BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia
dalam kehidupannya menghendaki
dapat meraih sukses,
untuk meraih sukses
tidak cukup hanya
mengandalkan kecerdasan intelektual.
Dengan kata lain,
dibutuhkan pula kecerdasan
lain yang dapat menopang keberhasilannya yaitu
kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional
diukur dari kemampuan
mengendalikan emosi dan
menahan diri.
Dalam Islam
kemampuan mengendalikan emosi
dan menahan diri
disebut sabar. Orang
yang paling sabar
adalah orang yang
paling tinggi kecerdasan emosionalnya.
Ia biasanya tabah
menghadapi kesulitan. Ketika
belajar biasanya orang
ini tekun. Ia
biasanya berhasil mengatasi
berbagai gangguan dan
tidak memperturutkan emosinya,
ia dapat mengendalikan
emosinya (Hidayat, 2010: 166). Kesabaran
mengajari manusia ketekunan
dalam bekerja serta mengerahkan kemampuan
untuk merealisasikan tujuan-tujuan
amaliah dan ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan
hidup manusia, baik di bidang kehidupan
praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dalam bidang penelitian
ilmiah, membutuhkan banyak
waktu dan banyak
kesungguhan.
Oleh sebab itu, ketekunan dalam
mencurahkan kesungguhan serta kesabaran dalam
menghadapi kesulitan pekerjaan
dan penelitian merupakan
karakter penting untuk
meraih kesuksesan dan
mewujudkan tujuan-tujuan luhur (Najati,
2005: 467, 471).
Kesabaran menuntut ketabahan
dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan
pahit, yang harus
diterima dan dihadapi
dengan penuh tanggung jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para
agamawan menurut Shihab (2007: 165-166) merumuskan pengertian sabar sebagai
"menahan diri atau membatasi jiwa dari
keinginannya demi mencapai
sesuatu yang baik
atau lebih baik (luhur)". Menurut
al-Jauziyyah (2003: 206), sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah,
cemas, dan amarah;
menahan lidah dari
keluh kesah; menahan anggota
tubuh dari kekacauan.
Menurut Mubarok (2001:
73) sabar adalah tabah
hati tanpa mengeluh
dalam menghadapi godaan
dan rintangan dalam jangka
waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan.
Menurut Jauhari (2006: 342)
bahwa para ulama
menyebutkan sejumlah definisi
bagi sabar, di antaranya:
a. Meneguk cairan pahit tanpa muka
mengerut b. Diam terhadap musibah, c.
Berteguh hati atas aturan-aturan Al-Quran dan As-Sunnah, d. Tak pernah mengadu, e. Tidak ada perbedaan antara sedang nikmat dan
sedang diuji meskipun duaduanya mengandung bahaya.
Dengan demikian menurut Jauhari (2006: 342), sabar adalah
bertahan diri untuk menjalankan berbagai
ketaatan, menjauhi larangan dan menghadapi berbagai
ujian dengan rela
dan pasrah. Ash
Shabur (Yang Mahasabar)
juga merupakan salah satu asma'ul
husna Allah SWT., yakni yang tak
tergesa-gesa melakukan tindakan sebelum
waktunya.
Dalam agama,
sabar merupakan satu
di antara stasiun-stasiun (maqamat)
agama, dan satu
anak tangga dari
tangga seorang salik dalam
mendekatkan diri kepada Allah. Struktur
maqamat (kedudukan) agama terdiri dari (1) Pengetahuan (ma'arif) yang dapat
dimisalkan sebagai pohon, (2) sikap (ahwal) yang dapat dimisalkan sebagai cabangnya, dan
(3) perbuatan (amal) yang dapat
dimisalkan sebagai buahnya.
Seseorang bisa bersabar
jika dalam dirinya
sudah terstruktur maqamat
itu. Sabar bisa
bersifat fisik, bisa
juga bersifat psikis.
Sabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi, maka
nama sabar berbeda-beda tergantung
obyeknya.
1. Ketabahan
menghadapi musibah, disebut
sabar, kebalikannya adalah gelisah (jaza') dan keluh kesah (hala').
2. Kesabaran
menghadapi godaan hidup
nikmat disebut dlobith
an nafs (mampu menahan diri),
kebalikannya adalah tidak tahanan (bathar).
3. Kesabaran
dalam peperangan disebut
pemberani, kebalikannya disebut pengecut.
Dalam Kamus Tasawuf, salik diartikan para
penempuh jalan ruhani (Solihin dan Anwar, 2009: 187)
4. Kesabaran
dalam menahan marah
disebut santun (hilm),
kebalikannya disebut pemarah
(tazammur).
5. Kesabaran
dalam menghadapi bencana
yang mencekam disebut
lapang dada, kebalikannya disebut
sempit dadanya.
6. Kesabaran
dalam mendengar gossip
disebut katum (mampu menyembunyikan rahasia).
7. Kesabaran
terhadap kemewahan disebut
zuhud, kebalikannya disebut serakah, loba (al hirsh).
8. Kesabaran
dalam menerima yang
sedikit disebut kaya
hati (qana'ah), kebalikannya disebut tamak, rakus (syarahun)
(Mubarok, 2001: 73-74).
Terlepas dari
beragam pandangan tentang
maqam shabr, pada dasarnya kesabaran
adalah wujud dari
konsistensi diri seseorang
untuk memegang prinsip yang telah
dipegangi sebelumnya (Muhammad, 2002: 44).
Atas dasar
itu maka al-Qur'an
mengajak kaum muslimin
agar berhias diri dengan kesabaran.
Sebab, kesabaran mempunyai
faedah yang besar
dalam membina jiwa,
memantapkan kepribadian, meningkatkan
kekuatan manusia dalam
menahan penderitaan, memperbaharui
kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai
problem hidup, beban
hidup, musibah, dan
bencana, serta menggerakkan
kesanggupannya untuk terus-menerus
berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah .SWT Sebagaimana telah
dinyatakan sebelumnya, orang
yang sabar akan mampu
menerima segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan malapetaka
yang melanda Indonesia
telah dirasakan masyarakat.
Bagi orang yang sabar maka ia rela menerima kenyataan
pahit, sementara yang menolak dan atau
tidak sabar, ia gelisah dan protes dengan nasibnya yang kurang baik.
Realita fenomena di masyarakat
terjadi suatu kesenjangan antara teori yang mengharuskan
ikhtiar maksimal dengan
sabar diri sepenuhnya
tanpa usaha. Dengan
kata lain kenyataan
menunjukkan bahwa persepsi
yang berkembang di sebagian
masyarakat yaitu sabar merupakan bentuk pasrah diri pada Allah Swt namun tanpa ikhtiar. Persepsi
yang keliru ini mengakibatkan umat Islam
berada dalam kemunduran
dan tidak mampu
bersaing dengan dinamika zaman. Kenyataan ini dapat dijumpai
dalam kehidupan se hari-hari.
Keterangan di atas sejalan dengan
pernyataan Yafie 1997: 154-155) Sekarang ini,
sabar dipahami oleh
banyak orang hanya
menjurus kepada sifat sabar yang
pasif, dalam arti pasrah tidak berbuat apa-apa tatkala
menghadapi persoalan. Padahal
jika mencoba mengkaitkan dengan
ajaran Islam yang
menganjurkan berbuat sesuatu
untuk kelangsungan kehidupannya,
sabar bisa berarti
tegar, berdiri kokoh, atau
tidak berputus asa
ketika menghadapi rintangan,
malahan harus tetap
berusaha secara maksimal.
Artinya ayat-ayat al-Qur'an
tidak dapat dilihat secara
sendiri-sendiri dan terjebak dalam maknanya yang tersurat
saja, tetapi perlu
dilihat secara lebih
menyeluruh dan ditafsirkan
secara kontekstual. Di
sinilah perlunya ada
pengkajian secara mendalam dan
kontinyu tentang tema sabar.
Menurut Ash-Shiddieqy (2001: 513)
sabar, ialah tahan menderita atas yang tidak disenangi dengan rela dan
menyerahkan diri kepada Allah. Dengan demikian
sabar yang benar, ialah sabar yang menyerahkan diri kepada Allah dan
menerima ketetapan-Nya dengan
dada yang lapang,
bukan karena terpaksa.
Menurut Nasution (1985:
188) sabar itu
membentuk jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi
bencana (musibah). Jiwanya tidak bergoncang, tidak
gelisah, tidak panik,
tidak hilang sikap
keseimbangannya.
Hatinya tabah
menghadapi bencana itu,
tidak berubah pendiriannya.
Tak ubahnya laksana
batu karang di tengah-tengah lautan
yang tidak bergeser sedikit juga pun tatkala dipukul ombak yang
bergulung-gulung.
Dalam masyarakat
bergulir sebuah anggapan
bahwa sabar yang sesungguhnya adalah
kepasrahan seorang hamba
terhadap Allah SWT
tanpa perlu usaha.
Banyak orang yang
diam bertopang dagu,
mereka beranggapan bahwa
jika sudah menjadi
rizkinya maka ia
tidak akan kemana-mana.
Sebaliknya apabila bukan rizkinya
maka dikejar pun akan lari dan menjauh.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi