Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:PERNIKAHAN DINI; PERMASALAHAN, DAMPAK DAN SOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN KONSELING KELUARGA ISLAMI (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. BatangTahun 2008 - 2010)


BAB I  PENDAHULUAN  
1.1. Latar Belakang  Pernikahan  merupakan  kebutuhan  fitri  setiap  manusia  yang  memberikan  banyak  hasil  yang  penting  (Amini,  1999:  17). Pernikahan amat  penting  dalam  kehidupan  manusia,  perseorangan  maupun  kelompok,  dengan  jalan  pernikahan  yang  sah,  pergaulan  laki-laki  dan  perempuan  menjadi  terhormat  sesuai  kedudukan  manusia  sebagai  makhluk  yang  berkehormatan.
Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil pernikahan  yang  sah  menghiasi  kehidupan  keluarga  dan  sekaligus  merupakan  kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan (Basyir, 2004:  1). “Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah  Dia  menciptakan  untukmu  isteri-isteri  dari  jenismu  sendiri,  supaya  kamu  cenderung  dan  merasa  tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  di  antaramu  rasa  kasih  dan  sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat  tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Depag RI,1978: 644).”Dari Anas, Sesungguhnya beberapa orang dari sahabat Nabi SAW  sebagian  dari  mereka  ada  yang  mengatakan:  “Aku  tidak  akan  menikah”. Sebagian dari mereka lagi mengatakan: “Aku akan selalu  shalat  dan  tidak  tidur”.  Dan  sebagian  dari  mereka  juga  ada  yang  mengatakan:  “Aku  akan  selalu  berpuasa  dan  tidak  akan  berbuka”.

Ketika  hal  itu  di  dengar  oleh  Nabi  SAW  beliau  bersabda:  apa  maunya orang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu? Padahal  di samping berpuasa aku juga berbuka. Di samping sembahyang aku  juga tidur. Dan aku juga menikah dengan wanita. Barang siapa yang  tidak  suka  akan  sunnahku,  maka  dia  bukan  termasuk  dari  golonganku. (Muttafaqun A'laih) (Syaukani, , tth: 171).
Hadis  di  atas  mengisyaratkan  bahwa  Nabi  Muhammad  SAW  tidak  menyukai  seseorang  yang  berprinsip  anti  menikah.  Dalam  pasal  1  Bab  I  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Tentang Perkawinan) dinyatakan (Suma,  2004:  203); "Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa".
Menurut  Thalib  (1986:  47)  pernikahan  ialah  perjanjian  suci  membentuk  keluarga  antara  seorang  laki-laki  dengan  seorang  perempuan.  Sementara  Hamid  (1978:  1)  merumuskan  nikah  menurut  syara  ialah  akad  (ijâb  qabûl)  antara  wali  calon  istri  dan  mempelai  laki-laki  dengan  ucapan  tertentu  dan  memenuhi rukun serta syaratnya.
Dari  berbagai  pengertian  di  atas,  meskipun  redaksinya  berbeda  akan  tetapi ada pula kesamaannya, karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah  suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara lakilaki  dan  perempuan  dalam  rangka  mewujudkan  kebahagiaan  hidup  3  berkeluarga  yang  diliputi  rasa  ketentraman  serta  kasih  sayang  dengan  cara  yang diridhai Tuhan.
Pasal  7  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  ayat  (1)  menyatakan  bahwa "perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19  (sembilan  belas)  tahun  dan  pihak  wanita  sudah  mencapai  umur  16  (enam  belas) tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi  Hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan  keluarga  dan  rumah  tangga  perkawinan.  Ini  sejalan  dengan  prinsip  yang  diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa  raganya,  agar  dapat  mewujudkan  tujuan  perkawinan  secara  baik  tanpa  berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk  itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di  bawah umur (Rofiq, 1997: 76-77).
Pernikahan  mempunyai  hubungan  dengan  masalah  kependudukan  karena pernikahan usia dini bagi seorang wanita untuk nikah mengakibatkan  tingginya  laju  kelahiran.  Berhubung  dengan  itu,  maka  undang-undang  ini  menentukan  batas  umur  untuk  kawin  baik  bagi  pria  maupun  wanita  (Penjelasan umum  UU  Perkawinan,  nomor  4  huruf  d)  (Rofiq,  1997:  76-77).
Oleh  karenanya  mempelai  lelaki  dan  mempelai  perempuan,  keduanya  tidak  diperkenankan  melakukan  akad  nikahnya  manakala  umur  mereka  belum  mencapai  angka  tersebut  karena  dipandang  belum  dewasa  dan  tidak  cakap  bertindak (ghaira ahliyatil ada) (Kuzari, 1995: 35).
4  Diteliti secara seksama, ajaran Islam tidak pernah memberikan batasan  yang definitif pada usia berapa seseorang dianggap dewasa. Berdasarkanilmu  pengetahuan,  memang  setiap  daerah  dan  zaman  memiliki  perbedaan  dengan  daerah  dan  zaman  yang  lain.  Di  sisi  lain,  masalah  pernikahan  merupakan  urusan  hubungan  antar  manusia  (mu'âmalah)  yang  oleh  agama  hanya  diatur  dalam  bentuk  prinsip-prinsip  umum.  Tidak  adanya  ketentuan  agama  tentang  batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu  rahmat,  kedewasaan  untuk  menikah  termasuk  masalah  ijtihâdiah,  dalam  arti  kata  diberi  kesempatan  untuk  berijtihad  pada  usia  berapa  seseorang  pantas  menikah  (T  Yanggo  dan  Anshari,  1996:  80).  Hal  ini  sebagaimana  diungkapkan  Rofiq  bahwa  masalah  penentuan  umur  dalam  undang-undang  perkawinan  maupun  dalam  kompilasi,  memang  bersifat  ijtihâdiah,  sebagai  usaha  pembaharuan  pemikiran  fiqh  yang  lalu,  meskipun  demikian,  apabila  dilacak referensi syar'inya mempunyai landasan kuat (Rofiq, 1997: 77).
Pernikahan  usia  dini  menimbulkan  permasalahan  dan  dampak.
Permasalahannya:  a.  Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan  perkawinan secara baik.
b. Pernikahan usia dini ada kecenderungan berakhir pada perceraian  c. Pernikahan usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat.
d. Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
5  e. Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita  untuk  kawin,  mengakibatkan  laju  kelahiran  lebih  tinggi  (Data  dari  KUA  Kec. Bandar Tahun 2008-2010).
Bertitik  tolak  dari  permasalahan  dan  dampak  tersebut,  problem  pernikahan usia dini mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Berbicara  problem dan penanggulangan pernikahan usia dini dalam kehidupan keluarga  maka  perlu  penanggulangan  melalui  pesan-pesan  dakwah.  Dengan  dakwah  dapat  diharapkan,  kesalahan  persepsi  dan  pandangan  para  orang  tua,  remaja  dan masyarakat dapat diluruskan, karena dakwah itu sendiri adalah  mengajak  orang  kepada  kebenaran,  mengerjakan  perintah,  menjauhi  larangan  agar  memperoleh  kebahagiaan  di  masa  sekarang  dan  yang  akan  datang  (Umary,  1980: 52). Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah  usaha-usaha  perbaikan  dan  pembangunan  masyarakat,  memperbaiki  kerusakan-kerusakan,  melenyapkan  kebatilan,  kemaksiatan  dan  ketidak  wajaran  dalam  masyarakat.  Dengan  demikian,  dakwah  berarti  memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas  yang  batil.  Esensi  dakwah  adalah  terletak  pada  ajakan,  dorongan  (motivasi),  rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan  penuh  kesadaran  demi  untuk  keuntungan  pribadinya  sendiri,  bukan  untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi