka yakni yang karena kematian dan sebagia sebab atas
keputusan pengadilan.
Putusnya
perkawinan mungkin atas inisiatif suami
atau mungkin juga atas inisiatif istri.
Namun
semua perceraian baik
atas inisiatif seorang
suami ataupun istri
harus melalui proses
di Pengadilan Agama
yang bersangkutan. Di
dalam UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan
Agama diatur beberapa
asas umum Peradilan Agama.
Adapun yang dimaksud
asas umum Peradilan
Agama adalah asas hukum tertentu
dalam bidang hukum
acara yang secara
khusus dimiliki oleh Peradilan
Agama. Asas-asas hukum yang dimaksud adalah: 1.
Asas Personalitas Keislaman 2.
Asas Kebebasan 3. Asas Wajib
Mendamaikan 4. Asas Terbuka Untuk Umum 5. Asas Legalitas 6. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan 7. Asas Equality
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 117 8.
Asas Aktif Memberikan Bantuan.
Asas-asas
ini menjadi pedoman
umum dalam melaksanakan
penerapan semangat undang-undang
dan keseluruhan rumusan pasal-pasal. Oleh karena itu, pendekatan
interpretasi, penerapan, dan
pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan
bertentangan dengan jiwa
dan semangat yang
tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum.
Tidak
selamanya kasus pengajuan gugat cerai tersebut dapat
diterima di Pengadilan
Agama, hal ini
disebabkan adanya beberapa
hal yang sekiranya
telah dianggap menyalahi
aturan, seperti halnya kasus pengajuan gugat cerai yang yang tidak diterima oleh Pengadilan Agama
Malang akibat gugatanya kabur (obscuur
libel).
Tidak
diterimahnya kasus gugat cerai yang terjadi di Pengadilan Agama Malang
tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan Hukum Acara Peradilan Agama, karena hakim
menyatakan bahwa gugat
cerai tersebut obscuur
liber (gugatan kabur) dengan
alasan bahwa kuasa hukum dari penggugat telah melampaui batas kewenangan yang menjadi hak kuasanya dengan
mengajukan gugatan lain selain perceraian. Hal-hal
yang harus diperhatikan
oleh hakim dalam
menentukan perkara gugatan itu
kabur (obscuur liber) ada 4 yakni sebagai berikut : 1.
Apabila pemeriksaan perkara
sudah sampai tahap
pembuktian, maka hakim jangan memutus
dengan menyataka “gugatan
tidak dapat diterima”,
akan tetapi “ditolak”.
Mardani,
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkama Syar’iyah, h. 37.
Ibid, h. 88-89 2.
Dalam gugatan yang berhubungan
dengan benda tidak bergerak, harus jelas mengenai batas, letak dan luas objek sengketa.
3.
Untuk menghindari putusan
non-exsecutable, majelis hakim
berinisiatif mengadakan pemeriksaan
setempat descente (SEMA
No. 7 Tahun
2001 tantang Pemeriksaan
Setempat).
4.
Patokan perkara obscuur lible, adalah: a. Fundamentum petendi tidak menjelaskan dasar
gugatan; b. Tidak jelas objek yang
disengketakan; c. Penggabungan yang
tidak jelas; d. Bertentangan antara
posita dan petitum; dan e. Petitun tidak
dirinci.
Kasus
tersebut menurut penulis,
menarik untuk dijadikan
penelitian, karena ada
kesenjangan antara Hukum Acara Peradilan
Agama dengan putusan hakim. Oleh karena itu penulis perlu
mengadakan penelitian untuk mengetahui pertimbangan
dan dasar hukum
yang digunakan hakim
Pengadilan Agama Malang
dalam memutuskan perkara
gugat cerai tersebut.
Untuk itu dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis
Terhadap Putusan Neit
Ontvankelijk (NO) (Studi
Kasus Perkara No:
0380/Pdt.G/2012/PA. Mlg)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut: 1. Apa yang
menjadi pijakan majelis
hakim menjatuhkan putusan
Neit Ontvankelijk (NO) dalam
perkara No: 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg? 2.
Bagaimana analisis Hukum Acara
Peradilan Agama terhadap putusan
hakim menjatuhkan putusan
Neit Ontvantkelijk dalam
perkara No: 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg? C. Kajian Pustaka Mengenai masalah cerai gugat
sudah banyak yang membahasnya, namun dalam kasus
gugatan yang tak
bisa diterimah, belum
ada yang membahasnya.
Oleh karena itu penulis akan membahas masalah
tersebut.
Pertama,
dalam skripsi saudari
Kutsiyatur Rahmah yang
berjudul “Putusan Penolakan
Gugatan Cerai (Studi
Putusan PA Pamekasan
No.
102/Pdt.G/2008/PA.Pmk)” skripsi
ini menjelaskan tentang
para hakim menerapkan
aturan hukum Islam
yakni suatu gugatan
harus ditolak apabila penggugat
tidak dapat membuktikannya. Begitu
juga dalam analisis
hukum positifnya, putusan
hakim Pengadilan Agama
Pamekasan tersebut telah
sesuai dengan aturan
Undang-Undang yang berlaku. Karena pada kenyataanya gugatan cerai si isteri tidak sesuai dengan pasal 39
ayat 2 Undang-Undang perkawinan No. 1
Tahun 1974 jo pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI.
Kedua,
dalam skripsi saudara Masyfuq Fathoni yang berjudul “Penolakan Gugat
Cearai Akibat Cacat
Formil di Pengadilan
Agama Lamongan (Studi Analisis
Putusan No. 0488/Pdt.G/2007/PA.Lmg)” skripsi
ini menjelaskan tentang
putusan hakim tentang
penolakan gugat cerai
akibat cacat formil dengan alasan bahwa isteri mempunyai dua orang
suami. Akibat dari penolakan secara tidak
langsung hakim menganggap
sah kedua perkawinan
tersebut. Hal ini bertentangan
dengan hukum Islam yang melarang poliandri, Undang-Undang No.
1 tahun 1974
pasal 3 ayat
(1) juga menyatakan
bahwa: “pada asasnya dalam
suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri.
Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang
suami”.
Berbeda halnya
dengan skripsi ini,
penulis mencoba mengkaji
tentang gugatan cerai
yang tidak diterima
oleh hakim Pengadilan
Agama Malang, karena
kuasa hukum melampaui
kewenagan yang diberikan
oleh penggugat.
Dengan
begitu hakim tidak
menerima gugatan cerai
tersebut. Dari pemaparan penulis tentang tinjauan pustaka di atas,
penulis memilih bahwa topik yang akan dibahas disini
berbeda dengan skripsi-skripsi yang
dahulu. Judul skripsi
yang Kutsiyatur Rahmah,
Putusan Penolakan Gugatan
Cerai (Studi Putusan
PA Pamekasan No.102/Pdt.G/2008/PA.Pmk), Jurusan
Ahwalus Syakhsiyah, Fakultas
Syariah, IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 20 Masyfuq
Fathoni, Penolakan Gugat
Cerai Akibat Caca
Formil Di Pengadilan
Agama Lamongan (Studi
Analisis Putusan No.
0488/Pdt.G/2007/PA.Lmg),
Jurusan ahwalus Syakhsiyah, Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2008.
akan dibahas
penulis adalah “Tinjauan
Yuridis Terhadap Putusan
Neit Onvantkelijk (NO) (Studi Kasus Perkara No.
0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg)” belum ada yang membahas
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi