BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah.
Manusia pada
dasarnya dikaruniai kecenderungan
untuk bertauhid, mengesakan
Allah SWT. Artinya
bahwa dalam diri
setiap manusia ada kecenderungan meyakini
adanya Allah SWT
dan beribadah kepada-Nya.
Dalam istilah al-Qur’an
kecenderungan tersebut disebut
dengan fitrah. Hal
ini tercermin dalam surat al-Rum ayat 30 sebagai berikut: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah): (tetaplah
atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (QS. al -Rum:
30) (Depag RI, 1989: 645) Ayat
di atas menunjukkan,
bahwa dalam diri
manusia terdapat potensi keagamaan,
yaitu dorongan untuk
mengabdi kepada sesuatu
yang dianggapnya memiliki
kekuasaan yang lebih
tinggi (Jalaluddin, 1998:
34). Dalam Islam,
potensi yang hubungannya dengan
keagamaan disebut fitrah, yaitu kemampuan yang telah Allah ciptakan dalam diri manusia, untuk
mengenal Allah. Inilah bentuk alami yang dengannya
seorang tercipta dalam
rahim ibunya sehingga
dia mampu menerima agama yang hak (Muhammad, 1995: 20). Seperti
yang djelaskan dalam hadist berikut; Artinya:
“setiap orang dilahirkan
ibunya dalam keadaan
fitrah, setelah itu
ayah ibunyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani
atau Majusi. Maka
jika kedua orang tuanya itu
muslim, maka (anak) akan menjadi seorang muslim.
(H.R. Muslim).” Dari
hadist tersebut dapat
difahami bahwa, manusia
memiliki fitrah untuk beriman kepada
Allah, tetapi karena
faktor “lingkungan” maka
fitrah tersebut bisa tidak dikembangkan
sebagaimana mestinya, melainkan
menyimpang ke arah
yang lain. Dengan
kata lain, Islam
mengikuti dua hal
pokok, yaitu: Manusia
dibekali “naluri” untuk
bertauhid (agama Islam).
Lingkunga n mempunyai pengaruh
besar terhadap perkembangan
naluri. (Musnamar, 2001: 139).
Persoalan besar
yang muncul di
tengah-tengah umat manusia
sekarang ini adalah
krisis spiritualitas. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan
teknologi, dominasi rasionalisme,
empirisme, dan positivisme,
ternyata membawa manusia
kepada kehidupan modern
di mana sekularisme
menjadi mentalitas zaman
dan karena itu spiritualisme
menjadi suatu tema bagi kehidupan modern dan fitrah bagi manusia.
Potensi fitrah
(agama) merupakan bawaan
alami, artinya ia
merupakan sesuatu yang melekat
dalam diri manusia (bawaan), dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha (muktasabah) (Muthahari, 1998:
20).
Dalam konteks
dakwah Islam, maka
manusia dituntut untuk mengaktualisasikan atau
mewujudkan potensi yang
dimilikinya guna mewujudkan fungsi
kerisalahan dan fungsi
kerahmatan. Fungsi kerisalahan
ini berupa tugas menyampaikan
agama Islam kepada manusia, sedangkan fungsi kerahmatan adalaah upaya menjadikan Islam sebagai rahmat bagi
alam semesta (Muriah, 2000: 11).
Hal di
atas menunjukkan, bahwa
potensi fitrah pada
intinya sudah diterima dalam jiwa manusia sendiri dan merupakan
potensi yang hebat, energi dahsyat yang tidak
ditundukkan oleh kekuatan
lahiriyah yang konkrit
apabila ia dikerahkan, diarahkan
dan dilepaskan secara
wajar menurut apa
yang telah diterapkan
(Qutb, 1982: 84).
Bentuk potensi
ini menunjukkan bahwa
manusia sejak asal
kejadiannya membawa potensi
beragama yang lurus
dan ini merupakan
pondasi dasar dalam agama
Islam untuk mengarahkan potensi-potensi yang ada dari insting, inderawi dan aqli.
Potensi keagamaan yang
dimiliki seseorang harus
dikembangkan dan dibina melalui
bimbingan yang diwujudkan
melalui pengamalan ritual
(praktik agama), sehingga
dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal
dan na ntinya dapat bermanfaat
bagi kehidupannya. Dengan kata lain, bahwa bimbingan memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka mengembangkan
aspek-aspek yang ada dalam diri seseorang,
khususnya aspek keagamaan yang dititik beratkan ritual (praktik agama).
Oleh karena itu, sasaran yang
ingin dicapai dengan bimbingan adalah memanusiakan manusia,
baik sebagai makhluk
individu, mahluk sosial
maupun sebagai makhluk Allah
(yang ber-Tuhan). Dengan
kata lain, bahwa
bimbingan (guidance) bertujuan untuk
membantu individu mewujudkan
dirinya sebagai manusia
seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat (Musnamar, 1992: 33).
Menyadari pentingnya
pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas, maka
manusia membutuhkan bimbingan
dalam hidup. Salah
satu bimbingan yang dianggap efektif
adalah bimbingan penyuluhan
Islam. bimbingan penyuluhan
Islam adalah usaha
pemberian bantuan kepada
seseorang yang mengalami
kesulitan baik lahiriah
maupun batiniah yang
menyangkut kehidupan dimasa
kini dan masa mendatang,
bantuan tersebut berupa pertolongan dibidang mental spiritual agar yang bersangkutan mampu mengatasi kesulitannya
dengan kemampuannya sendiri, melalui kekuatan
iman dan ketakwaan kepada Allah SWT (Arifin, 1982: 2).
Bimbingan adalah upaya bantuan
untuk mewujudkan perkembangan manusia secara optimal
baik secara kelompok
maupun individual, sesuai
dengan hakikat kemanusiaannya
dengan berbagai potensi,
kelebihan dan kekurangan,
serta permasalahannya,
termasuk bagi para narapidana. Sedangkan
bimbingan Islam yang diberikan
kepada narapidana pada
dasarnya untuk melakukan
perubahan secara mendasar.
Artinya, bimbingan Islam
diberikan untuk mengurangi
stimuli yang negative terhadap hal-hal yang diharamkan
menurut ajaran Islam.
Narapidana adalah orang yang
dihukum di dalam penjara karena pelanggaran hukum. Penerapan hukum tersebut tidak identik
dengan balasan atau balas dendam,
tetapi lebih dimaksudkan sebagai usaha
untuk membina narapidanan agar kembali ke jalan
yang baik. Artinya,
hukuman yang ada
lebih dimaksudkan sebagai
upaya penyembuhan bagi
seorang yang sedang
mengalami kesesatan hidup
agar kembali normal
dan lebih baik.
Narapidanan tersebut diusahakan
dengan berbagai keahlian dan pemahaman keagamaan. Hal ini
diharapkan para narapidana
setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak
lagi membebani masyarakat
tetapi diharapkan dapat memberi
contoh yang baik.
Narapidana yang
berada di Lembaga
Pemasyarakatan merupakan salah
satu factor perubahan
perilaku manusia yang
menyimpang dari tuntunan
agama dengan melakukan
berbagai tindak kejahatan
yang mengakibatkan ketidak
stabilan dan kerusakan tatanan dalam lingkungan masyaarakat
(Nizar, 2002: 17).
Bentuk-bentuk
kejahatan yang dilakukan
oleh narapidana yang
berada di Lembaga
Pemasyarakatan sangat heterogen,
seperti: pencur ian, perampokan, penipuan,
pembunuhan, penyelundupan, penganiayaan
dan sebagainya (Moeljatno, 2001:
43-179). Perbuatan yang
melanggar hokum memiliki
dampak yang sangat merugikan bagi diri sendiri dan juga bagi
masyarakat. Hal tersebut perlu diatasi sejak dini
selama berada di
Lembaga Pemasyarakatan yaitu
dengan bimbingan tersebut adalah
untuk mengembalikan mereka
pada jalan yang
lurus (kembali menjadi manusia yang beriman dan taqwa terhadap Allah
SWT) (Almunawar, 2002: 321-322).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi