BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan penulisan
sejarah semakin lama
semakin berpusat pada orang-orang
yang memegang kekuasaan. Oleh karena itu
biografi para khalifah dan para
pejabat tinggi serta orang-orang
yang berpengaruh lainnya
juga ikut berkembang.
Apalagi pada masa
awal perkembangan Islam
masyarakat tampaknya sangat
tergantung kepada kepemimpinan
seorang tokoh. maju mundurnya
masyarakat dipandang sebagai karya kepemimpinan individual.
Umat
Islam dapat terkoyak-koyak oleh
berbagai prilaku kolektif
yang cenderung pada konflik. dimasa yang lalu umat dalam kubu yang
berlawanan, karena tidak
ada persamaan pandangan.
dengan kata lain,
umat pernah kehilangan
identitas politik. tulisan
ini dibuat supaya
umat mengerti identitasnya
sendiri, dan untuk
umat di luar
Islam serta para
pengambil kebijakan supaya tahu
keinginan-keinginan politik Islam.
Pemilihan
umum termasuk salah
satu permasalahan atau
kasus yang terjadi di zaman sekarang di berbagai
negara. Ringkasnya, bisa dipahami secara sederhana
bahwa pemilu adalah
dikembalikannya hak yang
memilih kepada Badri Yatim, Histroriografi Islam, ( Ciputat:
PT. Logos Wacana Ilmu, cet 1, 1997), Kuntowijoyo, Identiitas Politik Islam, (
Bandung: Penerbit Mizan, cet 2, 1997), 113-114 1 umat
atau rakyat dalam pemilihan para wakilnya yang akan mewakili mereka untuk berbicara atas nama rakyat, menuntut hak-haknya dan membelanya dari hal-hal yang merugikan mereka. seperti halnya yang terjadi di beberapa negara, walaupun mayoritas wakil-wakil rakyat tersebut
mewakili kelompok atau partai tertentu, tetapi
mereka memiliki otoritas
untuk berkomunikasi dengan
para penguasa dengan
mengatasnamakan kelompok dan
partai mereka atau
atas nama umat
sendiri. Definisi sederhana
inilah yang berhubungan
dengan masalah pemilihan umum dan
yang akan menjadi kajian kami ditinjau dari sisi syarinya.
Peran serta umat dalam pemilihan ini
sesungguhnya mengandung suatu permasalahan
lain, misalnya: kenapa para ahli fikih mengatakan:
‛Barang siapa yang mendapatkan
persetujuan dari kaum
muslimin maka diangkat
menjadi imam atau pimpinan kaum
muslimin, ‛jawabannya: karena umat ini
diwajibkan untuk melaksanakan
hukum-hukum syariat, sedangkan
pelaksanaannya secara langsung
(tanpa sebuah lembaga resmi) tidak memungkinkan. Apalagi dengan jumlah
umat yang sangat
banyak, maka berdasarkan
konsep perwakilan dan berdasarkan pandangan
bahwa orang yang
ingin menegakkan hak
tidak harus dilakukan
langsung olehnya, tetapi
boleh diwakilkan kepada
yang lain atau melalui
perwakilannya. maka, umat memilih orang
tersebut (yang mendapatkan Abdul Karim
Zaidan dkk, Pemilu
dan Partai Dalam
Perspektif Syariah, (
Bandung: PT Syaamil cipta media, 2003), 3-4 persetujuan)
untuk menjadi khalifah
atau pemimpin yang
akan mewakilinya dalam melaksanakan kewajiban ini.
Kewajiban yang harus ditegakkan oleh umat ini
telah disebutkan dalam firman allah
ta’ala dalam Surat Al Hajj ayat 41” (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma'ruf
dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar;
dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Orang
biasanya akan berbicara
tentang amar ma’ruf
nahi munkar (menyuruh
kebaikan, mencegah kejahatan)
bila menyinggung peranan
agama.
agama dapat
berperan sebagai moral
force supaya orang
berbuat baik. peran agama tidak
langsung, tetapi melalui
individu atau kebudayaan.
Tulisan ini justru
dibuat untuk menyatakan
bahwa agama dapat
berperan langsung, tapi melalui proses
objektifikasi. Agama-agama dapat
berpengaruh dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara,
termasuk dalam demokratisasi.
Inilah tujuan utama dari setiap pemerintahan
dan kekuasaan yang telah ditentukan oleh
islam, dan orang
yang terpilih sebagai
imam atau pemimpin memerlukan
pihak yang bisa
diajak bermusyawarah. dari
latar belakang ini, Ibid.,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit J-Art,2005), Kuntowijoyo,
Identiitas Politik Islam, 100 maka
muncullah istilah populer dikalangan para fuqoha, yaitu: ahl al-h}all wa
al-‘aqd yang dimaksud
dengan ahl al-h}all
wa al-‘aqd.
Menurut
para fuqoha adalah:
segolongan orang yang
telah dipilih dan
mendapat persetujuan dari umat. pendapat-pendapat mereka
dijadikan rujukan sluruh
umat serta mendapatkan
kepercayaan penuh dari
mereka. semua ini
akan terlaksana, jika pemilihan
dilakukan melalui proses pemilihan dari umat sendiri.
Segolong
orang yang telah
dipilih dan mendapatkan
persetujuan dari umat ahl al-h}all wa al-‘aqd
telah populer pada zaman dahulu.
tetapi pada masa itu, mereka
belum memandang perlu melakukan pemilihan umum secara terangterangan, karena
pemilihan umum itu
sendiri sebagai sebuah
cara untuk mengetahui
persetujuan. pada masa
itu orang-orang yang
memberikan persetujuan sudah
diketahui, sehingga kaum
muslimin tidak perlu
berkumpul untuk memilih
wakil-wakil mereka yang duduk sebagai ahl al-h}all wa al-‘aqd.
Adapun
dalam pemilihan khalifah,
mereka mengadakan pemilihan umum
secara resmi, misalnya:
Abu Bakar dipilih
dan dibaiat, Umar
Bin Khattab walaupun
mendapat instruksi dari
Abu Bakar, dia
menduduki kursi khilafah
bukan karena instruksi
beliau karena pada
dasarnya intruksi tersebut hanya
sebatas pencalonan dari
Abu Bakar, dan
seorang khalifah berhak Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam,
(Jakarta: Amzah, cet 1, 2005), Abdul
Karim Zaidan dkk, Pemilu dan Partai
dalam Perspektif Syariah, Ibid.,
9 mencalonkan penggantinya.
Adapun yang menetapkan dan memilihnya adalah umat.
seandainya pemilihan tersebut
tidak dilakukan oleh
umat itu sendiri, maka
Umar tidak mungkin
menduduki jabatan khalifah
hanya dengan pencalonan dari Abu Bakar.
Pelaksanaan
perkara yang dilakukan
oleh para ulama
terdahulu menggunakan prinsip
musyawarah. Hal ini
tidak mungkin dilakukan
dengan cara melibatkan
seluruh umat secara
langsung, tetapi yang
paling memungkinkan menurut
logika adalah seorang
imam (pemimpin) bermusyawarah dengan umatnya melalui
wakil-wakil mereka yang telah dipilih oleh mereka
sendiri, merekalah yang
dimaksud ahl al-h}all
wa al-‘aqd. Pada zaman
sekarang tidak bisa diketahui kelayakan mereka kecuali melalui proses penyeleksian dan pemilihan terlebih dahulu.
Pemerintah
sebagai salah satu
struktur dasar sistem
politik merupakan lembaga
yang menyelenggarakan mekanisme
politik atau roda
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut
wali atau amir dengan istilah lainnya
yang dikenal dalam
kepustakaan politik dan
ketatanegaraan Islami.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi