BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pluralitas
adalah salah satu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah (sunnatullah).
Indikator sederhana dari
ketetapan Allah mengenai
pluralitas dalam kehidupan dunia
terlihat dari pluralitas
penciptaan manusia (Thoha, 2005: 206).
Hal tersebut sesuai dengan ayat al-Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 13 “Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa -bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Duta
Ilmu, 2002: 847).
Ayat di
atas selain menegaskan
tentang adanya perbedaan
yang menjadi ketetapan
Allah, juga terkandung
esensi tujuan dijadikannya perbedaan dalam kehidupan manusia, yakni
tujuan untuk saling mengenal satu sama lain.
Aspek pengenalan terhadap
pluralitas dalam kehidupan
yang dialami manusia merupakan
dasar utama untuk melahirkan sikap-sikap toleran antar
manusia. Hal tersebut
dapat terjadi karena
adanya saling mengenal sehingga memunculkan sikap saling memahami dalam rangka
meminimalisir potensi perselisihan.
Umat manusia diperintahkan
agar tidak bercerai
berai sebagaimana firman-Nya
dalam Q.S.Ali Imron ayat 1 “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …(Duta Ilmu,
2002: 79) Meskipun demikian umat
manusia tidak semuanya
dapat memahami perbedaan
sebagai anugerah untuk
saling memahami. Tidak
sedikit konflik antar golongan,
suku dan agama
terjadi yang disebabkan
oleh perbedaan dalam
kehidupan yang plural.
Di antara contoh
konflik yang terjadi
di masyarakat adalah
pada tahun 1999
di Desa Dongos
Kecamatan Pecangaan Kabupaten
Jepara, atau juga
perselisihan antar kelompok
ormas keagamaan yang
terjadi akibat adanya
beberapa perbedaan penerimaan
dan pemahaman tentang
ajaran Islam yang
diteladankan oleh Nabi
Muhammad SAW yang berujung
pada tuduhan bid’ah.
Tidak selamanya
konsep pluralitas dapat
menimbulkan konflik dalam kehidupan
sosial. Hal tersebut
dapat terlihat dalam
kehidupan beragama di Kelurahan Bangsri
Kecamatan Bangsri Kabupaten
Jepara, di mana masyarakatnya terdiri
oleh umat Islam dengan pandangan
yang berbeda-beda.
Ada tiga
kelompok organisasi keagamaan
dominan, yakni Muslimat
dari Nahdlatul Ulama
(NU), Fatimiyah dari
Syiah dan Aisyiyah
dari Muhammadiyah. Meskipun
memiliki perbedaan pandangan
mazhab, latar belakang budaya dan pemahaman nilai-nilai
keagamaan, namun hal itu tidak menimbulkan
permasalahan bagi kehidupan sosial keagamaan mereka, bahkan dalam
kehidupan keseharian telah
tercipta kebersamaan. Kebersamaan tersebut
diwujudkan melalui saling
menghormati dan mengikuti
aktivitas keagamaan organisasi
lainnya serta memberikan
bantuan kepada salah
satu kelompok organisasi
keagamaan ketika membutuhkan.
Salah satu contoh dari
kebersamaan tersebut, menurut Ibu
Muzaro’ah (2012) salah
satu pengurus Aisiyah,
adalah dukungan yang
diberikan oleh Muslimat
NU dan Fatimiah
Syiah kepada Aisiyah
Muhammadiyah ketika terjadi
penyusupan yang berpotensi menimbulkan perpecahan di Aisiyah pada tahun
2009. Penyusupan yang
dialami oleh Muhammadiyah
dilakukan oleh beberapa orang yang datang dari luar Bangsri
dengan tujuan untuk memecah belah Muhammadiyah.
Dukungan tersebut diwujudkan
dengan ikut terlibat aktif dalam proses pembersihan Aisiyah dari
penyusup yang mencoba untuk memecah
belah Muhammadiyah. Penyusup
yang masuk melalui
lembaga pendidikan Muhammadiyah
yang menyebar fitnah
tersebut berhasil “diamankan”
oleh Muhammadiyah dengan dibantu oleh warga NU dan Syiah.
Selain itu,
wujud kebersamaan antar
organisasi keislaman wanita
tersebut terlihat dari
kegiatan PKK dan
tahlil yang dilakukan
oleh anggota ketiga organisasi
tersebut. Meskipun berbeda
pandangan tentang tahlil,
namun organisasi Aisiyah dan
Fatimiah tidak melarang anggotanya untuk mengikuti kegiatan PKK.
Fenomena yang
terjadi di Kelurahan
Bangsri merupakan wujud
dari pemahaman terhadap
nilai-nilai Islam yang diajarkan dan
diperintahkan oleh Allah dalam
kehidupan yang plural
sebagaimana tersebut dalam
Q.S. al- Hujurat
ayat 13. Selain
firman Allah, sikap
positif untuk saling
memahami dan menghormati
perbedaan yang dilakukan
oleh kelompok organisasi keagamaan
di Kelurahan Bangsri
juga sama dengan
keteladanan Nabi Muhammad SAW saat melaksanakan dakwah di
Madinah. Melalui deklarasi Piagam
Madinah, Nabi Muhammad SAW menyatukan perbedaan yang terjadi di antara penduduk dalam satu kesatuan
Madinah. Hasilnya adalah terciptanya kesatuan, persaudaraan
dan pemahaman penduduk
yang berbeda agama
dan suku bangsa dalam
pemerintahan Madinah. Implikasi dari kesatuan ini adalah adanya
sikap saling menghormati
serta saling memberi
bantuan manakala salah satu kelompok suku atau agama
membutuhkan bantuan, termasuk umat Islam manakala
mendapat serangan dari
suku Quraisy (Muhyidin
dan Safei, 2002: 107).
Keteladanan Nabi
Muhammad SAW dalam
melaksanakan pemerintahan Madinah
idealnya menjadi contoh
bagi umat Islam
dalam merespons perbedaan
yang dialami dalam
kehidupan yang plural.
Sebagai agama penyempurna
dan pemersatu, bukan
berarti Islam tidak
memiliki perbedaan. Dalam
salah satu haditsnya, Nabi telah
menjelaskan bahwa umat Islam terpecah
ke dalam 73
golongan dan yang
akan selamat adalah
umat Islam yang
menjadi ahli sunnah
dan menjaga persatuan.
Ironisnya, tidak sedikit umat Islam yang terjebak dalam perbedaan dan bahkan
harus terlibat dalam perselisihan atau
pertengkaran antar kelompok akibat adanya perbedaan tersebut.
Potensi
perselisihan yang mengancam
umat Islam di
Indonesia cenderung besar dikarenakan adanya latar belakang yang
berbeda-beda berupa suku bangsa, politik maupun status sosial (Khadziq, 2009: 117). Kebersamaan yang
terwujud dalam kehidupan
plural umat Islam
di Kelurahan Bangsri sebuah
fenomena kehidupan masyarakat
umat Islam Indonesia
dalam menyikapi perbedaan Islam.
Perbedaan yang dimiliki oleh umat Islam apabila tidak
dipahami dan disikapi
secara bijak dapat
mengancam persatuan umat Islam
bahkan dapat mengganggu stabilitas kenegaraan.
Realitas kehidupan
umat Islam di
Desa Bangsri tersebut
dapat terwujud. Tentu ada strategi-strategi yang dilaksanakan
oleh ketiga organisasi wanita
tersebut dalam upaya
menjaga dan mengembangkan
ukhuwah Islamiyah di Desa Bangsri
Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Figur peran wanita
tidak dapat dilepaskan
dari perjalanan sejarah
Kota Ukir (nama
lain Jepara). Sejarah
telah mencatat paling
tidak dua tokoh
wanita yang telah mampu
menunjukkan kemampuan mereka dalam melakukan suatu perubahan, yakni Ratu Kalinyamat dan R.A. Kartini. Nama
yang disebut terakhir sangat fenomenal karena
mampu memberikan perubahan
tentang paradigma pendidikan
bagi warga pribumi,
khususnya kaum wanita.
Hal ini seolah mengindikasikan adanya
peluang peranan wanita
dalam memberikan perubahan dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten
Jepara.
Peranan wanita
dalam berkehidupan social
di Jepara salah
satunya dapat terlihat di Desa
Bangsri sebagaimana telah dijelaskan di atas. Meskipun pada organisasi NU, Syiah dan Muhammadiyah
terdapat organisasi-organisasi dari
remaja namun pada
kenyataannya kehidupan ukhuwah
Islamiyah lebih hidup di kalangan organisasi wanitanya. Jika
di tingkatan remaja atau pemuda dari
ketiga organisasi keagamaan yang ada di
Desa Bangsri tidak ada ikatan yang terlihat
formal dalam rangka
menjalin ukhuwah Islamiyah,
maka tidak demikian dengan organisasi wanita. Berbagai
kegiatan social telah menjelma menjadi
perwujudan ukhuwah Islamiyah di Desa Bangsri Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi