BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pernikahan
merupakan kebutuhan fitri
setiap manusia yang memberikan banyak
hasil yang penting
(Amini, 1999: 17). Pernikahan amat penting
dalam kehidupan manusia,
perseorangan maupun kelompok,
dengan jalan pernikahan
yang sah, pergaulan
laki-laki dan perempuan
menjadi terhormat sesuai
kedudukan manusia sebagai
makhluk yang berkehormatan.
Pergaulan hidup berumah tangga
dibina dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami dan
istri. Anak keturunan dari hasil pernikahan yang
sah menghiasi kehidupan
keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup
manusia secara bersih dan berkehormatan (Basyir, 2004: 1). “Dan
di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan
sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir (Depag RI,1978: 644).”Dari Anas, Sesungguhnya beberapa
orang dari sahabat Nabi SAW sebagian dari
mereka ada yang
mengatakan: “Aku tidak
akan menikah”. Sebagian dari
mereka lagi mengatakan: “Aku akan selalu shalat
dan tidak tidur”.
Dan sebagian dari
mereka juga ada
yang mengatakan: “Aku
akan selalu berpuasa
dan tidak akan
berbuka”.
Ketika hal
itu di dengar
oleh Nabi SAW
beliau bersabda: apa maunya
orang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu? Padahal di samping berpuasa aku juga berbuka. Di
samping sembahyang aku juga tidur. Dan
aku juga menikah dengan wanita. Barang siapa yang tidak
suka akan sunnahku,
maka dia bukan
termasuk dari golonganku. (Muttafaqun A'laih) (Syaukani, ,
tth: 171).
Hadis di
atas mengisyaratkan bahwa
Nabi Muhammad SAW
tidak menyukai seseorang
yang berprinsip anti
menikah. Dalam pasal
1 Bab I Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 (Tentang Perkawinan) dinyatakan (Suma, 2004:
203); "Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa".
Menurut Thalib
(1986: 47) pernikahan
ialah perjanjian suci
membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan
seorang perempuan. Sementara Hamid
(1978: 1) merumuskan
nikah menurut syara
ialah akad (ijâb
qabûl) antara wali
calon istri dan
mempelai laki-laki dengan
ucapan tertentu dan memenuhi
rukun serta syaratnya.
Dari berbagai
pengertian di atas,
meskipun redaksinya berbeda
akan tetapi ada pula kesamaannya,
karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara lakilaki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan hidup 3 berkeluarga yang
diliputi rasa ketentraman
serta kasih sayang
dengan cara yang diridhai Tuhan.
Pasal 7
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 ayat
(1) menyatakan bahwa "perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak
wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas)
tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan
kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga perkawinan.
Ini sejalan dengan
prinsip yang diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami
isteri harus telah masak jiwa raganya, agar
dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik
tanpa berakhir pada perceraian
dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara
calon suami istri yang masih di bawah
umur (Rofiq, 1997: 76-77).
Pernikahan mempunyai
hubungan dengan masalah
kependudukan karena pernikahan
usia dini bagi seorang wanita untuk nikah mengakibatkan tingginya
laju kelahiran. Berhubung
dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas
umur untuk kawin
baik bagi pria
maupun wanita (Penjelasan umum UU
Perkawinan, nomor 4
huruf d) (Rofiq,
1997: 76-77).
Oleh karenanya
mempelai lelaki dan
mempelai perempuan, keduanya
tidak diperkenankan melakukan
akad nikahnya manakala
umur mereka belum mencapai angka
tersebut karena dipandang
belum dewasa dan
tidak cakap bertindak (ghaira ahliyatil ada) (Kuzari,
1995: 35).
4 Diteliti secara seksama, ajaran Islam tidak
pernah memberikan batasan yang definitif
pada usia berapa seseorang dianggap dewasa. Berdasarkanilmu pengetahuan,
memang setiap daerah
dan zaman memiliki
perbedaan dengan daerah
dan zaman yang
lain. Di sisi
lain, masalah pernikahan
merupakan urusan hubungan
antar manusia (mu'âmalah)
yang oleh agama
hanya diatur dalam
bentuk prinsip-prinsip umum.
Tidak adanya ketentuan
agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah
dapat dianggap sebagai suatu rahmat, kedewasaan
untuk menikah termasuk
masalah ijtihâdiah, dalam
arti kata diberi
kesempatan untuk berijtihad
pada usia berapa
seseorang pantas menikah
(T Yanggo dan
Anshari, 1996: 80).
Hal ini sebagaimana diungkapkan
Rofiq bahwa masalah
penentuan umur dalam
undang-undang perkawinan maupun
dalam kompilasi, memang
bersifat ijtihâdiah, sebagai usaha
pembaharuan pemikiran fiqh
yang lalu, meskipun
demikian, apabila dilacak referensi syar'inya mempunyai landasan
kuat (Rofiq, 1997: 77).
Pernikahan usia
dini menimbulkan permasalahan
dan dampak.
Permasalahannya: a.
Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan secara baik.
b. Pernikahan usia dini ada
kecenderungan berakhir pada perceraian c.
Pernikahan usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat.
d. Pernikahan mempunyai hubungan
dengan masalah kependudukan.
5 e. Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang
rendah bagi seorang wanita untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran
lebih tinggi (Data
dari KUA Kec. Bandar Tahun 2008-2010).
Bertitik tolak
dari permasalahan dan
dampak tersebut, problem pernikahan usia dini mempunyai kaitan yang
erat dengan dakwah. Berbicara problem
dan penanggulangan pernikahan usia dini dalam kehidupan keluarga maka
perlu penanggulangan melalui
pesan-pesan dakwah. Dengan
dakwah dapat diharapkan,
kesalahan persepsi dan
pandangan para orang
tua, remaja dan masyarakat dapat diluruskan, karena dakwah
itu sendiri adalah mengajak orang
kepada kebenaran, mengerjakan
perintah, menjauhi larangan
agar memperoleh kebahagiaan
di masa sekarang
dan yang akan
datang (Umary, 1980: 52). Sejalan dengan itu, Sanusi (1980:
11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha perbaikan
dan pembangunan masyarakat,
memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan
kebatilan, kemaksiatan dan
ketidak wajaran dalam
masyarakat. Dengan demikian,
dakwah berarti memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar,
memenangkan yang hak atas yang batil.
Esensi dakwah adalah
terletak pada ajakan,
dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain
untuk menerima ajaran agama dengan
penuh kesadaran demi
untuk keuntungan pribadinya
sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang
(Arifin, 2000: 6).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi