Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:PENGARUH INTENSITAS MENGIKUTI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM TERHADAP TINGKAT PENGAMALAN RITUAL NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A KENDAL


BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah.
Manusia  pada  dasarnya  dikaruniai  kecenderungan  untuk  bertauhid,  mengesakan  Allah  SWT.  Artinya  bahwa  dalam  diri  setiap  manusia  ada  kecenderungan  meyakini  adanya  Allah  SWT  dan  beribadah  kepada-Nya.  Dalam  istilah  al-Qur’an  kecenderungan  tersebut  disebut  dengan  fitrah.  Hal  ini  tercermin  dalam surat al-Rum ayat 30 sebagai berikut: “Maka  hadapkanlah  wajahmu  dengan  lurus  kepada  agama  (Allah):  (tetaplah  atas)  fitrah  Allah  yang  telah  menciptakan  manusia  menurut  fitrah  itu.  Tidak  ada  perubahan  pada fitrah  Allah.  (Itulah)  agama  yang  lurus,  tetapi  kebanyakan  manusia  tidak  mengetahui”.  (QS.  al -Rum:  30)  (Depag RI, 1989: 645)  Ayat  di  atas  menunjukkan,  bahwa  dalam  diri  manusia  terdapat  potensi  keagamaan,  yaitu  dorongan  untuk  mengabdi  kepada  sesuatu  yang  dianggapnya  memiliki  kekuasaan  yang  lebih  tinggi  (Jalaluddin,  1998:  34).  Dalam  Islam,  potensi  yang hubungannya dengan keagamaan disebut fitrah, yaitu kemampuan yang telah  Allah ciptakan dalam diri manusia, untuk mengenal Allah. Inilah bentuk alami yang  dengannya  seorang  tercipta  dalam  rahim  ibunya  sehingga  dia  mampu  menerima  agama yang hak (Muhammad, 1995: 20). Seperti yang djelaskan dalam hadist berikut;     Artinya:  “setiap  orang  dilahirkan  ibunya  dalam  keadaan  fitrah,  setelah  itu  ayah  ibunyalah  yang  menjadikannya  Yahudi,  Nasrani  atau  Majusi.  Maka  jika  kedua orang tuanya itu muslim, maka (anak) akan menjadi seorang muslim.

(H.R. Muslim).”  Dari  hadist  tersebut  dapat  difahami  bahwa,  manusia  memiliki  fitrah  untuk  beriman  kepada  Allah,  tetapi  karena  faktor  “lingkungan”  maka  fitrah  tersebut  bisa  tidak  dikembangkan  sebagaimana  mestinya,  melainkan  menyimpang  ke  arah  yang  lain.  Dengan  kata  lain,  Islam  mengikuti  dua  hal  pokok,  yaitu:  Manusia  dibekali  “naluri”  untuk  bertauhid  (agama  Islam).  Lingkunga n  mempunyai  pengaruh  besar  terhadap perkembangan naluri. (Musnamar, 2001: 139).
Persoalan  besar  yang  muncul  di  tengah-tengah  umat  manusia  sekarang  ini  adalah  krisis  spiritualitas.  Kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi,  dominasi  rasionalisme,  empirisme,  dan  positivisme,  ternyata  membawa  manusia  kepada  kehidupan  modern  di  mana  sekularisme  menjadi  mentalitas  zaman  dan  karena  itu  spiritualisme menjadi suatu tema bagi kehidupan modern dan fitrah bagi manusia.
Potensi  fitrah  (agama)  merupakan  bawaan  alami,  artinya  ia     merupakan  sesuatu yang melekat dalam diri manusia (bawaan), dan bukan sesuatu yang diperoleh  melalui usaha (muktasabah) (Muthahari, 1998: 20).
Dalam  konteks  dakwah  Islam,  maka  manusia  dituntut  untuk  mengaktualisasikan  atau  mewujudkan  potensi  yang  dimilikinya  guna  mewujudkan  fungsi  kerisalahan  dan  fungsi  kerahmatan.  Fungsi  kerisalahan  ini  berupa  tugas  menyampaikan agama Islam kepada manusia, sedangkan fungsi kerahmatan adalaah  upaya menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (Muriah, 2000: 11).
Hal  di  atas  menunjukkan,  bahwa  potensi  fitrah  pada  intinya  sudah  diterima  dalam jiwa manusia sendiri dan merupakan potensi yang hebat, energi dahsyat yang   tidak  ditundukkan  oleh  kekuatan  lahiriyah  yang  konkrit  apabila  ia  dikerahkan,  diarahkan  dan  dilepaskan  secara  wajar  menurut  apa  yang  telah  diterapkan  (Qutb,  1982: 84).
Bentuk  potensi  ini  menunjukkan  bahwa  manusia  sejak  asal  kejadiannya  membawa  potensi  beragama  yang  lurus  dan  ini  merupakan  pondasi  dasar  dalam  agama Islam untuk mengarahkan potensi-potensi yang ada dari insting, inderawi dan  aqli.  Potensi  keagamaan  yang  dimiliki  seseorang  harus  dikembangkan  dan  dibina  melalui  bimbingan  yang  diwujudkan  melalui  pengamalan  ritual  (praktik  agama),  sehingga  dapat  tumbuh  dan  berkembang  secara  optimal  dan  na ntinya  dapat  bermanfaat bagi kehidupannya. Dengan kata lain, bahwa bimbingan memiliki peranan  yang sangat penting dalam rangka mengembangkan aspek-aspek yang ada dalam diri  seseorang, khususnya aspek keagamaan yang dititik beratkan ritual (praktik agama).
Oleh karena itu, sasaran yang ingin dicapai dengan bimbingan adalah memanusiakan  manusia,  baik  sebagai  makhluk  individu,  mahluk  sosial  maupun  sebagai  makhluk  Allah  (yang  ber-Tuhan).  Dengan  kata  lain,  bahwa  bimbingan  (guidance)  bertujuan  untuk  membantu  individu  mewujudkan  dirinya  sebagai  manusia  seutuhnya  agar  mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Musnamar, 1992: 33).
Menyadari  pentingnya  pembentukan  sumber  daya  manusia  yang  berkualitas,  maka  manusia  membutuhkan  bimbingan  dalam  hidup.  Salah  satu  bimbingan  yang  dianggap  efektif  adalah  bimbingan  penyuluhan  Islam.  bimbingan  penyuluhan  Islam  adalah  usaha  pemberian  bantuan  kepada  seseorang  yang  mengalami  kesulitan  baik  lahiriah  maupun  batiniah  yang  menyangkut  kehidupan  dimasa  kini  dan  masa  mendatang, bantuan tersebut berupa pertolongan dibidang mental spiritual agar yang   bersangkutan mampu mengatasi kesulitannya dengan kemampuannya sendiri, melalui  kekuatan iman dan ketakwaan kepada Allah SWT (Arifin, 1982: 2).
Bimbingan adalah upaya bantuan untuk mewujudkan perkembangan manusia  secara  optimal  baik  secara  kelompok  maupun  individual,  sesuai  dengan  hakikat  kemanusiaannya  dengan  berbagai  potensi,  kelebihan  dan  kekurangan,  serta  permasalahannya, termasuk  bagi para narapidana. Sedangkan bimbingan Islam  yang  diberikan  kepada  narapidana  pada  dasarnya  untuk  melakukan  perubahan  secara  mendasar.  Artinya,  bimbingan  Islam  diberikan  untuk  mengurangi  stimuli  yang  negative terhadap hal-hal yang diharamkan menurut ajaran Islam.
Narapidana adalah orang yang dihukum di dalam penjara karena pelanggaran  hukum. Penerapan  hukum tersebut tidak  identik  dengan  balasan atau balas dendam,  tetapi lebih dimaksudkan sebagai usaha untuk membina narapidanan agar kembali ke  jalan  yang  baik.  Artinya,  hukuman  yang  ada  lebih  dimaksudkan  sebagai  upaya  penyembuhan  bagi  seorang  yang  sedang  mengalami  kesesatan  hidup  agar  kembali  normal  dan  lebih  baik.  Narapidanan  tersebut  diusahakan  dengan  berbagai  keahlian  dan pemahaman keagamaan. Hal  ini  diharapkan  para narapidana setelah keluar dari  lembaga  pemasyarakatan  tidak  lagi  membebani  masyarakat  tetapi  diharapkan  dapat  memberi contoh yang baik.
Narapidana  yang  berada  di  Lembaga  Pemasyarakatan  merupakan  salah  satu  factor  perubahan  perilaku  manusia  yang  menyimpang  dari  tuntunan  agama  dengan  melakukan  berbagai  tindak  kejahatan  yang  mengakibatkan  ketidak  stabilan  dan  kerusakan tatanan dalam lingkungan masyaarakat (Nizar, 2002: 17).
 Bentuk-bentuk  kejahatan  yang  dilakukan  oleh  narapidana  yang  berada  di  Lembaga  Pemasyarakatan  sangat  heterogen,  seperti:  pencur ian,  perampokan,  penipuan,  pembunuhan,  penyelundupan,  penganiayaan  dan  sebagainya  (Moeljatno,  2001:  43-179).  Perbuatan  yang  melanggar  hokum  memiliki  dampak  yang  sangat  merugikan bagi diri sendiri dan juga bagi masyarakat. Hal tersebut perlu diatasi sejak  dini  selama  berada  di  Lembaga  Pemasyarakatan  yaitu  dengan  bimbingan  tersebut  adalah  untuk  mengembalikan  mereka  pada  jalan  yang  lurus  (kembali  menjadi  manusia yang beriman dan taqwa terhadap Allah SWT) (Almunawar, 2002: 321-322).


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi