Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:MEKANISME PAW ANGGOTA DPR/DPRD MENURUT UU RI No 27 TAHUN 2009 DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH


 BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Perkembangan  penulisan  sejarah  semakin  lama  semakin  berpusat  pada  orang-orang yang memegang kekuasaan.  Oleh karena itu biografi para khalifah  dan  para  pejabat  tinggi serta  orang-orang  yang  berpengaruh  lainnya  juga  ikut  berkembang.  Apalagi  pada  masa  awal  perkembangan  Islam  masyarakat  tampaknya  sangat  tergantung  kepada  kepemimpinan  seorang  tokoh.  maju  mundurnya masyarakat dipandang sebagai karya kepemimpinan individual.
 Umat  Islam  dapat  terkoyak-koyak  oleh  berbagai  prilaku  kolektif  yang  cenderung pada konflik.  dimasa yang lalu umat dalam kubu yang berlawanan,  karena  tidak  ada  persamaan  pandangan.  dengan  kata  lain,  umat  pernah  kehilangan  identitas  politik.  tulisan  ini  dibuat  supaya  umat  mengerti  identitasnya  sendiri,  dan  untuk  umat  di  luar  Islam  serta  para  pengambil  kebijakan supaya tahu keinginan-keinginan politik Islam.

 Pemilihan  umum  termasuk  salah  satu  permasalahan  atau  kasus  yang  terjadi di zaman sekarang di berbagai negara.  Ringkasnya,  bisa dipahami secara  sederhana  bahwa  pemilu  adalah  dikembalikannya  hak  yang  memilih  kepada   Badri Yatim, Histroriografi Islam, ( Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu,  cet 1, 1997),   Kuntowijoyo, Identiitas Politik Islam, ( Bandung: Penerbit Mizan, cet 2, 1997), 113-114  1   umat atau rakyat dalam pemilihan para wakilnya yang akan mewakili mereka  untuk berbicara atas nama rakyat,  menuntut hak-haknya dan membelanya dari  hal-hal yang merugikan mereka.  seperti halnya yang terjadi  di beberapa negara,  walaupun mayoritas wakil-wakil rakyat tersebut mewakili kelompok atau partai  tertentu,  tetapi  mereka  memiliki  otoritas  untuk  berkomunikasi  dengan  para  penguasa  dengan  mengatasnamakan  kelompok  dan  partai  mereka  atau  atas  nama  umat  sendiri.  Definisi  sederhana  inilah  yang  berhubungan   dengan  masalah pemilihan umum dan yang akan menjadi kajian kami ditinjau dari sisi  syarinya.
 Peran serta umat dalam pemilihan ini sesungguhnya mengandung suatu  permasalahan lain,  misalnya:  kenapa para ahli fikih  mengatakan:  Barang siapa  yang  mendapatkan  persetujuan  dari  kaum  muslimin  maka  diangkat  menjadi  imam atau pimpinan kaum muslimin,  jawabannya:  karena umat ini diwajibkan  untuk  melaksanakan  hukum-hukum  syariat,  sedangkan  pelaksanaannya  secara  langsung  (tanpa sebuah lembaga resmi) tidak memungkinkan.  Apalagi dengan  jumlah  umat  yang  sangat  banyak,  maka  berdasarkan  konsep  perwakilan  dan  berdasarkan  pandangan  bahwa  orang  yang  ingin  menegakkan  hak  tidak  harus  dilakukan  langsung  olehnya,  tetapi  boleh  diwakilkan  kepada  yang  lain  atau  melalui perwakilannya.  maka, umat memilih orang tersebut (yang mendapatkan   Abdul  Karim  Zaidan  dkk,  Pemilu  dan  Partai  Dalam  Perspektif  Syariah,  (  Bandung:  PT  Syaamil cipta media, 2003), 3-4   persetujuan)  untuk  menjadi  khalifah  atau  pemimpin  yang  akan  mewakilinya  dalam melaksanakan kewajiban ini.
 Kewajiban yang harus ditegakkan oleh umat ini telah disebutkan dalam  firman allah ta’ala dalam Surat Al Hajj ayat 41”       (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi  niscaya mereka mendirikan sembahyang,  menunaikan zakat,    menyuruh berbuat  ma'ruf  dan  mencegah  dari  perbuatan  yang  mungkar;  dan  kepada  Allah-lah  kembali segala urusan.
 Orang  biasanya  akan  berbicara  tentang  amar  ma’ruf  nahi  munkar  (menyuruh  kebaikan,  mencegah  kejahatan)  bila  menyinggung  peranan  agama.
agama  dapat  berperan  sebagai  moral  force  supaya  orang  berbuat  baik.  peran  agama  tidak  langsung,  tetapi  melalui  individu  atau  kebudayaan.  Tulisan  ini  justru  dibuat  untuk  menyatakan  bahwa  agama  dapat  berperan  langsung,  tapi  melalui  proses  objektifikasi.  Agama-agama  dapat  berpengaruh  dalam  struktur  dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam demokratisasi.
 Inilah tujuan utama dari setiap pemerintahan dan kekuasaan yang telah  ditentukan  oleh  islam,  dan  orang  yang  terpilih  sebagai  imam  atau  pemimpin  memerlukan  pihak  yang  bisa  diajak  bermusyawarah.  dari  latar  belakang  ini,   Ibid.,   Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahnya,  (Bandung: CV Penerbit J-Art,2005),    Kuntowijoyo,  Identiitas Politik Islam, 100   maka muncullah istilah populer dikalangan para fuqoha, yaitu: ahl al-h}all wa al-‘aqd  yang  dimaksud  dengan  ahl  al-h}all  wa  al-‘aqd.
 Menurut  para  fuqoha  adalah:    segolongan  orang  yang  telah  dipilih  dan  mendapat  persetujuan  dari  umat.  pendapat-pendapat  mereka  dijadikan  rujukan  sluruh  umat  serta  mendapatkan  kepercayaan  penuh  dari  mereka.  semua  ini  akan  terlaksana,  jika  pemilihan dilakukan melalui proses pemilihan dari umat sendiri.
 Segolong  orang  yang  telah  dipilih  dan  mendapatkan  persetujuan  dari  umat ahl al-h}all  wa al-‘aqd  telah populer pada zaman dahulu.  tetapi pada masa  itu, mereka belum memandang perlu melakukan pemilihan umum secara terangterangan,  karena  pemilihan  umum  itu  sendiri  sebagai  sebuah  cara  untuk  mengetahui  persetujuan.  pada  masa  itu  orang-orang  yang  memberikan  persetujuan  sudah  diketahui,  sehingga  kaum  muslimin  tidak  perlu  berkumpul  untuk memilih wakil-wakil mereka yang duduk sebagai ahl al-h}all wa al-‘aqd.
 Adapun  dalam  pemilihan  khalifah,  mereka  mengadakan  pemilihan  umum  secara  resmi,  misalnya:  Abu  Bakar  dipilih  dan  dibaiat,  Umar  Bin  Khattab  walaupun  mendapat  instruksi  dari  Abu  Bakar,  dia  menduduki  kursi  khilafah  bukan  karena  instruksi  beliau  karena  pada  dasarnya  intruksi  tersebut  hanya  sebatas  pencalonan  dari  Abu  Bakar,  dan  seorang  khalifah  berhak   Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, cet 1, 2005),  Abdul Karim Zaidan dkk,  Pemilu dan Partai dalam Perspektif Syariah,    Ibid.,  9    mencalonkan penggantinya.
 Adapun yang menetapkan dan memilihnya adalah  umat.  seandainya  pemilihan  tersebut  tidak  dilakukan  oleh  umat  itu  sendiri,  maka  Umar  tidak  mungkin  menduduki  jabatan  khalifah  hanya  dengan  pencalonan dari Abu Bakar.
 Pelaksanaan  perkara  yang  dilakukan  oleh  para  ulama  terdahulu  menggunakan  prinsip  musyawarah.  Hal  ini  tidak  mungkin  dilakukan  dengan  cara  melibatkan  seluruh  umat  secara  langsung,  tetapi  yang  paling  memungkinkan  menurut  logika  adalah  seorang  imam  (pemimpin)  bermusyawarah dengan umatnya melalui wakil-wakil mereka yang telah dipilih  oleh  mereka  sendiri,  merekalah  yang  dimaksud  ahl  al-h}all  wa  al-‘aqd.  Pada  zaman sekarang tidak bisa diketahui kelayakan mereka kecuali melalui proses  penyeleksian dan pemilihan terlebih dahulu.
 Pemerintah  sebagai  salah  satu  struktur  dasar  sistem  politik  merupakan  lembaga  yang  menyelenggarakan  mekanisme  politik  atau  roda  pemerintahan  yang  dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut wali atau amir  dengan istilah  lainnya  yang  dikenal  dalam  kepustakaan  politik  dan  ketatanegaraan  Islami.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi