Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang  Istilah  pelanggaran  berat  HAM  muncul  untuk  menggambarkan   dahsyatnya akibat yang  timbul dari perbuatan pidana  tersebut  terhadap  raga,  jiwa,  martabat,  peradaban,  dan  sumberdaya  kehidupan  manusia.  Dengan  itu  dibentuklah  sebuah  lembaga  peradilan  yg disebut dengan Pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan Undangundang  Nomor  26  Tahun  2000  dengan  kompetensi  absolut  pengadilan  pidana  atas  pelanggaran  berat  HAM  (Pasal  4)  yang  berupa  kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7, 8, dan 9).
 Pelanggaran  berat  HAM  tersebut  dilakukan  oleh  pelakunya  dengan  maksud  (intent)  dan  tujuan  yang  jelas  untuk  menyerang  dan  menghancurkan orang-orang tertentu atau sekelompok manusia sehingga  membawa  akibat  atau  dampak  yang  luas.  Tindak  pidana  pelanggaran  berat  HAM  biasanya  bersifat  meluas  atau  sistematik.  Dalam  pasal  7  Undang-undang  Nomor  26  Tahun  2000  pelanggaran  berat  HAM  itu  meliputi:   Titon Slamet Kurnia, Reparasi terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2005),    Pasal 7  Undang-undang Nomer 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM 1   1.  Kejahatan genosida 2.  Kejahatan terhadap kemanusiaan Pasal  8  juga  menjelaskan  bahwa  Kejahatan  genosida  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7  huruf  a  adalah  setiap  perbuatan  yang dilakukan   dengan  maksud  untuk  menghancurkan  atau  memusnahkan  seluruh  atau  sebagian  kelompok  bangsa,  ras,  kelompok  etnis, kelompok agama, dengan   cara:  1.  Membunuh anggota kelompok 2.  Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat   terhadap anggota-anggota kelompok 3.  Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan  kemusnahan secara fisik baik seluruh atau   sebagiannya 4.  Tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di   dalam  kelompok; atau 5.  Memindahkan  secara  paksa  anak-anak  dan  kelompok  tertentu  ke kelompok lain.
Pasal  9  juga  menjelaskan  bahwa  Kejahatan  terhadap  kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf  b adalah salah  satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas   Ibid., pasal 8   atau  sistematik  yang  diketahuinya  bahwa  serangan  tersebut  ditujukan  secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa:  1.  Pembunuhan 2.  Pemusnahan 3.  Perbudakan 4.  Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 5.  Perampasan  kemerdekaan  atau  perampasan  kebebasan  fisik  lain secara  sewenang-wenang  yang  melanggar  (asas-asas)  ketentuan  pokok hukum Internasional 6.  Penyiksaan 7.  Perkosaan,  perbudakan  seksual,  pelacuran  secara  paksa,  pemaksaan kehamilan,  pemandulan  atau  sterilisasi  secara  paksa  atau  bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara 8.  Penganiayaan  terhadap  suatu  kelompok  tertentu  atau  perkumpulan yang  didasari  persamaan  paham  politik,  ras,  kebangsaan,  etnis,  budaya,  agama,  jenis  kelamin  atau  alasan  lain  yang  telah  diakui  secara  universal  sebagai  hal  yang  dilarang  menurut  hukum  Internasional 9.  Penghilangan orang secara paksa, atau  Ibid, Pasal 9   10. Kejahatan apartheid Perjuangan menegakkan hak asasi manusia di negeri Indonesia  adalah  hal  yang  amat  wajar  sebagai  kewajiban  kita  semua,  disebabkan  oleh tuntutan nilai-nilai falsafah kenegaraan kita Pancasila. Semua sila  dalam falsafah itu melahirkan kewajiban kita berusaha menegakkan hakhak  asasi  manusia.  Ditambah  lagi  bahwa  kita  sebagai  anggota  PBB,  dengan  sendirinya  kita  menerima  dan  menyetujui  serta  terikat  kepada  butir-butir  dalam  Deklarasi  Universal  Hak-hak  Asasi  Manusia  (Universal Declaration of Human Right) 1948.
 Laporan  berkala  dari  Dewan  HAM  dibulan  Mei  2012  secara  khusus  menyoroti  praktek  perlindungan  HAM  di  Indonesia.
Penilaiannya  kurang  menggembirakan,  disebutkan  disana,  meski  Indonesia  punya  komitmen  dan  intrumen-intrumen  untuk  mendorong  dan  melindungi  HAM,  mekanisme  untuk  pelaksanaannya  tidak  memadai.  Kepolisian  masih  dituding  melakukan  pelanggaran  HAM  karena melakukan penyiksaan atau tindakan kekerasan yang berlebihan.
Aktifitas  politik  yang  seharusnya  damai  seperti  demonstrasi,  termasuk  oleh  pendukung  HAM  dan  peliputan  berita  oleh  jurnalis,  justru  mengalami  kriminalisasi,  intimidasi,  serangan  fisik.   Yang  lebih  menghebohkan  adalah  catatan  mereka  tentang  lemahnya  perlindungan   Budhy Munawar Rachman,  Ensiklopedi Nurcholis Madjid, (Jakarta: MIZAN, 2006),  776   terhadap  kelompok  minoritas  keagamaan.  Mereka  mencatat  kejadian  penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, perusakan dan penutupan  gereja  secara  paksa,  bahkan  penolakan  Wali  Kota   Bogor  untuk  mematuhi  keputusan  Mahkamah  Konstitusi   agar  membuka  kembali  Gereja Kristen Taman Yasmin.
 Jika  kita  melihat  kenyataan-kenyataan  diatas  tersebut,  maka  tampak jelas bahwa penangan pelanggaran HAM di  Indonesia ini masih  sangat memprihatinkan, bahkan bisa dikatakan sangat lemah. Walaupun  di  Indonesia  telah  ada  Undang-undang  HAM  Nomor  39  Tahun  1999  tentang  HAM  dan  Undang-undang  Nomor  26  Tahun  2000  tentang  Peradilan HAM yang seharusnya menjadi tembok perlindungan hak-hak  asasi  masyarakat  Indonesia,  bahkan  dalam  Pasal  2  disebutkan  bahwa  “Negara Republik Indonesia mengakui dan  menjunjung tinggi hak asasi  manusia dan kebebasan dasar  manusia sebagia hak yang secara  kodrati  melekat  dan  tidak  terpisahkan  dari  manusia,  yang  harus  dilindungi,  dihormati,  dan  ditegakkan  demi  peningkatan  martabat  kemanusiaan,  kesejahteraan,  kebahagiaan,  dan  kecerdasan  serta  keadilan”.
 Pasal  4  juga  menyatakan  bahwa  “Pengadilan  HAM  bertugas  dan  berwenang  memeriksa dan memutus perkara pelanggaran   hak  asasi  manusia  yang   Dinna Wisnu, “ HAM Indonesia di Mata Dunia” , Seputar Indonesia (26 September 2012),   Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM   berat.”  Namun  kenyataannya  hak-hak  asasi  mereka  masih  kurang  terlindungi. Padahal penanganan pelanggaran HAM ini merupakan suatu  yang  sangat  penting  untuk  detegakkan,  karna  HAM  itu  menyangkut  kepentingan  setiap  individu  yang  memang  menjadi  kewajiban  negara  dan semua manusia untuk melindunginya.
Dalam Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi  juga  dilinungi  sepenuhnya.  Karena  itu,  dalam  hubungan  ini  ada  dua  prinsip  yang  sangat  penting  yaitu  prinsip  pengakuan  hak-hak  asasi  manusia  dan  prinsip  perlindungan  terhadap  hak-hak  asasi  manusia tersebut.   Prinsip-prinsip  itu  secara  tegas  digariskan  dalam  al-Qur’an  surat al-Isra’, ayat ke 70: “Dan  sungguh  kami  telah  memuliakan  anak-anak  adam  kami  tebarkan  mereka didarat dan dilaut serta kami anugrahi mereka rezeki yang baikbaik  dan  kami  lebihkan  mereka  dengan  kelebihan  yang  sempurna  dari  pada kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan ” Ayat tersebut diatas dengan jelas memberikan petunjuk suatu  kemuliaan  manusia  yang  didalam  teks  al-Qur’an  disebut  kara<mah (kemuliaan).  Muhammad  Hasbi  As{-S{iddieqy  membagi  karamah  itu  kedalam  tiga  katagori  yaitu,  pertama,  kemuliaan  pribadi  atau  kara<mah   Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM   fard{i<y>ah;  kedua,  kemuliaan  masyarakat  atau  kara>mah  ijtima<iyah;  dan  ketiga,  kemuliaan  politik  atau  kara<mah  siyasah}.  Dalam  katagori  pertama,  manusia  dilindungi  baik  pribadinya  maupun  hartanya.  Dalam  katagori  kedua,  status  persamaan  manusia  dijamin  sepenuhnya.
Sedangkan pada katagori ketiga, Islam meletakkan hak-hak politik dan  menjamin  hak-hak  itu  sepenuhnya  bagi  setiap  warga  negara,  karena  kedudukannya  yang  didalam  al-Qur’an  disebut  sebagai  “kh{alifah  Allah  di bumi”.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi