BAB I PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Kepergian
mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah menciptakan
kekosongan eksistensial bagi
para sahabat, murid,
dan pengagumnya. Kepergian Gus
Dur pun tidak hanya menyentuh rasa duka yang mendalam,
tetapi sekaligus menyingkap
reputasinya sebagai tokoh
agama, pejuang demokrasi,
pemimpin politik, pembela
kaum minoritas, pengusung hak asasi, dan pahlawan pluralisme (Kompas,
Senin, 31 Desember 2009).
Berbagai kalangan
pun berduka, tak
hanya dari kalangan
Nahdliyyin saja, masyarakat dari
kalangan minoritas Tiong hoa pun merasakan duka yang mendalam.
Selain warga Nahdliyyin,
para pemuka agama
lintas agama juga hadir di
kompleks Ponpes. Mereka
duduk di tenda
tamu pelayat. Di
antara mereka, tampak biksu yang
mengenakan pakaian warna kuning dan merah hati (Hadi, 2010 : 96).
Meninggalnya Gus
Dur menjadi sesuatu
yang berbeda tatkala pemakamannya
dihadiri tak hanya
dari lintas kalangan,
tapi juga dari
lintas agama. Setelah wafatnya
Gus Dur wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Gus Dur pun bergulir (Kompas, 06 Januari
2010). Berita mengenai
Gus Dur menjadi
headline di berbagai
media massa.
Selama hampir sebulan berita-berita
terkait pun menghiasi media, khususnya media cetak pada bulan Januari 2010. Tak hanya
berita bela sungkawa, namun juga berita-berita
seputar wacana gelar
pahlawan Gus Dur.
Para pakar komunikasi
mengakui bahwa pengaruh
media massa tidak
seampuh peluru tajam.
Tidak selalu apa
yang dikehendaki dan
diinformasikan oleh media massa terjadi
dan berpengaruh, baik
itu positif maupun
negatif pada diri
si penerima informasi. Namun
dalam jangka panjang daya pengaruh itu diyakini akan
berdampak, sebagaimana air
yang menitik dari
langit -langit goa membentuk
stalagtit dan stalagmit (Baso, 1992 : xi).
Media massa
menjalankan fungsi untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat.
Melalui media, masyarakat
dapat menyetujui atau menolak kebijakan
pemerintah. Lewat media
pula, berbagai inovasi
atau pembaruan bisa
dilakukan oleh masyarakat.
Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap juga bisa disebarluaskan
melalui media. Sosialisasi kebijakan tentang
devaluasi mata uang rupiah atau kenaikan tunjangan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang perlu
diketahui secara cepat
oleh masyarakat, tidak
perlu dilakukan secara tatap
muka. Pemerintah cukup
melakukan press release
ke media atau
mengundang wartawan untuk
jumpa pers. Dalam
waktu singkat informasi itu akan terebar luas ke masyarakat
(Nuruddin, 2004 : 69).
Indonesia kini memang sedang
memasuki era baru, era demokrasi. Pers dan
media massa muncul bak jamur di musim hujan. Penampilannya pun jelas jauh lebih berani bersikap kritis terhadap
penguasa dibanding masa-masa Orde Baru.
Media massa selama era Orde Baru memang jauh dari fungsinya sebagai penegakan
suatu public sphere.
Pers dan berbagai
lembaga pendidikan serta lembaga publik
lainnya, diupayakan oleh
penguasa agar sepenuhnya
b isa berfungsi sebagai
aparatus ideologi negara
berpasangan dengan sejumlah aparatus
represif negara, seperti
militer dan kelompok-kelompok political thugs
(preman-preman politik) yang
dibina penguasa. Setelah
Orde Baru lengser,
pers memang tampil
beda. Pers menjadi
lebih agresif dan
kreatif dalam memberi nilai
tambah suatu berita, dan juga dalam mengeksplorasi isuisu permasalahan untuk
diolah menjadi komoditi informasi (Dedy N Hidayat dalam Sudibyo, 2001 : viii).
Masa transisi
yang kita alami
sekarang membuat sebagian
pers menderita semacam krisis
identitas atau gegar budaya. Mereka tercerabut dari fondasi yang lama, akan tetapi belum berpijak
pada fondasi baru yang kokoh.
Tidak mengherankan
jika era reformasi
sering didefinisikan sebagai
era kebebasan tanpa
batas, sehingga banyak
pers, terutama media
baru yang muncul
pada masa transisi
ini kebablasan dalam
pemberitaan dan penyajiannya (Mulyana, 2008 : 100).
Sesungguhnya tugas
mulia media adalah
menyampaikan kebenaran, namun
tugas menyampaikan kebenaran itu
tidaklah sederhana. Ada berbagai kepentingan
yang ”berbicara” yang
pada gilirannya memberi
bentuk pada kebenaran yang disampaikan. Selalu saja ada
ketegangan di antara pihak yang memiliki
kepentingan dan masyarakat umum sebagai konsumen berita.
Media massa
menyampaikan segala bentuk
informasi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Seiring
dengan berkembangnya zaman, media menjadi
bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan
masyarakat.
Keberadaan media
massa nasional maupun
lokal merupakan suatu
bentuk tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perbedaan mendasar dari keduanya adalah
jangkauan wilayah yang
berdampak pada berita
yang dihasilkan.
Berita bukanlah
foto kopi dari
realitas. Ia hanyalah
rekonstruksi dari realitas.
Sedangkan rekonstruksi, tidak
mungkin sama dan
sebangun dengan apa yang dikonstruksi ini, yaitu realitas.
Hasil dari rekonstruksi bagaimanapun banyak tergantung
pada orang yang
mengerjakan rekonstruksi tadi,
yaitu wartawan pada tahap
permulaannya dan gatekeeper atau redaktur
pada tahap berikutnya (Shobur,
2002 :vii-viii).
Pers punya tugas besar dan mulia,
yakni untuk mengembangkan wacana yang sehat
demi kepentingan rakyat
banyak. Melalui penyajiannya,
pers seyogyanya lebih
berempati terhadap pihak-pihak
yang dirugikan dan menderita. Pada
gilirannya wacana yang
sehat dapat dikembangkan
untuk mencari solusi atas
persoalan yang ada (Mulyana, 2008 : 104 ).
Melalui studi
wacana kritis ini,
akan diketahui kontruksi
berita yang ditampilkan oleh Surat Kabar Harian (SKH) Kompas.
Penulis akan berusaha menemukan konstruksi yang ditampilkan Kompas
dalam pemberitaan tentang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bagi sebagian
insan pers, Gus Dur barangkali
menjadi makluk yang paling menggemaskan.
Di satu sisi,
sejarah telah menunjukkan
Gus Dur adalah gabungan dari kualitas negarawan,
politisi, budayawan, agamawan, dan intelektual
dengan sumbangan pemikiran dalam proses demokratisasi selama Orde Baru. Pers pun mengakui kepeloporan Gus
Dur dalam memperjuangkan gagasan-gagasan
keterbukaan politik, pluralisme, inklusivisme, pemberdayaan sipil, dan lain-lain.
Tingkah laku Gus Dur yang ”semau
gue”, tak acuh terhadap kritik-kritik yang datang
dari berbagai penjuru
menjadi kurang bersahabat
di mata pers.
Sebagai kekuatan
sosial yang telah
sedemikian rupa terbuai
oleh ”ideologi” reformasi,
pers tak bisa
tinggal diam melihat
polah tingkah Gus
Dur (Sudibyo, 2009 : 243-244) Dalam
pemberitaan Kompas ketika Gus Dur masih memegang tampuk kekuasaan
Kompas melakukan pemberitaan
dengan memberikan ruang
yang relatif berimbang
antara sumber berita yang
pro maupun yang
kontra Gus Dur (Sudibyo, 2009 : 289) Pada akhir
tahun 2009 tokoh
kontroversial yang terkenal
dengan kalimat ”Gitu
Aja Kok Repot”
telah tiada, tak
hanya umat Islam
saja yang mengiringi kepergiannya, berbagai elemen
masyarakat terdiri dari Kiai, Biksu, serta masyarakat
Tionghoa pun juga
turut menghadiri pemakamannya (http://www.inilah.com/read/detail/252742/gus-dur-dimakamkan-pukul-1300-wib/
diakses 06 Maret 2011) Gus Dur dipandang
sebagai salah satu
tokoh yang paling
garang menyerukan persamaan
kaum minoritas, khususnya
kaum Tionghoa. Tak hanya
dalam hal sosial dan ideologi saja, tapi Gus Dur juga dipandang sebagai tokoh
penting dalam bidang
seni dan budaya.
Sehingga itulah yang menyebabkan
Gus Dur bisa dekat dengan semua kalangan dan banyak orang merasa kehilangan karena kepergiannya. Kompas
pun menampilkan foto Gus Dur
penuh dalam halaman depannya sehari setelah wafatnya Bapak Pluralisme tersebut.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi