BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Modifikasi saat ini
sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat, karena
memiliki peranan dalam
mewujudkan kreatifikasi bagi
kehidupan masyarakat misalnya
kalangan remaja. Remaja adalah generasi yang berumur 15 Tahun sampai 20 Tahun. Apabila mereka
bersekolah, batasannya adalah mereka yang
belajar di tingkat
SLTP, SLTA, dan
tahun-tahun awal memasuki
Perguruan Tinggi.
Masa Remaja
identik dengan masa
yang mempunyai jiwa
kreatifitas tinggi dimana
mereka cenderung mengaplikasikan kreatifitasnya dalam
berbagai bentuk, salah
satu diantaranya adalah
gaya model sepeda
motor untuk di
modifikasi sesuai selera mereka. Adapun ciri modifikasi adalah merubah penampilan
motor yang standart menjadi lebih
bervariasi dan keren.
Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menarik perhatian orang lain atas apa yang mereka lakukan atau sebagai
estetika (keindahan) atas hobi mereka.
Akan tetapi, kreatifitas modifikasi sepeda motor tersebut juga tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada, dan
sebagai contoh akibatnya adalah motor
terbakar atau kecelakaan lalu lintas.
Ramdani
Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 109.
Modifikasi kendaraan
bermotor ada ketentuan
persyaratan teknis modifikasi
kendaraan yang berlaku.
Adapun ketentuan itu
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Disamping
Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009, ada
pula peraturan-peraturan lainnya
misalnya Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun
2012 tentang Kendaraan
yang keberadaannya sebagai
penjelas dari undang-undang nomor 22 tahun 2009.
Ketentuan persyaratan teknis modifikasi
kendaraan bermotor yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun
2009 itu terdapat
pada pasal 49,50,51,52,53,54,55.
Sebelum
lebih lanjut membahas mengenai modifikasi kendaraan
bermotor, maka sebaiknya
kita ketahui apa
definisi dari modifikasi
kendaraan bermotor. Modifikasi
kendaraan bermotor adalah perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi,
mesin, dan/atau kemampuan daya angkut
kendaraan bermotor.
Modifikasi kendaraan
bermotor ini biasanya
dilakukan oleh pemilik kendaraan
sendiri, bengkel modifikasi
kendaraan atau ada
juga komunitas yang
memang sengaja merombak
standar keluaran pabrikan
yang ingin tampil
beda dengan yang
lainnya. Adapun beberapa
jenis modifikasi yang Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
pasal 1
(12) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor
55 Tahun 2012
Tentang Kendaraan sering dilakukan diantaranya adalah: 1) Pemasangan box. Ada dua jenis box yang sering dipasang yaitu back box atau box
dibagian belakang serta side box atau
box samping. 2) ban 3) shockbreaker 4) lampu 5) hand Guard.
Menurut Ketua Litbang RSA, Edo Rusyanto, jenis
modifikasi sepeda motor itu
dibagi dalam tiga
kategori. Pertama, modifikasi
untuk olahraga otomotif
(sports), modifikasi untuk
kategori unik. Dan,
yang terakhir, kategori
modifikasi yang kebablasan
atau hanya sekadar
mengikuti trend tanpa
memperhatikan faktor standar
keselamatan.
Sepeda motor
yang dimodifikasi untuk olahraga otomotif, memang diperuntukkan untuk
berlaga di lintasan balap. Sedangkan,
modifikasi sepeda motor untuk kategori unik juga
tidak digunakan untuk
kendaraan harian. Masyarakat
sering salah kaprah
dan kebablasan dalam
memodifikasi sepeda motor,
dan justru digunakan untuk kendaraan harian sehingga
dapat mengganggu keselamatan di jalan
misalnya kecelakaan. Secara umum kecelakaan lalu lintas cenderung disebabkan
oleh 4 faktor
diantaranya adalah: Faktor
Manusia, Faktor Kendaraan, Faktor Jalan Raya, Faktor
Lingkungan.
Anne
Ahira , Jenis Modifikasi Sepeda Motor, http://www.anneahira.com (15 April 2013) Rio Winto,
Modifikasi Sepeda Motor Trondol
Telanjang,
http://riowinto.wordpress.com (3 April 2013) Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Fakultas Hukum Tarumanegara
(editor: Soerjono Soekanto),
inventarisasi dan Analisa
terhadap Perundang-Undangan Lalu
Lintas, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1984), 21.
Menurut publikasi
resmi Kepolisian Daerah
Jawa Timur, pada umumnya kecelakaan
itu disebabkan oleh
kesalahan manusia dalam
hal ini pemakai atau pengguna jalan. Masyarakat para
pemakai atau pengguna jalan ditengarai
masih kurang menghormati sesama pemakai
jalan, kurang sabar, berdisiplin rendah,
dan kurang memahami peraturan lalu lintas.
Setiap
perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang
lurus dalam pidana
islam disebut dengan
jarimah, kata jarimah
itu adalah larangan
syara’ yang diancamkan
oleh Allah dengan
hukuman had atau ta’zir.
Hal itu
ditujukan untuk memelihara kemaslahatan masyarakat serta
memelihara peraturan yang
merupakan tiang berdirinya
masyarakat yang kuat dan
berakhlak mulia.
Pada umumnya,
pembagian jarimah berdasarkan
aspek berat dan ringannya
hukuman jarimah terbagi menjadi tiga macam yaitu : 1) jarimah hudud.
Jarimah hudud yaitu
sanksi yang telah
ditetapkan kadarnya oleh syara’ bagi
suatu tindak kemaksiatan,
untuk mencegah pelanggaran kemaksiatan
yang sama. Misalnya
zina, liwath, qadzaf, pencurian,
hirabah, bughat. 2) jarimah
Qishas/ diyat. Jarimah qishas yaitu hukuman pokok bagi perbuatan
pidana dengan objek
(sasaran) jiwa atau
anggota badan yang Nakok
Aruan, ‚pengkajian tentang kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundangan lalu lintas‛, dalam ‚Jurnal Litbang Jawa Timur‛, Vol. 5,No.
1,2006, 71.
Ahmad
hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 1.
Juhaya
s. praja, Ahmad syihabuddin, Delik Agama
dalam Hukum Pidana Islam, (Bandung: Angkasa,1993),
76. dilakukan
dengan sengaja seperti
membunuh, melukai,menghilangkan anggota
badan dengan sengaja.
Sedangkan diyat yaitu
perbuatan pidana dengan
objek (sasaran) jiwa
atau anggota badan
yang dilakukan tanpa sengaja atau
semi sengaja. 3)
Jarimah Ta’zir. Jarimah
ta’zir yaitu jarimah yang
sanksinya ditentukan oleh
penguasa atau Ulul
Amri untuk kemaslahatan
umum. Dalam hal
ini, nilai ajaran
islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.
Persyaratan kemaslahatan ini secara
rinci diuraikan dalam bidang studi ushul fiqh. Misalnya pelanggaran atas peraturan lalu lintas.
Abdul Qadir
Audah membagi hukuman
ta’zir menjadi tiga
bagian yaitu: 1. Hukuman
ta’zir atas perbuatan
maksiat. Perbuatan maksiat
ialah melakukan perbuatan yang
diharamkan oleh syara’ dan meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan. Adapun perbuatan
maksiat dibedakan menjadi
tiga yaitu pertama
perbuatan maksiat yang
dikenakan hukuman had
tetapi terkadang ditambah
dengan kifarat seperti pembunuhan,
pencurian, minuman keras
dan sebagainya, kedua perbuatan maksiat
yang dikenakan hukuman
kifarat tetapi tidak dikenakan hukuman
had seperti menyetubuhi
istri pada siang
hari A. Djazuli, Fiqh Jinayah,
(Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 1997), 14.
Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan
Asas Hukum Pidana
Islam, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004), 41.
bulan Ramadhan,
ketiga perbuatan maksiat
yang tidak dikenakan hukuman
had dan tidak
pula kifarat seperti
mencium wanita yang bukan
istri.
2.
Hukuman ta’zir dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan
umum, seperti melarang
orang gila untuk
berhubungan dengan orang
banyak jika dapat mengganggu
mereka.
3.
Hukuman ta’zir atas
perbuatan-perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Maksudnya
pelanggaran (mukhalafah) adalah
melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan mandub.
Adapun hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum
ta’zir adalah Dari ‘Aisyah
bahwasanya Nabi saw
bersabda : ‛Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali
had-had.‛ (HR.Abu Abu Dawud, dan
An-Nasa’i).
Maksud hadits
tersebut adalah bahwa
orang-orang baik, orang-orang besar,
orang-orang ternama kalau
tergelincir di dalam
sesuatu hal, ampunkanlah,
karena biasanya mereka
tidak sengaja kecuali
jika mereka telah
berbuat sesuatu yang
mesti didera maka
janganlah di ampunkan Muhammad bin Ismail Al-Amir
Ash-Shan’ani, subul As-Salam Syarh
Bulugh Al-Maram , (diterjemahkan oleh
Ali Nur Medan,Darwis,Ghana’im, Subulus salam-Syarah Bulughul Maram), Jilid 3, (Jakarta:Darus Sunnah Press,2009), 415.
mereka. Dan mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman ta’zir yang bisa berbeda
antara satu pelaku dengan pelaku
lainnya, tergantung kepada status mereka
dan kondisi-kondisi lain
yang menyertainya. Perintah
‚Aqi-lu‛ itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh,
karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan
ta’zir, sesuai dengan
luasnya kekuasaan mereka.
Mereka
wajib berijtihad dalam
usaha memilih yang
terbaik, mengingat hal itu akan
berbeda hukuman ta’zir
itu sesuai dengan
perbedaan tingkatan pelakunya
dan perbedaan pelanggarannya. Tidak
boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak
boleh kepada selainnya.
Atas dasar
urain di atas
maka penulis berkepentingan untuk melakukan penelitian
lebih jauh lagi
mengenai ‚Analisis Hukum
Pidana Islam Terhadap Sanksi Modifikasi Kendaraan Bermotor Yang
Menyebabkan Kecelakaan Menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 ‛.
B.
Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah Agar tidak terjadi
kesalapahaman dan maksud dari penulisan penelitian ini, maka penulis membatasi pembahasan
penelitian dengan identifikasi dan membatasi
masalah.
Adapun identifikasi masalah sebagai berikut: Ash.Shan’Ani, Subulussalam, Terj.
H.Abubakar Muhammad, (Surabaya:
AlIkhlas,1996),158.
1. Tinjauan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas terhadap
modifikasi kendaraan bermotor.
2.
Standarisasi Modifikasi kendaraan
bermotor dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas.
3.
Tinjauan Hukum Pidana
Islam terhadap sanksi modifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan kecelakaan.
Agar
permasalahan dalam penelitian
ini lebih fokus,
maka penulis membatasi
permasalahan untuk dibahas.
Penelitian ini terbatas
pada ‚ Analisis
Hukum Pidana Islam
terhadap sanksi modifikasi
kendaraan bermotor yang
menyebabkan kecelakaan menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.‛
C. Rumusan Masalah Berdasarkan dari
uraian latar belakang
masalah di atas
dapat di rumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana
persyaratan teknis modifikasi
kendaraan bermotor dalam Undang-Undang
No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas ? 2. Bagaimana
analisis Hukum Pidana
Islam terhadap sanksi
modifikasi kendaraan bermotor
yang menyebabkan kecelakaan menurut UndangUndang No 22 Tahun 2009? D.
Kajian Pustaka Adanya kajian pustaka
dimaksudkan agar sebuah
penelitian mengindikasikan produk
karya yang orisinil dari peneliti sendiri dan bukan mengambil produk karya dari orang lain.
Ada
beberapa karya subtansial
yang dihasilkan oleh
peneliti sebelumnya, diantaranya
adalah sebagai berikut : 1. Hasil penelitian
dari Romli Tahun
2005, dengan judul
‚ Tinjauan Hukum
Pidana Islam terhadap
Penerapan pasal 359
KUHP dalam perkara
kecelakaan lalu lintas
Studi kasus di
Pengadilan Negeri Lamongan‛. karyanya memuat
tentang faktor penyebab
terjadinya kecelakaan lalu
lintas di Kabupaten
Lamongan dan upaya
penegakan hukum oleh Pengadilan
Negeri Lamongan dengan penerapan pasal 359 KUHP dalam perkara kecelakaan lalu lintas.
2. Hasil
penelitian dari Dina
Maria Ulfa Tahun
2004, dengan judul
‚ Tindak Pidana
terhadap Pelaku Pelanggaran
Lalu lintas yang mengakibatkan
kematian orang lain ditinjau dari sudut Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam Studi kasus
di Kota Probolinggo‛.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi