BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia
di era modernisasi
yang telah merambah
ke seluruh penjuru
dunia telah membuat
manusia terlena dengan
kemegahan dan kemajuan
yang ada. Banyak
orang terpukau dengan
modernisasi, mereka menyangka
bahwa dengan modernisasi
itu serta merta
akan membawa kesejahteraan. Mereka
lupa bahwa dibalik
modernisasi yang serba
gemerlap memukau itu
ada gejala yang
dinamakan the agony
of modernization, yaitu azab
sengsara karena modernisasi (Hawari, 1997: 3).
Kemajuan teknologi
dan modernisasi yang
cepat telah membawa banyak
perubahan dunia. Akibat
kemajuan teknologi dan
modernisasi berbagai sektor
seperti pertanian, perhubungan,
komunikasi, kerja, mode dan industri
diharuskan menghasilkan produk
yang banyak dalam
waktu sesingkat mungkin.
Orientasi hidup menjadi
materialis, akibatnya tuntutan kebutuhan hidup semakin banyak dan semakin
mahal. Akibat meningkatnya kebutuhan-kebutuhan pada
masyarakat modern, maka
orang dalam kehidupan
selalu mengejar waktu,
mengejar benda dan
mengejar prestige.
Semuanya ini akan membawa hidup
seperti mesin, tidak mengenal istirahat dan
ketenteraman. Hidupnya dipenuhi oleh ketegangan perasaan (tension), karena
keinginannya menghindari perasaan
tertekan, jika semua
yang diinginkan tidak
terpenuhi. Hubungan antara
manusia yang pada
mulanya bersifat persaudaraan
menjadi bersifat kepentingan.
Persaingan dalam mencari keperluan-keperluan hidup yang makin
hari makin meningkat, telah membawa
manusia hidup menjadi lebih gelisah dan
lebih renggang antara satu sama lain.
Kekurangan kebutuhan
kejiwaan (rohani) bagi
manusia akan sangat berbahaya
daripada kekurangan kebutuhan
jasmani, sebab, rohani
atau kejiwaan merupakan
penyebab utama berjalannya
fungsi-fungsi kejiwaan lainnya
seperti pikiran, perasaan,
sikap jiwa, pandangan,
dan keyakinan hidup
berubah menjadi pertentangan
dalam diri yang
mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi-fungsi
tubuh yang pada
gilirannya membawa pengaruh buruk apabila tidak segera diatasi
bahkan akan menjalar menjadi gangguan
kejiwaan, juga mengakibatkan penyakit mental atau jiwa.
Dalam hal ini, kesehatan jiwa
atau mental menjadi hal yang penting.
Kesehatan mental sebagaimana
yang dikatakan Zakiah Daradjat
(1990: 11) adalah
terhindarnya seseorang dari
gejala-gejala gangguan dan
penyakit jiwa, dapat
menyesuaikan diri, dapat
memanfaatkan segala potensi
dan bakat yang
ada semaksimal mungkin
dan membawa kepada
kebahagiaan bersama beserta
tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup.
Pribadi yang mempunyai mental
yang sehat secara relatif dekat sekali dengan
integritas
jasmaniah-rohaniah yang ideal.
Kehidupan psikisnya stabil,
tidak banyak memendam
konflik internal. Suasana
hatinya tenang, imbang,
dan jasmaniahnya selalu
sehat (Kartono, 1989:
7). Namun sebaliknya,
pribadi yang tidak
sehat mentalnya, tentu
dalam dirinya akan selalu diliputi
perasaan yang tidak
tenang, cemas, bimbang
sehingga menimbulkan stres,
lebih-lebih dia merasa jauh dari Tuhannya.
Apabila seseorang tidak memiliki
daya tahan mental dan spiritual yang tangguh maka
akan mudah muncul
keadaan stres dan
depresi. Keimanan yang lemah sangat rentan dan mudah tertimpa
dua keadaan tersebut, maka dari itu
kekuatan iman dan
ketaqwaanlah yang akan
menghasilkan daya tahan
mental yang kokoh
dan kuat dalam
menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan (Adz Dzaky, 2004: 2).
Dalam pengertian
kesehatan mental yang
dikemukakan oleh Zakiah Daradjat di
atas, tersirat bahwa
agama merupakan salah
satu kebutuhan psikis
manusia yang perlu
dipenuhi oleh setiap
orang yang merindukan ketentraman
dan kebahagiaan. Kebutuhan
psikis manusia akan
keimanan dan ketakwaan
kepada Allah tidak
akan terpenuhi kecuali
dengan agama (Jaelani, 2001: 77-78) Islam memberikan
konsep-konsep mujarab dari ajarannya, ia memberi jalan keluar atau solusi alternatif bagi
umatnya terhadap permasalahan yang dialami. Al Qur’an telah memberikan berbagai
macam terapi kejiwaan, juga sebagai pegangan
hidup telah mengenalkan
berbagai macam ajaran
dan petunjuk serta
nasehat bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup
manusia baik yang berhubungan
dengan Allah, yang berkaitan erat
dengan hubungan sesama
manusia, dan yang
antara hubungan manusia
dengan lingkungan sekitarnya.
Salah
satu aspek terpenting
ajaran Islam adalah
qanâ’ah. Selama ini ajaran qanâ’ah
telah banyak ditinggalkan oleh umat Islam sendiri. Indikasi hal
itu adalah adanya
kecenderungan umat Islam
yang terkungkung pada pemikiran materialistik, menghalalkan
segala cara untuk
mendapatkan materi, dan
kemewahan dunia. Bahkan
sebagian umat Islam
ada yang menganggap
bahwa qanâ’ah merupakan
biang kemunduran penghidupan dan kehidupan dunia. Hal itu karena qanâ’ah
menyebabkan manusia skeptis dan apatis
terhadap bagian di dunia. Hal tersebut terjadi karena pemahaman dan pemberian definisi yang kurang tepat
terhadap qanâ’ah. Qanâ’ah
lebih diasumsikan sebagai sifat
pasrah, nerimo ing pandum, tanpa adanya
usaha, kerja keras dan peningkatan yang
berarti. Oleh karena itu, penting kiranya untuk mencari formula yang tepat dalam
mengartikan qanâ’ah, agar
betulbetul sesuai dengan
ajaran dan diterapkan
menurut tuntunan Islam sebenarnya.
Hamka, ulama
Indonesia berpandangan positif
terhadap dunia dan memaknai qanâ’ah
dalam konteks kekinian.
Qanâ’ah menurut Hamka adalah
menerima apa adanya dalam pengertian tetap harus berusaha. Hal ini tidak
berlawanan dengannya, selama
harta itu tidak
menghilangkan ketentraman hati
dan masih diikat oleh niat suci. Menurut Hamka,
qanâ’ah bukan lantaran memandang
belum cukupnya harta,
tetapi bekerja karena orang hidup itu tidak boleh menganggur (Amin
Syukur, 1997: 132-133).
Qanâ’ah disebut
juga raja (Al
Qusyairi, 1994: 106).
Disebut raja karena
hanya tinggal dan
hanya ada di
hati orang yang
beriman. Raja merupakan
dominasi penentu pandangan,
penerimaan akan sesuatu
yang diterima, yang
hilang, yang ada
dan yang akan
dicari. Raja adalah kedudukan tertinggi dalam “pemerintahan diri”.
Tentu hal ini terkait dengan pemberian,
permintaan aktivitas dan keadaan-keadaan hati. Dengan qanâ’ah lah manusia
akan lebih menghayati
segala sesuatu yang
menimpa dirinya.
Qanâ’ah bahkan
dianggap perilaku cerdas,
karena orang akan
pandai menghadapi urusan
dunianya, tidak tergesa-gesa, memahami dengan penuh penghayatan apa yang menimpa dirinya.
Menempatkan qanâ’ah
sebagai raja dan perilaku cerdas bukanlah hal yang
mudah, karena butuh
kesadaran penuh dalam
urusan keduniaan.
Sehingga pemahaman
dan kesadaran inilah
yang menjadi kunci merefleksikan qanâ’ah
dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, sebagian
manusia mencari pemecahan masalah dan siraman rohani melalui bimbingan
konseling. Bimbingan merupakan
proses pemberian bantuan yang
dilakukan oleh seorang
ahli kepada individu
dengan menggunakan sarana
yang ada, berdasarkan
norma-norma yang berlaku,
sedangkan konseling adalah
proses pemberian bantuan
yang dilakukan melalui wawancara
konseling oleh seorang
ahli (konselor) kepada
individu yang sedang
mengalami suatu masalah
(klien) yang bermuara
pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi