Di
masyarakat kita terutama
masyarakat Islam yang
hidup di Jawa Tengah, pengetahuan,
kesadaran dan pengalaman
terhadap perintah untuk berzakat masih
lemah (http://www.pkpu.or.id/2009/08/31). Misalnya pemahaman
tentang lembaga zakat,
pemahaman mengenai konsepsi
fikih zakat yang
masih menggunakan perumusan
para ahli beberapa
abad yang lalu,
yang dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi
(setempat) masa itu.
Dalam perekonomian modern
perumusan tersebut banyak
yang tidak tepat
lagi dipergunakan mengatur zakat
dalam masyarakat modern sekarang ini, seperti sektor
industri dan pelayanan
jasa, tidak tertampung
oleh fikih zakat
yang telah ada
itu. Akibatnya, karena
kurang paham, umat
Islam kurang pula melaksanakan
zakat (Ali, 1988: 53).
1 Di
samping kesadaran yang makin tumbuh dalam masyarakat tentang pelaksanaan
zakat, masyarakat ada
juga sikap kurang
percaya terhadap penyelenggaraan zakat.
Selain itu, masih
ada kebiasaan para
wajib zakat terutama
di pedesaan, menyerahkan
zakatnya tidak kepada
kedelapan golongan atau beberapa dari delapan golongan yang
berhak menerima zakat, tetapi kepada
para pemimpin agama setempat. Pemimpin agama ini (kiai atau anjengan) tidak bertindak sebagai amil yang
berkewajiban membagikan atau menyalurkan zakat
kepada mereka yang
berhak menerimanya, tetapi bertindak
sebagai mustahiq sendiri
dalam kategori sabilillah
yakni orang yang
berjuang di jalan
Allah (Ali, 1988:
54-56). Cara dan
sikap ini tidak sepenuhnya salah,
namun sikap tersebut
seyogyanya ditinggalkan, di antaranya
untuk menghindari penumpukan harta (zakat) pada orang tertentu, padahal
salah satu dari
tujuan zakat adalah
pemerataan ekonomi untuk mencapai
keadilan sosial.
Sedangkan upaya peningkatan kesejahteraan umat
Islam salah satunya memaksimalkan potensi
zakat. Berdasarkan survey
yang dilakukan LAZ PKPU Jawa Tengah bahwa potensi zakat di Indonesia begitu besar
misalnya di wilayah Jawa Tengah
diperkirakan mencapai Rp 9.356 triliun setiap tahun, berasal dari Zakat,
Infak dan Shodaqoh sebesar Rp 8.982 triliun, sementara dari
Zakat fitrah sebesar
Rp 374.275 miliar.
Namun, kendala optimalisasi zakat
di Jawa tengah
adalah masalah sosialisasi
dan payung hukum pengaturannya. Hal
ini disebabkan belum
efektifnya lembaga zakat
yang menyangkut aspek
pengumpulan, administrasi, pendistribusian, monitoring serta
evaluasinya. Dengan kata
lain, sistem organisasi
dan manajemen pengelolaan zakat hingga kini masih bertaraf
klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi,
sehingga kurang berdampak
sosial yang berarti (http://www.pkpu.or.id/2009/08/31).
Data
statistik menunjukan pada
tahun 2009 jumlah
penduduk Jawa Tengah
sebanyak 33,18 juta
jiwa. Sementara jumlah
rumah tangga miskin (RTM)
mencapai 3,1 juta
keluarga dari 6,7
juta rumah tangga
yang ada di Jateng
(46,26 %). Sementara jumlah keluarga prasejahtera 3.198.596 kepala keluarga, penduduk miskin 12,66 juta.
Sedangkan jumlah penduduk muslim saat
ini di Jateng 29 juta jiwa, seandainya 30 % umat Islam membayar zakat, dana
yang akan bisa
kita gunakan untuk
membantu masyarakat kurang mampu
sudah sangat besar
(http://www.pkpu.or.id/2009/08/31).
Sesungguhnya
potensi di Jawa
Tengah dihitung berdasarkan
pada asumsi rata-rata sepertiga penduduk muslim Jawa
Tengah memberikan ZIS sebesar Rp
1 juta pertahun,
maka masalah kemiskinan
di Jawa Tengah
ini bisa diangkat dengan pendekatan partnership,
melalui zakat.
Zakat
adalah ibadah maaliyah
ijtima’iyyah yang memiliki
posisi sangat penting,
strategis, dan menentukan
baik dilihat dari
sisi ajaran Islam maupun dari
sisi pembangunan kesejahteraan
umat. Sebagai suatu
ibadah pokok, zakat termasuk
salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana yang diungkapkan dalam berbagai hadits Nabi,
sehingga keberadaannya dianggap
sebagai ma’luum minad-diin
bidhdharuurah atau diketahui
secara otomatis adanya
dan merupakan bagian
mutlak dari keislaman
seseorang (Yafie, 1994:
231). Di dalam
Al-Qur’an terdapat dua puluh tujuh
ayat yang mensejajarkan
kewajiban shalat dengan
kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata (Ali, 1988: 90). Salah
satu ayat Al-Qur’an yang mensejajarkan
zakat dengan ibadah
shalat ada dalam
surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi : Artinya : “Dan
Dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku’lah
beserta orang-orang yang ruku”.
(Dept. Agama, 1978: 16) Hal ini
menegaskan adanya kaitan antara ibadah shalat dan Zakat. Jika shalat
berdimensi vertikal-ketuhanan, maka
zakat merupakan ibadah
yang berdimensi horizontal-kemanusiaan. Di
dalam Al-Qur’an terdapat
pula berbagai ayat
yang memuji orang-orang
yang secara sungguh-sungguh menunaikannya,
dan sebaliknya memberikan
ancaman bagi orang
yang sengaja meninggalkannya. Zakat
bukan sekadar kebaikan
hati orang-orang kaya
terhadap orang miskin,
tetapi zakat adalah
hak Tuhan dan
hak orang miskin
yang terdapat dalam
harta orang kaya,
sehingga zakat wajib dikeluarkan.
Demikian kuatnya pengaruh zakat, sampai Khalifah Abu Bakar Ashshiddiq
bertekad memerangi orang-orang
yang shalat, tetapi
tidak mau mengeluarkan
zakat dimasa pemerintahannya (Ensiklopedi
Hukum Islam, 1997:
1987). Di dalam tafsir
Qurthubi, sebagaimana dikutip oleh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al- Khaubawiy (2007
: 627) diriwayatkan : Bahwa Nabi
Musa as. pada
suatu hari melewati
seorang lelaki yang sedang
shalat dengan khusyu’ dan tunduk. Maka Nabi Musa berkata: “Ya
Tuhanku, alangkah bagusnya
shalat orang ini.”
Allah Ta’ala menjawab: “Hai Musa, kalaupun dia
shalat tiap hari dan tiap malam seribu
rakaat, memerdekakan seribu hamba sahaya, berhaji seribu kali dan mengantarkan seribu jenazah, namun itu
takkan berguna baginya sebelum dia
menunaikan zakat dari hartanya.
Ketegasan
sikap ini menunjukkan
bahwa perbuatan meninggalkan zakat
adalah suatu kedurhakaan
dan jika hal
ini dibiarkan, maka
akan memunculkan berbagai
kedurhakaan dan kemaksiatan lainnya.
Secara
demografik dan kultural,
bangsa Indonesia, khususnya masyarakat
muslim Indonesia, sebenarnya
memiliki potensi strategis
yang layak dikembangkan
menjadi salah satu
instrument pemerataan pendapatan, yakni institusi zakat, infaq, dan shodaqoh
(ZIS). Karena secara demografik, mayoritas penduduk
Indonesia adalah beragama
Islam, dan secara
kultural, kewajiban zakat,
dorongan berinfaq, dan
bershodaqoh di jalan
Allah telah mengakar
kuat dalam tradisi
kehidupan masyarakat muslim
(Bamualim, 2005: 2). Dengan
demikian, mayoritas penduduk Indonesia, secara ideal, bisa terlibat dalam mekanisme pengelolaan zakat.
Apabila hal itu bisa terlaksana dalam aktivitas
sehari-hari umat Islam,
maka secara hipotetik,
zakat berpotensi mempengaruhi
aktivitas ekonomi nasional, termasuk di dalamnya adalah penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.
Secara
substantif, zakat, infaq,
dan shodaqoh adalah
bagian dari mekanisme
keagamaan yang berintikan
semangat pemerataan pendapatan.
Dana
zakat diambil dari
harta orang berkelebihan
dan disalurkan kepada orang yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan
untuk memiskinkan orang kaya, juga
tidak untuk melecehkan jerih payah orang kaya. hal ini disebabkan karena
zakat diambil dari
sebagian kecil hartanya
dengan beberapa kriteria tertentu yang wajib di zakati. Oleh karena
itu, alokasi dana zakat tidak bisa diberikan
secara sembarangan dan hanya dapat disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu.
Seperti
halnya dengan zakat,
walaupun infaq dan
shodaqoh tidak wajib,
tetapi infaq dan
shodaqoh merupakan media
pemerataan pendapatan bagi
umat Islam yang
sangat dianjurkan. Dengan
kata lain, infaq
dan shodaqoh merupakan media
untuk memperbaiki taraf kehidupan,
di samping adanya
zakat yang diwajibkan
kepada orang Islam
yang mampu. Dengan demikian dana zakat, infaq, dan shodaqoh bisa
diupayakan secara maksimal untuk
memberdayakan ekonomi masyarakat. Badan
amil zakat atau lembaga amil zakat
diharapkan tidak hanya
terpaku pada memikirkan
kebutuhan sendiri, melainkan
juga mau terlibat
dan melibatkan diri
untuk memberi kepedulian
terhadap warga masyarakat
guna mengatasi kemiskinan
dan kemelaratan. Dengan
demikian, kehadiran badan
amil zakat atau
lembaga amil zakat di samping
bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita
bangsa, yaitu membangun
masyarakat yang sejahtera,
adil, dan makmur.
Oleh karena itu
peningkatan daya guna
lembaga amil zakat, khususnya
dalam melakukan pembangunan
ekonomi masyarakat mesti dilakukan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi