Selasa, 19 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA


BAB I  PENDAHULUAN  
1.1.  Latar Belakang  Dalam konstelasi kehidupan di dunia ini manusia tentunya tidak bisa  terlepas  dari  apa  yang  dinamakan  dengan  agama.  Hal  tersebut  dikarenakan  agama  sangatlah  inhern dalam  kehidupan  sosial  manusia  dengan  segala  dinamika  yang  ada.  Hal  tersebut  mengandung  arti  bahwa  manusia  dalam  aktivitasnya tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama yang adadi dalamnya.
 Dalam  hal  ini  Islam  adalah  agama  bagi  umat  manusia  yang  di  dalamnya  memuat  pesan  yang  bersifat  universal  dan  abadi  dikarenakan  ajaranya  akan  selalu  mengikat  selama  dalam  masa  taklif (mukallaf).  Konsekuensi  tersebut  tertuang  dalam  suguhan  konsepsi  hukum  Islam  yang   menjamin  perbaikan  dan peningkatan kehidupan umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Islam  adalah  pandangan  hidup  yang  lengkap  (kaffah),  membimbing  sesuai  petunjuk-petunjuk  Allah  SWT,  sebagaimana  yang  disampaikan  oleh  RasulNya Muhammad SAW.

  Secara  praktis,  Islam  menuntut  para  pemeluknya  untuk  senantiasa  menyeru,  mengajak,  dan  menyampaikan  ajaranya  agar  apa  yang  menjadi  pesan  agama  dapat  disebarluaskan  keseluruh  alam  semesta.
   Hal  tersebut  merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam,  Begum  A’isyah  Bawany,  Mengenal  Islam  Selayang  Pandang, Terj.  Machnun  Husein,  (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 5   Konsep tentang menyeru, mengajak, menyempaikan danmempengaruhi tersebut yang  kemudian  dinamakan  dengan  dakwah.  Lihat  pengertian  dakwah  Awaludin  Pimay,  Metodologi  Dakwah; Kajian Teoritis dari Khazanah Al-Qur’an, (Semarang: Rasail, 2006), hlm.2   yang  tentunya  dalam  penyampaian  misi  dakwah  yang  diterapkanya  dalam  rangka  mengajak  manusia  kepada  ajaran  Islam  haruslah  mengacu  pada  apa yang telah dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad SAW.
  Mengenai  kewajiban  menyampaikan  dakwah  Islam,  Allah  SWT  berfirman dalam ayat suci Al-Qur’an:  Artinya: Serulah  (manusia)  kepada  jalan  Tuhan-mu  dengan  hikmah,  dan  pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
 Sesungguhnya  Tuhanmu  Dialah  yang  lebih  mengetahui  tentang  siapa  yang  tersesat  dari  jalan-Nya  dan  Dialah  yang  lebih  mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125)  Hermeneutika kata ud’u  yang selanjutnya ditafsirkan dengan “seruan”  yang  merupakan  fiil  amr, yang  dalam  kaidah  ushul  fiqh  merujuk  kepada  hukum wajib mengindikasikan bahwa dakwah mutlak harus direalisasikan di  dalam setiap sendi-sendi kehidupan.
  Telah  menjadi  suatu  yang  ma’lum,  bahwasanya  Islam  adalah  agama  dakwah yang mengandung arti bahwa keberadaanya di muka bumi ini adalah  dengan  disebarluaskan  dan  diperkenalkan  kepada  seluruh  umat  melalui  aktivitas  dakwah,  bukan  dengan  paksaan,  kekerasan,  dan  tidak  pula  dengan  kekuatan  pedang.  Hal  ini  dapat  kita  pahami,  karena  Islam  sendiri  adalah   Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 2000), hlm. 125    Kewajiban  berdakwah  sesuai  dengan  surat  An-Nahl  ayat:  125,  merupakan  kewajiban  mutlak  (absolut).  Hal  tersebut  dikarenakan  para  Ulama’  telah  bersepakat  mengenai  hukum  wajibnya,  hanya  saja  diantara  mereka  ada  yang  mengatakan  wajib  ‘ainiyah  (berlaku  universal/setiap orang), dan Ulama’ lain mengatakanwajib kifayah (dalam arti apabila alam satu  kelompok sudah ada yang menjalankanya maka gugurlahkewajiban tersebut). Baca: Aminuddin  Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, (Semarang: Fakultas dakwah, 1986), hlm.34   agama  pembawa  perdamaian,  agama  cinta  kasih,  agama  pembebasan  dari  belenggu perbudakan, dan juga mengakui hak dan kewajiban setiap individu.
 Ini  berarti  anggapan  para  oreientalis yang  selama  ini  mengatakan  Islam  adalah  agama  yang  kejam,  menakutkan  dan  dikenal  dengan  radikalismenya  adalah tidak benar adanya.  Statemendemikian tentunya amatlah tidak sesuai,  dikarenakan  bila  kita  mencoba  menelaah  dalam  Al-Qur’an  yaitu  pada surat  Al-Baqoroh ayat 256, Allah berfirman Artinya:“Tidak  ada  paksaan  untuk  (memasuki)  agama  (Islam);  Sesungguhnya  telah  jelas  jalan  yang  benar  daripada  jalan  yang  sesat.  karena  itu  Barangsiapa  yang  ingkar  kepada  Thaghut  dan  beriman  kepada  Allah,  Maka  Sesungguhnya  ia  telah  berpegang  kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah  Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Al-Baqoroh: 256) Dari ayat di atas dapat kita fahami, bahwa dalam memilih suatu agama  tidaklah  boleh  dipaksakan,  termasuk  di  dalamnya  adalah  berdakwah  dan  menyampaikan  ajaran  Islam.
   Hal  senada  diungkapkan  oleh  Ulil  Abshar  Abdalla  yang  merupakan  tokoh  Jaringan  Islam  Liberal  (JIL),  menurutnya  dalam  pandangan  Islam,  memeluk  agama  adalah  merupakan  suatu  pilihan  yang  dilakukan  secara  sadar,  artinya  tidak  boleh  ada  unsur  paksaan   Larangan memaksakan suatu agama seperti dicontohkan oleh Rosulullah ketika tinggal  di  Madinah,  dimana  penduduk  Madinah  sebelum  kedatangan  Islam,  mereka  adalah  pemeluk  agama Yahudi, dan disana banyak terjadi orang tua yang telah memeluk Islam akan tetapi anaknya  memilih Yahudi. Hal tersebut dirasa kehidupan Yahudi jauh lebih baik bagi mereka. Dan hal ini  pulalah  yang  menjadi  sabab  nuzul  ayat  di  atas.Fathul  Bahri,  Meniti  Jalan  Dakwah;  Bekal  Perjungan Para Da’I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.13-15   sedikitpun.
   Dari  hal  tersebut  di  atas,  seyogyanya  di  dalam  melakukan  aktifitas berdakwah pendekatan yang seharusnya kita lakukan adalah dengan  cara  yang  halus,  lembut  dan  santun  sebagaimana  tersebut  dalam  surat AnNahl di atas.
 Yang menjadi fenomena dan menarik perhatian dari kehidupan kita di  negara  Indonesia  ini  yaitu  ketika  dalam  kondisi   masyarakat  Islam  dengan  berbagai problematika dakwahnya, maka tak henti-hentinya muncul pemikirpemikir sejak zaman klasik hingga sekarang, dimana di dalamnya lahir aliranaliran yang menaruh perhatian besar terhadap pelaksanaan dakwah Islamiyah.
 Akan  tetapi  dalam  realitanya,  mereka  di  dalam  penyampaian  ajarannya  cenderung  ortodok,  kaku  dan  kolot,  bahkan  nilai-nilai  ajaran  yang  disampaikannya  terkesan  jumud dan  mandeg ditempat  tidak  bisa  sesuai  dengan  dinamika  kehidupan  zaman.  Dalam  menerjemahkan  ayat-ayat  AlQur’an pun hanya dikaji secara tekstual, tidak mengenal istilah hermeniutika  atau  tafsir.  Dan  yang  ironi,  tidak  berhenti  sampai  di  situ  saja,  akan  tetapi  mereka menginginkan ajaran Islam diterapkan di dalam setiap lini kehidupan  (totalistik / kaffah) dengan cara yang mereka benarkan, tanpa mengambil dari  manhaj hukum  yang  semestinya.  Bukankah  hal  demikian  akan  dapat  mengganggu keharmonisan dalam kehidupan?  Beberapa golongan yang tergabung dalam Islam radikali seperti Darul  Islam (DI), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesi (NII), dan  Ikhwanul  Muslimin  mereka  cenderung  bersikap  eksklusif dan  hanya   Mengenai hal yang berkaitan dengan memilih suatu agama (keimanan) dapat kita lihat  dalam  surat  Al-Kahfi  ayat:  29,  Ulil  Abshar  Abdalla,  Menyegarkan  Kembali  Pemikiran  Islam;  Bunga Rampai Surat-surat Tersiar, (Jakarta: Nalar, 2007), hlm.165   mengakui kebenaran mereka sendiri. Mereka menganggap orang kafir adalah  musuh  yang  harus  mereka  perangi,  tidak  hanya  itu  saja,  orang  muslim  lain  yang tidak sehaluan dengan mereka pun tak luput mendapat predikat sebagai  orang-orang  yang  sesat.  Doktrin  yang  mereka  usung  adalah  “takfir"  yaitu  sikap  yang  selalu  mengkafirkan  golongan  lain  yang  berada  di  luar  kelompoknya. Salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin yang pemikiranya sangat  berpengaruh  dalam  menyulut  radikalisme  agama  yang  ada  adalah  Sayyid  Qutub.  Beliau  berpendapat  “barang  siapa  yang  memutuskan  suatu  hukum  (  termasuk di dalamnya menjalankan pemerintahan) dengan hukum selain AlQur’an  berarti   ia  telah  kafir”.  Pemikiran  tersebut  tentunya  berpijak  pada  interpretasi dari suatu ayat yaitu:  Artinya :Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan  Allah,  Maka  mereka  itu  adalah  orang-orang  yang  kafir.  (AlMa’idah: 44) Berawal  dari  pemikiran  tersebut,  aliran  Islam  radikal  telah  menjustifikasi diri seperti para hakim dan aparat pemerintahan yang ada, yang  tidak  menggunakan  hukum  syari’at  adalah  halal  dibunuh.  Sikap-sikap  demikianlah  yang  tentunya  dapat  membawa  mereka  ke  dalam  faham  keberagamaan  yang  cenderung  kaku  dan  kolot.
   Selanjutnya  sikap  tersebut  telah  mereka  ejawantahkan  dalam  praktik  kehidupan,  sebagai  suatu  contoh  mereka  menganggap  harta  yang  dimiliki  oleh  pihak/orang  lain  adalah  sah  untuk  dimiliki  organisasinya.  Bahkan  dengan  cara-cara  yang  tidak  Islami   Ali Syu’aibi, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), hlm.137   seperti  penipuan,  pencurian,  bahkan  dengan  cara-cara  kekerasan  sekalipun,  mereka mengklaim bahwa harta itu adalah milik Allah.
  .
 Radikalisme  dalam  Islam  memberikan  gambaran  adanya  kelompok  yang  ekslusif dan  militan.  Sampai  batas  tertentu,  seperti  yang  disebutkan  di  atas, ada kesan bahwa kelompok itu menganggap orang lain sebagai musuh.
 Yang  dimasukkan  dalam  golongan  musuh  itu  tidak  hanya  mereka  yang  berbeda  agama,  melainkan  juga  orang-orang  seagama  yang  mereka  anggap  telah melakukan banyak kemaksiatan atau diam saja ketika kemaksiatan ada  di  sekeliling  mereka.  Klaim  kebenaran  tunggal  juga  melekat  dalam  ingatan  para golongan ini.
 Radikalisme agama yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan, seakan  menyiratkan ketidakpuasan suatu kaum dalam adaptasinya dengan yang lain.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi