Selasa, 19 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ DAN SHODAQOH DALAM UPAYA MENGUBAH STATUS MUSTAHIQ MENJADI MUZAKKI

1.1.  Latar Belakang Kita  melihat  Islam  muncul  sebagai  sistem  nilai  yang  mewarnai  perilaku  ekonomi  masyarakat  Muslim  kita.  Dalam  hal  ini,  zakat  memiliki  potensi  strategis  yang  layak  dikembangkan  menjadi  salah  satu  instrumen  pemerataan  pendapatan  bangsa  Indonesia.  Sehingga  diharapkan  bisa  mempengaruhi  aktivitas  ekonomi  nasional,  khususnya  penguatan  pemberdayaan ekonomi umat.

 Di  masyarakat  kita  terutama  masyarakat  Islam  yang  hidup  di  Jawa  Tengah,  pengetahuan,  kesadaran   dan   pengalaman  terhadap  perintah  untuk  berzakat  masih  lemah  (http://www.pkpu.or.id/2009/08/31).  Misalnya  pemahaman  tentang  lembaga  zakat,  pemahaman  mengenai  konsepsi  fikih  zakat  yang  masih  menggunakan  perumusan  para  ahli  beberapa  abad  yang  lalu,  yang  dipengaruhi  oleh  situasi  dan  kondisi  (setempat)  masa  itu.  Dalam  perekonomian  modern  perumusan  tersebut  banyak  yang  tidak  tepat  lagi  dipergunakan mengatur zakat dalam masyarakat modern sekarang ini, seperti  sektor  industri  dan  pelayanan  jasa,  tidak  tertampung  oleh  fikih  zakat  yang  telah  ada  itu.  Akibatnya,  karena  kurang  paham,  umat  Islam  kurang  pula  melaksanakan zakat (Ali, 1988: 53).
 1   Di samping kesadaran yang makin tumbuh dalam masyarakat tentang  pelaksanaan  zakat,  masyarakat  ada  juga  sikap  kurang  percaya  terhadap  penyelenggaraan  zakat.  Selain  itu,  masih  ada  kebiasaan  para  wajib  zakat  terutama  di  pedesaan,  menyerahkan  zakatnya  tidak  kepada  kedelapan  golongan  atau beberapa dari delapan golongan yang berhak menerima zakat,  tetapi kepada para pemimpin agama setempat. Pemimpin agama ini (kiai atau  anjengan) tidak bertindak sebagai amil yang berkewajiban membagikan atau  menyalurkan  zakat  kepada  mereka  yang  berhak  menerimanya,  tetapi  bertindak  sebagai  mustahiq  sendiri  dalam  kategori  sabilillah  yakni  orang  yang  berjuang  di  jalan  Allah  (Ali,  1988:  54-56).  Cara  dan  sikap  ini  tidak  sepenuhnya  salah,  namun  sikap  tersebut  seyogyanya  ditinggalkan,  di  antaranya untuk menghindari penumpukan harta (zakat) pada orang tertentu,  padahal  salah  satu  dari  tujuan  zakat  adalah  pemerataan  ekonomi  untuk  mencapai keadilan sosial.
 Sedangkan upaya peningkatan kesejahteraan umat Islam salah satunya  memaksimalkan  potensi  zakat.  Berdasarkan  survey  yang  dilakukan  LAZ PKPU Jawa Tengah bahwa  potensi zakat di Indonesia begitu besar misalnya  di wilayah Jawa Tengah diperkirakan mencapai Rp 9.356 triliun setiap tahun, berasal dari  Zakat,  Infak dan  Shodaqoh  sebesar  Rp 8.982 triliun, sementara  dari  Zakat  fitrah  sebesar  Rp  374.275  miliar.  Namun,  kendala  optimalisasi  zakat  di  Jawa  tengah  adalah  masalah  sosialisasi  dan  payung  hukum  pengaturannya.  Hal  ini  disebabkan  belum  efektifnya  lembaga  zakat  yang  menyangkut  aspek  pengumpulan,  administrasi,  pendistribusian,  monitoring   serta  evaluasinya.  Dengan  kata  lain,  sistem  organisasi  dan  manajemen  pengelolaan zakat hingga kini masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan  terkesan  inefisiensi,  sehingga  kurang  berdampak  sosial  yang  berarti (http://www.pkpu.or.id/2009/08/31).
 Data  statistik  menunjukan  pada  tahun  2009  jumlah  penduduk  Jawa  Tengah  sebanyak  33,18  juta  jiwa.  Sementara  jumlah  rumah  tangga  miskin  (RTM)  mencapai  3,1  juta  keluarga  dari  6,7  juta  rumah  tangga  yang  ada  di  Jateng (46,26 %). Sementara jumlah keluarga prasejahtera 3.198.596 kepala  keluarga, penduduk miskin 12,66 juta. Sedangkan jumlah penduduk muslim  saat ini di Jateng 29 juta jiwa, seandainya 30 % umat Islam membayar zakat,  dana  yang  akan  bisa  kita  gunakan  untuk  membantu  masyarakat  kurang  mampu  sudah  sangat  besar  (http://www.pkpu.or.id/2009/08/31).
 Sesungguhnya  potensi  di  Jawa  Tengah  dihitung  berdasarkan  pada  asumsi  rata-rata sepertiga penduduk muslim Jawa Tengah memberikan  ZIS sebesar  Rp  1  juta  pertahun,  maka  masalah  kemiskinan  di  Jawa  Tengah  ini  bisa  diangkat dengan pendekatan partnership, melalui zakat.
 Zakat  adalah  ibadah  maaliyah  ijtima’iyyah  yang  memiliki  posisi  sangat  penting,  strategis,  dan  menentukan  baik  dilihat  dari  sisi  ajaran  Islam  maupun  dari  sisi  pembangunan  kesejahteraan  umat.  Sebagai  suatu  ibadah  pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang  lima, sebagaimana  yang diungkapkan dalam berbagai hadits Nabi, sehingga  keberadaannya  dianggap  sebagai  ma’luum  minad-diin  bidhdharuurah  atau  diketahui  secara  otomatis  adanya  dan  merupakan  bagian  mutlak  dari   keislaman  seseorang  (Yafie,  1994:  231).  Di  dalam  Al-Qur’an  terdapat  dua  puluh  tujuh  ayat  yang  mensejajarkan  kewajiban  shalat  dengan  kewajiban  zakat dalam  berbagai bentuk kata (Ali, 1988: 90). Salah satu ayat Al-Qur’an  yang  mensejajarkan  zakat  dengan  ibadah  shalat  ada  dalam  surat  al-Baqarah  ayat 43 yang berbunyi :                                            Artinya :  “Dan  Dirikanlah  shalat,  tunaikanlah  zakat  dan  ruku’lah  beserta  orang-orang yang ruku”. (Dept. Agama, 1978: 16)  Hal ini menegaskan adanya kaitan antara ibadah shalat dan Zakat. Jika  shalat  berdimensi  vertikal-ketuhanan,  maka  zakat  merupakan  ibadah  yang  berdimensi  horizontal-kemanusiaan.  Di  dalam  Al-Qur’an  terdapat  pula  berbagai  ayat  yang  memuji  orang-orang  yang  secara  sungguh-sungguh  menunaikannya,  dan  sebaliknya  memberikan  ancaman  bagi  orang  yang  sengaja  meninggalkannya.  Zakat  bukan  sekadar  kebaikan  hati  orang-orang  kaya  terhadap  orang  miskin,  tetapi  zakat  adalah  hak  Tuhan  dan  hak  orang  miskin  yang  terdapat  dalam  harta  orang  kaya,  sehingga  zakat  wajib  dikeluarkan. Demikian kuatnya pengaruh zakat, sampai Khalifah Abu Bakar  Ashshiddiq  bertekad  memerangi  orang-orang  yang  shalat,  tetapi  tidak  mau  mengeluarkan  zakat  dimasa  pemerintahannya  (Ensiklopedi  Hukum  Islam,  1997:  1987).  Di  dalam tafsir  Qurthubi,  sebagaimana  dikutip oleh Usman bin  Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al- Khaubawiy (2007 : 627) diriwayatkan :   Bahwa  Nabi  Musa  as.  pada  suatu  hari  melewati  seorang  lelaki  yang  sedang shalat dengan khusyu’ dan tunduk. Maka Nabi Musa berkata:  “Ya  Tuhanku,  alangkah  bagusnya  shalat  orang  ini.”  Allah  Ta’ala  menjawab: “Hai Musa,  kalaupun dia  shalat tiap hari dan tiap malam  seribu rakaat, memerdekakan seribu hamba sahaya, berhaji seribu kali  dan mengantarkan seribu jenazah, namun itu takkan berguna baginya  sebelum dia menunaikan zakat dari hartanya.
 Ketegasan  sikap  ini  menunjukkan  bahwa  perbuatan  meninggalkan  zakat  adalah  suatu  kedurhakaan  dan  jika  hal  ini  dibiarkan,  maka  akan  memunculkan berbagai kedurhakaan dan kemaksiatan lainnya.
 Secara  demografik  dan  kultural,  bangsa  Indonesia,  khususnya  masyarakat  muslim  Indonesia,  sebenarnya  memiliki  potensi  strategis  yang  layak  dikembangkan  menjadi  salah  satu  instrument  pemerataan  pendapatan,  yakni institusi zakat, infaq, dan  shodaqoh  (ZIS). Karena secara demografik,  mayoritas  penduduk  Indonesia  adalah  beragama  Islam,  dan  secara  kultural,  kewajiban  zakat,  dorongan  berinfaq,  dan  bershodaqoh  di  jalan  Allah  telah  mengakar  kuat  dalam  tradisi  kehidupan  masyarakat  muslim  (Bamualim,  2005: 2). Dengan demikian, mayoritas penduduk Indonesia, secara ideal, bisa  terlibat dalam mekanisme pengelolaan zakat. Apabila hal itu bisa terlaksana  dalam  aktivitas  sehari-hari  umat  Islam,  maka  secara  hipotetik,  zakat  berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi nasional, termasuk di dalamnya  adalah penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.
 Secara  substantif,  zakat,  infaq,  dan  shodaqoh  adalah  bagian  dari  mekanisme  keagamaan  yang  berintikan  semangat  pemerataan  pendapatan.
 Dana  zakat  diambil  dari  harta  orang  berkelebihan  dan  disalurkan  kepada  orang yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang   kaya, juga tidak untuk melecehkan jerih payah orang kaya. hal ini disebabkan  karena  zakat  diambil  dari  sebagian  kecil  hartanya  dengan  beberapa  kriteria  tertentu yang wajib di zakati. Oleh karena itu, alokasi dana zakat tidak bisa  diberikan secara sembarangan dan hanya dapat disalurkan kepada kelompok  masyarakat tertentu.
 Seperti  halnya  dengan  zakat,  walaupun  infaq  dan  shodaqoh  tidak  wajib,  tetapi  infaq  dan  shodaqoh  merupakan  media  pemerataan  pendapatan  bagi  umat  Islam  yang  sangat  dianjurkan.  Dengan  kata  lain,  infaq  dan  shodaqoh merupakan media untuk memperbaiki  taraf kehidupan, di  samping  adanya  zakat  yang  diwajibkan  kepada  orang  Islam  yang  mampu.  Dengan  demikian dana zakat, infaq, dan shodaqoh bisa diupayakan secara maksimal  untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Badan  amil zakat atau lembaga  amil  zakat  diharapkan  tidak  hanya  terpaku  pada  memikirkan  kebutuhan  sendiri,  melainkan  juga  mau  terlibat  dan  melibatkan  diri  untuk  memberi  kepedulian  terhadap  warga  masyarakat  guna  mengatasi  kemiskinan  dan  kemelaratan.  Dengan  demikian,  kehadiran  badan  amil  zakat  atau  lembaga  amil zakat di samping bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks  cita-cita  bangsa,  yaitu  membangun  masyarakat  yang  sejahtera,  adil,  dan  makmur.  Oleh  karena  itu  peningkatan  daya  guna  lembaga  amil  zakat,  khususnya  dalam  melakukan  pembangunan  ekonomi  masyarakat  mesti  dilakukan.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi