BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia
merupakan negara majemuk,
dimana terdapat berbagai macam
kelompok etnis yang
berbeda-beda di tiap-tiap
daerahnya. Masingmasing mempunyai
identitas kebudayaan yang
berbeda. Bahasa yang digunakan
juga beragam. Selain itu, kepercayaan keagamaan juga bermacammacam, hampir
semua agama dunia terdapat
di Indonesia. Bentuk masyarakatnya juga berbeda-beda, mulai dari
desa-desa kecil yang terpencil sampai kepada
kota-kota besar yang
modern. Kehidupan yang
ada di desa sangat
berbeda dengan kehidupan kota.
Jalaludin Rakhmat (1998: 51)
mengatakan bahwa secara ekonomi, kota cenderung
mendominasi desa sehingga pada akhirnya secara kultural budaya kota
pun kemudian mendominasi
budaya desa. Artinya,
kota dipandang mencerminkan
budaya yang cukup
tinggi. Kota dianggap
sebagai agen pembaruan, tempat munculnya pemikiran baru,
dan pusat kemajuan ekonomi dan modernitas.
Kampung adalah lawan
dari itu semua.
Kampung adalah lambang
dari kemunduran ekonomi,
keterbelakangan dalam pemikiran serta tradisionalisme. Tidak heran kalau kita sering
mendengar istilah ‘kampungan’ atau dalam
Bahasa Jawa sering
kita dengar ‘ndeso’.
Citra seperti itu kemudian
dikukuhkan dalam adegan-adegan di media massa, yang dalam hal ini adalah media televisi. 2 Perkembangan media televisi saat ini, tidak
terletak pada teknologinya, tetapi lebih
jauh dari itu.
Hal ini dapat
dilihat dari sudut
pandang politik.
Tiap-tiap negara
di dunia, baik
negara maju maupun
negara dunia ketiga, telah
memberikan pengaruh yang
besar terhadap negara
lain dalam bentuk propaganda
budaya, ekonomi, sosial
atau pertahanan keamanan
negara.
Akibat hal tersebut, media
televisi pada akhirnya dijadikan sebagai alat untuk menjadikan
aspirasi masyarakat dunia,
agitasi mental dan
budaya serta menjajah
pola perilaku dan
sikap masyarakat tertentu
dari suatu negara (Kuswandi,
1996: 11). Inilah
nampaknya yang sedang
terjadi di Indonesia, bahwa masyarakat kota yang dalam hal ini
adalah Jakarta sebagai Ibu Kota Negara
menjadikan media televisi sebagai alat untuk menjajah pola perilaku dan sikap masyarakat di daerah-daerah.
Di dalam teori media, ada yang
disebut dengan Teori Refleksi. Menurut teori itu
media massa sering
mencerminkan pandangan masyarakat
yang dominan pada saat itu, atau
yang menjadi mainstream. Oleh karena
itu, tidak heran kalau kemudian
media massa kita lebih menggambarkan
budaya kota ketimbang budaya desa. Atau,
kalaupun budaya desa digambarkan, desa itu digambarkan
menurut persepsi orang-orang
kota: yang dilihat
adalah segi negatif dari kehidupan kampung (Rakhmat, 1998:
51). Padahal banyak sekali sisi-sisi positif
kehidupan kampung yang
justru bisa dijadikan
contoh yang baik apabila dimunculkan dalam sebuah tayangan
televisi.
Namun, pada kenyataannya, stasiun
TV umumnya menyajikan program acara yang
bersifat beragam seperti
supermarket yang menyediakan
segala 3 barang. Segmentasi audien televisi biasanya
hanya terjadi pada waktu siaran tertentu, misalnya pada sore hari lebih banyak
menayangkan program acara untuk
anak-anak seperti film kartun karena kebanyakan anak-anak menonton televisi
pada sore hari,
sementara pagi hari
waktu siaran lebih
banyak diisi dengan
program drama yang
disukai ibu-ibu dan
pembantu rumah tangga yang
tinggal di rumah
(Morrisan, 2008: 182).
Segmentasi tidak menjadi prioritas utama bagi stasiun-stasiun televisi
swasta. Sulit menemukan televisi yang
khusus melayani segmen khalayak kelas atas atau khalayak kelas bawah saja.
Sejauh ini,
materi siaran sebelas
stasiun televisi nasional
memang sangat Jakarta-minded. Bukan
semata-mata karena lokasi
sebelas stasiun televisi ini di Jakarta, namun karena yang
mereka tonjolkan bukan persoalan bagaimana melayani
kepentingan publik secara
luas melainkan bagaimana mengoptimalkan potensi masyarakat sebagai konsumen. Paska memudarnya monopoli TVRI pertengahan tahun 1990-an,
sesungguhnya tidak banyak yang ditawarkan
televisi-televisi swasta baru pada masyarakat pemirsa, terutama di luar
Jakarta. Di tingkat
isi dan muatan
siaran, yang ditemukan
masyarakat sesungguhnya tidak
terlalu jauh berbeda
dengan apa yang
diperoleh masyarakat selama
lebih dari tiga
dekade di bawah
kekuasaan Soeharto.
Hampir semua
televisi swasta baru
tidak melakukan perubahan,
kecuali dalam aspek hiburan yang
lebih variatif. Mereka justru meniru TVRI dalam me-relay
siaran Jakarta ke
daerah-daerah yang dianggap
potensial secara ekonomi.
Tidak heran, apa
yang dinikmati publik
di Papua, Kalimantan, 4 Sumatra, dan
Jawa adalah berita,
hiburan, dan iklan yang sama.
Tidak ada perbedaan perlakuan untuk publik yang
jelas-jelas secara kultural, sosiologis, dan ekonomi berbeda (Sudibyo, 2004: 100).
Di sini
berarti terjadi ketidakadilan
penyiaran Indonesia bagi masyarakat di
daerah-daerah. Contohnya informasi
tentang Makassar hanya muncul
di TV ketika
ada konflik atau
kerusuhan saja, sedangkan kebudayaannya
tidak pernah diekspos.
Belum lagi daerah-daerah
terpencil lain yang tidak pernah tersentuh.
Dari hari
ke hari kita saksikan betapa
berbagai ekspresi kebudayaan daerah
makin lama makin
menepi. Bukan hanya
dalam bidang politik
dan ekonomi, tetapi
juga dalam bidang
kebudayaan secara lebih
umum, yang disebut
dengan ekspresi lokal
semakin sirna. Terjadi
semacam pemusatan.
Ada ketergantungan antara
pusat (nasional) dan
daerah-daerah berjalan dengan
timpang, dalam pengertian
searah dari pusat
ke daerah.
Kemajemukan, termasuk
juga dalam bidang
budaya, keteter oleh penyeragaman,
kekhasan lokal dibalut
identitas bersama nasional
(Sularto, 1990: 101).
Akibatnya, masyarakat
yang seharusnya mengenal
budaya daerahnya masing-masing
justru tidak mengenal
budaya daerahnya karena
selalu disuguhi dengan
tayangan-tayangan televisi yang
isinya didominasi oleh budaya Jakarta
yang identik dengan
gaya hidup glamor
dan mewah. Gaya hidup semacam
ini sangat jauh
berbeda dengan gaya
hidup masyarakat di daerah-daerah.
Sedangkan kebudayaan daerah hampir tidak pernah diekspos 5 dalam acara
televisi. Hal ini
menyebabkan terkikisnya kearifan
lokal, termasuk di
dalamnya budaya lokal.
Sehingga yang terjadi
adalah sesuai dengan apa yang dikatakan Wawan Kuswandi
(1996: 55) bahwa tradisi lokal berubah menjadi
tradisi global. Sedangkan
tidak semua lapisan
masyarakat mampu menerima dan
menyerap tradisi global (contoh mode busana) karena keterbatasan
tingkat pendidikan serta
kepemilikan aset media
massa dan budaya.
Sudah saatnya
dominasi Jakarta terhadap
daerah dibidang media
dan penyiaran diakhiri dan bukan
eranya lagi daerah hanya diperlakukan sebagai pasar,
sebagai objek dan
iklan-iklan komersial yang
keuntungannya sepenuhnya dikuasai
oleh kalangan agensi
dan televisi swasta
Jakarta (Sudibyo, 2004: 346).
Salah satu
upaya untuk mengatasi
hal ini adalah
dengan mendirikan TV-TV
lokal di masing-masing
daerah, baik secara
independen maupun dengan sistem stasiun televisi berjaringan. Di
Jawa Tengah, saat ini terdapat kurang lebih
6 stasiun TV
lokal, diantaranya adalah
TV Borobudur, Cakra Semarang
TV, TVKU, Pro TV, Ratih TV Kebumen dan Solo TV.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi