Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:SANKSI TERHADAP ILLEGAL LOGGING DI KECAMATAN KEDUNG ADEM KABUPATEN BOJONEGORO MENURUT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NO. 4 TAHUN 2003 DALAM PERSPEKTIF FIKIH JINAYAH


BAB I PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG Masalah  kerusakan  lingkungan,  bukanlah  suatu  hal  yang  asing  di  telinga  setiap orang. Dengan mudah kita menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan  lingkungan  tersebut  dan  apa  saja  akibat  yang  ditimbulkannya.  Misalnya  dengan  cepat  mereka  dapat  mengerti  bahwa  eksploitasi  alam  dan  penebangan  hutan  yang  berlebihan dapat menyebabkan banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih, dan  membuang limbah industri ke sungai yang mengganggu  ekosistem  (tempat dimana  terjadinya proses berinteraksi dan ketergantungan makhluk hidup dengan lingkungan  hidupnya)  lain,  hingga  pencemaran  terhadap  sungai  dan  masih  banyak  lagi  daftar  sebab  akibat  yang  terjadi  di  lingkungan  kita.

 Inti  dari  permasalahan  lingkungan  adalah ketidakseimbangan yang terjadi dalam hubungan antar komponen lingkungan  akibat perubahan.
Makhluk  hidup  merupakan  pihak  yang  selalu  memanfaatkan  lingkungan  hidupnya,  baik  dalam  hal  pemenuhan  kebutuhan  pangan,  sandang,  papan  dan  lainlain.  Manusia  adalah  makhluk  yang  paling  unggul  di  dalam  ekosistem,  memiliki   Afandi Kusuma, ‚Wikipedia, http://www. lingkungan-hidup-kerusakan-lingkunganpengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian-.html (15 Nopember 2012)   daya  dalam  mengkreasi  dan  mengkonsumsi  berbagai  sumber  daya  alam  dalam  kebutuhan  hidupnya.  Hubungan  manusia  dengan  lingkungan  hidupnya  adalah  sirkuler  yang berarti jika terjadi perubahan pada lingkungannya maka manusia ikut  terpengaruh.
 Dunia  ini  tengah  menghadapi  ancaman  yang  mengerikan  dalam  hal  kelestarian fungsi dan tatanan lingkungan, serta menurunnya kualitas dan ekosistem  global.  Misalnya  hutan  yang  merupakan  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari  kehidupan  manusia.  Seiring  dengan  perkembangan  kehidupan  masyarakat  modern  dalam  menghadapi  globalisasi  serta  adanya  proses  industrialisasi  (usaha  menggalakkan  industri  di  suatu  negara)  dan  modernisasi  (proses  pergeseran  sikap  dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan  masa  kini)  akan  menumbuhkan  perubahan  proses  sosial  dalam  tata  kehidupan  masyarakat.
Proses industrialisasi  dan modernisasi  dan terutama industrialisasi kehutanan  telah  berdampak  besar  pada  kelangsungan  hutan  sebagai  penyangga  hidup  dan  kehidupan  makhluk  di  dunia.  Hutan  merupakan  sumber  daya  yang  sangat  penting  tidak  hanya  sebagai  sumber  daya  kayu,  tetapi  lebih  sebagai  salah  satu  komponen  lingkungan hidup.
 Untuk itu dalam kedudukannya hutan sebagai salah satu penentu  sistem  penyangga  kehidupan  harus  dijaga  kelestariannya.  Sebagaimana  landasan   Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),   Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi penyelesaian sengketa,  (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal 6   konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : ‚Bumi air dan kekayaan  alam  yang  terkandung  di  dalamnya  dikuasai  oleh  Negara  dan  untuk  sebesar-besar  kemakmuran rakyat.
 Kawasan  hutan  merupakan  sumberdaya  alam  yang  terbuka,  sehingga  akses  masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut memacu  permasalahan  dalam  pengelolaan  hutan.  Seiring  dengan  semangat  reformasi  (perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama dalam  suatu  masyarakat  atau  negara)  kegiatan  penebangan  kayu  dan  pencurian  kayu  di  hutan  menjadi  semakin  marak  apabila  hal  ini  dibiarkan  berlangsung  secara  terus  menerus  kerusakan  hutan  Indonesia  akan  berdampak  pada  terganggunya  kelangsungan  ekosistem  (tempat  dimana  terjadinya  proses  berinteraksi  dan  ketergantungan  makhluk  hidup  dengan  lingkungan  hidupnya),  terjadinya  banjir,  tanah longsor, disfungsinya hutan sebagai penyangga keseimbangan alam serta dari  sisi pendapatan Negara.  Indonesia mengalami kerugian  yang dihitung dari pajak dan  pendapatan yang seharusnya masuk ke kas Negara (uang simpanan Negara).
Aktifitas  penebangan  kayu  dan  pencurian  kayu  pembalakan  kayu  yang  diambil  dari  kawasan  hutan  dengan  tidak  sah  atau  tanpa  ijin  yang  sah  dari  pemerintah kemudian berdasarkan hasil beberapa kali seminar dikenal dengan istilah  illegal  logging.  Illegal  logging  terjadi  karena  adanya  kerjasama  antara  masyarakat   Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33   lokal berperan sebagai pelaksana dilapangan dengan para cukong bertindak sebagai  pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut, adakalanya cukong  tidak  hanya  menampung  dan  membeli  kayu-kayu  hasil  tebangan  namun  juga  mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat untuk kebutuhan pengangkutan. Untuk  mengatasi  maraknya  tindak  pidana  illegal  logging  jajaran  aparat  penegak  hukum  (penyidik  Polri  maupun  penyidik  Ppns  yang  lingkup  tugasnya  bertanggungjawab  terhadap  pengurusan  hutan,  kejaksaan  maupun  Hakim)  telah  mempergunakan  undang-undang No. 41 tahun 1991 tentang kehutanan diubah dengan undang-undang  No.  19  tahun  2004  tentang  peraturan  pemerintah  .  Kedua  undang-undang  tersebut  tentang  kehutanan  sebagai  instrumen  hukum  untuk  menanggulangi  tindak  pidana  illegal  logging,  meskipun  secara  limitatif  (bersifat  membatasi)  undang-undang  tersebut tidak menyebutkan adanya istilah illegal logging.
Menurut pasal 47 peraturan daerah propinsi Jawa Timur Nomor 4 tahun 2003  Tentang  Pengelolaan  Hutan  Di  Propinsi  Jawa  Timur.  Setiap  orang  dilarang  :  a.
Merusak,  memindahkan  dan  menghilangkan  tanda  batas  serta  merusak  sarana  dan  prasarana  perlindungan  hutan  lainnya,  b.  Mengerjakan  dan  atau  menggunakan  dan  atau  menduduki  kawasan  hutan  secara  tidak  sah,  c.  Merambah  kawasan  hutan,  d.
Melakukan  penebangan  pohon  dalam  kawasan  hutan  dengan  radius  atau  jarak  sampai dengan : 1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau, 2) 200 (dua  ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa, 3) 100 (seratus)  meter dari kiri kanan tepi anak sungai, 4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi   anak sungai, 5) 2 (dua) kali  kedalaman jurang dari tepi jurang, 6) 130 (seratus tiga  puluh)  kali  selisih  pasang  tertinggi  dan  pasang  terendah  dari  tepi  pantai,  e.
Membakar hutan, f. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di  dalam  hutan  tanpa  memiliki  hak  atau  izin  dari  pejabat  yang  berwenang,  g.
Menerima,  membeli  atau  menjual,  menerima  tukar,  menerima  titipan, menyimpan,  atau  memiliki  hasil  hutan  yang  diketahui  atau  patut  diduga  berasal  dari  kawasan  hutan  yang  diambil  atau  dipungut  secara  tidak  sah,  h.  Melakukan  kegiatan  penyelidikan  umum  atau  eksplorasi  atau  eksploitasi  bahan  tambang  di  dalam  kawasan hutan tanpa izin Menteri, i. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil  hutan  yang  tidak  dilengkapi  bersama-sama  dengan  surat  keterangan  sahnya  hasil  hutan,  j.  Menggembalakan  ternak  di  dalam  kawasan  hutan  yang  tidak  ditunjuk  secara  khusus  untuk  maksud  tersebut  oleh  pejabat  yang  berwenang,  k.  Membawa  alat-alat  berat  dan  atau  alat-alat  lainnya  yang  lazim  atau  patut  diduga  akan  digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat  yang  berwenang,  l.  Membawa  alat-alat  yang  lazim  digunakan  untuk  menebang,  memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang  berwenang,  m.  Membuang  benda-benda  yang  dapat  menyebabkan  kebakaran  dan  kerusakan  serta  membahayakan  keberadaan  atau  kelangsungan  fungsi  hutan  ke  dalam  kawasan  hutan,  n.  Menangkap,  mengambil  dan  mengangkut  tumbuh-  tumbuhan  dan  satwa  liar  yang  tidak  dilindungi  undang-undang  yang  berasal  dari  kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
 Larangan bagi masyarakat tersebut sangat sulit untuk dipatuhi masyarakat di  Daerah Kedung Adem tepatnya di Desa Pejok dan Babat. Dikarenakan tempat Desa  tersebut  yang  berada  di  dalam  kawasan  hutan,  banyak  sekali  masyarakat  yang  melanggar  larangan  tersebut.  Pemerintah  Daerah  menugaskan  satuan  polisi  hutan  (Pol  Hut)  dan  Pegawai  Negeri  Sipil  yang  ditunjuk  untuk  memberikan  penyuluhan  kepada  masyarakat  baik  di  dalam  maupun  di  luar  kawasan  hutan  tentang  perlindungan dan pengamanan hutan.
Menurut  pasal  61  Peraturan  Daerah  Propinsi  Jawa  Timur  Nomor  4  Tahun  2003  tentang  pengelolaan  hutan  di  Propinsi  Jawa  Timur  :  (1)  Barang  siapa  melanggar ketentuan pasal 47 diancam pidana kurungan paling lama (enam) bulan  atau  denda  paling  banyak  Rp.  5.000.000,-  (lima  juta  rupiah),  (2)  Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  adalah  pelanggaran,  (3)  Selain  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  dapat  dikenakan  ancaman  pidana  sesuai  dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (4) Tindak pidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) adalah kejahatan.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi