Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PINJAM PAKAI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus di Polsek Wonocolo Surabaya)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen, di dalamnya memiliki  keanekaragaman suku, budaya, adat, dan lain sebagainya, yang terbentang dari  sabang sampai merauke. Dalam kehidupan masyarakat selalu mengalami  perubahan dari masa ke masa, hal ini bisadi lihat dari gaya hidup masyarakatnya  sehari-hari. Dalam bidang transportasi misalnya, dahulu orang memanfaatkan  tenaga hewan sebagai alat transportasi seperti; pedati, andong, gerobak, delman  dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan teknologi modern maka terciptalah  kendaraan bermotor, mobil, kereta api, pesawat terbang dan lain-lain yang telah  menggunakan tenaga mesin. Semakin pesat perkembangan teknologi tanpa  diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat menimbulkan  dampak negatif, salah satunya adalah semakin banyaknya pencurian.
Pencurian merupakan bentuk kejahatan terhadap benda. Tindak pidana  pencurian telah diatur dalam KUHP pasal 362, di dalamnya dijelaskan bahwa,  ”barangsiapa mengambil suatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk  kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan  1   hak, dihukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima  tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-”.

 Motif yang melatarbelakangi tindak pidana pencurian lebih banyak  adalah karena faktor ekonomi, sehingga modus operandi yang digunakan juga  bermacam-macam mulai dari menggunakan alat sederhana seperti kunci letter T  sampai dengan menggunakan kekuatan magis dengan cara melakukan gendam,  hal ini menuntut peran serta pihak kepolisian untuk meningkatkan  profesionalisme Polri.
Dalam menjalankan tugasnya Polri dituntut untuk bersikap secara  profesional dalam menangani kejahatan yang terjadi di masyarakat. Tingkat  kejahatan antar tiap daerah berbeda, apalagi di kota besar seperti kota Surabaya  tingkat kejahatan yang ditangani juga besar, keadaan seperti ini membuat barang  bukti yang ditemukan juga semakin banyak.
Barang bukti menurut Prof Djoko Prakoso S.H adalah barang-barang baik  yang berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat dijadikan bukti dan  fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa maupun kepada saksi  dipersidangan guna mempertebal keyakinan hakim dan menentukan kesalahan  terdakwa.
  R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Politeia Bogor. hal 249   Djoko Prakso. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogyakarta;  Liberty. hal 148   Barang bukti sebagai hasil dari benda sitaan seringkali membuat repot,  apalagi barang-barang yang cepat rusak, motor misalnya, karena selain  membutuhkan tempat yang luas, perawatan barang-barang sitaan juga perlu  diperhatikan. Untuk menyiasati terjadinya penyimpangan, pemilik barang sitaan  (barang bukti) diberi kesempatan untuk menggunakan barang tersebut, dengan  cara “pinjam pakai”. Fakta dilapangan ditemukan bahwa di Polsek Kecamatan  Wonocolo Kota Surabaya terdapat warga yang melakukan praktek pinjam pakai,  seperti yang dilakukan Bapak Cakiyadin (28) dengan alamat Bendul Merisi  IX/17-C. Beliau melakukan pinjam pakai terhadap sepeda motor merek Yamaha  yupiter Z warna merah hitam, pada tahun 2008. Pada dasarnya prosedur pinjam  pakai cukup mudah, yakni dengan mengajukan permohonan kepada kasat atau  kadit serse, dengan melampirkan bukti kepemilikan barang tersebut. Dengan cara  ini, barang-barang sitaan menjadi lebih terawat dan bermanfaat. Namun, hal ini  bukan berarti melegalisasi bahwa barang tersebut sudah berpindah tangan ke  orang tersebut. Itu sebabnya, pemohon pinjam pakai diwajibkan mengisi surat  pernyataan bahwa mereka bersedia menghadirkan barang bukti tersebut pada  saat dibutuhkan untuk bukti di persidangan  .
Dalam praktek persidangan alat-alat bukti yang digunakan menurut pasal  184 KUHAP ialah:  a.  Keterangan saksi   Http//Www.Sinar Harapan. Co.Id   b.  Keterangan ahli  c.  Surat  d.  Petunjuk  e.  Keterangan terdakwa.
 Praktek pinjam pakai barang bukti ini memang tidak dibenarkan oleh  hukum dan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan bahkan hal ini juga  bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 44 ayat (2) KUHAP :  “Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan  tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan  tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang  untuk dipergunakan oleh siapapun juga ”.
  Artinya barang bukti yang ada baik ditingkat kepolisian, kejaksaan, tidak  dapat dipergunakan sebelum mendapatkan putusan pengadilan dan memiliki  kekuatan hukum yang bersifat tetap. Hal ini dikhawatirkan apabila barang bukti  tersebut dipindahtangankan maka bisa merubah bentuk barang dari saat pertama  kali barang bukti itu ditemukan. Karenadalam proses peradilan fungsi barang  bukti ini sangat penting yaitu sebagai sarana pembuktian untuk memperkuat  keyakinan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
  KUHAP tidak mengatur sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut  karena bukanlah pada tempatnya KUHAP yang mengatur hukum acara juga  mengatur sanksi. Secara administratif sanksi terhadap pelanggaran Pasal 44   Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika, hal. 255   Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Surabaya ;Karya Anda. hal 26   Djoko Prakoso. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogyakarta;  Liberty. hal 146   KUHAP diatur oleh instansi penyidik (misalnya kepolisian) atau instansi  penuntut umum (kejaksaan) dalam bentuk peraturan KaPolri atau peraturan  Jaksa Agung. Kalau pelanggaran tersebut bersifat pidana, seperti penggelapan  barang bukti, sudah tentu berlaku ketentuan pidana seperti diatur pada Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 44 KUHAP juga mengatur bahwa benda  sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara (RUPBASAN).
Lembaga inilah yang memelihara keutuhan benda sitaan dan barang rampasan  baik kualitas maupun kuantitasnya, menjamin keselamatan dan keamanan benda  yang disita untuk menjadi barang bukti pada proses penyidikan, penuntutan, dan  persidangan.
 Pembuktian dalam Islam di kenal dengan istilah “al-bayyinah “Bukti menjadi kewajiban si penggugat, sedang sumpah menjadi  kewajiban si tergugat”  Dalil diatas dapat dijadikan dasar bahwa pembuktian bukan saja bisa dari  unsur manusia sebagai saksi saja, akan tetapi unsur benda pun dapat dijadikan  sebagai dasar penuntutan untuk selanjutnya benda itu diajukan dimuka sidang  pengadilan untuk mendapatkan keterangan yang sebenar-benarnya dari terdakwa  atau saksi.
 As- Suyut}i, Jami’ S}agir, 220   Barang yang dijadikan sebagai bukti di pengadilan wajib disimpan dan  jaga sebaik-baiknya, karena mengingat fungsi barang bukti ini sangat penting  sebagai hujjah di persidangan nanti. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an Surat AnNisa’ ayat 58 :   “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada  yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan  hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya  kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha  Melihat”.
 Dalam ayat tersebut diisyaratkan bahwa harus menyampaikan amanat  atau menjaga amanat. Dalam kontek ini yang menjadi amanat adalah berupa  barang bukti. Dalam Islam istilah pinjam pakai dikenal dengan pijam meminjam  (al-‘a>riyah). Al-‘a>riyahmenurut Syafi’i dan Hambali di definisikan sebagai: “kebolehan memanfaatkan barang (orang lain) tanpa ganti rugi”.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi