BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Zakat adalah kewajiban atas harta tertentu,
untuk kelompok tertentu, dan dalam waktu
tertentu pula. Zakat merupakan nama atau sebutan dari sesuatu yang dikeluarkan
seseorang kepada orang-orang
yang berhak menerimanya,
artinya zakat menjadi salah satu rukun Islam yang
berhubungan langsung dengan harta dan kondisi
sosial. Dengan zakat,
seseorang baru sah
bergabung dengan umat Islam
dan diakui keislamannya, disamping s yahadat dan shalat. (Mu’is, 2011: xv) Sebagai salah satu topik yang
selalu menarik untuk dikaji,
telah banyak literatur
mencoba melihat zakat dari berbagai
sisinya, seperti dari aspek hukum
(fiqh), manajemen, potensi dan
peranannya dalam pengentasan kemiskinan (Ali, 2006: xix). Ulama tidak berselisih paham
mengenai adanya k ewajiban membayar zakat
bagi Muslim yang
mampu, akan tetapi
k enyataan menunjukkan masih minimnya potensi
zakat yang bisa digali.
Potensi zakat di
Indonesia bisa dikatakan
luar biasa, diperkirakan
potensi zakat Indonesia
tahun 2008 sebesar Rp.
19 triliun per
tahun, belum lagi
jika ditambah dengan
infaq, shadaqah dan wakaf. Namun
pada kenyataannya saat
ini baru terkumpul
kurang dari 2,5 persennya
atau Rp 900 miliar per tahun. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran
muzakki untuk menunaikan
kewajiban zakatnya, terutama
melalui lembaga pengelola zakat
(Mahmudi, 2009: v) .
Dalam
sepuluh tahun terakhir,
ada kemajuan yang
cukup pesat dalam penggalangan dana
ZIS (zakat, infaq
sedekah). Beberapa lembaga
seperti Yayasan Dompet
Dhuafa Republika (DD)
di Jakarta, Yayasan
Dana Sosial AlFalah
(YDSF) di Surabaya,
Yayasan Darut Tauhid
(DT) di Bandung,
Pos Keadilan Peduli
Umat (PKPU) di
Jakarta, dan Rumah
Zakat Indonesia di Bandung, melakukan penggalangan ZIS secara profesional
dan inovatif. Seperti layaknya lembaga filantropi modern, mereka
menggunakan strategi direct email, media campaign, special event, dan
strategi modern lainnya dalam
menggalang ZIS.
Sayangnya, kemajuan
dalam hal penggalangan
ZIS ini tidak
diimbangi dengan terobosan baru
di bidang distribusi atau pemanfaatan. Pemanfaatan ZIS sampai
saat ini masih
terbatas pada masalah-masalah charity
(penyantunan sosial). Program
yang dilakukan biasanya
berkutat pada pembangunan
masjid dan madrasah,
penyantunan fakir miskin,
anak yatim, dan
bantuan untuk masyarakat
korban bencana. Sementara
program-program lain yang
sebenarnya juga penting dan
menjadi agenda umat Islam, seperti advokasi kebijakan publik, bantuan
hukum, HAM, perlindungan
anak, pelestarian lingkungan, pemberdayaan
perempuan, dan program-program lainnya
kurang mendapat dukungan pendanaan (Mas’udi, 2004: v).
Pada dasarnya
terdapat tiga aspek
yang terkait dengan
pelaksanaan kewajiban zakat. Pertama,
aspek moral dan psikologis. Dari segi ini diharapkan zakat
dapat mengikis ketamakan
dan keserakahan pada
diri manusia. Kedua, aspek
sosial. Dari segi
ini zakat bertindak
sebagai instrumen yang
diberikan Islam untuk
menghapus tingkat kemiskinan
dan sekaligus menyadarkan
orang orang kaya akan tanggungjawab sosial yang dibebankan agama kepada mereka.
Ketiga, aspek
ekonomi. Disini zakat
difungsikan untuk mencegah
penumpukan harta pada sebagian
kecil orang dan mempersempit kesenjangan ekonomi dalam masyarakat.
Dengan kata lain,
zakat sebagai effort
to flowing yang difungsikan sebagai
pengendalian terhadap sifat
manusia yang cenderung
senang terhadap akumulasi kekayaan (Syafe’i, 2009: v).
Di sisi lain, umat Islam di Indonesia dan di negara-negara Islam lainnya menghadapi masalah yang aktual mengenai pajak
dan zakat. Yaitu umat Islam di negara yang
pemerintahannya tidak menangani
langsung pengelolaan zakat, seperti
Indonesia, dan pemerintah
memungut pajak yang
jumlahnya melebihi jumlah zakatnya, tetapi pemerintah menggunakan
sebagian pajak itu untuk semua atau
sebagian dari delapan ashnaf penggunaan zakat yang dapat diketahui lewat GBHN, Pelita dan APBN nya (Yafie, 1997: 118-120),
maka apakah pembayaran pajaknya bisa
diniati sebagai pembayaran
zakatnya, atau dicarikan
solusi lain untuk menghindari kewajiban rangkap yang bisa
memberatkan.
Pembayaran ganda antara pajak dan
zakat tidak dikenal pada zaman Nabi, karena
umat Islam pada waktu itu hanya membayar zakat, sedangkan masyarakat non-Islam membayar jizyah, dharibah atau pajak. Pungutan ganda mulai dikenal pada
zaman thabi’in (pengikut
ajaran Nabi) dan
imam-imam madzhab. Hal
ini diawali oleh tuntutan
pajak pada tanah-tanah
kafir pada daerah
taklukan.
Kemudian saat
tanah-tanah tersebut dibeli
oleh orang Islam
atau pemiliknya (anak cucunya) masuk Islam, zakat dan pajak
itu ditetapkan (Sadjali, dkk, 1991: 159).
Sistem perpajakan
sekarang ini memang
sesuai dengan hukum-hukum syari’at
Islam, selama pajak
tersebut dikumpulkan dari
orang yang wajib mengeluarkannya secara
adil dan dibelanjakan
untuk hal-hal yang
dihalalkan Allah, serta
berorientasi pada kebaikan, kemanfaatan, peningkatan dan kemajuan umat (Aibak, 2009: 164).
Berbagai pendapat telah berkembang di masyarakat mengenai persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Jika
dilihat secara lahiriah antara zakat dan pajak
dalam status hukum
maupun pemanfaatannya mempunyai
beberapa persamaan, namun tetap
ada perbedaan dalam pengertian, tata cara pengambilan, maupun dalam penggunaannya.
Zakat dan
pajak, meski keduanya
sama-sama merupakan kewajiban dalam
bidang harta, namun
keduanya mempunyai falsafah
yang khusus dan keduanya berbeda
sifat dan asas,
sumber, sasaran, bagian
serta kadarnya, disamping
berbeda pula mengenai
prinsip, tujuan dan
jaminannya (Qardawi, 1991: 998).
Pakar ekonomi
kontemporer mendefinisikan bahwa
pajak ialah sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang
berwenang dan bersifat
mengikat tanpa adanya
imbalan tertentu (Kartika, 2006: 47).
Pemerintah Indonesia
telah menerbitkan UU No.38 Tahun
1999 tentang pengelolaan zakat
dan UU No.17
tahun 2000 tentang
pajak penghasilan untuk mengakomodasi
umat Islam yang
membayar zakat dan
pajak. Ditengah menguatnya
peranan pajak dalam
penerimaan kas Negara,
secara bersamaan muncul
sebuah kesadaran umat
akan peranan zakat.
Dua hal ini
menuntut pengelolaan yang
tepat. Manajemen yang
buruk akan menimbulkan
efek yang kontra produktif dalam pembangunan nasional
(Iqbal, 2009: 4).
Setelah diamati,
pengertian zakat dan
pajak pada prinsipnya
keduanya diserahkan kepada
negara (amil) untuk
kepentingan umum dan
pembangunan.
Setiap warga
negara mempunyai kewajiban
untuk mengeluarkan zakat (bagi orang
yang sudah memenuhi ketentuan) dan pajak
(Aibak, 2009: 159).
Akan tetapi
persoalan muncul ketika
masyarakat Indonesia harus mengalami dualisme
pembayaran atas kewajiban
sebagai umat Islam
maupun sebagai warga negara, yaitu zakat dan pajak. Realitas yang
berkembang terwujud sebuah solusi atas
permasalahan tersebut, dengan adanya
bukti pembayaran zakat dapat
dijadikan sebagai pengurang pembayaran pajak negara.
Di Malaysia, kebijakan pemerintah
berupa zakat sebagai pengurang pajak perlu ditiru
oleh negara-negara lain
yang ingin memacu
peningkatan pengumpulan zakat.
Sayangnya, Indonesia belum mampu menerapkan ke bijakan semacam
ini secara utuh.
Ketentuan yang saat
ini berlaku adalah
zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak,
bukan pengurang pajak
secara langsung.
Akibatnya, masyarakat kurang
antusias menggunakan haknya untuk menyertakan Bukti
Setor Zakat (BSZ)
dalam berkas pelunasan
pajak (SPT) (Hafidhuddin, 2008: ix).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi