Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEPRES NO. 174/TAHUN 1999 TENTANG REMISI DALAM KASUS PEMBUNUHAN


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Pada hakekatnya hukum pidana dan kegunaannya bermaksud agar  masyarakat dan setiap orang anggota masyarakat dapat dilindungi hukum  pidana, serta untuk mencapai jalan hidup yang sejahtera lahir dan batin.
Sehubungan dengan perlindungan hukum pidana bagi masyarakat dan  anggotanya itu perlu diingatkan tentang perkembangan pandangan hukum  pidana yang baru, karena sejak lama dipikirkan bahwa pada fungsi primer hukum  pidana itu untuk menanggulangi kejahatan, dan fungsi subsidier hukum pidana  itu hendaknya mengingat sifat negatifnya sanksi agar baru ditetapkan apabila  upaya lain sudah tidak memadai lagi. Hukum pidana hanyalah salah satu sarana  atau upaya penanggulangan kejahatan.
 Hukum mengatur masayarakat secara patut dan bermanfaat, dengan  menetapkan apa yang harus atau yang diperbolehkan atau yang diajukan. Dengan  adanya hukum dapat diketahui adanya garis pembeda antara apa yang harus  dilakukan, tidak boleh dilakukan dan apa yang bersifat anjuran.
Pidana itu harus diusahakan agar dapat mengubah pandangan dan sikapsikap penjahat sehingga tidak lagi akan melakukan kejahatan di masa yang akan   Bambang Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, hal.
1   datang. Dengan adanya itu dicapai jalan menciptakan program-program yang  bersifat nasihat-nasihat yang menyembuhkan si penjahat. Bagi para sosiolog,  maksud tersebut dapat dicapai dengan jalan mengadakan pendidikan dan latihan  keja keterampilan. Lebih-lebih di Indonesia di mana kesulitan-kesulitan hidup  seperti lowongan kerja semakin memperbudak kondisi ekonomi. Bagaimanapun  juga, tujuan permasyarakatan sepeti ini merupakan hal yang paling penting  dalam dunia moderen sekarang ini.

 Sedangkan tujuan dari pidana yang dijatuhkan tersebut adalah di  samping untuk memberikan balasan yang setimpal terhadap pelaku kejahatan,  juga bertujuan mendidik agar pelaku kejahatan yang bersangkutan dapat insaf,  dan menjadi baik. Di samping itu pidana penjara juga bermaksud untuk mendidik  dan menakut-nakuti anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan  kejahatan yang sama.
Namun demikian tidaklah berarti, bahwa terhadap kejahatan tidak perlu  dilakukan usaha-usaha penanggulangan, salah satu cara untuk menaggulangi  kejahatan ialah, dengan menerapkan hukum pidana.
 Kita mengetahui bahwa  pada masa-masa yang silam reaksi penghukuman atas kejahatan sangat berat di  mana tujuannya adalah menakut-nakuti masyarakat yang melakukan kejahatan,  dan siksaan sebagai pembalasan.
  Andi Hamzah dan A.Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia, hal.
 Ninik Widiyanti & Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pencegahannya, hal.
 Ibid, hal. 23   Negara Indonesia yang berdasarkan hukum dan bersumber pada pancasila  dan UUD 45 mengartikan pidana penjara sebagai pidana pemasyarakatan, yakni  bahwa pemberian pidana kepada pelakunya tidak semata-mata memberi nestapa  dan pembalasan, akan tetapi pemberian pidana pemasyarakatan justru  dititikberatkan kepada pendidik serta pemberi bekal kehidupan bagi narapidana,  agar setelah selesai menjalani masa pidananya yang bersangkutan dapat hidup  kembali di tengah-tengah masyarakat serta dapat di terima oleh masyarakat, di  mana dia berada, seperti layaknya anggota masyarakat yang lain.
Upaya pelaksanaan pidana penjara baru yang didasarkan prikemanusiaan  dengan cara memperluas usaha kelonggaran pidana untuk menjauhkan pengaruh  buruk tembok penjara. Berbagai alternatif dari upaya baru tersebut berupa  bentuk pidana bersyarat, cuti bersyarat,serta peningkatan remisi, dan sosial  lainnya sampai bentuk pidana penjara di tempat terbuka. Perlakuan cara baru  terhadap narapidana dengan pendekatan pembinaan di dalam masyarakat serta  lingkungannya. Berbagai usaha pembinaan yang mengandung unsur bimbingan  dan keterampilan yang bersifat edukatif, korektif, dan defensif serta mencakup  aspek individu dan sosial.
 Dalam kasus pembunuhan pun hukum Islam mengenal asas pemaafan  sebagaimana yang diperkenankan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178, yang  berbunyi:   Bambang Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, hal. 11   “Maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya,  hendaklah mengikuti dengan cara yang baik.(Q.S al-Baqarahayat 178)  Namun, asas pemaafan ini tidak dilakukan begitu saja tanpa diimbangi  dengan pembinaan keselarasan sosial, terutama pihak-pihak yang bersangkutan  dengan peristiwa pembunuhan, khususnya pihak-pihak keluarga yang terbunuh  dan pembunuh, sehingga tidak terjadi dendam kesumat serta terjaminnya rasa  keadilan dan ketentraman masyarakat. Dalam hukum pidana hal ini sering kali  dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk menolak hukum Islam, serta  menilainya sebagai hukum barbar dan kejam tidak berprikemanusiaan.
 Pengampunan terhadap qis}a>s}dibolehkan menurut kesepakatan para  Fuqaha>‘, bahkanlebih utama dibandingkan pelaksanaannya.
 Pernyataan untuk  memberikan pengampunan tersebut dapat dilakukan secara lisan ataupun secara  tertulis. Redaksinya bisa dengan  lafaz}(kata) memaafkan, membebaskan,  menggugurkan, melepaskan, memberikan, dan sebagainya.
 Orang yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan adalah orang  yang memiliki hak qis}a> s}. Menurut jumhur ulama’ yang terdiri atas Imam Abu  H} anifah, Imam Syafi’i, Imam Ah} mad, pemilik qis}a>s}adalah semua ahli waris.
Akan tetapi, menurut Imam Maliki, hak qis}a>s}dimiliki oleh as}abahlaki-laki yang   Departemen Agama, al-Qur’an Dan Terjemahannya, hal.
 Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, hal. xx  Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,hal.
 Ibid, hal. 161   paling dekat derajatnya dengan korban, dan perempuan yang mewarisi dengan  syarat-syarat tertentu.
 Alternatif memberikan ampunan diserahkan pada wali terbunuh. Mereka  adalah ahli waris dari si terbunuh, bilamana mereka menghendaki boleh  menuntut hukum qis}a>s}atau memberi ampun, seandainya ada salah satu di antara  mereka memaafkan, maka gugurlah qis}a>s}itu, sebab ia adalah salah satu dari ahli  waris yang tidak terpisah dari anggota lainnya.
yaz � n s x � ��� -spacerun:yes'>  karena  banyaknya  intervensi dan control dari eksekutif sehingga mau tidak mau menuruti kehendak   Moh.  Kusnardi  dan  Bintan  R.  Saragih,  Susunan  Pembagian  Kekuasaan  Menurut  Sistem  Undang-Undang Dasar 1945, h.
 SF Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok-Pokok, h. 45   eksekutif daripada kehendak rakyat. Akhirnya hal tersebut menjadikan Indonesia  terpuruk dalam krisis multidimensional.
Krisis  yang  mendera  Indonesia  pada  era  1990-an,  telah  menimbulkan  banyak persoalan pada berbagai aspek kehidupan baik itu dalam bidang ekonomi,  politik, sosial, budaya, dan hukum. Masyarakat menilai berbagai produk hukum,  penegakan dan penerapannya masih sangat jauh dari yang diharapkan. Penilaian  demikian  telah  mendorong  masyarakat  bersikap  tidak  menghormati,  tidak  mempercayai  bahkan  mengabaikan  hukum  dan  lembaga-lembaga  hukum  yang  ada. Atau dengan kata lain, hukum sudah tidak berwibawa lagi.
 Krisis  kepercayaan  masyarakat  terhadap  hukum  ini  disebabkan  antara  lain  karena  masih  banyaknya  kasus  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme  (KKN)  dan  pelanggaran  hak  asasi  manusia  (HAM)  yang  belum  tuntas  penyelesaiannya  secara  hukum  dan  adanya  pengabaian  dan  pelecehan  terhadap  hukum  yang  sekaligus  diakibatkan  dan  mengakibatkan  ketidakpercayaan  terhadap  hukum.
Peristiwa-peristiwa  yang  terjadi  pada  masa-masa  terakhir  ini  sudah  cukup  menunjukkan bahwa hukum dianggap tidak eksis, baik oleh anggota masyarakat  (misalnya dengan tingginya jumlah aksi peradilan rakyat terhadap penjahat kelas  teri),  maupun  oleh  lembaga  hukum  sendiri  (yang  membiarkan  dan  adakalanya  justru melakukan pelanggaran hukum).
 KHN, Kilas Balik 6 Tahun Komisi Hukum Nasional, Menguak Misi KHN & Kinerjanya, h.1   Akibat  yang  ditimbulkan  dari  banyaknya  persoalan-persoalan  yang  timbul  dalam  berbagai  aspek  kehidupan  tersebut,  timbul  keinginan  untuk  menegakkan supremasi hukum di Indonesia, dalam penegakan supremasi hukum  dibutuhkan  kemauan  yang  kuat  untuk  mengatasi  persoalan-persoalan  yang  terkait  dengan  hukum  seperti  pelanggaran  hak  asasi  manusia  (HAM),  kasus  korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan ganguan keamanan.
Salah  satu  cara  yang  ditempuh  untuk  mewujudkan  supremasi  hukum  tersebut adalah melakukan perubahan-perubahan, bahkan pembaharuan terhadap  berbagai  aspek  hukum.  Program  reformasi  hukum,  tidak  bisa  tidak  harus  digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat, dengan beban  terbesar  diletakkan  pada  pundak  para  penyelenggara  negara.  Hal  ini  dipandang  sebagai konsekuensi logis prinsip negara hukum. Karena negara Indonesia adalah  negara  hukum,  maka  reformasi  hukum  perlu  direalisasikan  sehingga  semua  kekuasaan tunduk pada hukum.
Reformasi  di  bidang  hukum  yang  terjadi  sejak  tahun  1998  telah  dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD  1945  adalah  mendorong  terbangunnya  struktur  ketatanegaraan  yang  lebih  demokratis.  Perubahan  UUD  1945  sejak  reformasi  telah  dilakukan  sebanyak  empat kali.
 Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 pasca amandemen ketiga   Hasil  perubahan  UUD  1945  melahirkan  bangunan  kelembagaan  negara  yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (checks  and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan  melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah  prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.
 Pasca  amandemen  UUD  1945  menyebabkan  berubahnya  sistem  ketatanegaraan yang berlaku  meliputi jenis dan jumlah lembaga negara,  sistem  pemerintahan,  sistem  peradilan  dan  sistem  perwakilannya.  Sejalan  dengan  itu,  muncul  lembaga-lembaga  dalam  bentuk  komisi,  untuk  menjawab  tuntutan  masyarakat.  Pembentukan  lembaga-lembaga  yang  berbentuk  komisi  ini  sangat  pesat perkembangannya sepanjang reformasi.
Banyaknya  tumbuh  lembaga-lembaga  dan  komisi-komisi,  ataupun  korporasi-korporasi  yang  bersifat  independen  tersebut  menurut  Jimly  Asshiddiqie  merupakan  gejala  yang  mendunia,  dalam  arti  tidak  hanya  di  Indonesia.  Seperti  dalam  perkembangan  di  Inggris  dan  di  Amerika  Serikat,  lembaga-lembaga  atau  komisi-komisi  itu  masih  ada  yang  berada  dalam  ranah  kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula yang bersifat independen  dan berada di luar wilayah  kekuasaan  eksekutif,  legislatif,  ataupun  yudikatif.  Pada  umumnya,  pembentukan  lembaga-lembaga independen ini didorong oleh kenyataan bahwa  birokrasi di lingkungan pemerintah dinilai tidak dapat  lagi memenuhi tuntutan   Titik  Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD  1945, h.1   kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu yang semakin meningkat  dan diharapkan semakin efisien dan efektif.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi