Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN NEIT ONVANTKELIJK (NO) (STUDI KASUS PERKARA NO. 0380 PDT G 2012 PA MLG)


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Hukum  Acara Peradilan Agama  adalah segala peraturan baik bersumber  dari  peraturan  Perundang-Undangan  Negara  maupun  Syari’at  Islam  yang  mengatur bagaimana orang berproses kemuka  Pengadilan Agama  dalam rangka  menyelesaikan  perkaranya.
  Pengadilan  Agama  adalah  Peradilan  Negara  yang  sah, yakni Peradilan Islam di Indonesia,  yang diberi wewenang oleh peraturan  perundang-undangan oleh Negara, yang menegakkan Hukum Islam dalam batasbatas kekuasaannya pada jenis  perkara  Perdata tertentu dari Perdata Islam, bagi  orang-orang di Indonesia.

  Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan  Hukum  Agama  Islam  kepada  orang-orang  Islam  yang  dilakukan  di  Pengadilan  Agama  dan  Pengadilan  Tinggi  Agama.  Peradilan  Agama,  dalam  sistem  Peradilan  Nasional  Indonesia,  di  samping  Peradilan  Umum,  Peradilan  Militer,  dan  Peradilan  Tata  Usaha  Negara,  merupakan  salah  satu  pelaksana  kekuasaan  kehakiman  dalam  Negara  Republik  Indonesia.  Keempat  lembaga  peradilan  itu  mempunyai kedudukan yang sama, sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
  Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Rajawali Pers cet. 6, 1991), h.
   Ibid, h. 20   Sebagai  lembaga  peradilan,  Peradilan  Agama  dalam  bentuknya  sederhana  berupa  tahkim  yaitu  lembaga  penyelesaian  sengketa  antara  orangorang  Islam  yang  dilakukan  oleh  para  ahli  agama,  telah  lama  ada  dalam  masyarakat  Indonesia  yakni  sejak  agama  Islam  datang  ke  Indonesia.  Lembaga  tahkim  yang  menjadi  asal-usul  Peradilan  Agama  itu,  tumbuh  dan  berkembang  bersama  dengan perkembangan masyarakat muslim di kepulauan Nusantara ini.
 Ia  telah  lama  berfungsi  sebagai  sarana  pemenuhan  kebutuhan  dasar  penduduk  yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) melaksanakan hukum  perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan rangkaian kesatuan dengan  dan  menjadi  komponen  agama  Islam.  Peradilan  Agama  yang  telah  ada  sejak  agama Islam  datang ke Indonesia itulah yang kemudian diakui dan dimantapkan  kedudukanya  di  Jawa  dan  Madura  tahun  1882,  di  sebagian  besar  residensi  Kalimantan Selatan dan Timur tahun 1937 dan  di luar kedua wilayah itu tahun  1957 dengan peraturan perundang-undagan pembentukannya.
  Pengadilan agama terdiri atas: a.  Pengadilan  Agama  (PA)  sebagai  pengadilan  tingkat  pertama  yang  berkedudukan di ibukota madya/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah  kabupaten/kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
  H. Mohammad Daud Ali,  Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia), h.251.
  b.  Pengadilan  Tinggi  Agama  (PTA)  sebagai  pengadilan  tingkat  banding  yang  berkedudukan di ibukota dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
  Untuk  melaksanakan  tugas  pokoknya  Pengadilan  Agama  berwenang  memeriksa,  mengadili,  memutus  dan  menyelesaikan  perkara  yang  di  atur  UU  No. 7 Tahun  1989 tentang Peradilan  Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang  Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam  pembaharuan kedua  UU No. 50  Tahun  2009, dan perkara bidang  ahwalusy alsyakhsiyah  (hukum keluarga).
  Salah satu di  antara jenis perkara yang menjadi  kekuasaan Peradilan Agama adalah tentang perkawinan, pasal 47 ayat (1) huruf  (a) UU No.  7 Tahun. 1989. Menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan  berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat  pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan.
  Salah  satu  perkara  perkawinan  yang  diatur  dalam  UU  No.  1  Tahun.  1974  tentang  perkawinan  adalah  perkara  perceraian,  yang  menurut  pasal  34  (1)  UndangUndang ini bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan,  setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan  kedua belah pihak.
  Perkawinan  juga  merupakan  bentuk  dari  suatu  perikatan,  maka  ketika  perikatan  itu  berakhir  timbul  berbagai  akibat  hukum  sebagaimana  lazimnya   Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkama Syar’iyah, h.
  Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h.
  Undang-Undang No. 7 Th. 1989, Tentang Peradilan Agama dan Komentarnya, h.
  Ibid, h. 18   suatu  perikatan.  Namun  demikian,  karena  perkawinan  merupakan  bentuk  perikatan yang bersifat khusus berupa ikatan batiniah, maka pengaturanya pun  tidak  tunduk  kepada  ketentuan  perikatan  pada  umumnya,  melainkan  diatur  secara  khusus  dalam  sebuah  Undang-Undang  tersendiri  yaitu  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  dan  PP  Nomor  9  Tahun  1975  sebagai  peraturan  pelaksanannya  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  mengatur  berbagai  ketentuan hukum materiil perkawinan dan segala sesuatu yang terkait denganya,  sedangkan  Peraturan  Pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975  mengatur  tentang  tata  cara perkawinan dan percerian sekaligus merupakan hukum acara.
  Jika  seseorang  yang  telah  menikah  akan  melakukan  perceraian,  maka  harus  mengajukan  surat  permohonan/gugatan  kepada  Pengadilan  Agama  di  tempat  tinggal  pihak  isteri,  yang  berisi  pemberitahuan  bahwa  ia  bermaksud  untuk bercerai dengan alasan-alasan, serta meminta kepada  Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang demi keperluan tersabut.
  Hal-hal yang menjadi sebab  putusnya  ikatan  perkawinan  antara  seorang  suami  dan  seorang  isteri  yang  menjadi  pihak-pihak  terkait  dalam  perkawinan,  menurut  pasal  38  UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun  1974 menyatakan perkawinan dapat putus  karena tiga sebab yaitu:  a.  Kematian  Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 190-1  Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 2  Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 216   b.  Perceraian c.  Atas Putusan Pengadilan Ketiga sebab ini, apabila diperhatikan dari sisi pihak-pihak yang berakad,  ternyata bahwa sebab itu ada yang merupakan hak pada pihak suami, ada yang  merupakan hak pada pihak isteri, dan  ada pula yang di  luar hak mereka yakni  yang karena kematian dan sebagia sebab atas keputusan pengadilan.
  Putusnya  perkawinan mungkin atas inisiatif suami atau mungkin juga atas inisiatif istri.
 Namun  semua  perceraian  baik  atas  inisiatif  seorang  suami  ataupun  istri  harus  melalui  proses  di  Pengadilan  Agama  yang  bersangkutan.  Di  dalam  UU  No.  7  Tahun  1989  tentang  Peradilan  Agama  diatur  beberapa  asas  umum  Peradilan  Agama.  Adapun  yang  dimaksud  asas  umum  Peradilan  Agama  adalah  asas  hukum  tertentu  dalam  bidang  hukum  acara  yang  secara  khusus  dimiliki  oleh  Peradilan Agama. Asas-asas hukum yang dimaksud adalah: 1.  Asas Personalitas Keislaman 2.  Asas Kebebasan 3.  Asas Wajib Mendamaikan 4.  Asas Terbuka Untuk Umum 5.  Asas Legalitas 6.  Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan 7.  Asas Equality  Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 117   8.  Asas Aktif Memberikan Bantuan.
 Asas-asas  ini  menjadi  pedoman  umum  dalam  melaksanakan  penerapan  semangat undang-undang dan keseluruhan rumusan pasal-pasal. Oleh karena itu,  pendekatan  interpretasi,  penerapan,  dan  pelaksanaannya  tidak  boleh  menyimpang  dan  bertentangan  dengan  jiwa  dan  semangat  yang  tersurat  dan  tersirat dalam setiap asas umum.
  Tidak selamanya kasus pengajuan gugat cerai  tersebut  dapat  diterima  di  Pengadilan  Agama,  hal  ini  disebabkan  adanya  beberapa  hal  yang  sekiranya  telah  dianggap  menyalahi  aturan,  seperti  halnya  kasus pengajuan gugat cerai  yang yang tidak diterima oleh Pengadilan Agama  Malang akibat gugatanya kabur (obscuur libel).
 Tidak  diterimahnya kasus gugat cerai yang terjadi di Pengadilan Agama  Malang  tersebut tidak  sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Peradilan Agama,  karena  hakim  menyatakan  bahwa  gugat  cerai  tersebut  obscuur  liber  (gugatan kabur) dengan alasan bahwa kuasa hukum dari penggugat telah melampaui batas  kewenangan yang menjadi hak kuasanya dengan mengajukan gugatan lain selain  perceraian.  Hal-hal  yang  harus  diperhatikan  oleh  hakim  dalam  menentukan  perkara gugatan itu kabur (obscuur liber) ada 4 yakni sebagai berikut  : 1.  Apabila  pemeriksaan  perkara  sudah  sampai  tahap  pembuktian,  maka  hakim  jangan  memutus  dengan  menyataka  “gugatan  tidak  dapat  diterima”,  akan  tetapi “ditolak”.
  Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkama Syar’iyah, h. 37.
  Ibid,  h. 88-89   2.  Dalam  gugatan yang berhubungan dengan benda tidak bergerak, harus jelas  mengenai batas, letak dan luas objek sengketa.
 3.  Untuk  menghindari  putusan  non-exsecutable,  majelis  hakim  berinisiatif  mengadakan  pemeriksaan  setempat  descente  (SEMA  No.  7  Tahun  2001  tantang Pemeriksaan Setempat).
 4.  Patokan perkara obscuur lible, adalah: a.  Fundamentum petendi tidak menjelaskan dasar gugatan; b.  Tidak jelas objek yang disengketakan; c.  Penggabungan yang tidak jelas; d.  Bertentangan antara posita dan petitum; dan e.  Petitun tidak dirinci.
 Kasus  tersebut  menurut  penulis,  menarik  untuk  dijadikan  penelitian,  karena ada kesenjangan antara  Hukum Acara Peradilan Agama  dengan putusan  hakim. Oleh karena itu penulis perlu mengadakan penelitian untuk  mengetahui  pertimbangan  dan  dasar  hukum  yang  digunakan  hakim  Pengadilan  Agama  Malang  dalam  memutuskan  perkara  gugat  cerai  tersebut.  Untuk  itu  dari  permasalahan  tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul  “Tinjauan  Yuridis  Terhadap  Putusan  Neit  Ontvankelijk  (NO)  (Studi  Kasus  Perkara No: 0380/Pdt.G/2012/PA. Mlg)”.
  B.  Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka  rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.  Apa  yang  menjadi  pijakan  majelis  hakim  menjatuhkan  putusan  Neit  Ontvankelijk (NO) dalam perkara No: 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg? 2.  Bagaimana analisis Hukum Acara  Peradilan Agama  terhadap putusan hakim  menjatuhkan  putusan  Neit  Ontvantkelijk  dalam  perkara  No:  0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg? C.  Kajian Pustaka Mengenai masalah cerai gugat sudah banyak yang membahasnya, namun  dalam  kasus  gugatan  yang  tak  bisa  diterimah,  belum  ada  yang  membahasnya.
 Oleh karena itu penulis akan membahas masalah tersebut.
 Pertama,  dalam  skripsi  saudari  Kutsiyatur  Rahmah  yang  berjudul  “Putusan  Penolakan  Gugatan  Cerai  (Studi  Putusan  PA  Pamekasan  No.
 102/Pdt.G/2008/PA.Pmk)”  skripsi  ini  menjelaskan  tentang  para  hakim  menerapkan  aturan  hukum  Islam  yakni  suatu  gugatan  harus  ditolak  apabila  penggugat  tidak  dapat  membuktikannya.  Begitu  juga  dalam  analisis  hukum  positifnya,  putusan  hakim  Pengadilan  Agama  Pamekasan  tersebut  telah  sesuai  dengan aturan Undang-Undang yang berlaku. Karena pada kenyataanya gugatan   cerai si isteri tidak sesuai dengan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang perkawinan  No. 1 Tahun 1974 jo pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI.
  Kedua, dalam skripsi saudara Masyfuq Fathoni yang berjudul “Penolakan  Gugat  Cearai  Akibat  Cacat  Formil  di  Pengadilan  Agama  Lamongan  (Studi  Analisis  Putusan  No.  0488/Pdt.G/2007/PA.Lmg)”  skripsi  ini  menjelaskan  tentang  putusan  hakim  tentang  penolakan  gugat  cerai  akibat  cacat  formil  dengan alasan bahwa isteri mempunyai dua orang suami. Akibat dari penolakan  secara  tidak  langsung  hakim  menganggap  sah  kedua  perkawinan  tersebut.  Hal ini bertentangan dengan hukum Islam yang melarang poliandri, Undang-Undang  No.  1  tahun  1974  pasal  3  ayat  (1)   juga  menyatakan  bahwa:  “pada  asasnya  dalam  suatu  perkawinan  seorang  pria  hanya  boleh  mempunyai  seorang  isteri.
 Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami”.
  Berbeda  halnya  dengan  skripsi  ini,  penulis  mencoba  mengkaji  tentang  gugatan  cerai  yang  tidak  diterima  oleh  hakim  Pengadilan  Agama  Malang,  karena  kuasa  hukum  melampaui  kewenagan  yang  diberikan  oleh  penggugat.
 Dengan  begitu  hakim  tidak  menerima  gugatan  cerai  tersebut.  Dari  pemaparan  penulis tentang tinjauan pustaka di atas, penulis memilih bahwa topik yang akan  dibahas  disini  berbeda  dengan  skripsi-skripsi  yang  dahulu.  Judul  skripsi  yang   Kutsiyatur  Rahmah,  Putusan  Penolakan  Gugatan  Cerai  (Studi  Putusan  PA  Pamekasan  No.102/Pdt.G/2008/PA.Pmk),  Jurusan  Ahwalus  Syakhsiyah,  Fakultas  Syariah,  IAIN  Sunan  Ampel  Surabaya, 20  Masyfuq  Fathoni,  Penolakan  Gugat  Cerai  Akibat  Caca  Formil  Di  Pengadilan  Agama  Lamongan  (Studi  Analisis  Putusan  No.  0488/Pdt.G/2007/PA.Lmg),  Jurusan  ahwalus  Syakhsiyah,  Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008.
  akan  dibahas  penulis  adalah  “Tinjauan  Yuridis  Terhadap  Putusan  Neit  Onvantkelijk  (NO) (Studi Kasus Perkara No. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg)”  belum  ada yang membahas 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi