Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:DISKRESI DALAM KASUS PIDANA OLEH POLWILTABES SURABAYA MENURUT PASAL 18 UU. NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Melindungi  segenap  bangsa  Indonesia  dan  untuk  memajukan kesejahteraan  umum  adalah  tujuan  didirikannya  Republik  Indonesia  ini.  Tujuan ini  terdapat  dalam  pembukaan  UUD  1945,  sehingga  apapun  segala  usaha kenegaraan  haruslah  berdasarkan  dan  sesuai  dengan  cita-cita  tersebut,  termasuk juga usaha penegakan hukum nasional dan untuk penegakan itu diperlukan sistem peradilan pidana.
Sesungguhnya  dari  sistem  peradilan  pidana  itu  ada  empat  komponen fungsi,  yang  dimana  komponen  satu  dengan  komponen  yang  lainnya  selalu berhubungan  dan  berkoordinasi.  Fungsi-fungsi itu  memiliki  satu  tujuan  yang sama,  yaitu  usaha  untuk  menanggulangi  kejahatan,  masing-masing  fungsi  ini adalah fungsi penyidikan, penuntutan, peradilan, dan fungsi pemasyarakatan.
 Tiap-tiap  komponen fungsi  ini  mempunyai  wewenang  untuk  melakukan penyaringan-penyaringan  terhadap  perkara  yang  masuk  untuk  diproses,  baik berdasarkan  peraturan  perundang-undangan  maupun  atas  dasar  aspek sosiologisnya. Pada tingkat penyidikan, penyaringan itu berupa tindakan-tindakan  Fungsi masing-masing dilakukan oleh petugas penegak hukum: Polisi, Jaksa, Hakim, dan Petugas Pemasyarakat.
  Kepolisian  yang  dalam  praktek  kepolisian  disebut  diskresi.
  Pada  tingkat penuntutan,  Jaksa  mempunyai  wewenang  untuk  mendeponir  suatu  perkara  yang disebut  asas  oportunitas.  Sedangkan  pada  tingkat peradilan,  berupa keputusan Hakim, sedangkan pada tingkat Pemasyarakatan berupa hukuman atau remisi.

 Dengan  adanya  penyaringan perkara  tersebut,  maka  jelas hukum  tidak serta-merta  membabi buta  kepada  pelaku  siapa  pun  dan  dalam  kondisi  apa  pun seperti  tercantum  dalam  bunyi  perundang-undangan  itu,  dan  untuk  mengatasi kekuatan-kekuatan  ini  maka  jalan  keluar  yang  diberikan  oleh  hukum  adalah diserahkan  kepada  petugas  penegak  hukum  itu  sendiri,  untuk  menguji  setiap perkara  yang  masuk  di  dalam  proses,  untuk  diadakan  penyaringan-penyaringan yang dalam hal Kepolisian disebut diskresi (discretion).
Indonesia adalah  negara  yang  berdasar  atas  hukum  tidak  berdasar  atas kekuasaan belaka, maka segala kekuasaan negara harus diatur oleh hukum. Dalam usaha  melindungi  masyarakat  dari  gangguan,  agar kehidupan  menjadi  damai, aman,  dan  tertib  dari  pelaku  pelanggar  norma-norma atau  hukum,  maka  satu sarana untuk menanggulanginya adalah dengan hukum pidana.
Hukum  Pidana  adalah  hukum  yang  represif,  hukum  yang  mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tidak kenal kompromi, walaupun seumpama si korban tindak  pidana  sudah  memaafkan,  mendamaikan  dengan  si  pelaku  atau  tidak  Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, h.106.
 Oemar Seno adji, Hukum Pidana Pengembangan, h.11.
 dituntut, namun hukum pidana tetap bersikap tegas, hukum harus ditegakkan dan pelaku harus ditindak.
 Permasalahan  akan  muncul  bila, Polisi  yang  dengan  kekuasaan diskresinya  justru  malah  tidak  menegakkannya,  memaafkannya, mengenyampingkannya,  menghentikan,  atau  mengambil  tindakan  lain  di  luar proses  yang  telah  ditentukan.  Dengan  kekuasaannya  itu secara  lahiriah  telah melanggar  asas-asas  hukum  pidana  yang  sangat  mendasar  itu.  Pembahasan perihal masalah  ini,  hukum  itu  harus  ditegakkan  sedangkan  pihak  Polisi  malah mengenyampingkannya, perlu kiranya mendapatkan perhatian untuk meneliti atau mengkajinya. Agar gejala ini dapat dipahami semua pihak.
Penggunaan  kekuasaan  diskresi  oleh  pembuat  undang-undang  itu sebenarnya  diberikan  apabila  jalan  hukum  yang  disediakan  untuk  menghadapi suatu  kasus  malah  menjadi  macet,  tidak  efisien,  boros,  dan  kurang  manfaatnya.
Dan  ditinjau  dari  sudut  hukum,  setiap  kekuasaan  dilandasi  dan  dibatasi  oleh ketentuan-ketentuan  hukum, limits  of  power.  Namun  kekuasaan  diskresi  yang begitu  luas  dan  kurang  jelas  batas-batasnya  akan  menimbulkan  permasalahan terutama bila dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia.
 Dari uraian diatas,apabila diikuti perkembangan hukum pidana lebih jauh lagi  maka  pelaksanaan  sistem  peradilan  pidana  yang  bertujuan  untuk menanggulangi kejahatan itu terdapat beberapa model pandangan teori. Pertama  Ibid,h.69.
 Sadjijono, Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi, h.206.
 model dengan  pandangan semata-mata  mempertahankan  segi  normatif  dari hukum  pidana.  Dimana  tugas  para  penegak  hukum,  adalah  menjalankan  hukum semata-mata, tak peduli bagaimana akibat dari pelaksanaan hukum itu bagi yang diproses, masyarakat harus hidup dalam jalur hukum yang telah ditentukan. Hal inilah  rupanya  yang  disebut  sifat  kekakuan  hukum  pidana  yang  normatif  i tu.
Kedua,  model  dengan  pandangan  bahwa dalam  sistem  peradilan  pidana  sering disebut  dengan  model  sosiologis.  Pandangan  ini  berpendapat  sepanjang  stelselstelsel  kemasyarakatan  lain  masih  dapat  digunakan,  maka  penggunaan  hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan sebaiknya tidak usah digunakan lebih dulu.
 Hal ini sama dengan pendapat Soedarto bahwa cara penanggulangan hukum  pidana  sebagai  sarana  untuk  menanggulangi  kejahatan  itu  bersifat Subsidair.
  Jadi,  hukum  pidana bukan bersifat primer.  Ini  berarti  bahwa penggunaan non  hukum  itu  rupanya  lebih  diutamakan.  Sikap  yang  hanya  ingin menegakkan  hukum  formal semata-mata  akan  mengurangi  efektivitas  sistem peradilan  pidana,  pemborosan  waktu,  tenaga,  materi,  dan  biaya  penyidikan.
Akibatnya,  hal  itu akan  tak  sesuai  dengan  sistem  peradilan  pidana  yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ditinjau  dari  segi  hukum  pidana  formal,  tindakan  Polisi  untuk mengenyampingkanperkara pidana tidak bisa dibenarkan begitu saja karena sifat  Roeslan Saleh, Hukum Pidana sebagai KonfrontasiManusia dan Manusia, h.14.
 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h.44.
 hukum  pidana  yang  tak  kenal  kompromi.
  Sedangkan  alasan-alasan  sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek, bersifat subyektif dan sangat situasional dan ini memerlukanlandasan hukum yang tegasagar terdapat kepastianhukum baik bagi penyidik maupunmasyarakat.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi