BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam konstelasi kehidupan di dunia ini
manusia tentunya tidak bisa terlepas dari
apa yang dinamakan
dengan agama. Hal
tersebut dikarenakan agama
sangatlah inhern dalam kehidupan
sosial manusia dengan
segala dinamika yang
ada. Hal tersebut
mengandung arti bahwa
manusia dalam aktivitasnya tidak bisa terlepas dari
nilai-nilai agama yang adadi dalamnya.
Dalam
hal ini Islam adalah agama
bagi umat manusia
yang di dalamnya memuat
pesan yang bersifat
universal dan abadi
dikarenakan ajaranya akan selalu mengikat
selama dalam masa
taklif (mukallaf).
Konsekuensi tersebut tertuang
dalam suguhan konsepsi hukum
Islam yang menjamin
perbaikan dan peningkatan
kehidupan umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Islam adalah
pandangan hidup yang
lengkap (kaffah), membimbing
sesuai petunjuk-petunjuk Allah
SWT, sebagaimana yang
disampaikan oleh RasulNya Muhammad SAW.
Secara praktis,
Islam menuntut para
pemeluknya untuk senantiasa menyeru,
mengajak, dan menyampaikan
ajaranya agar apa
yang menjadi pesan
agama dapat disebarluaskan keseluruh
alam semesta.
Hal
tersebut merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam, Begum
A’isyah Bawany, Mengenal
Islam Selayang Pandang, Terj. Machnun
Husein, (Jakarta: Bumi Aksara,
1994), hlm. 5 Konsep tentang menyeru,
mengajak, menyempaikan danmempengaruhi tersebut yang kemudian
dinamakan dengan dakwah.
Lihat pengertian dakwah
Awaludin Pimay, Metodologi Dakwah; Kajian Teoritis dari Khazanah
Al-Qur’an, (Semarang: Rasail, 2006), hlm.2 yang
tentunya dalam penyampaian
misi dakwah yang
diterapkanya dalam rangka
mengajak manusia kepada
ajaran Islam haruslah
mengacu pada apa yang telah dicontohkan oleh Rosulullah
Muhammad SAW.
Mengenai kewajiban
menyampaikan dakwah Islam,
Allah SWT berfirman dalam ayat suci Al-Qur’an: Artinya: Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah, dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(An-Nahl: 125) Hermeneutika kata
ud’u yang selanjutnya ditafsirkan dengan
“seruan” yang merupakan
fiil amr, yang dalam
kaidah ushul fiqh
merujuk kepada hukum wajib mengindikasikan bahwa dakwah
mutlak harus direalisasikan di dalam
setiap sendi-sendi kehidupan.
Telah menjadi
suatu yang ma’lum,
bahwasanya Islam adalah
agama dakwah yang mengandung arti
bahwa keberadaanya di muka bumi ini adalah dengan
disebarluaskan dan diperkenalkan
kepada seluruh umat
melalui aktivitas dakwah,
bukan dengan paksaan,
kekerasan, dan tidak
pula dengan kekuatan
pedang. Hal ini
dapat kita pahami,
karena Islam sendiri
adalah Mohammad Natsir, Fiqhud
Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 2000), hlm. 125 Kewajiban
berdakwah sesuai dengan
surat An-Nahl ayat:
125, merupakan kewajiban mutlak
(absolut). Hal tersebut
dikarenakan para Ulama’
telah bersepakat mengenai
hukum wajibnya, hanya
saja diantara mereka
ada yang mengatakan
wajib ‘ainiyah (berlaku universal/setiap orang), dan Ulama’ lain
mengatakanwajib kifayah (dalam arti apabila alam satu kelompok sudah ada yang menjalankanya maka
gugurlahkewajiban tersebut). Baca: Aminuddin Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, (Semarang:
Fakultas dakwah, 1986), hlm.34 agama pembawa
perdamaian, agama cinta
kasih, agama pembebasan
dari belenggu perbudakan, dan
juga mengakui hak dan kewajiban setiap individu.
Ini
berarti anggapan para
oreientalis yang selama ini
mengatakan Islam adalah
agama yang kejam,
menakutkan dan dikenal
dengan radikalismenya adalah tidak benar adanya. Statemendemikian tentunya amatlah tidak
sesuai, dikarenakan bila
kita mencoba menelaah
dalam Al-Qur’an yaitu
pada surat Al-Baqoroh ayat 256,
Allah berfirman Artinya:“Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang
benar daripada jalan
yang sesat. karena
itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman
kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang
Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
(Al-Baqoroh: 256) Dari ayat di atas dapat kita fahami, bahwa dalam memilih
suatu agama tidaklah boleh
dipaksakan, termasuk di
dalamnya adalah berdakwah
dan menyampaikan ajaran
Islam.
Hal
senada diungkapkan oleh
Ulil Abshar Abdalla
yang merupakan tokoh
Jaringan Islam Liberal
(JIL), menurutnya dalam
pandangan Islam, memeluk
agama adalah merupakan
suatu pilihan yang
dilakukan secara sadar,
artinya tidak boleh
ada unsur paksaan Larangan memaksakan suatu agama seperti
dicontohkan oleh Rosulullah ketika tinggal di
Madinah, dimana penduduk
Madinah sebelum kedatangan
Islam, mereka adalah
pemeluk agama Yahudi, dan disana
banyak terjadi orang tua yang telah memeluk Islam akan tetapi anaknya memilih Yahudi. Hal tersebut dirasa kehidupan
Yahudi jauh lebih baik bagi mereka. Dan hal ini pulalah
yang menjadi sabab
nuzul ayat di
atas.Fathul Bahri, Meniti
Jalan Dakwah; Bekal Perjungan
Para Da’I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.13-15 sedikitpun.
Dari
hal tersebut di
atas, seyogyanya di
dalam melakukan aktifitas berdakwah pendekatan yang seharusnya
kita lakukan adalah dengan cara yang
halus, lembut dan
santun sebagaimana tersebut
dalam surat AnNahl di atas.
Yang menjadi fenomena dan menarik perhatian
dari kehidupan kita di negara Indonesia
ini yaitu ketika
dalam kondisi masyarakat
Islam dengan berbagai problematika dakwahnya, maka tak
henti-hentinya muncul pemikirpemikir sejak zaman klasik hingga sekarang, dimana
di dalamnya lahir aliranaliran yang menaruh perhatian besar terhadap
pelaksanaan dakwah Islamiyah.
Akan
tetapi dalam realitanya,
mereka di dalam
penyampaian ajarannya cenderung
ortodok, kaku dan
kolot, bahkan nilai-nilai
ajaran yang disampaikannya
terkesan jumud dan mandeg ditempat tidak
bisa sesuai dengan
dinamika kehidupan zaman.
Dalam menerjemahkan ayat-ayat
AlQur’an pun hanya dikaji secara tekstual, tidak mengenal istilah
hermeniutika atau tafsir.
Dan yang ironi,
tidak berhenti sampai
di situ saja,
akan tetapi mereka menginginkan ajaran Islam diterapkan di
dalam setiap lini kehidupan (totalistik
/ kaffah) dengan cara yang mereka benarkan, tanpa mengambil dari manhaj hukum
yang semestinya. Bukankah
hal demikian akan
dapat mengganggu keharmonisan dalam
kehidupan? Beberapa golongan yang
tergabung dalam Islam radikali seperti Darul Islam (DI), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI),
Negara Islam Indonesi (NII), dan Ikhwanul Muslimin
mereka cenderung bersikap
eksklusif dan hanya Mengenai hal yang berkaitan dengan memilih
suatu agama (keimanan) dapat kita lihat dalam surat
Al-Kahfi ayat: 29,
Ulil Abshar Abdalla,
Menyegarkan Kembali Pemikiran
Islam; Bunga Rampai Surat-surat
Tersiar, (Jakarta: Nalar, 2007), hlm.165 mengakui kebenaran mereka sendiri. Mereka
menganggap orang kafir adalah musuh yang
harus mereka perangi,
tidak hanya itu
saja, orang muslim
lain yang tidak sehaluan dengan
mereka pun tak luput mendapat predikat sebagai orang-orang
yang sesat. Doktrin
yang mereka usung
adalah “takfir" yaitu sikap yang
selalu mengkafirkan golongan
lain yang berada
di luar kelompoknya. Salah satu tokoh Ikhwanul
Muslimin yang pemikiranya sangat berpengaruh dalam
menyulut radikalisme agama yang
ada adalah Sayyid Qutub.
Beliau berpendapat “barang
siapa yang memutuskan
suatu hukum ( termasuk
di dalamnya menjalankan pemerintahan) dengan hukum selain AlQur’an berarti
ia telah kafir”.
Pemikiran tersebut tentunya
berpijak pada interpretasi dari suatu ayat yaitu: Artinya :Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.
(AlMa’idah: 44) Berawal dari pemikiran
tersebut, aliran Islam
radikal telah menjustifikasi diri seperti para hakim dan
aparat pemerintahan yang ada, yang tidak menggunakan
hukum syari’at adalah
halal dibunuh. Sikap-sikap demikianlah
yang tentunya dapat
membawa mereka ke
dalam faham keberagamaan
yang cenderung kaku
dan kolot.
Selanjutnya
sikap tersebut telah
mereka ejawantahkan dalam
praktik kehidupan, sebagai
suatu contoh mereka
menganggap harta yang
dimiliki oleh pihak/orang
lain adalah sah untuk dimiliki
organisasinya. Bahkan dengan
cara-cara yang tidak
Islami Ali Syu’aibi, Meluruskan
Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), hlm.137 seperti
penipuan, pencurian, bahkan
dengan cara-cara kekerasan
sekalipun, mereka mengklaim bahwa
harta itu adalah milik Allah.
.
Radikalisme
dalam Islam memberikan
gambaran adanya kelompok yang
ekslusif dan militan. Sampai
batas tertentu, seperti
yang disebutkan di atas,
ada kesan bahwa kelompok itu menganggap orang lain sebagai musuh.
Yang
dimasukkan dalam golongan
musuh itu tidak
hanya mereka yang berbeda agama,
melainkan juga orang-orang
seagama yang mereka
anggap telah melakukan banyak
kemaksiatan atau diam saja ketika kemaksiatan ada di
sekeliling mereka. Klaim
kebenaran tunggal juga
melekat dalam ingatan para golongan ini.
Radikalisme agama yang akhir-akhir ini muncul
kepermukaan, seakan menyiratkan
ketidakpuasan suatu kaum dalam adaptasinya dengan yang lain.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi