Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:ANALISIS PEMIKIRAN AHLUS SUNNAH WALJAMA>H(ASWAJA) TERHADAP PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) DALAM PENGUATAN FUNGSI LEGISLATIF DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KOTA SURABAYA 2004-2009


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Ahlus Sunnah Waljama>h(Aswaja) lahir mewarnai alur sejarah peradaban  dan pemikiran Islam yang tentunya tidak berangkat dari ruang kosong. Aswaja  adalah sebuah stereotipeyang muncul dan sengajadikembangkan oleh umat  Islam untuk menjadi rujukan personifikasi golongan yang akan mendapat  kemulyaan disisi Allah dengan segenap kepatuhan yang ditujukan pada  Rasulallah SAW.
Lebih tepatnya Aswaja merupakan istilah paska kenabian. Ia lahir paska  era kenabian yang ditandai dengan tercerai-berai komunitas Islam menjadi  skisma aliran (scism) yang tidak tungal. Masing-masing mengidentifikasikan diri  sebagai pengikut Nabi yang paling tepat dibandingkan dengan lainnya.
Sungguhpun istilah ini lahir pasca era kenabian, namun, istilah tersebut selalu  saja dipautkan pada sebuah tradisi dalam momen sejarah Islam paling awal yaitu  generasi Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang terpercaya.
 Atas dasar inilah definisi Aswaja mengacu dan diacukan pada “apa yang  saya (Nabi) dan para sahabaku lakukan” (ma> ana ‘alaihi wa as}ha>bi>).
 Ini artinya  Aswaja diukur dengan sejauh mana tradisi dan kebiasan Nabi dan para sahabat   Tgk. H. Z. A. Syihab, Akidah Ahlussunnah waljama>h, hal   Ibid, hal 12    terpercaya mewarisi dan mewarnai kerangka berfikir dan bertindak sehingga  tindakan dan pemikiran itu ada pada jalur yang tepat.

Dalam perkembangannya, identifikasi identitas itupun mengkristal pada  dua ujung yang ekstrim: “kelompok yang selamat (al-firqah an-na>jiyah)dan  kelompok yang sesat (al-firqah al-d}ala>lah)”. Dengan berlandaskan pada hadist  tentang perpecahan umat maka Ahlus Sunnah mendakwah dirinya sebagai firqah  yang tepat dan selamat. Dalam bingkai semacam ini ‘yang lain’ akan mudah di  tuduh dan distigma sesat oleh otoritas yang berkuasa.
Berkembangnya hadist “sataftariqu ummati> ‘ala s|ala>s|atun wa sab‘i>na  firqatun, kulluhum fi an-na>r, illa> wa>hid” ditengah umat Islam dan memberi  rujukan akhir pada tipologi istilah Ahlussunah wa al-jama>’ah yang dijelaskan  dengan ma> ana ‘alaihi wa as}h}a>bih. Kelompok inilah yang secara ideal akan  mampu memberikan jawaban terhadap segala macam persoalan dunia akhirat  dari umat Islam, alasannya karena golongan ini mengklaim bahwa mereka adalah  representasi kaum yang mengadopsi pola pikir (manha>j al-fikr)dan nilai-nilai  dasar ajaran Islam (ideologi) yang sesuai dengan kaidah perilaku Muhammad  SAW beserta sahabatnya.
 Pada fase ini beberapa ulama melakukan pendekatan seksama terhadap  beberapa golongan yang telah ada dan melakukan akomodasi metodologi  pemikiran diantara mereka. Imam Abu Hanifah, Sofyan al-Sauri, Sofyan bin   Habib Mustofa, Alur Sejarah Pemikiran Aswaja, (Makalah Pelatihan Kader Dasar PMII  2005) hal 2   Uyainah dan Muhammad Abu Yusuf adalah beberapa tokoh yang melakukan  akomodasi pola pikir antara mu’tazilah yang mendewakan akal dengan kaum  jabariyah yang menafikan kekuatan akal manusia. Titik temu akomodasi  pemikiran ini adalah merupakan corak pemikiran ahlussunah wa al-jama>’ah dikemudian hari yaitu sifat moderatisme. Beberapa tokoh lain juga  mempengaruhi perkembangan Aswaja ditengah harapan umat untuk lepas dari  pertentangan golongan yang terjadi.
Dalam perkembangannya, ahlussunah wa al-jama>’ah yang lebih dikenal  dengan golongan Sunni mengalami perluasan daerah pengikut sampai Asia,  termasuk Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa Islam tersebar di Indonesia  melalui jalur Gujarat dan Timur Tengah. Terlepas dari versi mana yang benar,  namun harus diakui bahwa penyebaran Islam di Idonesia memiliki nuansa  egaliter dan akulturatif, dalam arti bahwa nilai-nilai Islam diterima oleh  penduduk lokal dengan segenap kesadaran budaya setempat sehingga infiltrasi  dua nilai yang berbeda tersebut membentuk stereotipeterapan praktek Islam  yang sarat dengan jiwa ukhuwah.
Tanggal 31 Januari 1926 melalui proses perenungan panjang dari ulama  tradisional, lahirlah Nahdlatul Ulama yang bertugas melakukan pengawalan  terhadap tradisi Islam setempat yang saat itu banyak ditentang oleh golongan  Islam reformis. Islam reformis berpandangan bahwa praktek ritual Islam yang  berbaur dengan adat lokal seperti tahlil, khaul, mana>qib, dan lain-lain adalah   merupakan praktek yang lebih dekat pada kemusyrikan dan membahayakan iman  umat Islam, hingga akhirnya hal tersebut harus dihilangkan.
 Apalagi nabi tidak  pernah melakukan hal ini, artinya praktek tersebut disebut dengan bid’ah dan  tidak layak dipertahankan. Dalam konteks sosio-religius seperti inilah NU lahir  dan menunjukkan eksistensinya ditengah umat Islam.
NU kemudian melakukan penguatan basis gerakannya dengan melakukan  kajian normatif terhadap nilai-nilai doktrin agama Islam berangkat dari khazanah  Islam klasik. Sampailah pengambaraan untuk menemukan dasar pemikiran dan  tindakan itu pada penilaian Aswaja sebagai ideologi dan metode berfikir gerakan  NU. Alasannya adalah karena Aswaja merupakan performance kelompok Ulama  yang mampu melakukan transformasi pemikiran dan tindakan yang moderat  ditengah problem umat yang mejemuk,ini sesuai dengan konteks Islam  Indonesia.
 Bentuk pemahaman keagamaan  Ahlussunah wa al-jama>’ahyang  dikembangkan NU disebutkan secara jelas dan tegas dalam AD NU Bab II  tentang Aqidah/Asas pasal 3, yakni “Nahdlatul Ulama sebagai  Jam’iyyah  Di>niyah Isla>miyyahberaqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunah wa aljama>’ah dan menganut salah satu dari maz}hab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i,  dan Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan  akhlak atau perilaku kehidupan individu dan masyarakat, NU menganut paham   Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, hal   Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke Khittah 1926, hal 21   yang dikembangakan oleh Abdul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad  Ibnu Muhammad Al-Ghazali serta imam-imam yang lain”.
 Dari penjelasan itu dapat dipahamai bahwa NU mengembangkan faham  Ahlussunah wa al-jama>’ahdalam dunia Islam, yaitu: (1) akidah; (2) syariah atau  fikih; dan (3) akhlak.
Watak NU dalam pengembangan paham Ahlussunah wa al-jama>’ah adalah  pengambilan jalan tengah yang berada diantara dua ekstrim. Kalau di lihat  kembali ke belakang, sejarah teologi Islam memang banyak diwarnai oleh  berbagai macam ekstrim, seperti Khawarij dengan teori pengkafirannya terhadap  pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan kehendak manusianya,  Jabariyah dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat, dan Mu’tazilah  dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal dalam mencari sumber ajaran  Islam. Di sinilah Asy’ariah dan Maturidiah - dengan mengambil inspirasi  berbagai pendapat yang sebelumnya dikembangkan terutama oleh Ahmad ibn  Hanbal - merumuskan formulasi pemahaman kalamnya tersendiri dan banyak  pengikut di seluruh dunia.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi