Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:STRATEGI PEMASARAN PENGHIMPUNAN DANA ZAKAT, INFAQ DAN SHODAQOH PADA BADAN AMIL ZAKAT Studi Kasus Badan Amil Zakat Kabupaten Wonosobo


BAB I PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang Zakat  merupakan  ibadah  dan  kewajiban  sosial  bagi  para  aghniya’ (hartawan)  setelah  kekayaannya  memenuhi  batas  minimal  (nishab)  dan  rentang waktu setahun (haul). Tujuannya mewujudkan pemerataan keadilan  dalam ekonomi. Kewajiban dana sosial tersebut, bertujuan untuk membantu  kaum  dhuafa.  Sumber  utama  dana  tersebut  meliputi  zakat,  infaq  dan  shodaqoh,  serta  dapat  ditambahkan  wakaf  dan  dana  investasi  kebajikan.
Dalam  konsep  Islam,  zakat  wajib  dibayarkan  oleh  umatnya  yang  telah  mampu dengan batas tertentu. Sedangkan infaq  dan  shodaqoh  lebih bersifat  sukarela (Gustian Juanda, dkk, 2006:1).
Zakat  juga  merupakan  sumber  dana  potensial  strategis  bagi  upaya membangun kesejahteraan umat. Karena itu Al Qur’an memberi rambu agar  zakat  yang  dihimpun,  disalurkan  kepada  mustahiq  (penerima).  Menurut  Umar Bin Khatab zakat disyari’atkan untuk merubah mereka  yang semula  mustahiq  (penerima) zakat menjadi  muzakki  (pemberi atau pembayar zakat)  (Ahmad  Rofiq,  2004  :  259).  Hemat  saya  ini  hanya  dapat  diwujudkan  jika  zakat,  infaq  dan shodaqoh  tidak hanya sekedar diberi makna secara tekstual  dan  didistribusikan  sebagai  pemberian  dalam  bentuk  konsumtif  untuk  memenuhi  kebutuhan  jangka  pendek.  Akan  tetapi  perlu  dilakukan  inovasi  dan  pembaharuan  pemahaman  dalam  bentuk  penalaran.  Utamanya  tentang  harta  benda  atau  profesi  yang  hasilnya  dikenakan  beban  zakat,  dan   pendistribusiannya  sebagian  diberikan  dalam  bentuk  dana  untuk  kegiatan  produktif.  Dengan  demikian  mustahiq  dapat  memutar  dana  tersebut,  sehingga  dapat  menjamin  kebutuhan  sehari-hari  dan  mengembangkannya  untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam jangka panjang.

Kewajiban  zakat  dalam  agama  Islam  memiliki  makna  yang  sangat  fundamental.  Selain  berkaitan  erat  dengan  aspek-aspek  ketuhanan,  juga  ekonomi  dan  sosial.  Sedangkan  dari  aspek  keadilan  sosial  (al-‘adalah  al-‘ijtima’iyah),  perintah  zakat  dapat  dipahami  sebagai  satu  kesatuan  sistem  yang  tak  terpisahkan  dalam  pencapaian  kesejahteraan  sosial-ekonomi  dan  kemasyarakatan.  Zakat  diharapkan  dapat  meminimalisir  kesenjangan  pendapatan antara orang kaya dan miskin. Di  samping itu, zakat,  infaq  dan  shodaqoh  juga  diharapkan  dapat  meningkatkan  atau  menumbuhkan  perekonomian,  baik  pada  level  individu  maupun  pada  level  sosial  masyarakat (Nurudin, 2006:1-2).
Di  samping itu,  menurut Yusuf Qardawi secara umum terdapat dua  tujuan  dari  ajaran  zakat,  yaitu  untuk  kehidupan  individu  dan  kehidupan  sosial  kemasyarakatan.  Tujuan  yang  pertama  meliputi  pensucian  jiwa  dari  sifat  kikir,  mengembangkan  sifat  suka  berinfak  atau  memberi,  mengobati  hati  dari  cinta  dunia  yang  membabi  buta  dan  menumbuhkan  rasa  simpati  dan cinta sesama manusia. Dengan ungkapan lain, esensi dari semua tujuan  ini  adalah  pendidikan  yang  bertujuan  untuk  memperkaya  jiwa  manusia  dengan  nilai-nilai  spiritual  yang  dapat  meninggikan  harkat  dan  martabat   manusia  melebihi  martabat  benda,  dan  menghilangkan  sifat  materialisme  dalam diri manusia (Yusuf Qardawi, 1991:848).
Zakat  dalam  pelaksanaanya harus ditetapkan dan diatur oleh agama  dan  negara,  baik  dari  segi  jenis  harta  yang  dizakatkan,  para  wajib  zakat  (muzakki)  maupun  para  penerima  zakat  (mustahiq),  sampai  pada  pengelolaanya  oleh  pihak  ketiga,  dalam  hal  ini  pemerintah  untuk  menghimpun dan mengelola zakat demi kemaslahatan bersama. Negara atau  lembaga  inilah  yang  akan  membantu  para  muzakki,  untuk  menyampaikan  zakatnya  kepada  para  mustahiq,  atau  membantu  para  mustahiq  dalam  menerima hak-haknya. Pada tataran inilah, zakat bukan merupakan urusan  individual, tapi merupakan urusan masyarakat, urusan dan tugas pemerintah  baik melalui organisasi resmi yang langsung ditunjuk oleh pemerintah atau  organisasi  seperti  yayasan,  lembaga  swasta,  masjid,  pondok  pesantren  dan  lainya  yang  berkhidmat  untuk  mengatur  pengelolaan  zakat  mulai  dari  pengambilannya  dari  muzakki  sampai  kepada  penyaluranya  kepada  para  mustahiq.
Seiring dengan kewajiaban umat Islam untuk membayar zakat, Islam  mengatur  dengan  jelas  dan  tegas  tentang  pengelolaan  harta  zakat.
Manajemen zakat yang ditawarkan oleh Islam dapat memberikan kepastian  keberhasilan dana zakat, infaq dan shodaqoh sebagai dana umat Islam.
Dalam  rangka  mengimplementasikan  dan  membumikan  perintah  zakat,  Allah  SWT  kemudian  menugaskan  satu  pengelola  yang  dalam   terminologi  al-Quran  disebut  ‘āmil.  Perintah  ini  dijelaskan  dalam  firman  Allah  Qs. Al-Taubah “ Sesungguhnya shodaqoh (zakal-zakat) itu hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,  para  mu’allaf  yang  dibujuk  hatinya,  untuk  (memerdekakan)  budak,  orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang  yang  sedang  dalam  perjalanan,  sebagai  sesuatu  ketetapan  yang  diwajibkan  Allah;  dan  Allah  Maha  Mengetahui  lagi  Maha  Bijaksana” (Departemen RI, tt : 288).
Dari  ayat  tersebut,  jelas  bahwa  pengelolaan  zakat,  mulai  dari  memungut,  menyimpan  dan  tugas  mendistribusikan  harta  zakat  berada  di  bawah  wewenang  Rasul  dan  dalam  konteks  sekarang,  zakat  dikelola  oleh  pemerintah.  Dalam  operasional  zakat,  Rasul  SAW  telah  mendelegasikan  tugas tersebut dengan menunjuk amil zakat.
Penunjukan  amil  memberikan  pemahaman  bahwa  zakat  bukanlah  diurus  oleh  perorangan,  tetapi  dikelola  secara  profesional  dan  terorganisir.
Amil  yang  mempunyai  tanggung  jawab  terhadap  tugasnya,  memungut,  menyimpan,  dan  mendistribusikan  harta  zakat  kepada  orang  yang  berhak  menerimanya (Masdar Farid Mas’udi, Didin Hafidhudin, 2004: 16).
Abu Zahroh mendefinisikan, amil adalah mereka yang bekerja untuk  pengelolaan  zakat,  menghimpun,  menghitung,  mencari  orang-orang  yang  butuh  (mustahiqqin)  serta  membagikannya  kepada  mereka.  Rasullullah  SAW  pernah  mempekerjakan  seorang  pemuda  dari  Suku  As’ad,  namanya   Ibnu Lutaibah untuk mengurus zakat bagi Bani Sulaim. Ali Ibn Abi Thalib  ditugaskan  ke  Yaman  untuk  menjadi  amil  zakat.  Mu’ad  Ibn  Jabal  pernah  diutus  Rasullullah  SAW  ke  Yaman,  selain  sebagai  da’i,  juga  mempunyai  tugas khusus sebagai amil zakat (Ahmad Rofiq, 2004 : 288).
Terminologi  al-Quran  ini  kemudian  dilegalkan  dalam  bahasa  undang-undang  dengan  sebutan  Badan  Amil  Zakat  (BAZ)  dan  Lembaga  Amil Zakat (LAZ).  Bila  yang pertama, BAZ dibentuk  pemerintah, maka  yang  kedua  LAZ  dibentuk  masyarakat  itu  sendiri.  Kedua  lembaga  ini  ditunjuk undang-undang Republik Indonesia Nomor 38  tahun 1999 tentang  pengelolaan  zakat  untuk  melakukan  penghimpunan  dan  pengelolaan  zakat  dengan lingkup kewenangan; menerima, menyalurkan, mengembangkan dan  mendayagunakan  zakat  dengan  berpegang  teguh  pada  prinsip  profesional  dan amanah (Gustian Juanda,dkk, 2006:307).
Dengan adanya undang-undang pengelolaan zakat, maka umat Islam  Indonesia telah memiliki jaminan legalitas bagi pengelolaan zakat di negara  muslim  terbesar  di  dunia  ini.  Lembaga  penghimpun  dan  pengelola  zakat  juga dapat meningkatkan kesadaran  muzakki  untuk menunaikan  kewajiban  zakat  dalam  rangka  mensucikan  diri  terhadap  harta  yang  dimilikinya,  mengangkat  derajat  mustahiq,  dan meningkatnya keprofesionalan pengelola  zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Meskipun  sudah  ada  payung  hukumnya,  lembaga  pengelola  zakat  yang ada selama ini masih belum memainkan peran optimal sebagai pranata  keagamaan  dalam  mewujudkan  kesejahteraan  masyarakat.  Hal  ini  ditandai   dengan  belum  maksimalnya  pengumpulan  yang  dilakukan  lembaga,  baik  zakat,  infaq  maupun shodaqoh. Selain  itu, badan  amil zakat juga kurangnya  strategi  pemasaran  dalam  menghimpun  dana  zakat,  infaq  dan  shodaqoh,  serta masih lemahnya manajemen pengelolaan lembaga yang berakibat pada  kurangnya  kepercayaan  masyarakat  untuk   menyalurkan  zakat  maupun  berinfak lewat Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA).


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi