Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:KONSEP QANÂ’AHMENURUT HAMKA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL (Perspektif Bimbingan Konseling Islam)


BAB I PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang Kehidupan  manusia  di  era  modernisasi  yang  telah  merambah  ke  seluruh  penjuru  dunia  telah  membuat  manusia  terlena  dengan  kemegahan  dan  kemajuan  yang  ada.  Banyak  orang  terpukau  dengan  modernisasi,  mereka  menyangka  bahwa  dengan  modernisasi  itu  serta  merta  akan  membawa  kesejahteraan.  Mereka  lupa  bahwa  dibalik  modernisasi  yang  serba  gemerlap  memukau  itu  ada  gejala  yang  dinamakan  the  agony  of  modernization, yaitu azab sengsara karena modernisasi (Hawari, 1997: 3).
Kemajuan  teknologi  dan  modernisasi  yang  cepat  telah  membawa  banyak  perubahan  dunia.  Akibat  kemajuan  teknologi  dan  modernisasi  berbagai  sektor  seperti  pertanian,  perhubungan,  komunikasi,  kerja,  mode  dan  industri  diharuskan  menghasilkan  produk  yang  banyak  dalam  waktu  sesingkat  mungkin.  Orientasi  hidup  menjadi  materialis,  akibatnya  tuntutan  kebutuhan hidup semakin banyak dan semakin mahal. Akibat meningkatnya  kebutuhan-kebutuhan  pada  masyarakat  modern,  maka  orang  dalam  kehidupan  selalu  mengejar  waktu,  mengejar  benda  dan  mengejar  prestige.
Semuanya ini akan membawa hidup seperti mesin, tidak mengenal istirahat  dan ketenteraman. Hidupnya dipenuhi oleh ketegangan perasaan  (tension),  karena  keinginannya  menghindari  perasaan  tertekan,  jika  semua  yang  diinginkan  tidak  terpenuhi.  Hubungan  antara  manusia  yang  pada  mulanya  bersifat  persaudaraan  menjadi  bersifat  kepentingan.  Persaingan  dalam   mencari keperluan-keperluan hidup yang makin hari makin meningkat, telah  membawa manusia hidup menjadi lebih gelisah  dan lebih  renggang antara  satu sama lain.

Kekurangan  kebutuhan  kejiwaan  (rohani)  bagi  manusia  akan  sangat  berbahaya  daripada  kekurangan  kebutuhan  jasmani,  sebab,  rohani  atau  kejiwaan  merupakan  penyebab  utama  berjalannya  fungsi-fungsi  kejiwaan  lainnya  seperti  pikiran,  perasaan,  sikap  jiwa,  pandangan,  dan  keyakinan  hidup  berubah  menjadi  pertentangan  dalam  diri  yang  mengakibatkan  ketidakseimbangan  fungsi-fungsi  tubuh  yang  pada  gilirannya  membawa  pengaruh buruk apabila tidak segera diatasi bahkan akan menjalar menjadi  gangguan kejiwaan, juga mengakibatkan penyakit mental atau jiwa.
Dalam hal ini, kesehatan jiwa atau mental menjadi hal  yang penting.
Kesehatan mental sebagaimana yang  dikatakan Zakiah Daradjat (1990:  11)  adalah  terhindarnya  seseorang  dari  gejala-gejala  gangguan  dan  penyakit  jiwa,  dapat  menyesuaikan  diri,  dapat  memanfaatkan  segala  potensi  dan  bakat  yang  ada  semaksimal  mungkin  dan  membawa  kepada  kebahagiaan  bersama beserta tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup.
Pribadi yang mempunyai mental yang sehat secara relatif dekat sekali dengan  integritas  jasmaniah-rohaniah  yang  ideal.  Kehidupan  psikisnya  stabil,  tidak  banyak  memendam  konflik  internal.  Suasana  hatinya  tenang,  imbang,  dan  jasmaniahnya  selalu  sehat  (Kartono,  1989:  7).  Namun  sebaliknya,  pribadi  yang  tidak  sehat  mentalnya,  tentu  dalam  dirinya  akan   selalu  diliputi  perasaan  yang  tidak  tenang,  cemas,  bimbang  sehingga  menimbulkan stres, lebih-lebih dia merasa jauh dari Tuhannya.
Apabila seseorang tidak memiliki daya tahan mental dan spiritual yang  tangguh  maka  akan  mudah  muncul  keadaan  stres  dan  depresi.  Keimanan  yang lemah sangat rentan dan mudah tertimpa dua keadaan tersebut, maka  dari  itu  kekuatan  iman  dan  ketaqwaanlah  yang  akan  menghasilkan  daya  tahan  mental  yang  kokoh  dan  kuat  dalam  menghadapi  berbagai  persoalan  dalam kehidupan (Adz Dzaky, 2004: 2).
Dalam  pengertian  kesehatan  mental  yang  dikemukakan  oleh  Zakiah Daradjat  di  atas,  tersirat  bahwa  agama  merupakan  salah  satu  kebutuhan  psikis  manusia  yang  perlu  dipenuhi  oleh  setiap  orang  yang  merindukan  ketentraman  dan  kebahagiaan.  Kebutuhan  psikis  manusia  akan  keimanan  dan  ketakwaan  kepada  Allah  tidak  akan  terpenuhi  kecuali  dengan  agama  (Jaelani, 2001: 77-78) Islam memberikan konsep-konsep mujarab dari ajarannya, ia memberi  jalan keluar atau solusi alternatif bagi umatnya terhadap  permasalahan yang  dialami. Al Qur’an telah memberikan berbagai macam terapi kejiwaan, juga  sebagai  pegangan  hidup  telah  mengenalkan  berbagai  macam  ajaran  dan  petunjuk  serta  nasehat  bagi  kesejahteraan  dan  kebahagiaan  hidup  manusia  baik yang berhubungan dengan Allah, yang  berkaitan erat dengan  hubungan  sesama  manusia,  dan  yang  antara  hubungan  manusia  dengan  lingkungan  sekitarnya.
 Salah  satu  aspek  terpenting  ajaran  Islam  adalah  qanâ’ah.  Selama  ini  ajaran  qanâ’ah  telah banyak ditinggalkan oleh umat Islam sendiri. Indikasi  hal  itu  adalah  adanya  kecenderungan  umat  Islam  yang  terkungkung  pada  pemikiran  materialistik,  menghalalkan  segala  cara  untuk  mendapatkan  materi,  dan  kemewahan  dunia.  Bahkan  sebagian  umat  Islam  ada  yang  menganggap  bahwa  qanâ’ah  merupakan  biang  kemunduran  penghidupan  dan kehidupan dunia. Hal itu karena qanâ’ah menyebabkan manusia skeptis  dan apatis terhadap bagian di dunia. Hal tersebut terjadi karena pemahaman  dan pemberian definisi yang kurang tepat terhadap  qanâ’ah.  Qanâ’ah  lebih  diasumsikan sebagai sifat pasrah,  nerimo ing pandum, tanpa adanya usaha,  kerja keras dan peningkatan yang berarti. Oleh karena itu, penting kiranya  untuk mencari formula yang tepat dalam mengartikan  qanâ’ah, agar betulbetul  sesuai  dengan  ajaran  dan  diterapkan  menurut  tuntunan  Islam  sebenarnya.
Hamka,  ulama  Indonesia  berpandangan  positif  terhadap  dunia  dan  memaknai  qanâ’ah  dalam  konteks  kekinian.  Qanâ’ah  menurut  Hamka  adalah menerima apa adanya dalam pengertian tetap harus berusaha. Hal ini  tidak  berlawanan  dengannya,  selama  harta  itu  tidak  menghilangkan  ketentraman hati dan masih diikat oleh niat suci. Menurut Hamka,  qanâ’ah bukan  lantaran  memandang  belum  cukupnya  harta,  tetapi  bekerja  karena  orang hidup itu tidak boleh menganggur (Amin Syukur, 1997: 132-133).
Qanâ’ah  disebut  juga  raja  (Al  Qusyairi,  1994:  106).  Disebut  raja  karena  hanya  tinggal  dan  hanya  ada  di  hati  orang  yang  beriman.  Raja   merupakan  dominasi  penentu  pandangan,  penerimaan  akan  sesuatu  yang  diterima,  yang  hilang,  yang  ada  dan  yang  akan  dicari.  Raja  adalah  kedudukan tertinggi dalam “pemerintahan diri”. Tentu hal ini terkait dengan  pemberian, permintaan aktivitas dan keadaan-keadaan hati. Dengan qanâ’ah lah  manusia  akan  lebih  menghayati  segala  sesuatu  yang  menimpa  dirinya.
Qanâ’ah  bahkan  dianggap  perilaku  cerdas,  karena  orang  akan  pandai  menghadapi urusan dunianya, tidak tergesa-gesa, memahami dengan penuh  penghayatan apa yang menimpa dirinya.
Menempatkan  qanâ’ah  sebagai raja dan perilaku cerdas bukanlah hal  yang  mudah,  karena  butuh  kesadaran  penuh  dalam  urusan  keduniaan.
Sehingga  pemahaman  dan  kesadaran  inilah  yang  menjadi  kunci  merefleksikan  qanâ’ah  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Oleh  karena  itu,  sebagian manusia mencari pemecahan masalah dan siraman rohani melalui  bimbingan  konseling.  Bimbingan  merupakan  proses  pemberian  bantuan  yang  dilakukan  oleh  seorang  ahli  kepada  individu  dengan  menggunakan  sarana  yang  ada,  berdasarkan  norma-norma  yang  berlaku,  sedangkan  konseling  adalah  proses  pemberian  bantuan  yang  dilakukan  melalui  wawancara  konseling  oleh  seorang  ahli  (konselor)  kepada  individu  yang  sedang  mengalami  suatu  masalah  (klien)  yang  bermuara  pada  teratasinya  masalah yang dihadapi klien.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi