Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA MASYARAKAT DAN MEDIA PERS MENURUT UU NO. 40TAHUN 1999 TENTANG PERS PERSPEKTIF FIQH SIYA>SAH


BAB I PENDAHULUAN
 A.  Latar Belakang Pers  adalah  :  lembaga  sosial  dan  wahan  komunikasi  massa  yang  melaksanakan  kegiatan  jurnalistik  meliputi  mencari,  memperoleh,  memiliki,  menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,  suara,  gambar,  serta  data  dan  grafik  maupun  dalam  bentuk  lainnya  dengan  menggunakan  media  cetak,  media  elektronik  dan  segala  jenis  saluran  yang  tersedia.
  Berbicara dunia pers menjadi hal menarik untuk mengkaji dan memahami  karena  erat kaitannya dengan penyampaian informasi kepada masyarakat,  baik  melalui  media  cetak  ataupun  media  elektronik,  hak  untuk  mendapatkan  informasi  dan  menyampaikan  informasi  tentu  menjadi  hal  dasar  dan  saling  berhubungan.

 Di samping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, pers juga  merupakan  refleksi  jati  diri  masyarakat,  karena  apa  yang  dituangkan  dalam   Lihat  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1999 Nomor  166 tentang  :  Undangundang Republik Indonesia No.  40Tahun 1999Tentang PERS.
 1   sajian  pers  hakikatnya  adalah  denyut  kehidupan  masyarakat  di  manapun  pers  berada.
  Satu bagian penting dari keberadaan pers itu adalah pencermatannya dari  sisi hukum. Ketika pers berada di tengah masyarakat, terjadilah interaksi antara  pers  (sebagai  lembaga)  dengan  masyarakat  konsumennya.  Secara  teknis  akan  muncul permasalahan hukum, ketika sajian itu ternyata dinilai tidak benar atau  merugikan masyarakat. Untuk itu harus ada penyelesaian yang berkeadilan dan  melembaga  sehingga  tidak  mengganggu  kehidupan  masyarakat  dan  kelangsungan pers itu sendiri.
  Pers  dipandang  sebagai  institusi  sosial  kemasyarakatan  yang  berfungsi  sebagai  media  kontrol  social.  Pembentukan  opini  dan  media  edukasi  yang  eksistensinya  dijamin  berdasarkan  konstitusi.  Konstitusi  dipandang  sebagai  dasar  dari  kehidupan  ketatanegaraan  yang  secara  normatif  dijadikan  pedoman  dan selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangan lebih rendah.
 Sedangkan  dalam  konteks  sosiologis,  pers  juga  dapat  dipandang  sebagai  satu  sistem  atau  yang  lebih  tepat  sistem  pers  merupakan  bagian  dari  sistem  komunikasi.  Sementara  sistem  komunikasi  itu  merupakan  bagian  dari  sistem  kemasyarakat. Eksistensi pers itu tidak terlepas dari berbagai nilai yang ada di  masyarakat yang bersangkutan.
  Samsul Wahidin, Hukum Pers, (Yogyakarta : PT.  Pustaka Pelajar, Cet. I, 2006), 1.
  Ibid.,  2.
  Munculnya  pers  sebagai  media  informasi  dan  komunikasi  serta  media  pembentukan opini tersebut tidak semata sebagai refleksi dari kebebasan untuk  mengeluarkan  pendapat.
  Sehubungan  dengan  masalah  kebebasan  untuk  mengeluarkan  pendapat  menurut  Samsul  Wahidin,  harus  diimbangi  dengan  eksistensi hak untuk berbeda pendapat (right to  disent).
  Hal ini sejalan dengan  semakin  transparansinya  era  keterbukaan,  semakin  deras  pula  tuntutan  untuk  pemenuhan hak asasi  baik yang  bersifat individual (individual  rights)   maupun  hak yang bersifat sosial (social rights). Di antara hak sosial yang bersifat asasi  itu adalah hak untuk berbeda pendapat (the right to disent).
 Hak  untuk  berbeda  pendapat  (the  right  to  disent)  termasuk  hak  yang  amat  penting.  Oleh  karena  itu,  dibutuhkan  adanya  legalitas  dalam  bentuk  peraturan  yang  secara  eksplisit  juga  merefleksikan  hak  ini.  Secara  sederhana,  pengakuan  adanya  hak  untuk  berbeda  pendapat  ini  mengharuskan  pihak  pemegang kekuasaan (power)  untuk membuka diri dan siap menerima berbagai  masukan  dan  kritik dari pihak lain. Hendaknya kritik yang di sampingkan tidak  diartikan sebagai upaya perseorangan terhadap kewibawaan dan kemapaman.
  Namun  secara  lebih  mendasar  pers  adalah  sarana  pemenuhan  hajat  manusia  untuk  berdialog,  saling  menyampaikan  pesan  dengan  sesamanya.
  
  Jacoeb Oetama, Perspektif Pers Indonesia, (Jakarta : LP3ES,  1987),  4.    Indonesia,  dari  kebebasan  yang  disebutkan  diatas  juga  membawa  konsekuensi  urgensinya  keberadaan  hak  untuk  tahu  (right  to  know)  dan  hak  untuk  memperoleh informasi (right to information). Di antara wujudnya adalah hidup  dan berkembangnya pers.
 Kebebasan  itu  harus  senantiasa  dibarengi  dengan  tanggung  jawab.
 Apalagi jika dihadapkan kepada kebebasan dalam arti sosial. Kebebasan dalam  arti  ini  mengharuskan  seseorang  untuk  melakukan  tindakan  dengan  memperhatikan  kebebasan  orang  lain  yang  juga  mempunyai  hal  yang  sama.
 Dengan  demikian  pada  dasarnya,  kebebasan  itu  harus  dimaknai  secara  kontekstualitas dan ada batasan tertentu khususnya dalam hidup bermasyarakat.
 Batas-batas  tersebut  bukannya  untuk  mengurangi  atau  menghilangkan  kebebasan  itu  sendiri  melainkan  justru  untuk  menatahidupkan  manusia  dalam  masyarakat agar masing-masing pribadi dapat mengenyam haknya. Sebab pada  hakikatnya  kebebasan  bukan  berarti  berbuat  sekendak  hati  melainkan  untuk  mengakui  dan  menghormati  adanya  hak  serta  kewajiban  setiap  manusia  pada  umumnya.
 Pola hubungan yang harus dijadikan pegangan oleh pers dan masyarakat  adalah sama dengan yang diisyaratkan dalam kaitan dengan pemerintah. Yaitu  pers  yang  bebas  dan  bertanggungjawab  (free  and  responsible  press).  Konsepsi  demikian dalam penjabarannya berbeda antara satu negara dengan negara lain.
   Ibid.,  209.
  Berhadapan  dengan  masyarakat  tentu  tidak  dikehendaki  munculnya  kekuatan  yang  bersifat  destruktif  dari  pers  sehingga  menjadi  tiran  yang  menginjaknginjak hak publik.
 Apabila  terjadi  suatu  permasalahan  antara  masyarakat  dan  media  pers  terkait  pemberitaan  pers  maka  masyarakat  dapat  memanfaatkan  dewan  pers  untuk  tempat mengadu. Karena sejauh dewan pers mampu bersikap profesional  dan  independen  dalam  melayani  dan  membantu  masyarakat  dan  praktisi  pers  dalam proses percepatan penyelesaian masalah yang timbul akibat pemberitaan.
 Selain itu, masalahnya juga apakah laporan yang masuk itu sudah valid  dan  diterima  begitu  saja  oleh  dewan  pers  tanpa  melakukan  seleksi.  Bukan  mustahil, dari sekian laporan yang masuk ada yang bersifat fiktif,  fitnah, atau  berbau  persaingan  bisnis  pers,  pribadi  atau  politik.  Dengan  kata  lain,  masalahnya  berpulang  kepada  status  dan  kapasitas  dewan  untuk  berperan  sebagai sarana yang efektif dalam mendukung lahirnya kemerdekaan pers yang  tetap  berada  di  jalur  etika  profesi  jurnalistik  sehingga  tidak  merugikan  kepentingan publik dan pers itu sendiri. Dalam hal ini, dewan pers diharapkan  mampu berperan menjadi polisi yang mengawasi pelaksanaan kode etik profesi  jurnalistik,  tetapi  ia  juga  harus  mampu  menjadi  instrumen  Alterntive  Dispute  Resolution  yang bijak dan dapat diterima dan dipercaya oleh semua  pihak yang  bersengketa dalam kasus pemberitaan pers.
   Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, (Jakarta : PT.  Grasindo, 2005), 109.
  Berbicara tentang kemampuan peranan yang diharapkan pada dewan pers,  tentu  erat  kaitanya  dengan  eksistensi  yuridis  dan  realitas  sosiologis  lembaga  tersebut.  Untuk  mengetahui tentang dewan pers,  dapat  dilihat  dalam pasal   ayat 1, 2, dan 3, UU No. 40Tahun 1999, yang menyatakan  : 1.  Dalam  upaya  mengembangkan  kemerdekaan  pers  dan  meningkatkan  kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
 2.  Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a.  Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
 b.  Melakukan pengkajian untuk mengembangkan kehidupan pers.
 c.  Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
 d.  Memberikan  pertimbangan  dan  mengupayakan  penyelesaian  pengaduan  masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
 e.  Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.
 f.  Memfasilitasi  organisasi-organisasi  pers  dalam  menyusun  peraturanperaturan  di  bidang  pers  dan  meningkatkan  kualitas  profesi  kewartawanan.
 g.  Mendata perusahaan pers.
 3.  Anggota Dewan Pers terdiri dari : a.  wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b.  pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c.  tokoh  masyarakat,  ahli  di  bidang  pers  dan  atau  komunikasi,  dan  bidang  lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan  pers; Menurut UU No.  40Tahun  1999di atas,  peran utama dewan pers bukan  hanya sebagai  mediator,  tetapi  juga  sebagai  pelindung  dan  kemerdekaan  pers.
 Dan  jika  tidak  ada  kepercayaan  terhadap  peran  dewan  pers  sebagai  mediator  dalam menyelesaikan sengketa antara masyarakat dan media pers maka ada dua   Lihat Lembaran  Negara  Republik Indonesia  Tahun  1999 Nomor  166 tentang  :  Undangundang Republik Indonesia No. 40Tahun 1999Tentang PERS.
  pilihan bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan akibat pemberitaan pers  yakni  : 1.  Bagi yang tidak mampu secara finansial akan diam atau melakukan kekerasan  terhadap praktisi pers. Sebab proses hukum di pengadilan selain memerlukan  waktu yang lama juga biaya yang besar.
 2.  Bagi  yang  mampu  secara  keuangan  mungkin  akan  memilih  jalur  hukum  ke  pengadilan sekalipun dengan waktu lama dan biaya besar.
 Sedangkan dalam UU No  40Tahun  1999dijelaskan bahwasannya salah  satu fungsi dewan pers adalah menerima dan memproses pengaduan masyarakat  menyangkut materi karya jurnalistik. Intrinsik dalam fungsi pengaduan tersebut  adalah  menilai  penerapan  kode  etik  jurnalistik  dan  membantu  mengupayakan  penyelesaian sengketa antara masyarakat dan pers.
 Meskipun  pengaduan  ke  dewan  pers  beragam,  pengaduan  yang  sebenarnya  lazim ditangani atau  diproses  oleh  dewan  pers adalah yang terkait  dengan karya jurnalistik, yaitu pengaduan masyarakat menyangkut pemberitaan  pers,  yang  diduga  telah  melanggar  etika  meliputi  :  berita,  laporan,  editoral,  gambar (foto, ilustrasi, termasuk karikatur) yang telah diterbitkan atau disiarkan  oleh  media  pers.  Pengaduan  dalam  kategori  lainnya  hanya  akan  disinggung  sebagai informasi tambahan.
   Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia , 105.
  Lukas Luwarso et al, Mengelola Kebebasan Pers¸ (Jakarta : Dewan Pers, 2008), 93-94.
  Dalam  menangani  pengaduan,  secara  prinsip  dewan  pers  melakukan  mediasi agar tercapai penyelesaian yang dapat diterima pihak pengadu dan yang  diadukan.  Seringkali  pengaduan  dapat  diselesaikan  secara  baik,  pihak-pihak  yang  bertikai  menerima  dan  mengikuti  keputusan  dewan  pers,  namun  penyelesaian  pengaduan  adakalanya  tidak  memuaskan  pihak-pihak  yang  bersengketa.
 Terkait  mekanisme  dari  penyelesaian  sengketa  antara  masyarakat  dan  media  pers  menurut  UU  No.  40 Tahun  1999 tentang  pers  yakni  :  hak Jawab,  hak Koreksi, dan melibatkan Dewan Pers sebagai mediator.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi