BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pers adalah :
lembaga sosial dan
wahan komunikasi massa
yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
serta data dan
grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media
elektronik dan segala
jenis saluran yang tersedia.
Berbicara
dunia pers menjadi hal menarik untuk mengkaji dan memahami karena
erat kaitannya dengan penyampaian informasi kepada masyarakat, baik melalui media
cetak ataupun media
elektronik, hak untuk
mendapatkan informasi dan
menyampaikan informasi tentu
menjadi hal dasar
dan saling berhubungan.
Di samping fungsinya sebagai media informasi
dan komunikasi, pers juga merupakan refleksi
jati diri masyarakat,
karena apa yang
dituangkan dalam Lihat
Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor
166 tentang : Undangundang Republik Indonesia No. 40Tahun 1999Tentang PERS.
1 sajian pers
hakikatnya adalah denyut
kehidupan masyarakat di
manapun pers berada.
Satu
bagian penting dari keberadaan pers itu adalah pencermatannya dari sisi hukum. Ketika pers berada di tengah
masyarakat, terjadilah interaksi antara pers (sebagai
lembaga) dengan masyarakat
konsumennya. Secara teknis
akan muncul permasalahan hukum,
ketika sajian itu ternyata dinilai tidak benar atau merugikan masyarakat. Untuk itu harus ada
penyelesaian yang berkeadilan dan melembaga sehingga
tidak mengganggu kehidupan
masyarakat dan kelangsungan pers itu sendiri.
Pers dipandang
sebagai institusi sosial
kemasyarakatan yang berfungsi sebagai
media kontrol social.
Pembentukan opini dan
media edukasi yang eksistensinya dijamin
berdasarkan konstitusi. Konstitusi
dipandang sebagai dasar
dari kehidupan ketatanegaraan yang
secara normatif dijadikan
pedoman dan selanjutnya
dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangan lebih rendah.
Sedangkan
dalam konteks sosiologis,
pers juga dapat
dipandang sebagai satu sistem atau
yang lebih tepat
sistem pers merupakan
bagian dari sistem komunikasi.
Sementara sistem komunikasi
itu merupakan bagian
dari sistem kemasyarakat. Eksistensi pers itu tidak
terlepas dari berbagai nilai yang ada di masyarakat yang bersangkutan.
Samsul
Wahidin, Hukum Pers, (Yogyakarta : PT.
Pustaka Pelajar, Cet. I, 2006), 1.
Ibid., 2.
Munculnya pers
sebagai media informasi
dan komunikasi serta
media pembentukan opini tersebut
tidak semata sebagai refleksi dari kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat.
Sehubungan dengan
masalah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
menurut Samsul Wahidin,
harus diimbangi dengan eksistensi hak untuk berbeda pendapat (right
to disent).
Hal ini
sejalan dengan semakin transparansinya era
keterbukaan, semakin deras
pula tuntutan untuk pemenuhan
hak asasi baik yang bersifat individual (individual rights)
maupun hak yang bersifat sosial
(social rights). Di antara hak sosial yang bersifat asasi itu adalah hak untuk berbeda pendapat (the
right to disent).
Hak
untuk berbeda pendapat
(the right to
disent) termasuk hak
yang amat penting.
Oleh karena itu,
dibutuhkan adanya legalitas
dalam bentuk peraturan
yang secara eksplisit juga
merefleksikan hak ini.
Secara sederhana, pengakuan
adanya hak untuk
berbeda pendapat ini
mengharuskan pihak pemegang kekuasaan (power) untuk membuka diri dan siap menerima berbagai
masukan
dan kritik dari pihak lain.
Hendaknya kritik yang di sampingkan tidak diartikan sebagai upaya perseorangan terhadap
kewibawaan dan kemapaman.
Namun secara
lebih mendasar pers
adalah sarana pemenuhan
hajat manusia untuk
berdialog, saling menyampaikan
pesan dengan sesamanya.
Jacoeb
Oetama, Perspektif Pers Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1987),
4. Indonesia,
dari kebebasan yang
disebutkan diatas juga
membawa konsekuensi urgensinya
keberadaan hak untuk
tahu (right to
know) dan hak
untuk memperoleh informasi (right
to information). Di antara wujudnya adalah hidup dan berkembangnya pers.
Kebebasan
itu harus senantiasa
dibarengi dengan tanggung
jawab.
Apalagi jika dihadapkan kepada kebebasan dalam
arti sosial. Kebebasan dalam arti ini
mengharuskan seseorang untuk
melakukan tindakan dengan memperhatikan
kebebasan orang lain
yang juga mempunyai
hal yang sama.
Dengan
demikian pada dasarnya,
kebebasan itu harus
dimaknai secara kontekstualitas dan ada batasan tertentu
khususnya dalam hidup bermasyarakat.
Batas-batas
tersebut bukannya untuk
mengurangi atau menghilangkan kebebasan
itu sendiri melainkan
justru untuk menatahidupkan manusia
dalam masyarakat agar masing-masing
pribadi dapat mengenyam haknya. Sebab pada hakikatnya
kebebasan bukan berarti
berbuat sekendak hati
melainkan untuk mengakui
dan menghormati adanya
hak serta kewajiban
setiap manusia pada umumnya.
Pola hubungan yang harus dijadikan pegangan
oleh pers dan masyarakat adalah sama
dengan yang diisyaratkan dalam kaitan dengan pemerintah. Yaitu pers
yang bebas dan
bertanggungjawab (free and
responsible press). Konsepsi demikian dalam penjabarannya berbeda antara
satu negara dengan negara lain.
Ibid., 209.
Berhadapan dengan
masyarakat tentu tidak
dikehendaki munculnya kekuatan yang
bersifat destruktif dari
pers sehingga menjadi
tiran yang menginjaknginjak hak publik.
Apabila
terjadi suatu permasalahan
antara masyarakat dan
media pers terkait
pemberitaan pers maka
masyarakat dapat memanfaatkan
dewan pers untuk
tempat mengadu. Karena sejauh dewan pers mampu bersikap profesional dan
independen dalam melayani
dan membantu masyarakat
dan praktisi pers dalam
proses percepatan penyelesaian masalah yang timbul akibat pemberitaan.
Selain itu, masalahnya juga apakah laporan
yang masuk itu sudah valid dan diterima
begitu saja oleh
dewan pers tanpa
melakukan seleksi. Bukan mustahil,
dari sekian laporan yang masuk ada yang bersifat fiktif, fitnah, atau berbau
persaingan bisnis pers,
pribadi atau politik.
Dengan kata lain, masalahnya berpulang
kepada status dan
kapasitas dewan untuk
berperan sebagai sarana yang
efektif dalam mendukung lahirnya kemerdekaan pers yang tetap
berada di jalur
etika profesi jurnalistik
sehingga tidak merugikan kepentingan publik dan pers itu sendiri. Dalam
hal ini, dewan pers diharapkan mampu
berperan menjadi polisi yang mengawasi pelaksanaan kode etik profesi jurnalistik,
tetapi ia juga
harus mampu menjadi
instrumen Alterntive Dispute Resolution
yang bijak dan dapat diterima dan dipercaya oleh semua pihak yang bersengketa dalam kasus pemberitaan pers.
Wikrama
Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2005), 109.
Berbicara
tentang kemampuan peranan yang diharapkan pada dewan pers, tentu
erat kaitanya dengan
eksistensi yuridis dan
realitas sosiologis lembaga tersebut.
Untuk mengetahui tentang dewan
pers, dapat dilihat
dalam pasal ayat 1, 2, dan 3, UU No. 40Tahun 1999, yang
menyatakan : 1. Dalam
upaya mengembangkan kemerdekaan
pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers
yang independen.
2.
Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur
tangan pihak lain.
b.
Melakukan pengkajian untuk mengembangkan kehidupan pers.
c.
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
d.
Memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan
dengan pemberitaan pers.
e.
Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.
f.
Memfasilitasi organisasi-organisasi pers
dalam menyusun peraturanperaturan di
bidang pers dan
meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
g.
Mendata perusahaan pers.
3.
Anggota Dewan Pers terdiri dari : a.
wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh
organisasi perusahaan pers; c.
tokoh masyarakat, ahli
di bidang pers
dan atau komunikasi,
dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan
dan organisasi perusahaan pers; Menurut
UU No. 40Tahun 1999di atas,
peran utama dewan pers bukan hanya
sebagai mediator, tetapi
juga sebagai pelindung
dan kemerdekaan pers.
Dan
jika tidak ada
kepercayaan terhadap peran
dewan pers sebagai
mediator dalam menyelesaikan
sengketa antara masyarakat dan media pers maka ada dua Lihat Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
166 tentang : Undangundang Republik Indonesia No. 40Tahun
1999Tentang PERS.
pilihan
bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan akibat pemberitaan pers yakni :
1. Bagi yang tidak mampu secara
finansial akan diam atau melakukan kekerasan terhadap praktisi pers. Sebab proses hukum di
pengadilan selain memerlukan waktu yang
lama juga biaya yang besar.
2.
Bagi yang mampu
secara keuangan mungkin
akan memilih jalur
hukum ke pengadilan sekalipun dengan waktu lama dan
biaya besar.
Sedangkan dalam UU No 40Tahun
1999dijelaskan bahwasannya salah satu
fungsi dewan pers adalah menerima dan memproses pengaduan masyarakat menyangkut materi karya jurnalistik. Intrinsik
dalam fungsi pengaduan tersebut adalah menilai
penerapan kode etik
jurnalistik dan membantu
mengupayakan penyelesaian
sengketa antara masyarakat dan pers.
Meskipun
pengaduan ke dewan
pers beragam, pengaduan
yang sebenarnya lazim ditangani atau diproses
oleh dewan pers adalah yang terkait dengan karya jurnalistik, yaitu pengaduan
masyarakat menyangkut pemberitaan pers, yang
diduga telah melanggar
etika meliputi :
berita, laporan, editoral, gambar (foto, ilustrasi, termasuk karikatur)
yang telah diterbitkan atau disiarkan oleh media
pers. Pengaduan dalam
kategori lainnya hanya
akan disinggung sebagai informasi tambahan.
Wikrama
Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia , 105.
Lukas
Luwarso et al, Mengelola Kebebasan Pers¸ (Jakarta : Dewan Pers, 2008), 93-94.
Dalam menangani
pengaduan, secara prinsip
dewan pers melakukan mediasi agar tercapai penyelesaian yang dapat
diterima pihak pengadu dan yang diadukan. Seringkali
pengaduan dapat diselesaikan
secara baik, pihak-pihak yang
bertikai menerima dan
mengikuti keputusan dewan
pers, namun penyelesaian
pengaduan adakalanya tidak
memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.
Terkait
mekanisme dari penyelesaian
sengketa antara masyarakat
dan media pers
menurut UU No. 40
Tahun 1999 tentang pers
yakni : hak Jawab, hak Koreksi, dan melibatkan Dewan Pers sebagai
mediator.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi