Selasa, 19 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:STUDI KOMPARASI KONSEP SABAR MENURUT TM. HASBI ASH-SHIDDIQIE DAN YUNAN NASUTION DAN RELEVANSINYA DENGAN KESEHATAN MENTAL


BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Setiap  manusia  dalam  kehidupannya  menghendaki  dapat  meraih  sukses,  untuk  meraih  sukses  tidak  cukup  hanya  mengandalkan  kecerdasan  intelektual.  Dengan  kata  lain,  dibutuhkan  pula  kecerdasan  lain  yang  dapat  menopang  keberhasilannya  yaitu  kecerdasan  emosional.  Kecerdasan  emosional  diukur  dari  kemampuan  mengendalikan  emosi  dan  menahan  diri.
Dalam  Islam  kemampuan  mengendalikan  emosi  dan  menahan  diri  disebut  sabar.  Orang  yang  paling  sabar  adalah  orang  yang  paling  tinggi  kecerdasan  emosionalnya.  Ia  biasanya  tabah  menghadapi  kesulitan.  Ketika  belajar  biasanya  orang  ini  tekun.  Ia  biasanya  berhasil  mengatasi  berbagai  gangguan  dan  tidak  memperturutkan  emosinya,  ia  dapat  mengendalikan  emosinya (Hidayat, 2010: 166).    Kesabaran  mengajari  manusia  ketekunan  dalam  bekerja  serta  mengerahkan  kemampuan  untuk  merealisasikan  tujuan-tujuan  amaliah  dan  ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di bidang  kehidupan praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dalam bidang  penelitian  ilmiah,  membutuhkan  banyak  waktu  dan  banyak  kesungguhan.

Oleh sebab itu, ketekunan dalam mencurahkan  kesungguhan serta kesabaran  dalam  menghadapi  kesulitan  pekerjaan  dan  penelitian  merupakan  karakter   penting  untuk  meraih  kesuksesan  dan  mewujudkan  tujuan-tujuan  luhur  (Najati, 2005: 467, 471).
Kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit,  berat,  dan  pahit,  yang  harus  diterima  dan  dihadapi  dengan  penuh  tanggung  jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan  menurut Shihab (2007:  165-166) merumuskan pengertian sabar sebagai "menahan diri atau membatasi  jiwa  dari  keinginannya  demi  mencapai  sesuatu  yang  baik  atau  lebih  baik  (luhur)".   Menurut al-Jauziyyah (2003: 206), sabar artinya menahan diri dari rasa  gelisah,  cemas,  dan  amarah;  menahan  lidah  dari  keluh  kesah;  menahan  anggota  tubuh  dari  kekacauan.  Menurut  Mubarok  (2001:  73)  sabar  adalah  tabah  hati  tanpa  mengeluh  dalam  menghadapi  godaan  dan  rintangan  dalam  jangka waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan.  Menurut Jauhari  (2006:  342)  bahwa  para  ulama  menyebutkan  sejumlah  definisi  bagi  sabar,  di  antaranya: a.  Meneguk cairan pahit tanpa muka mengerut  b.  Diam terhadap musibah,  c.  Berteguh hati atas aturan-aturan Al-Quran dan As-Sunnah, d.  Tak pernah mengadu, e.  Tidak ada perbedaan antara sedang nikmat dan sedang diuji meskipun duaduanya mengandung bahaya.
 Dengan demikian  menurut Jauhari (2006: 342), sabar adalah bertahan  diri untuk menjalankan berbagai ketaatan, menjauhi larangan dan menghadapi  berbagai  ujian  dengan  rela  dan  pasrah.  Ash  Shabur  (Yang  Mahasabar)  juga  merupakan salah satu asma'ul husna  Allah SWT., yakni yang tak tergesa-gesa  melakukan tindakan sebelum waktunya.
Dalam  agama,  sabar  merupakan  satu  di  antara  stasiun-stasiun  (maqamat)  agama,  dan  satu  anak  tangga  dari  tangga  seorang  salik  dalam  mendekatkan diri kepada Allah. Struktur maqamat (kedudukan)  agama terdiri  dari (1) Pengetahuan (ma'arif) yang dapat dimisalkan sebagai pohon, (2) sikap  (ahwal)  yang dapat dimisalkan sebagai cabangnya, dan (3) perbuatan (amal)  yang  dapat  dimisalkan  sebagai  buahnya.  Seseorang  bisa  bersabar  jika  dalam  dirinya  sudah  terstruktur  maqamat  itu.  Sabar  bisa  bersifat  fisik,  bisa  juga  bersifat psikis.
Sabar  bermakna kemampuan mengendalikan emosi, maka nama sabar  berbeda-beda tergantung obyeknya.
1.  Ketabahan  menghadapi  musibah,  disebut  sabar,  kebalikannya  adalah  gelisah (jaza') dan keluh kesah (hala').
2.  Kesabaran  menghadapi  godaan  hidup  nikmat  disebut  dlobith  an  nafs (mampu menahan diri), kebalikannya adalah tidak tahanan (bathar).
3.  Kesabaran  dalam  peperangan  disebut  pemberani,  kebalikannya  disebut  pengecut.
 Dalam Kamus Tasawuf, salik diartikan para penempuh jalan ruhani (Solihin dan Anwar,  2009: 187)    4.  Kesabaran  dalam  menahan  marah  disebut  santun  (hilm),  kebalikannya  disebut pemarah (tazammur).
5.  Kesabaran  dalam  menghadapi  bencana  yang  mencekam  disebut  lapang  dada, kebalikannya disebut sempit dadanya.
6.  Kesabaran  dalam  mendengar  gossip  disebut  katum  (mampu  menyembunyikan rahasia).
7.  Kesabaran  terhadap  kemewahan  disebut  zuhud,  kebalikannya  disebut  serakah, loba (al hirsh).
8.  Kesabaran  dalam  menerima  yang  sedikit  disebut  kaya  hati  (qana'ah),  kebalikannya disebut tamak, rakus (syarahun) (Mubarok, 2001: 73-74).
Terlepas  dari  beragam  pandangan  tentang  maqam  shabr,  pada  dasarnya  kesabaran  adalah  wujud  dari  konsistensi  diri  seseorang  untuk  memegang prinsip yang telah dipegangi sebelumnya (Muhammad, 2002: 44).
Atas  dasar  itu  maka  al-Qur'an  mengajak  kaum  muslimin  agar  berhias  diri  dengan  kesabaran.  Sebab,  kesabaran  mempunyai  faedah  yang  besar  dalam  membina  jiwa,  memantapkan  kepribadian,  meningkatkan  kekuatan  manusia  dalam  menahan  penderitaan,  memperbaharui  kekuatan  manusia  dalam  menghadapi  berbagai  problem  hidup,  beban  hidup,  musibah,  dan  bencana,  serta  menggerakkan  kesanggupannya  untuk  terus-menerus  berjihad  dalam  rangka meninggikan kalimah Allah .SWT Sebagaimana  telah  dinyatakan  sebelumnya,  orang  yang  sabar  akan  mampu menerima segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan  malapetaka  yang  melanda  Indonesia  telah  dirasakan  masyarakat.  Bagi  orang   yang sabar maka ia rela menerima kenyataan pahit, sementara yang menolak  dan atau tidak sabar, ia gelisah dan protes dengan nasibnya yang kurang baik.
Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara teori  yang  mengharuskan  ikhtiar  maksimal  dengan  sabar  diri  sepenuhnya  tanpa  usaha.  Dengan  kata  lain  kenyataan  menunjukkan  bahwa  persepsi  yang  berkembang di sebagian masyarakat yaitu sabar merupakan bentuk pasrah diri  pada Allah Swt namun tanpa ikhtiar. Persepsi yang keliru ini mengakibatkan  umat  Islam  berada  dalam  kemunduran  dan  tidak  mampu  bersaing  dengan  dinamika zaman. Kenyataan ini dapat dijumpai dalam kehidupan se hari-hari.
Keterangan di atas sejalan dengan pernyataan Yafie 1997: 154-155)  Sekarang  ini,  sabar  dipahami  oleh  banyak  orang  hanya  menjurus  kepada sifat sabar yang pasif, dalam arti pasrah tidak berbuat apa-apa  tatkala  menghadapi  persoalan.  Padahal  jika  mencoba  mengkaitkan  dengan  ajaran  Islam  yang  menganjurkan  berbuat  sesuatu  untuk  kelangsungan  kehidupannya,  sabar  bisa  berarti  tegar,  berdiri  kokoh,  atau  tidak  berputus  asa  ketika  menghadapi  rintangan,  malahan  harus  tetap  berusaha  secara  maksimal.  Artinya  ayat-ayat  al-Qur'an  tidak  dapat dilihat secara sendiri-sendiri dan terjebak dalam maknanya yang  tersurat  saja,  tetapi  perlu  dilihat  secara  lebih  menyeluruh  dan  ditafsirkan  secara  kontekstual.  Di  sinilah  perlunya  ada  pengkajian  secara mendalam dan kontinyu tentang tema sabar.
Menurut Ash-Shiddieqy  (2001: 513)  sabar, ialah tahan menderita atas  yang tidak disenangi dengan rela dan menyerahkan diri kepada Allah. Dengan  demikian sabar yang benar, ialah sabar yang menyerahkan diri kepada Allah  dan  menerima  ketetapan-Nya  dengan  dada  yang  lapang,  bukan  karena  terpaksa.  Menurut  Nasution  (1985:  188)  sabar  itu  membentuk  jiwa  manusia  menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah). Jiwanya tidak   bergoncang,  tidak  gelisah,  tidak  panik,  tidak  hilang  sikap  keseimbangannya.
Hatinya  tabah  menghadapi  bencana  itu,  tidak  berubah  pendiriannya.  Tak  ubahnya  laksana  batu  karang  di  tengah-tengah  lautan  yang  tidak  bergeser  sedikit juga pun tatkala dipukul ombak yang bergulung-gulung.
Dalam  masyarakat  bergulir  sebuah  anggapan  bahwa  sabar  yang  sesungguhnya  adalah  kepasrahan  seorang  hamba  terhadap  Allah  SWT  tanpa  perlu  usaha.  Banyak  orang  yang  diam  bertopang  dagu,  mereka  beranggapan  bahwa  jika  sudah  menjadi  rizkinya  maka  ia  tidak  akan  kemana-mana.
Sebaliknya apabila bukan rizkinya maka dikejar  pun akan lari dan menjauh.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi