Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:EFEKTIVITAS PENGAWASAN PANWASLU KABUPATEN MOJOKERTO TERHADAP PELANGGARAN PEMILU 2009 MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 2008 PASAL 84 AYAT 2 DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYĀSAH


1  BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Pemilihan Umum merupakan bagian dari kedaulatan rakyat yang berarti  bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi, rakyatlah yang  menentukan corak dan cara pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan  tujuan apa yang hendak dicapai.
Dalam suatu negara modern seperti sekarang ini, di mana jumlah  penduduknya sudah banyak, dan wilayahnya cukup luas, adalah tidak mungkin  untuk meminta pendapat pada rakyat dan seorang dalam menentukan jalannya  pemerintahan. Ditambah lagi bahwa pada amasyarakat modern sekarang ini  spesialisasi sudah semakin tajam, dan tingkat kecerdasan rakyat tidak sama. Hal  ini menyebabkan kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni, dan  keadaan menghendaki bahwa kedaulatanrakyat itu dilaksanakan dengan  perwakilan.
Di mana sistem Pemilihan Umum di Indonesia memakai dua hal;  1.  Sistem Pemilihan Mekanis  Pandangan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa  individu-individu yang sama. Aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme  semua berlandaskan pandangan mekanis ini. Liberalisme mengutamakan  individu sebagai kesadaran otonom  dan memandang masyarakat sebagai   kompleks hubungan-hubungan antara individu yang bersifat kontraktuil,  sedangkan sosialisme dan khususnya komunisme mengutamakan totalitas  kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan individu dalam totalitas  kolektif itu. Tetapi semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai  pengendali hak pilih aktif dan memandang rakyat (korps pemilih) sebagai  suatu massa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara  (suara dirinya sendiri) dalam setiap pemilihan.

2.  Sistem Pemilihan Organis  Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individuindividu yang hidup bersama dalam berbagai macam faktor hidup: geneologis  (rumah tangga, keluarga) ekonomi dan industri, lapisan-lapisan sosial  (buruh), tani, dan sebagainya. Masyarakat dipandangnya sebagai suatu  organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan  fungsi tertentu dalam totalitas organisme itu, seperti persekutuanpersekutuan hidup. Berdasarkan pandangan ini, persekutuan-persekutuan  itulah yang diutamakannya sebagai  pengendali hak pilih, atau dalam  perkataan lain sebagai pengendali hak untuk mengutus wakil-wakil kepada  perwakilan masyarakat.
 Di samping kebaikan tersebut di muka, tentu saja sistem ini  mengandung kekurangan, yaitu antara lain, bahwa kemungkinan akan terjadi   M. Kusnardi Dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, (CV.
Sinar Bakti,) hal. 332-334   wakil-wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya  akan memperjuangkan kepentingan di daerahnya. Seharusnya seorang Dewan  Perwakilan Rakyat “belong to the nation” dan “speak for the nation”. Namun  setidaknya tetap ada anggota umum bahwa anggota tersebut “represent the  elector his constituency”.
 Ketika berpijak pada hal di atas, dilaksanakannya Pemilian Umum  (pemilu) legislatif 2009 atau seringkali disebut dengan Pileg adalah pemilihan  umum untuk memilih calon dari beberapa partai secara langsung di seluruh  Indonesia oleh penduduk/ warga Negara Indonesia. Hal ini meliputi pemilihan  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota /Kabupaten).
Dalam pemilu legislatif (pileg) 2009 ini adalah suatu pesta demokrasi  rakyat Indonesia yang telah diatur dalam undang-undang No. 10 tahun 2008.
Ketika melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan bahwa ada beberapa  pelanggaran partai politik dengan otomatis calon itu sendiri (caleg), seakan  peraturan yang diundangkan tidak menjadi dasar hukum dalam melakukan pesta  demokrasi atau tepatnya dalam bersosialisasi.
Dalam pemilihan ini, banyak partai dan tidak menutup kemungkinan pula  banyak para calon legislatif yang mendaftarkan diri. Pola pendaftaran pun pada  tahun ini tidaklah sulit, di mana calon legislatif mendapat rekomendasi dari  sebuah partai dan tingkat pendidikannya minimal Sekolah Tingkat Menengah   Ibid, hal. 337-338   (SMA) dan maksimalnya sampai ke Perguruan Tinggi. Pemilihan umum kali ini,  akibat bertolak belakang dengan pemilutahun 2004 yakni calon yang berada di  nomor urut 1 adalah dapat dipastikan dia menjadi anggota legislatif atau (DPR)  Dewan Perwakilan Rakyat, namun kali ini berbalik yakni menggunakan sistem  suara terbanyak. Jadi siapapun yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif  haruslah berkompetisi dan cerdik untuk dapat menyikapi demi sebuah  kemenangannya. Sehingga pelanggaran dalam hal ini sudah tidak tabu lagi untuk  didapat, karena faktor tuntutan dan tekanan sebuah sistem itu sendiri dan  persaingan kehormatan individu calon legislaif itu sendiri.
Sedangkan partai politik di sini adalah sebagai jembatan untuk dapat  mengikuti pesta demokrasi. Ketika mengintip sebuah aturan politik  pemerintahan sekarang ini, maka setiap partai untuk dapat meraup suara minimal  2,5 % suara agar dapat mengikuti pemilihan presiden atau sebagai partai koalisi,  dan 20% untuk dapat mendelegasikan seorang kadernya untuk menjadi Calon  Presiden di ajang berikutnya yakni pada bulan Juli 2009.
Dengan demikian, dalam pemilu 2009 ini pada dasarnya merupakan suatu  proses politik bangsa menuju kehidupan yang demokratis (kedaulatan rakyat),  transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu pemilihan calon legislatif (caleg)  menandakan adanya perubahan sistem yang sangat hebat dan terasa di hati   masyarakat, yakni bukan sekedar distribusi kekuasaan semata antar tingkat  pemerintahan secara vertikal.
 Dalam Pasal 84 ayat 2 tahun 2008 disebutkan, “Pelaksana kampanye  dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan:  a.  Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung pada Mahkamah Agung,  dan hakim pada semua badan peradilan di bawahnya, dan hakim konstitusi  pada Mahkamah Konstitusi;  b.  Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;  c.  Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;  d.  Pejabat BUMN/BUMD;  e.  Pegawai Negeri Sipil;  f.  Anggota Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian negara republik  Indonesia;  g.  Kepala Desa;  h.  Perangkat Desa;  i.  Anggota Badan Permusyaratan Desa; dan  j.  Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih”.
Hal di atas, merupakan sebuah ketentuan yang harus diperhatikan oleh  pelaku politik pemerintahan, guna untuk kelancaran dan kepastian hukum yang  berlaku dalam sebuah kebangsaan. UU. No. 10 tahun 2008 pasal 84 ayat 2 di sini   Titi Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32  Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut Uud 1945, hal. 51   menjelaskan ketentuan larangan kampanyeyang menyertakan beberapa itemitem di atas, namun dalam kenyataan yang terjadi pada pemilihan legislatif bulan  April 2009 ini, bukan menjadi hal yang tidak dilakukan, malah menjadi sebuah  alat untuk dapat memenangkan pemilihan tersebut, karena beberapa item itu  memiliki massa yang mudah untuk dicapai dan memenuhi target yang diperlukan  sebagai pemenang anggota legislatif periode 2009-2014.
Dengan demikian, upaya penulis di sini untuk dapat menjelaskan  efektifnya Panwaslu Kabupaten Mojokerto menykapi pelanggaran kampanye  dalam pemilu 2009 berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 2008 pasal 84  ayat 2 yang akan dianalisa melalui fiqh siyāsahdengan menitik beratkan pada  kepastian hukum dan keberaniannya pelaku penegak hukum.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi