1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Umum merupakan bagian dari kedaulatan
rakyat yang berarti bahwa rakyatlah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, dan
rakyatlah yang menentukan tujuan apa
yang hendak dicapai.
Dalam suatu negara modern seperti
sekarang ini, di mana jumlah penduduknya
sudah banyak, dan wilayahnya cukup luas, adalah tidak mungkin untuk meminta pendapat pada rakyat dan seorang
dalam menentukan jalannya pemerintahan.
Ditambah lagi bahwa pada amasyarakat modern sekarang ini spesialisasi sudah semakin tajam, dan tingkat
kecerdasan rakyat tidak sama. Hal ini
menyebabkan kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni, dan keadaan menghendaki bahwa kedaulatanrakyat itu
dilaksanakan dengan perwakilan.
Di mana sistem Pemilihan Umum di
Indonesia memakai dua hal; 1. Sistem Pemilihan Mekanis Pandangan mekanis menempatkan rakyat sebagai
suatu massa individu-individu yang sama.
Aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme semua berlandaskan pandangan mekanis ini.
Liberalisme mengutamakan individu
sebagai kesadaran otonom dan memandang
masyarakat sebagai kompleks
hubungan-hubungan antara individu yang bersifat kontraktuil, sedangkan sosialisme dan khususnya komunisme
mengutamakan totalitas kolektif
masyarakat dan mengecilkan peranan individu dalam totalitas kolektif itu. Tetapi semua aliran di atas
mengutamakan individu sebagai pengendali
hak pilih aktif dan memandang rakyat (korps pemilih) sebagai suatu massa individu-individu yang
masing-masing mengeluarkan satu suara (suara
dirinya sendiri) dalam setiap pemilihan.
2. Sistem Pemilihan Organis Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai
sejumlah individuindividu yang hidup bersama dalam berbagai macam faktor hidup:
geneologis (rumah tangga, keluarga)
ekonomi dan industri, lapisan-lapisan sosial (buruh), tani, dan sebagainya. Masyarakat
dipandangnya sebagai suatu organisme
yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme itu,
seperti persekutuanpersekutuan hidup. Berdasarkan pandangan ini,
persekutuan-persekutuan itulah yang
diutamakannya sebagai pengendali hak
pilih, atau dalam perkataan lain sebagai
pengendali hak untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat.
Di samping kebaikan tersebut di muka, tentu
saja sistem ini mengandung kekurangan,
yaitu antara lain, bahwa kemungkinan akan terjadi M. Kusnardi Dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia”, (CV.
Sinar Bakti,) hal. 332-334 wakil-wakil rakyat yang duduk di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) hanya akan
memperjuangkan kepentingan di daerahnya. Seharusnya seorang Dewan Perwakilan Rakyat “belong to the nation” dan
“speak for the nation”. Namun setidaknya
tetap ada anggota umum bahwa anggota tersebut “represent the elector his constituency”.
Ketika berpijak pada hal di atas,
dilaksanakannya Pemilian Umum (pemilu)
legislatif 2009 atau seringkali disebut dengan Pileg adalah pemilihan umum untuk memilih calon dari beberapa partai
secara langsung di seluruh Indonesia
oleh penduduk/ warga Negara Indonesia. Hal ini meliputi pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI, DPRD
Provinsi, DPRD Kota /Kabupaten).
Dalam pemilu legislatif (pileg)
2009 ini adalah suatu pesta demokrasi rakyat
Indonesia yang telah diatur dalam undang-undang No. 10 tahun 2008.
Ketika melihat
peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan bahwa ada beberapa pelanggaran partai politik dengan otomatis
calon itu sendiri (caleg), seakan peraturan
yang diundangkan tidak menjadi dasar hukum dalam melakukan pesta demokrasi atau tepatnya dalam bersosialisasi.
Dalam pemilihan ini, banyak
partai dan tidak menutup kemungkinan pula banyak para calon legislatif yang mendaftarkan
diri. Pola pendaftaran pun pada tahun
ini tidaklah sulit, di mana calon legislatif mendapat rekomendasi dari sebuah partai dan tingkat pendidikannya
minimal Sekolah Tingkat Menengah Ibid,
hal. 337-338 (SMA) dan maksimalnya
sampai ke Perguruan Tinggi. Pemilihan umum kali ini, akibat bertolak belakang dengan pemilutahun
2004 yakni calon yang berada di nomor
urut 1 adalah dapat dipastikan dia menjadi anggota legislatif atau (DPR) Dewan Perwakilan Rakyat, namun kali ini
berbalik yakni menggunakan sistem suara
terbanyak. Jadi siapapun yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif haruslah berkompetisi dan cerdik untuk dapat
menyikapi demi sebuah kemenangannya.
Sehingga pelanggaran dalam hal ini sudah tidak tabu lagi untuk didapat, karena faktor tuntutan dan tekanan
sebuah sistem itu sendiri dan persaingan
kehormatan individu calon legislaif itu sendiri.
Sedangkan partai politik di sini
adalah sebagai jembatan untuk dapat mengikuti
pesta demokrasi. Ketika mengintip sebuah aturan politik pemerintahan sekarang ini, maka setiap partai
untuk dapat meraup suara minimal 2,5 %
suara agar dapat mengikuti pemilihan presiden atau sebagai partai koalisi, dan 20% untuk dapat mendelegasikan seorang
kadernya untuk menjadi Calon Presiden di
ajang berikutnya yakni pada bulan Juli 2009.
Dengan demikian, dalam pemilu
2009 ini pada dasarnya merupakan suatu proses
politik bangsa menuju kehidupan yang demokratis (kedaulatan rakyat), transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu
pemilihan calon legislatif (caleg) menandakan
adanya perubahan sistem yang sangat hebat dan terasa di hati masyarakat, yakni bukan sekedar distribusi
kekuasaan semata antar tingkat pemerintahan
secara vertikal.
Dalam Pasal 84 ayat 2 tahun 2008 disebutkan,
“Pelaksana kampanye dalam kegiatan
kampanye dilarang mengikutsertakan: a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung
pada Mahkamah Agung, dan hakim pada
semua badan peradilan di bawahnya, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi; b.
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; c.
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia; d.
Pejabat BUMN/BUMD; e. Pegawai Negeri Sipil; f.
Anggota Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian negara republik Indonesia; g.
Kepala Desa; h. Perangkat Desa; i. Anggota
Badan Permusyaratan Desa; dan j. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki
hak memilih”.
Hal di atas, merupakan sebuah
ketentuan yang harus diperhatikan oleh pelaku
politik pemerintahan, guna untuk kelancaran dan kepastian hukum yang berlaku dalam sebuah kebangsaan. UU. No. 10
tahun 2008 pasal 84 ayat 2 di sini Titi
Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut Uud
1945, hal. 51 menjelaskan ketentuan
larangan kampanyeyang menyertakan beberapa itemitem di atas, namun dalam
kenyataan yang terjadi pada pemilihan legislatif bulan April 2009 ini, bukan menjadi hal yang tidak
dilakukan, malah menjadi sebuah alat
untuk dapat memenangkan pemilihan tersebut, karena beberapa item itu memiliki massa yang mudah untuk dicapai dan
memenuhi target yang diperlukan sebagai
pemenang anggota legislatif periode 2009-2014.
Dengan demikian, upaya penulis di
sini untuk dapat menjelaskan efektifnya
Panwaslu Kabupaten Mojokerto menykapi pelanggaran kampanye dalam pemilu 2009 berdasarkan Undang-Undang
No. 10 tahun 2008 pasal 84 ayat 2 yang
akan dianalisa melalui fiqh siyāsahdengan menitik beratkan pada kepastian hukum dan keberaniannya pelaku
penegak hukum.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi