BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Istilah pengawasan
bukanlah hal yang
asing bagi kita,
menurut Mahmud Hawari,
pengawasan adalah mengetahui
kejadian-kejadian yang sebenarnya
dengan ketentuan dan
ketetapan peraturan, serta
menunjuk secara tepat terhadap
dasar-dasar yang telah ditetapkan dalam
perencanaan semula (Muhammad
Hasan, 2011:25). Pengawasan
harus dilakukan untuk menjaga agar
pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan rencana yang
telah ditetapkan. Melalui
pengawasan dapat dilakukan
penilaian apakah suatu entitas telah
melaksanakan kegiatan sesuai
dengan tugas dan
fungsinya secara hemat,
efisien, efektif, serta
sesuai dengan rencana,
kebijakan yang telah ditetapkan dan ketentuan yang berlaku.
Proses pengawasan merupakan
kewajiban yang terus menerus harus dilakukan untuk
pengecekan terhadap jalannya
perencanaan dalam organisasi, dan untuk memperkecil tingkat kesalahan
kerja. Kesalahan kerja dengan adanya
pengontrolan dapat ditemukan penyebabnya dan diluruskan.
Nilai pengawasan
sangat strategis karena
hasil akhir dari
semua proses akan
menjadi taruhan jika
fungsi kontrol atau
pengawasan tidak berjalan
dengan benar. Banyak
sekali manfaat yang
dapat diambil ketika control berjalan, misalnya untuk memonitor,
memberikan penghargaan serta menegaskan
berbagai perilaku positif, menjadikan segala sumber daya tetap berjalan direlnya, memelihara anggaran,
mengkoordinasikan standar hukum, 1 aturan dasar serta norma-norma yang
sudah ditetapkan dan lain-lain (Cahyo Pramono. Pengawasan, Sumber www. Waspada
Online. Com. Diambil dari internet 19
Oktober 2011).
Unsur pengawas
dalam struktur organisasi
BAZIS adalah Komisi Pengawas. Pengawasan terhadap organisasi BAZIS
dilakukan secara khusus oleh Komisi
Pengawas yang dibentuk
oleh pemerintah atau
oleh pengurus BAZIS itu sendiri.
Tugas utama
komisi pengawas dimuat
dalam Keputusan Menteri Agama
Nomor 581 Tahun
1999 Pasal 9
Ayat 3. Dalam
pasal tersebut disebutkan bahwa tugas komisi pengawas adalah
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas administratif dan
teknis pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan
zakat, serta penelitian
dan pengembangan pengelolaan zakat.
Tugas tersebut dapat dirinci
sebagai berikut: 1) Mengawasi
pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan.
2) Mengawasi
pelaksanaan
kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan dewan pertimbangan.
3) Mengawasi
operasional kegiatan yang
dilaksanakan badan pelaksanaan yang mencakup pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan.
4) Melakukan
pemeriksaan operasional dan
pemeriksaan syari’ah (Muhammad
Hasan, 2011:52).
Selain itu efektivitas pengawasan
juga selalu dirasakan sebagai suatu hal
yang sukar dijalankan. Efektivitas berarti keberhasilan (usaha, tindakan).
Maka
agar pelaksanaan suatu
kebijakan dapat berjalan
efektif diperlukan standar untuk mengukur sejauh mana
keberhasilan yang telah dicapai, yakni meliputi efektivitas
pada tingkat prosedural
dan efektivitas pada
tingkat subtansial (Soedjono,
1999:17).
Efektivitas pada
tingkat prosedural yang
dimaksud adalah apakah aturan
yang sudah ada
telah dilaksanakan oleh
Komisi Pengawas dalam melaksanakan pengawas
dalam tubuh BAZIS
Kementerian Agama Kabupaten Batang. Sedangkan efektivitas secara
subtansial yang dimaksud adalah melihat
dan mengetahui bagaimana pelaksanaan itu berjalan dan apa yang
telah dicapai melalui
cara monitoring, evaluasi
dan rekomendasi.
Dalam prakteknya
kedua perspektif tersebut
saling berdialektika dan mengisi, serta
dapat digunakan secara
bersamaan untuk mengukur efektivitas pengawasan.
Adanya efektivitas
pengawasan dapat memberikan
garansi adanya kepastian
dalam organisasi di
BAZIS Kementerian Agama
Kabupaten Batang, khususnya dalam
masalah pengawasan, sehingga
memperkecil peluang terjadinya
pelanggaran. Hal tersebut sangatlah masuk
akal, karena di dalam tubuh BAZIS
terdapat sebuah komisi yang akan mengawasi sepak terjang lembaganya dalam menjalankan tugas
yang telah diamanatkan dalam BAZIS
Kementerian Agama Kabupaten Batang.
Kemudian realitas yang ada dimana
BAZIS di Kementerian Agama Kabupaten
Batang merupakan bentuk untuk mencapai daya guna, hasil guna dan
akuntabilitas dalam pengelolaan
dana zakat, infaq,
dan shodaqoh.
Sehingga
dapat meningkatkan peran
serta umat Islam
Kabupaten Batang dalam
rangka pembangunan manusia
seutuhnya dengan penggalian
dan pengelolaan dana
zakat, infaq, dan
shodaqoh. BAZIS di
Kementerian Agama Kabupaten
Batang juga dapat mewujudkan pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (ZIS), yang berdaya guna dan
berhasil guna berdasarkan asa keadilan
dan keterbukaan.
Seiring berjalannya waktu BAZIS
di Kementerian Agama Kabupaten Batang mengalami
peningkatan, dalam hal
pengumpulan dana zakat,
infaq dan shodaqoh. Hal ini dibuktikan dengan semakin
bertambahnya perolehan dan meningkatnya
pula dana. Pengelolaan
zakat secara profesioal,
perlu dilakukan dengan
saling keterkaitan antara
berbagai aktivitas yang
terkait dengan zakat.
Dalam hal ini,
keterkaitan antara pengumpulan, pendistribusian serta
pengawasan. Semua aktivitas
tersebut harus menjadi satu kegiatan yang utuh, tidak dilaksanakan
secara persial (sendiri-sendiri).
Jika semua
kegiatan tersebut tetap
dilaksanakan secara persial,
maka keberhasilan dalam
pengumpulan zakat dan
pendayagunaan zakat sangat pesimis akan terwujud.
Sedangkan ketika
berbicara tentang zakat,
zakat merupakan salah satu
amalan dalam ajaran Islam yang memiliki dua
dimensi, yakni dimensi vertikal dan
dimensi horizontal. Ibadah
zakat bila ditunaikan
dengan baik, akan meningkatkan kualitas keimanan,
membersihkan dan mensucikan jiwa, dan mengembangkan
serta memberkahkan harta
yang dimiliki (Asnaini, 2008:2).
Zakat
merupakan ibadah maaliyyah
ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan
menentukan baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat (Yusuf Qaradhawi, 1993:235).
Dalam Al-qur’an
kesediaan orang berzakat
dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk
membersihkan diri dan jiwanya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan
mereka” (Departemen Agama RI : 297).
Berdasarkan ayat tersebut dapat
dipahami bahwa kata ذخ dalam ayat di
atas menunjukkan bahwa
mengumpulkan zakat dari
para muzakki oleh amil zakat
hukumnya wajib (Muhammad
Hasan, 2011:7). Oleh
sebab itu, sudah
jelas bahwa zakat
itu diambil (dijemput)
dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat
(muzakki) untuk kemudian
diberikan kepada mereka
yang berhak menerimanya
(mustahiq). Yang mengambil
dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (amil).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi