BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Masalah kerusakan
lingkungan, bukanlah suatu
hal yang asing
di telinga setiap orang. Dengan mudah kita menunjuk dan
mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan tersebut
dan apa saja
akibat yang ditimbulkannya. Misalnya
dengan cepat mereka
dapat mengerti bahwa
eksploitasi alam dan
penebangan hutan yang berlebihan
dapat menyebabkan banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih, dan membuang limbah industri ke sungai yang
mengganggu ekosistem (tempat dimana terjadinya proses berinteraksi dan
ketergantungan makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya)
lain, hingga pencemaran
terhadap sungai dan
masih banyak lagi
daftar sebab akibat
yang terjadi di
lingkungan kita.
Inti
dari permasalahan lingkungan adalah ketidakseimbangan yang terjadi dalam
hubungan antar komponen lingkungan akibat
perubahan.
Makhluk hidup
merupakan pihak yang
selalu memanfaatkan lingkungan hidupnya,
baik dalam hal
pemenuhan kebutuhan pangan,
sandang, papan dan
lainlain. Manusia adalah
makhluk yang paling
unggul di dalam
ekosistem, memiliki Afandi Kusuma, ‚Wikipedia‛,
http://www. lingkungan-hidup-kerusakan-lingkunganpengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian-.html
(15 Nopember 2012) daya dalam
mengkreasi dan mengkonsumsi
berbagai sumber daya
alam dalam kebutuhan
hidupnya. Hubungan manusia
dengan lingkungan hidupnya
adalah sirkuler yang berarti jika terjadi perubahan pada
lingkungannya maka manusia ikut terpengaruh.
Dunia
ini tengah menghadapi
ancaman yang mengerikan
dalam hal kelestarian fungsi dan tatanan lingkungan,
serta menurunnya kualitas dan ekosistem global. Misalnya
hutan yang merupakan
bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan
manusia. Seiring dengan
perkembangan kehidupan masyarakat
modern dalam menghadapi
globalisasi serta adanya
proses industrialisasi (usaha menggalakkan
industri di suatu
negara) dan modernisasi
(proses pergeseran sikap dan
mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa
kini) akan menumbuhkan
perubahan proses sosial
dalam tata kehidupan masyarakat.
Proses industrialisasi dan modernisasi dan terutama industrialisasi kehutanan telah
berdampak besar pada
kelangsungan hutan sebagai
penyangga hidup dan kehidupan makhluk
di dunia. Hutan
merupakan sumber daya
yang sangat penting tidak
hanya sebagai sumber
daya kayu, tetapi
lebih sebagai salah
satu komponen lingkungan hidup.
Untuk itu dalam kedudukannya hutan sebagai
salah satu penentu sistem penyangga
kehidupan harus dijaga
kelestariannya. Sebagaimana landasan Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Siswanto
Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi penyelesaian sengketa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal 6 konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi : ‚Bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara
dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat‛.
Kawasan
hutan merupakan sumberdaya
alam yang terbuka,
sehingga akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat
besar. Kondisi tersebut memacu permasalahan dalam
pengelolaan hutan. Seiring
dengan semangat reformasi (perubahan secara drastis untuk perbaikan
bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu
masyarakat atau negara)
kegiatan penebangan kayu
dan pencurian kayu
di hutan menjadi
semakin marak apabila
hal ini dibiarkan
berlangsung secara terus menerus kerusakan
hutan Indonesia akan
berdampak pada terganggunya kelangsungan
ekosistem (tempat dimana
terjadinya proses berinteraksi
dan ketergantungan makhluk
hidup dengan lingkungan
hidupnya), terjadinya banjir, tanah longsor, disfungsinya hutan sebagai
penyangga keseimbangan alam serta dari sisi
pendapatan Negara. Indonesia mengalami
kerugian yang dihitung dari pajak dan pendapatan yang seharusnya masuk ke kas Negara
(uang simpanan Negara).
Aktifitas penebangan
kayu dan pencurian
kayu pembalakan kayu
yang diambil dari
kawasan hutan dengan
tidak sah atau
tanpa ijin yang
sah dari pemerintah kemudian berdasarkan hasil beberapa
kali seminar dikenal dengan istilah illegal logging.
Illegal logging terjadi
karena adanya kerjasama
antara masyarakat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 lokal berperan sebagai pelaksana dilapangan
dengan para cukong bertindak sebagai pemodal
yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut, adakalanya cukong tidak
hanya menampung dan
membeli kayu-kayu hasil
tebangan namun juga mensuplai
alat-alat berat kepada masyarakat untuk kebutuhan pengangkutan. Untuk mengatasi
maraknya tindak pidana
illegal logging jajaran
aparat penegak hukum (penyidik Polri
maupun penyidik Ppns
yang lingkup tugasnya
bertanggungjawab terhadap pengurusan
hutan, kejaksaan maupun
Hakim) telah mempergunakan undang-undang No. 41 tahun 1991 tentang
kehutanan diubah dengan undang-undang No. 19
tahun 2004 tentang
peraturan pemerintah .
Kedua undang-undang tersebut tentang
kehutanan sebagai instrumen
hukum untuk menanggulangi
tindak pidana illegal
logging, meskipun secara
limitatif (bersifat membatasi)
undang-undang tersebut tidak
menyebutkan adanya istilah illegal logging.
Menurut pasal 47 peraturan daerah
propinsi Jawa Timur Nomor 4 tahun 2003 Tentang Pengelolaan
Hutan Di Propinsi
Jawa Timur. Setiap
orang dilarang : a.
Merusak, memindahkan
dan menghilangkan tanda
batas serta merusak
sarana dan prasarana
perlindungan hutan lainnya,
b. Mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara
tidak sah, c.
Merambah kawasan hutan,
d.
Melakukan penebangan
pohon dalam kawasan
hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan : 1) 500 (lima ratus) meter dari
tepi waduk atau danau, 2) 200 (dua ratus)
meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa, 3) 100 (seratus)
meter dari kiri kanan tepi anak sungai,
4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai, 5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang, 6) 130
(seratus tiga puluh) kali
selisih pasang tertinggi
dan pasang terendah
dari tepi pantai,
e.
Membakar hutan, f. Menebang pohon
atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki
hak atau izin
dari pejabat yang
berwenang, g.
Menerima, membeli
atau menjual, menerima
tukar, menerima titipan, menyimpan, atau
memiliki hasil hutan
yang diketahui atau
patut diduga berasal
dari kawasan hutan
yang diambil atau
dipungut secara tidak
sah, h. Melakukan
kegiatan penyelidikan umum
atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang
di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri, i.
Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
yang tidak dilengkapi
bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan, j.
Menggembalakan ternak di
dalam kawasan hutan
yang tidak ditunjuk secara
khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat
yang berwenang, k. Membawa
alat-alat berat
dan atau alat-alat
lainnya yang lazim
atau patut diduga
akan digunakan untuk mengangkut
hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang
berwenang, l. Membawa
alat-alat yang lazim
digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang, m.
Membuang benda-benda yang
dapat menyebabkan kebakaran
dan kerusakan serta
membahayakan keberadaan atau
kelangsungan fungsi hutan
ke dalam kawasan
hutan, n. Menangkap,
mengambil dan mengangkut
tumbuh- tumbuhan dan
satwa liar yang
tidak dilindungi undang-undang
yang berasal dari kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Larangan bagi masyarakat tersebut sangat sulit
untuk dipatuhi masyarakat di Daerah
Kedung Adem tepatnya di Desa Pejok dan Babat. Dikarenakan tempat Desa tersebut
yang berada di
dalam kawasan hutan,
banyak sekali masyarakat
yang melanggar larangan
tersebut. Pemerintah Daerah
menugaskan satuan polisi
hutan (Pol Hut)
dan Pegawai Negeri
Sipil yang ditunjuk
untuk memberikan penyuluhan kepada
masyarakat baik di
dalam maupun di
luar kawasan hutan
tentang perlindungan dan
pengamanan hutan.
Menurut pasal
61 Peraturan Daerah
Propinsi Jawa Timur
Nomor 4 Tahun 2003 tentang
pengelolaan hutan di
Propinsi Jawa Timur
: (1) Barang
siapa melanggar ketentuan pasal
47 diancam pidana kurungan paling lama (enam) bulan atau
denda paling banyak
Rp. 5.000.000,- (lima
juta rupiah), (2)
Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) adalah pelanggaran,
(3) Selain pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1), dapat dikenakan
ancaman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, (4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) adalah kejahatan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi