Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:KEPEMIMPINAN PEREMPUAN STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS’UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD


 BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang    Setelah berahirnya reformasi, perbincangan wacana kepemimpinan  perempuan selalu memperoleh perhatian yang sangat besar oleh banyak  kalangan. Kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, merupakan salah  satu isu besar dalam pemikiran Islam kontemporer di samping isu demokrasi,  relasi agama dan negara. Isu ini muncul dari keperihatinan yang sangat  mendalam atas ketertindasan kaum perempuan dan perlakuan tidak adil terhadap  mereka hampir dalam seluruh ruang.
 Sehingga kesempatan seorang perempuan  untuk menempatkan posisi dikursi parlemen, baik di legislatif maupun eksekutif  sangatlah terbatas.
Keterwakilan perempuan dalam pemerintahan baik di lembaga eksekutif  ataupun legislatif sangatlah penting. Karena perempuan, yang mampu dan  memudahkan akses bagi persoalan perempuan untuk mengawasi dan  menyuarakan kebijakan-kebijakan yang masih tidak adil bagi hak-hak  perempuan.
  Adnan Mahmud, Pemikiran Islam Kontemporer  di Indonesia, h.
 Ufi Ulfiah, Perempuan di Panggung Politik, h.
1   Keterlibatan perempuan dalam dunia politik juga menjadi catatan sejarah  Nabi Muhammad. Beberapa perempuan pada masa itu turun ke medan perang,  berdiskusi di majlis-majlis, menjadi imamshalat, (seperti Ummu Waraqoh ra.),  menjadi guru bagi kaum laki-laki, menjadi sumber pendapatan bagi keluarga dan  masyarakat dan lain-lain.

 Namun banyak kalangan yang berbeda pandangan, termasuk umat Islam  sendiri tidak setuju terhadap masuknya perempuan di wilayah publik. Aktivitas  publik merupakan hak asasi setiap manusia, termasuk perempuan. Perempuan  mempunyai hak yang sama, sebagaimana apa yang selama ini dilakukan oleh  seorang laki-laki termasuk memimpin dalam wilayah publik.
Sejarah kepemimpinan perempuan dalam Islam memang tidak begitu  mendapat porsi pembahasan yang cukup proporsional. Dalam wacana Islam di  Indonesia persoalan ini juga masih jarang dibicarakan. Intelektual seperti Nur  Cholis Masjid yang panggilan akrabnya Cak Nur, tokoh pembaharu Islam di  Indonesia misalnya, pernah dikritik oleh kalangan femenimis karena secara  spesifik ia tidak pernah menyentuh tema-tema perempuan dalam Islam.
 Hal ini  sangat berbeda dengan fenomena Islam di Timur Tengah seperti Hasan Hanafi,  Muhammad Imarah, Muhammad Arkoun, Abdullah An-Naim, Nasr Hamid Abu  Zaid, dan Muhammad Sahrur. Meskipun secara biologis mereka laki-laki, namun  mereka menaruh perhatian pada isu kepemimpinan perempuan. Bagi mereka   Ibid, h.
 Syafiq Hasyim, Sejarah Kepemimpinan Perempuan, h. 4   persoalan perempuan dalam Islam sama pentingnya dengan persoalan peradaban  Islam secara umum.
 Selain tidak mendapat porsi atau kesempatan yang signifikan, perempuan  di wilayah publik juga dikarenakan adanya sejumlah rambu-rambu yang didesain  untuk menjegal atau menghalangi perempuan tampil sebagai pemimpin publik.
Ironisnya, sebagian masyarakat menganggap hal ini sebagai bukti  ketidakmampuan perempuan di ranah publik. Banyak kalangan menganggap  bahwa rendahnya partisipasi perempuan di dunia publik merupakan hal yang  natural (takdir ketidakmampuan) saja. Tidak ada kesadaran bahwa rendahnya  partisipasi itu karena sejarah kebaradaan perempuan sebagai makhluk yang  memiliki hak selalu dinafikan (tidak dihitung) oleh kultur atau tradisi maupun  oleh struktur sosial-politik yang ada.
 Jika pandangan ini masih betah menetap dalam mindset (pola pikir)  bangsa Indonesia, maka hak perempuan yang bebas berpartisipasi akan sangat  sulit diwujudkan. Dirampasnya hak-hak perempuan bukan karena tidak adanya  deretan undang-undang yang memayunginya. Problem terbesar bukan pada  undang-undang tetapi karena memang hak itu tidak diberikan atau bahkan  dirampasnya.
 Ibid,h.
 Ulfah, Partisipasi Perempuan dalam Politik, h. 83   Peranan perempuan di pelbagai bidang kehidupan, kiranya tidak perlu  diragukan lagi. Bukan saja di dalam bidang biologis dan alamiah saja, tetapi di  bidang-bidang yang lain juga mempunyai hak dan peran yang sama. Tentu saja  ada perbedaan besar kecilnya peranan disuatu bidang tertentu, sesuai dengan  sifat-sifat yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Adakalanya di suatu  bidang, perempuan punya peranan lebih besar dan adakalanya di bidang yang  lain, laki-laki punya peranan lebih besar.
 Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam pandangan beberapa  ulama tidak hanya sebatas dalam lingkup keluarga, tetapi meliputi pula  kepemimpinan dalam masyarakat (kepemimpinan publik) dan politik. Sehingga  perempuan mendapatkan kesempatan  yang sama dengan laki-laki dalam  mengaktualisasikan potensinya sebagai pemimpin.
Selain realitas di atas, yang menjadi penghalang terhadap peran  perempuan dalam wilayah publik, yaitu tidak terlepas dari dua alasan dan  larangan keterlibatan perempuan dalam bidang kepemimpinan. Pertama,adanya  ayat al-Qur’an yang populer dijadikan rujukan yaitu surat an-Nisa>’ ayat 34 yang  berbunyi (laki-laki adalah pemimpin bagi kalangan  perempuan). Kedua, juga h{adi>s| yang menyatakan KH. Abdul Muchit Muzadi, Fiqih Perempuan Praktis, h.
 Surat An-Nisa’, Jus 4, Ayat 34.
  (tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan suatu urusannya kepada  perempuan).
Kedua dalil ini mempunyai keterkaitan dalam memperkuat argumentasi  ketidakbolehan perempuan dalam memegang kepemimpinan. Adapun alasan  lain, baik ayat maupun h{adi>s| tersebut, mengisyaratkan bahwa kepemimpinan  hanya untuk kaum laki-laki, dan menegaskan keharusan perempuan mengakui  kepemimpinan ini. Namun dalam kalangan mufassir kontemporer melihat ayat  dan h{adi>s| tersebut tidak harus dipahamiseperti itu, apalagi ayat dan h{adi>s|  tersebut berkaitan dengan persoalan rumah tangga.
Surat an-Nisa>’ ayat 34 secara jelas menyajikan tentang pembagian kerja  antara suami dan istri. Sementara h{adi>s| yang mengatakan, “Tidak beruntung  suatu kaum yang menyerahkan urusanya kepada perempuan”, tidak digariskan  secara umum. H{adi>s| ini berkaitan dengan suatu peristiwa, seperti yang telah  diriwayatkan Bukhori, Ahmad, an-Nasa’i, dan Tirmidzi melalui Abu Bakrah.
“Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat  putri Kisrah sebagai penguasa mereka, lalu beliau bersabda “Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada  perempuan”.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi