Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:DAKWAH KH MOHAMMAD CHOLIL BISRI DALAM BIDANG POLITIK


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Dakwah  Islam  merupakan  aktualisasi  imani  (teologis)  yang  dimanifestasikan  dalam  suatu  sistem  kegiatan  manusia  beriman  dalam  bidang  sosial -kemasyarakatan (termasuk  politik)  yang  dilaksanakan  secara  teratur  untuk  mempengaruhi  rasa,  pikir,  sikap  dan  tindakan  manusia  pada  dataran  kenyataan  individual  dan  sosio-kultural  dalam  rangka  mengusahakan  terwujudnya  ajaran  Islam  dalam  semua  segi  kehidupan  dengan  menggunakan  cara tertentu.
 Dalam  Al-Qur’an  Surat  An-Nahl  ayat  125,  di jelaskan  cara-cara  dakwah ”Serulah  (manusia)  kepada  jalan  Tuhan-mu  dengan  hikmah  dan  pelajaran yang yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”.
Sesungguhnya  Tuhanmu  Dialah  yang  lebih  mengetahui  tentang  siapa  yang  tersesat dari jalan-Nyadan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang  mendapat petunjuk.
 Berdasarkan  ayat  di  atas  dapat  dipahami  bahwa dimensi  pemaknaan  atas  dakwah  juga  lebih  cenderung  pada  konsep  praktis  yang  meliputi  tabligh    Amrullah  Ahmad,  Dakwah  Islam  dan  Perubahan  Sosial  (Yogyakarta:  Prima  Duta,  1983), hlm. 3.
Tim  Penulis  Depag  RI,  Al-Qur’an  Al-Karim  dan  Terjemahnya,  (Bandung:  CV. Diponegoro, 2004), 
keagamaan,  propaganda  politik,  dakwah  sebagai  aplikasi  dari  jihad  politik,  dan  dakwah  yang  meliputi  semua  aspek  kehidupan  manusia.

  Dalam  pelaksanaannya,  tugas  dakwah  ini  mirip  dengan  tugas  kerasulan  Muhammad  SAW yang  berusaha  menyebarkan  ajaran  Islam  kepada  sel uruh umat manusia  secara  universal,  dan  membawa  misi  dakwah  untuk  memperingatkan  dan  memanggil manusia ke jalan yang benar.
 Dakwah  Islam  merupakan  sebuah  aktifitas  komunikasi,  sehingga  keberhasilan  dakwah  tergantung  pada  beberapa  komponen  yang  mempengaruhinya,  yakni  da’i sebagai  orang  yang  menyampaikan  pesan  (komunikator),  mad’u sebagai  orang  yang  menerima  pesan  (komunikan),  materi  dakwah  sebagai  pesan  yang  akan  disampaikan,  media  dakwah  sebagai sarana yang akan dijadikan saluran dakwah, metode dakwah sebagai  cara  yang  digunakan  untuk  berdakwah.  Adanya  keharmonisan  antar  unsur  tersebut  diharapkan  tujuan  dakwah  bisa  tercapai  secara  maksimal.  Melihat  perkembangan zaman yang semakin pesat dewasa ini, komponen-komponen  dakwah tersebut juga dituntut mengikutiperkembangan yang berjalan di era  modern supayaaktifitas dakwah lebih bisa diterima oleh masyarakat sebagai  satu elemen tersendiri bagi proses modernisasi.
 Dalam  Islam,  setiap  muslim  adalah  juru  dakwah  yang  mengemban  tugas  untuk  menjadi  teladan  moral  di  tengah  masyarakat.  Dakwah  akan   Ahmad  Anas,  Paradigma  Dakwah Kontemporer  (aplikasi  teoritis  dan  praktis  solusi  problematika kekinian), (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2006), hlm.
 Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 2000), hlm.
 Awaludin  Pimay,  Paradigma  Dakwah  Humanis,  (Strategi  dan  Metode  Dakwah  Prof.
KH. Saifudin Zuhri), (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 15   efektif  dan  membuahkan  hasil  yang  maksimal  manakala  juru  dakwah  bisa  mewujudkan satunya kata dengan tindakan.
Untuk itu, kata kuncidari keberhasilan dakwah adalah keteladanan.
 Mengkaji keteladanan  dakwah  dalam  konteks perilaku  elit  politik  saat  ini  tampaknya  menjadi  suatu  kajian  yang  sangat  relevan  dakwah  lewat  politik  dimunculkan.
Dalam  pengertian  agama,  dakwah  mengandung  arti  panggilan  dari  Tuhan dan Nabi Muhammad SAW,  untuk  umat manusia agar percaya kepada  ajaran Islam dan mewujudkan ajaran yang dipercayainya itu dalam segala segi  kehidupannya.
  Diyakini  oleh  umat  Islam,  bahwa  tugas  Nabi  Muhammad  adalah  mendakwahkan  Islam.  Dalam  konteks  itu,  kegiatan  dakwah  dapat  mengambil dua bentuk, yakni dakwah struktural dan dakwah kultural.
 Dakwah  kultural  adalah  dakwah  yang  dilakukan  dengan  cara  mengikuti  budaya-budaya  kultur  masyarakat  setempat  dengan  tujuan  agar  dakwahnya  dapat  diterima  di  lingkungan  masyarakat  setempat.  Dakwah  kultural juga bisa berarti  kegiatan  dakwah dengan memperhatikan potensi dan  kecenderungan  manusia  sebagai  makhluk  budaya  secara  luas  dalam  rangka  menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan   Hamdan  Daulay,  Dakwah  di  tengah persoalan  budaya  dan  politik,  (Yogyakarta:  PT.
Kurnia Kalam Semesta, 2001), hlm.
 QS. Ibrahim ayat46.
 Muhammad Sulthon,  DesainIlmu Dakwah,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.
26.
 memanfaatkan  adat,  tradisi,  seni  dan  budaya  lokal  dalam  proses  menuju  kehidupan Islami.
 Dakwah  sesuai  ragam  kehidupan  keagamaan  sebagai  proses  sosial budaya  itulah  yang  disebut  dakwah  kultural.  Perubahan  dari  dakwah  ini  dilakukan  secara  bertahap,  sesuai  kondisi  sosial -budaya  masing-masing  orang  dan  masyarakat.  Hal  ini  didasari  pandangan  bahwa  ke-kaffah-an  Islamnya  seseorang  atau  masyarakat  itu  mudah,  menyenangkan,  dan  menggembirakan  yang  bisa  dilakukan  setiap  orang  selama  masa  hidupnya.  Keberagaman  sebagai proses sosial -budaya inilah, yang disebut sebagai Islam Kultural.
 Dakwah  struktural  adalah  gerakan  dakwah  yang  berada  dalam  kekuasaan.  Aktivis  dakwah  struktural  bergerak  mendakwahkan  ajaran  Islam  dengan memanfaatkan struktur sosial, politik, maupun ekonomi yang ada guna  menjadikan  Islam  menjadi  ideologi  negara,  nilai-nilai  Islam  mengejawantahkan  dalam  kehidupan  berbangsa dan bernegara.  Negara  dipandang  sebagai  alat  dakwah  yang  paling  strategis.  Dakwah  stuktural  memegang   tesis  bahwa  dakwah  yang  sesungguhnya  adalah  aktivisme  Islam  yang  berusaha  mewujudkan  negara  bangsa  yang  berdasar  atas  Islam,  para  pelaku  politik  menjunjung  tinggi  nilai -nilai  keislaman  dalam  perilaku  politik  mereka  serta  penegakan  ajaran  Islam  menjadi  tanggung  jawab  negara  dan     Di  Jawa  sendiri dakwah  kultural  Islam  lebih meniscayakan  sebuah  proses  akulturasi  dengan budaya lokal. Tanpa harus menanggalkan substansi ajaran keislaman, ekspresi lokalitasnya  tetap  di  pertahankan.  Lihat  Zuhairi  Misrawi, Hadratussyaikh  Hasyim  Asy’ari;  Moderasi,  Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 131.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi