BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Zakat merupakan
ibadah dan kewajiban
sosial bagi para
aghniya’ (hartawan) setelah kekayaannya
memenuhi batas minimal
(nishab) dan rentang waktu setahun (haul). Tujuannya
mewujudkan pemerataan keadilan dalam
ekonomi. Kewajiban dana sosial tersebut, bertujuan untuk membantu kaum
dhuafa. Sumber utama
dana tersebut meliputi
zakat, infaq dan shodaqoh, serta
dapat ditambahkan wakaf
dan dana investasi
kebajikan.
Dalam konsep
Islam, zakat wajib
dibayarkan oleh umatnya
yang telah mampu dengan batas tertentu. Sedangkan
infaq dan shodaqoh
lebih bersifat sukarela (Gustian
Juanda, dkk, 2006:1).
Zakat juga
merupakan sumber dana
potensial strategis bagi
upaya membangun kesejahteraan umat. Karena itu Al Qur’an memberi rambu
agar zakat yang
dihimpun, disalurkan kepada
mustahiq (penerima). Menurut Umar Bin Khatab zakat disyari’atkan untuk
merubah mereka yang semula mustahiq
(penerima) zakat menjadi
muzakki (pemberi atau pembayar
zakat) (Ahmad Rofiq,
2004 : 259).
Hemat saya ini
hanya dapat diwujudkan
jika zakat, infaq
dan shodaqoh tidak hanya sekedar
diberi makna secara tekstual dan didistribusikan sebagai
pemberian dalam bentuk
konsumtif untuk memenuhi
kebutuhan jangka pendek.
Akan tetapi perlu
dilakukan inovasi dan
pembaharuan pemahaman dalam
bentuk penalaran. Utamanya
tentang harta benda
atau profesi yang
hasilnya dikenakan beban
zakat, dan pendistribusiannya sebagian
diberikan dalam bentuk
dana untuk kegiatan produktif.
Dengan demikian mustahiq
dapat memutar dana
tersebut, sehingga dapat
menjamin kebutuhan sehari-hari
dan mengembangkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam jangka
panjang.
Kewajiban zakat
dalam agama Islam
memiliki makna yang
sangat fundamental. Selain
berkaitan erat dengan
aspek-aspek ketuhanan, juga ekonomi dan
sosial. Sedangkan dari
aspek keadilan sosial
(al-‘adalah
al-‘ijtima’iyah), perintah zakat
dapat dipahami sebagai
satu kesatuan sistem yang
tak terpisahkan dalam
pencapaian kesejahteraan sosial-ekonomi dan kemasyarakatan. Zakat
diharapkan dapat meminimalisir
kesenjangan pendapatan antara
orang kaya dan miskin. Di samping itu,
zakat, infaq dan shodaqoh juga
diharapkan dapat meningkatkan
atau menumbuhkan perekonomian,
baik pada level
individu maupun pada
level sosial masyarakat (Nurudin, 2006:1-2).
Di samping itu,
menurut Yusuf Qardawi secara umum terdapat dua tujuan
dari ajaran zakat,
yaitu untuk kehidupan
individu dan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Tujuan yang
pertama meliputi pensucian
jiwa dari sifat
kikir, mengembangkan sifat
suka berinfak atau
memberi, mengobati hati
dari cinta dunia
yang membabi buta
dan menumbuhkan rasa
simpati dan cinta sesama manusia.
Dengan ungkapan lain, esensi dari semua tujuan ini
adalah pendidikan yang
bertujuan untuk memperkaya
jiwa manusia dengan
nilai-nilai spiritual yang
dapat meninggikan harkat
dan martabat manusia
melebihi martabat benda,
dan menghilangkan sifat
materialisme dalam diri manusia
(Yusuf Qardawi, 1991:848).
Zakat dalam
pelaksanaanya harus ditetapkan dan diatur oleh agama dan
negara, baik dari
segi jenis harta
yang dizakatkan, para
wajib zakat (muzakki)
maupun para penerima
zakat (mustahiq), sampai
pada pengelolaanya oleh
pihak ketiga, dalam
hal ini pemerintah
untuk menghimpun dan mengelola
zakat demi kemaslahatan bersama. Negara atau lembaga
inilah yang akan
membantu para muzakki,
untuk menyampaikan zakatnya
kepada para mustahiq,
atau membantu para
mustahiq dalam menerima hak-haknya. Pada tataran inilah,
zakat bukan merupakan urusan individual,
tapi merupakan urusan masyarakat, urusan dan tugas pemerintah baik melalui organisasi resmi yang langsung
ditunjuk oleh pemerintah atau organisasi seperti
yayasan, lembaga swasta,
masjid, pondok pesantren
dan lainya yang
berkhidmat untuk mengatur
pengelolaan zakat mulai
dari pengambilannya dari
muzakki sampai kepada
penyaluranya kepada para mustahiq.
Seiring dengan kewajiaban umat
Islam untuk membayar zakat, Islam mengatur dengan
jelas dan tegas
tentang pengelolaan harta
zakat.
Manajemen zakat yang ditawarkan
oleh Islam dapat memberikan kepastian keberhasilan
dana zakat, infaq dan shodaqoh sebagai dana umat Islam.
Dalam rangka
mengimplementasikan dan membumikan
perintah zakat, Allah
SWT kemudian menugaskan
satu pengelola yang
dalam terminologi al-Quran
disebut ‘āmil. Perintah
ini dijelaskan dalam
firman Allah Qs. Al-Taubah “ Sesungguhnya shodaqoh
(zakal-zakat) itu hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf
yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai
sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah;
dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
(Departemen RI, tt : 288).
Dari ayat
tersebut, jelas bahwa
pengelolaan zakat, mulai
dari memungut, menyimpan
dan tugas mendistribusikan harta
zakat berada di bawah wewenang
Rasul dan dalam
konteks sekarang, zakat
dikelola oleh pemerintah.
Dalam operasional zakat,
Rasul SAW telah
mendelegasikan tugas tersebut
dengan menunjuk amil zakat.
Penunjukan amil
memberikan pemahaman bahwa
zakat bukanlah diurus
oleh perorangan, tetapi
dikelola secara profesional
dan terorganisir.
Amil yang
mempunyai tanggung jawab
terhadap tugasnya, memungut, menyimpan,
dan mendistribusikan harta
zakat kepada orang
yang berhak menerimanya (Masdar Farid Mas’udi, Didin
Hafidhudin, 2004: 16).
Abu Zahroh mendefinisikan, amil
adalah mereka yang bekerja untuk pengelolaan zakat,
menghimpun, menghitung, mencari
orang-orang yang butuh
(mustahiqqin) serta membagikannya
kepada mereka. Rasullullah SAW
pernah mempekerjakan seorang
pemuda dari Suku
As’ad, namanya Ibnu Lutaibah untuk mengurus zakat bagi Bani
Sulaim. Ali Ibn Abi Thalib ditugaskan ke
Yaman untuk menjadi
amil zakat. Mu’ad
Ibn Jabal pernah diutus
Rasullullah SAW ke
Yaman, selain sebagai
da’i, juga mempunyai tugas khusus sebagai amil zakat (Ahmad Rofiq,
2004 : 288).
Terminologi al-Quran
ini kemudian dilegalkan
dalam bahasa undang-undang
dengan sebutan Badan
Amil Zakat (BAZ)
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Bila
yang pertama, BAZ dibentuk
pemerintah, maka yang kedua
LAZ dibentuk masyarakat
itu sendiri. Kedua
lembaga ini ditunjuk undang-undang Republik Indonesia
Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat untuk melakukan
penghimpunan dan pengelolaan
zakat dengan lingkup kewenangan;
menerima, menyalurkan, mengembangkan dan mendayagunakan
zakat dengan berpegang
teguh pada prinsip
profesional dan amanah (Gustian
Juanda,dkk, 2006:307).
Dengan adanya undang-undang
pengelolaan zakat, maka umat Islam Indonesia
telah memiliki jaminan legalitas bagi pengelolaan zakat di negara muslim
terbesar di dunia
ini. Lembaga penghimpun
dan pengelola zakat juga
dapat meningkatkan kesadaran
muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat
dalam rangka mensucikan
diri terhadap harta
yang dimilikinya, mengangkat
derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha
Allah SWT.
Meskipun sudah
ada payung hukumnya,
lembaga pengelola zakat yang
ada selama ini masih belum memainkan peran optimal sebagai pranata keagamaan
dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini
ditandai dengan belum
maksimalnya pengumpulan yang
dilakukan lembaga, baik zakat, infaq
maupun shodaqoh. Selain itu,
badan amil zakat juga kurangnya strategi
pemasaran dalam menghimpun
dana zakat, infaq
dan shodaqoh, serta masih lemahnya manajemen pengelolaan
lembaga yang berakibat pada kurangnya kepercayaan
masyarakat untuk menyalurkan
zakat maupun berinfak lewat Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi