Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:PROPORSIONALITAS TAYANGAN LOCAL WISDOM(KEARIFAN LOKAL) JAWA TENGAH DI STASIUN TELEVISI BOROBUDUR SEMARANG (Analisis Perspektif Dakwah)


BAB I  PENDAHULUAN  
1.1. Latar Belakang  Indonesia  merupakan  negara  majemuk,  dimana  terdapat  berbagai  macam  kelompok  etnis  yang  berbeda-beda  di  tiap-tiap  daerahnya.  Masingmasing  mempunyai  identitas  kebudayaan  yang  berbeda.  Bahasa  yang  digunakan juga beragam. Selain itu, kepercayaan keagamaan juga bermacammacam,  hampir  semua  agama  dunia  terdapat  di  Indonesia.  Bentuk  masyarakatnya juga berbeda-beda, mulai dari desa-desa kecil yang terpencil  sampai  kepada  kota-kota  besar  yang  modern.  Kehidupan  yang  ada  di  desa  sangat berbeda dengan kehidupan kota.
Jalaludin Rakhmat (1998: 51) mengatakan bahwa secara ekonomi, kota  cenderung mendominasi desa sehingga pada akhirnya secara kultural budaya  kota  pun  kemudian  mendominasi  budaya  desa.  Artinya,  kota  dipandang  mencerminkan  budaya  yang  cukup  tinggi.  Kota  dianggap  sebagai  agen  pembaruan, tempat munculnya pemikiran baru, dan pusat kemajuan ekonomi  dan  modernitas.  Kampung  adalah  lawan  dari  itu  semua.  Kampung  adalah  lambang  dari  kemunduran  ekonomi,  keterbelakangan  dalam  pemikiran serta  tradisionalisme. Tidak heran kalau kita sering mendengar istilah ‘kampungan’  atau  dalam  Bahasa  Jawa  sering  kita  dengar  ‘ndeso’.  Citra  seperti  itu  kemudian dikukuhkan dalam adegan-adegan di media massa, yang dalam hal  ini adalah media televisi.   2  Perkembangan media televisi saat ini, tidak terletak pada teknologinya,  tetapi  lebih  jauh  dari  itu.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  sudut  pandang  politik.
Tiap-tiap  negara  di  dunia,  baik  negara  maju  maupun  negara  dunia  ketiga,  telah  memberikan  pengaruh  yang  besar  terhadap  negara  lain  dalam  bentuk  propaganda  budaya,  ekonomi,  sosial  atau  pertahanan  keamanan  negara.

Akibat hal tersebut, media televisi pada akhirnya dijadikan sebagai alat untuk  menjadikan  aspirasi  masyarakat  dunia,  agitasi  mental  dan  budaya  serta  menjajah  pola  perilaku  dan  sikap  masyarakat  tertentu  dari  suatu  negara  (Kuswandi,  1996:  11).  Inilah  nampaknya  yang  sedang  terjadi  di  Indonesia,  bahwa masyarakat kota yang dalam hal ini adalah Jakarta sebagai Ibu Kota  Negara menjadikan media televisi sebagai alat untuk menjajah pola perilaku  dan sikap masyarakat di daerah-daerah.
Di dalam teori media, ada yang disebut dengan Teori Refleksi. Menurut  teori  itu  media  massa  sering  mencerminkan  pandangan  masyarakat  yang  dominan pada saat itu, atau yang menjadi  mainstream. Oleh karena itu, tidak  heran kalau kemudian media  massa kita lebih menggambarkan budaya kota  ketimbang budaya desa. Atau, kalaupun budaya desa digambarkan, desa itu  digambarkan  menurut  persepsi  orang-orang  kota:  yang  dilihat  adalah  segi  negatif dari kehidupan kampung (Rakhmat, 1998: 51). Padahal banyak sekali  sisi-sisi  positif  kehidupan  kampung  yang  justru  bisa  dijadikan  contoh  yang  baik apabila dimunculkan dalam sebuah tayangan televisi.
Namun, pada kenyataannya, stasiun TV umumnya menyajikan program  acara  yang  bersifat  beragam  seperti  supermarket  yang  menyediakan  segala  3  barang. Segmentasi audien televisi biasanya hanya terjadi pada waktu  siaran  tertentu, misalnya pada sore hari lebih banyak menayangkan program acara  untuk anak-anak seperti film kartun karena kebanyakan anak-anak menonton  televisi  pada  sore  hari,  sementara  pagi  hari  waktu  siaran  lebih  banyak  diisi  dengan  program  drama  yang  disukai  ibu-ibu  dan  pembantu  rumah  tangga  yang  tinggal  di  rumah  (Morrisan,  2008:  182).  Segmentasi  tidak  menjadi  prioritas utama bagi stasiun-stasiun televisi swasta. Sulit menemukan televisi  yang khusus melayani segmen khalayak kelas atas atau khalayak kelas bawah  saja.
Sejauh  ini,  materi  siaran  sebelas  stasiun  televisi  nasional  memang  sangat  Jakarta-minded.  Bukan  semata-mata  karena  lokasi  sebelas  stasiun  televisi ini di Jakarta, namun karena yang mereka tonjolkan bukan persoalan  bagaimana  melayani  kepentingan  publik  secara  luas  melainkan  bagaimana  mengoptimalkan potensi  masyarakat sebagai konsumen.  Paska memudarnya  monopoli TVRI pertengahan tahun 1990-an, sesungguhnya tidak banyak yang  ditawarkan televisi-televisi swasta baru pada masyarakat pemirsa, terutama di  luar  Jakarta.  Di  tingkat  isi  dan  muatan  siaran,  yang  ditemukan  masyarakat  sesungguhnya  tidak  terlalu  jauh  berbeda  dengan  apa  yang  diperoleh  masyarakat  selama  lebih  dari  tiga  dekade  di  bawah  kekuasaan  Soeharto.
Hampir  semua  televisi  swasta  baru  tidak  melakukan  perubahan,  kecuali  dalam aspek hiburan yang lebih variatif. Mereka justru meniru TVRI dalam  me-relay  siaran  Jakarta  ke  daerah-daerah  yang  dianggap  potensial  secara  ekonomi.  Tidak  heran,  apa  yang  dinikmati  publik  di  Papua,  Kalimantan,  4  Sumatra,  dan  Jawa  adalah  berita,  hiburan,  dan  iklan  yang  sama.  Tidak  ada  perbedaan perlakuan untuk publik yang jelas-jelas secara kultural, sosiologis,  dan ekonomi berbeda (Sudibyo, 2004: 100).
Di  sini  berarti  terjadi  ketidakadilan  penyiaran  Indonesia  bagi  masyarakat  di  daerah-daerah.  Contohnya  informasi  tentang  Makassar  hanya muncul  di  TV  ketika  ada  konflik  atau  kerusuhan  saja,  sedangkan  kebudayaannya  tidak  pernah  diekspos.  Belum  lagi  daerah-daerah  terpencil lain yang tidak pernah tersentuh.
Dari  hari  ke  hari  kita  saksikan  betapa  berbagai  ekspresi  kebudayaan  daerah  makin  lama  makin  menepi.  Bukan  hanya  dalam  bidang  politik  dan  ekonomi,  tetapi  juga  dalam  bidang  kebudayaan  secara  lebih  umum,  yang  disebut  dengan  ekspresi  lokal  semakin  sirna.  Terjadi  semacam  pemusatan.
Ada  ketergantungan  antara  pusat  (nasional)  dan  daerah-daerah  berjalan  dengan  timpang,  dalam  pengertian  searah  dari  pusat  ke  daerah.
Kemajemukan,  termasuk  juga  dalam  bidang  budaya,  keteter oleh  penyeragaman,  kekhasan  lokal  dibalut  identitas  bersama  nasional  (Sularto,  1990: 101).
Akibatnya,  masyarakat  yang  seharusnya  mengenal  budaya  daerahnya  masing-masing  justru  tidak  mengenal  budaya  daerahnya  karena  selalu  disuguhi  dengan  tayangan-tayangan  televisi  yang  isinya  didominasi  oleh  budaya  Jakarta  yang  identik  dengan  gaya  hidup  glamor  dan  mewah.  Gaya  hidup  semacam  ini  sangat  jauh  berbeda  dengan  gaya  hidup  masyarakat  di  daerah-daerah. Sedangkan kebudayaan daerah hampir tidak pernah diekspos  5  dalam  acara  televisi.  Hal  ini  menyebabkan  terkikisnya  kearifan  lokal,  termasuk  di  dalamnya  budaya  lokal.  Sehingga  yang  terjadi  adalah  sesuai  dengan apa yang dikatakan Wawan Kuswandi (1996: 55) bahwa tradisi lokal  berubah  menjadi  tradisi  global.  Sedangkan  tidak  semua  lapisan  masyarakat  mampu menerima dan menyerap tradisi global (contoh mode busana) karena  keterbatasan  tingkat  pendidikan  serta  kepemilikan  aset  media  massa  dan  budaya.
Sudah  saatnya  dominasi  Jakarta  terhadap  daerah  dibidang  media  dan  penyiaran diakhiri dan bukan eranya lagi daerah hanya diperlakukan sebagai  pasar,  sebagai  objek  dan  iklan-iklan  komersial  yang  keuntungannya  sepenuhnya  dikuasai  oleh  kalangan  agensi  dan  televisi  swasta  Jakarta  (Sudibyo, 2004: 346).
Salah  satu  upaya  untuk  mengatasi  hal  ini  adalah  dengan  mendirikan  TV-TV  lokal  di  masing-masing  daerah,  baik  secara  independen  maupun  dengan sistem stasiun televisi berjaringan. Di Jawa Tengah, saat ini terdapat  kurang  lebih  6  stasiun  TV  lokal,  diantaranya  adalah  TV  Borobudur,  Cakra  Semarang TV, TVKU, Pro TV, Ratih TV Kebumen dan Solo TV.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi