BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyelanggaraan pemerintahan yang baik
merupakan cita-cita setiap negara
ataupun masyarakat, dalam artian terbebas dari penyimpanganpenyimpangan yang
dapat merugikan negara ataupun masyarakat. Dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh sikap dan keinginan
para pemegang kekuasaan atau lembaga
pemerintahan atau alat perlengkapan negara.
Dalam tradisi negara demokrasi,
telah dikenal tiga pilar pemegang mandat
kekuasaan negara, yaitu kekuasaan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan perundangan (legislatif) dan kekuasaan
kehakiman (yudikatif). Meski dalam implementasinya
di berbagai negara dapat ditemukan berbagai fariasi dan bentuknya, ada yang menggunakan pola pemisahan
kekuasaan (separation of power), ada
yang menggunakan pembagian kekuasaan (deviation of power), selain itu ada yang menggunakan pola
convergence (campuran). Dari berbagai fariasi
dan pola tersebut untuk menjalankan kekuasaan negara, ternyata tidak ditemukan pola yang paling unggul. Realitas
tersebut menandakan bahwa dalam penyelenggaraan
negara tidak semata-mata ditentukan oleh tiga pilar kekuasaan 1 besar
itu, tetapi lebih dipengaruhi oleh budaya politik dan budaya demokrasi dari negara yang bersangkutan.
Dalam perkembangan negara demokrasi sekarang,
diberbagai belahan dunia dapat ditemukan
perkembangan menarik mengingat pilar kekuasaan negara ternyata tidak hanya bertumpu pada
konsep “trias politica” saja sebagai “state
primery institution” (kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif), tetapi ada keperluan untuk menyelenggarakan kekuasaan
lainya yaitu kekuasaan bidang perbantuan
(state auxiliary institution) yang bersifat konsultatif, pertimbangan atau kepenasehatan (“konsultative power”) dan
pengawasan (“examinative power”).
Dalam teori “catur praja” memunculkan adanya
pembagian kekuasaan di dalam menjalankan
pemerintahan ataunegara, dan menempatkan kekuasaan polisi (kepolisian) dalam suatu kekuasaan
tersendiri diluar kekuasaan eksekutif.
Munculnya konsep ini, karena
tugas dan tujuan pemerintah atau negara tidak lagi membuat dan mempertahankan hukum dan tidak
hanya melaksanakan undangundang atau merealisir kehendak negara, akan tetapi
menjadi lebih luas, yaitu untuk
menyelenggarakan kepentingan umum, artinya suatu negara dijalankan oleh alat pemerintahan (bestuur orgaan) yang
meliputi badan pemerintah yang diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk bertindak atas nama negara atau Z ulkarnain dkk, Komisi Pengawas Penegak
Hukum, h. 1-2 Sadjijono, Hukum
Kepolisian (Polri dan Good Governance), h. 89 pemerintah, dan badan pemerintahan sebagai
satu kesatuan hukum yang dilengkapi
kewenangan untuk memaksa.
Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak
tahun 1998 telah dilembagakan melalui
pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur
ketatanegaraan yang lebih demokratis.
Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali.
Hasil perubahan UUD 1945
melahirkan bangunan kelembagaan negara yang
satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan
keadilan serta menjamin dan melindungi
hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan
negara hukum.
Pasca amandemen UUD 1945 menyebabkan
berubahnya sistem ketatanegaraan yang
berlaku meliputi jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan sistem
perwakilannya. Sejalan dengan itu, muncul
lembaga-lembaga dalam bentuk komisi, untuk menjawab tuntutan masyarakat. Pembentukan lembaga-lembaga yang
berbentuk komisi ini sangat pesat
perkembangannya sepanjang reformasi.
Ibid Titik
Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h.1 Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD
1945 dengan jelas membedakan
cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam
fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden
dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai lembagalembaga negara yang utama (mains state organs).
Adapun selain itu, seperti Komisi Yudisial,
Kepolisian Negara, Tentara Nasional
Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi
Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU), dan sebagainya adalah sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary bodies).
Beranjak dari konsep pembagian kekuasaan di
atas, lembaga Polisi sebagai fungsi
maupun sebagai bagian dari lembaga dalam pemerintahan yang juga memiliki kekuasaan dapat dikaji
eksistensinya dalam suatu pemerintahan negara,
disamping lembaga-lembaga yang lain, yakni lembaga eksekutif, legislatif maupun yudisiil.
Lembaga Polisi dalam konsepnya
lahir dari adanya fungsi kepolisian yang telah ada dalam masyarakat, karena kepentingan
dan kebutuhan untuk terpeliharanya dan
terjaganya rasa aman, tenteram, keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
membahas Polisi sebagai fungsi Ibid. h.
Ibid. h. 211 maupun organ atau lembaga, tidak dapat
dilepaskan dari konsep pemikiran tentang
adanya perlindungan hukum bagi rakyat, karena dalam perspektif fungsi maupun lembaga polisi memiliki tanggung jawab
untuk melindungi rakyat dari segala
bentuk ancaman kejahatan dan gangguan yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, tidak tertib dan tidak tenteram.
Sebagaimana dalam pasal 2 UU No.
2 Tahun 2002 bahwa fungsi
Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam masyarakat yang sedang mengalami
transisi, keberadaan polisi sangat
diperlukan. Pada masyarakat demikian sering terjadi pergeseran nilai kehidupan yang mengimbas pada terjadinya
penyimpangan perilaku sosial, misalnya
kejahatan dengan segala bentuk dan karakternya. Karena itu keberadaan polisi sangat urgen untuk menjaga
ketentraman, keamanan dan ketertiban
“orde” masyarakat agar tidak rusak perilaku destruktif kaum penjahat.
Meskipun begitu, tidak sedikit
masyarakat yang memandang polisi dengan
“sebelah mata”. Polisi dinilai sebuah ancaman bagi keselamatan masyarakat. Hal tersebut tidak terlepasdari
perilaku segelintir oknum polisi yang
menyakitkan terhadap masyarakat, sehingga pada akhirnya menjadikan pandangan dan penilaian yang sinis oleh
masyarakat secara sama rata Sadjijono,
Hukum Kepolisian,h.90- Pasal 2 UU RI No.
2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwasanya perilaku Polisi semuanya kurang
baik.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi