BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keharmonisan dalam
hubungan rumah tangga
antara suami dan
isteri adalah harapan
yang diinginkan dalam
sebuah rumah tangga.
Maka cinta kasih, mawaddah
dan rahmah yang
dianugerahkan kepada suami isteri
merupakan tugas berat yang
harus dipelihara oleh
keduanya, karena perkawinan
itu merupakan ikatan
lahir batin antara
keduanya untuk membentuk
kel uarga (rumah tangga) yang kekal dan abadi. (Depag RI, 2000: 168) Al-qur‟an dan hadits nabi mengajarkan tentang tuntutan pernikahan bahwa hidup
berpasangan (suami–istri) adalah
fitrah. Hal ini
sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah SWT. (Qs, ar-ruum: 21) “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Qs. Ar-ruum: 21).
Guna mencapai
tujuan tersebut, maka
diperlukan kesiapan fisik,
mental, dan ekonomi bagi yang
ingin menikah. (al-Baddadi, 725H: 1197) Berkeluarga di
samping sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan biologisseksual juga
untuk memenuhi berbagai
kebutuhan rohaniah seperti
kebutuhan akan rasa
aman, kasih sayang,
dan secara kodrati
diperlukan untuk menjaga kelestarian umat manusia. Agar
berkeluarga yang dibentuk itu menjadi
keluarga yang dalam
istilah Al-Qur‟an disebut sebagai
keluarga yang diliputi
rasa cintamencintai (mawaddah)
dan kasih sayang
(rahmah), maka keluarga
harus diciptakan untuk
memenuhi lima fondasi
seperti yang disebutkan
dalam hadis Nabi
yang dikutipkan di
bawah ini. Kelima
fondasi yang harus
dibina atau diciptakan di lingkungan keluarga itu
adalah: 1). Memiliki sikap ingin menguasai dan
mengamalkan ilmu-ilmu agama,
2). Yang lebih
muda menghormati yang lebih
tua, 3). Berusaha memperoleh rezki yang
memadai, 4). Hemat (efisiensi dan efektif)
dalam membelanjakan harta
(nafkah). 5). Mampu
melihat segala kekurangan dan kesalahan diri dan segera
bertaubat. (Faqih , 2001: 75-79) Satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud
“daripada Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi, bahwa dia pernah bertanya kepada beliau: “Ya Rasul Allah SWT
? Apakah hak isteri seorang kami
atas suaminya?” (Artinya
apakah kewajiban kami sebagai suami
terhadap isteri kami?
– Penafsir). Beliau menjawab: “ Jika engkau makan diapun hendaklah
diberi makan.
Jika engkau
membuat pakaian, diapun
hendaklah diapun diberi pakaian. Dan kalau memukul, jangan mukanya
dipukul dan jangan dikatakan dia buruk
(jelek) (riwayat Abu Daud).
Ada pula
cara untuk menghadapi
yang lebih kasar
terhadap perempuan, maka
dipakailah jalan yang ketiga: “Dan pukullah mereka.” Tentu saja cara yang ketiga ini hanya dilakukan kepada perempuan
yang sudah memang patut dipukul!.
(Hamka, 1999: 1197) Problem-problem pernikahan
dan keluarga dari
yang kecil sampai
yang besar. Dari
sekedar pertengkaran kecil
sampai ke perceraian
dan keruntuhan kehidupan
rumah tangga yang
menyebabkan timbulnya “broken
home”.
Kenyataan akan
adanya problem yang
berkaitan dengan pernikahan
dan kehidupan keluarga, yang
kerap kali tidak bisa di atasi sendiri
oleh yang terlibat dengan masalah
tersebut, menunjukkan diperlukan
adanya konseling dari
orang lain untuk
turut serta mengatasinya.
Selain itu, kenyataan
bahwa kehidupan pernikahan
dan keluarga itu
selalu saja ada
problemnya, menunjukkan pula perlunya adanya
bimbingan Islami mengenai
pernikahan dan pembinaan kehidupan berkeluarga. (Faqih , 2001: 81) Bimbingan Islami
didefinisikan sebagai proses
pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras
dengan ketentuan dan petunjuk Allah SWT, sehingga mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat (Fakih, 2001: 4).
Rohani adalah roh,
berupa roh yang
bertalian atau berkenaan
dengan roh, manusia
mempunyai unsur jasmani
dan rohani, yang
dimaksud adalah gejalagejala
roh atau jiwa
manusia (Depdikbud, 1998:
752). Berdasarkan beberapa pendapat
di atas bimbingan
Islami merupakan proses
bimbingan sebagaimana bimbingan
lainnya, tetapi dalam
seluruh seginya berlandaskan
ajaran Islam, artinya berlandaskan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. (Musnamar, 1992: 5) Kekerasan terhadap
korban yang terjadi dalam lingkup rumah
tangga pada umumnya sulit diketahui
pihak luar. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain istri
yang mengalami kekerasan
dari suaminya lebih
banyak menyimpan rapatrapat
kasus tersebut karena
malu terhadap tetangga
atau keluarga. Sebab,
tidak jarang justru
istri yang dituduh
sebagai penyebab timbulnya
kekerasan. Di samping
itu, korban ada
yang merasa takut
akan terjadi kekerasan
yang berkepanjangan jika
ia berani melaporkan
atau meminta bantuan
kepada pihak lain.
Oleh karenanya sebagian
besar korban menerima
tindak kekerasan itu dengan
kepasrahan atas nasib yang menimpannya.
Pada umumnya, istridan anak
yang menjadi korban baru akan melapor ke pihak yang
berwewenang (aparat penegak hukum
musnamar polisi) atau kepada lembaga
swadaya masyarakat yang
memberi bantuan advokasi,
konseling, pendampingan, shelter
bagi perempuan korban kekerasan seperti
Women’s Crisis Centre. Beberapa
pengaduan yang masuk ke Women’s Crisis
Centre yang berada di
beberapa kota menunjukkan
telah ada keberanian
sebagian korban untuk mengadukan
kekerasan yang dialaminya. (Suhandjati , 2004: 9-10) Kondisi di Indonesia Menurut Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan
tingkat kekerasan yang dialami perempuan
di Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta perempuan
atau 11,4% dari
total penduduk Indonesia,
pernah mengalami tindak
kekerasan, dominan yang
dialami oleh perempuan
Indoneisa adalah kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah
tangga, misalnya penganiayaan, perkosaan,
pelecehan atau perselingkuhan yang
dilakukan oleh suami. (Soeroso, 2010: 2)
Tindak kekerasan yang
terkait dengan perbedaan
jenis kelamin dikenal dengan istilah gender based violence,
kekerasan merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, yang
pelakunya perseorangan atau lebih, yang dapat
mengakibatkan penderitaan bagi pihak lain. Kekerasan tersebut dibedakan dalam
dua bentuk, yakni
kekerasan fisik yang
dapat mengakibatkan luka
pada fisik hingga
mengakibatkan kematian, dan
kekerasan psikologis yang
berakibat pada timbulnya
trauma berkepanjangan pada
korban terhadap hal-hal
tertentu yang telah dialaminya. (Saptiawan,
2007: 170) Kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi
adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan pelaku dalam rumah
tangga biasanya adalah pihak yang kuat
menindas yang lemah. Istri
ataupun anggota lain yang ada di dalam keluarga sebagai
korban kekerasan memerlukan bantuan orang yang
ahli untuk membantu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya.
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi
Jawa Tengah merupakan lembaga yang memperhatikan terhadap hak-hak perempuan dan anak.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar
belakang masalah di
atas, maka yang
menjadi permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor
apa saja yang
menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga
terhadap korban di
Pusat Pelayanan Terpadu
(PPT) badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
Provinsi Jawa Tengah? 2. Bagaimana pelaksanaan
bimbingan rohani Islam
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga di Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT) badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Provinsi Jawa
Tengah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah
tersebut, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah : a. Untuk
mendiskripsikan
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kekerasan terhadap
korban di Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT)
badan pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak
Provinsi Jawa Tengah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi