BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bertitik tolak
dari kaidah dasar
pemerintahan Republik Indonesia
yang didasari oleh konstitusi dan
Undang-Undang, diketahui bahwa Negara
Indonesia ialah Negara
kesatuan yang berbentuk
Republik sedang kedaulatan
b erada di tangan
rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar
dan Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.
Dalam menjalankan kedaulatannya, rakyat secara
personal mendapat perlindungan
atas hak-haknya yang
dimiliki, yang diatur dalam pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi:
‚Kemerdekaan, berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan
dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan
Undang-Undang‛. Kemerdekaan berserikat
inilah menjadi titik
tolak lahirnya organisasi
partai politik yang
sedemikian banyaknya dan selalu bertumbuh
dari waktu ke
waktu, karena partai
politik sebagai tonggak demokrasi yang dapat menentukan keberadaan
pemimpin Negara.
Kuswanto, Dasar Hukum Berdirinya Partai Politik, Kontestasi dan
Penetapan Kursi Legislatif, Mimeo, (Surabaya: Makalah Seminar DPD Partai
HANURA Jawa Timur, 03 Maret 2013), 1.
Demokrasi
modern adalah demokrasi
perwakilan dan jika
mereka gagal memainkan peranan itu maka seluruh
bangunan besar itupun retak. Wakil-wakil
dipilih mewakili rakyatnya untuk
bertindak demi tujuan-tujuan rakyat.
Masyarakat modern yang semakin kompleks ini, rakyat
yang jumlahnya sudah mencapai
jutaan tidak mungkin
berkumpul di suatu
tempat untuk membahas persoalan-persoalan kenegaraan secara
bersama-sama. Dalam kondisi masyarakat seperti
itu, untuk ikut
berpatisipasi dalam urusan
pemerintahan masyarakat harus memilih sejumlah
orang dari kalangan
mereka sendiri untuk mewakili kepentingan
mereka. Pelaksanaan partisipasi
dalam urusan pemerintahan
ini hanya dapat
diwujudkan jika partai
politik ada dan
dapat mengajukan calon-calonnya
untuk dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, dalam sistem perwakilan proses pengajuan calon-calon
yang nantinya akan dipilih oleh rakyat
secara bebas yang dikenal juga dengan fungsi rekrutmen partai.
(1a)
Rekrutmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi
secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan.
(2). Rekrutmen
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf
c dan huruf
d dilakukan secara demokratis dan
terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan
perundang-undangan.
(3). Penetapan
atas rekrutmen sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1), ayat (1a) dan
ayat 2 dilakukan dengan pengurus partai politik sesuai dengan AD dan ART.
Undang-undang partai
politik di atas
menyebutkan bahwa rekrutmen bakal calon
anggota legislatif dilakukan melalui seleksi kaderisasi. Partai politik tanpa kaderisasi tidak berarti apa-apa. Sistem
kaderisasi akan berjalan baik jika semua pihak
terkait saling bekerja
sama dalam membentuk
pola pengkaderan.
Kaderisasi ini dikatakan sebagai
persoalan penting karena
sesungguhnya di dalam partai politik perlu mengkaji lagi soal
calon pemimpin yang memiliki visi demokrasi
dan bermental jujur.
Untuk itu sangat perlu dan mendesak bagi
partai politik, terutama
para ketua umumnya
untuk segera memikirkan
langkahlangkah strategi yang bisa merubah keadaan ini. Mereka harus
segera melakukan perombakan mendasar
terhadap sistem rekrutmen politik di dalam partai politik yang mereka pimpin sehingga mendukung proses
kaderisasi.
Setiap partai politik memiliki
pola rekrutmen yang berbeda, dimana pola perekrutan
anggota partai disesuaikan
dengan sistem politik
yang dianutnya.
Partai
HANURA dalam merekrut
seorang bakal calon
anggota legislatif Koirudin,
Partai Politik dan Agenda
Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2004), 12.
Fadillah Putra, Partai Politik dan Kebijakan
Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 13.
menetapkan
beberapa kriteria yaitu
bakal calon anggota
legislatif adalah seseorang yang mempunyai prestasi yang baik
selama menjadi kader, memiliki kredibilitas dan
loyalitas yang tinggi
terhadap partai, disukai
oleh masyarakat, mempunyai dana yang cukup yang nantinya akan
digunakan untuk kampanye.
Proses
rekrutmen bakal calon
anggota legislatif dilakukan
melalui beberapa tahap, yaitu : 1.
Tahap persiapan 2. Tahap
sosialisasi 3. Tahap pendaftaran 4. Tahap verifikasi 5. Tahap seleksi khusus 6. Tahap penugasan 7. Tahap monitoring dan evaluasi 8. Tahap Penetapan Politik Islam juga mengenal
istilah Ahl al-H}all wa al-‘Aqd yang berarti orang
yang dapat memutuskan
dan mengikat. Para
ahli Fiqh Siya>sah merumuskan pengertian Ahl
al-H}all wa al-‘Aqd sebagai
seorang yang memiliki kewenangan untuk
memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara).
Dengan kata lain
Ahl al-H}all wa
al-‘Aqd adalah lembaga
perwakilan Idrus Alwi,
Wawancara, (Surabaya: Kantor DPD Partai HANURA Jawa Timur, 6 Mei 2013).
Surat Keputusan Nomor 264/DPP-HANURA/IV/2012,
Pasal 13 dan 14.
yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau
suara masyarakat. Mereka juga bertugas menetapkan
dan mengangkat kepala
negara sebagai pemimpin pemerintahan.
Paradigma pemikiran ulama fiqh merumuskan istilah Ahl
al-H}all wa al-‘Aqd
didasarkan pada sistem
pemilihan empat khalifah
pertama yang dilaksanakan
oleh para tokoh
sahabat yang mewakili
dua golongan yaitu Muhajirin
dan Anshar. Mereka ini oleh ulama fiqh
diklaim sebagai Ahl al-H}all wa
al-‘Aqd yang bertindak
sebagai wakil umat.
Walaupun sesungguhnya pemilihan
itu, khususnya pemilihan
Abu Bakar dan
Ali bersifat spontan
atas dasar tanggung jawab umum
terhadap kelangsungan keutamaan umat dan agama.
Namun kedua
tokoh itu mendapat
pengakuan dari umat.
Orang-orang
yang memilih khalifah
ini (Ahl al-H}all
wa al-‘Aqd) harus
memenuhi tiga syarat yaitu: 1. Adil dengan segala syaratnya.
2. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa
yang berhak menjadi imam (khalifah)
sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.
3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya
mampu memilih siapa yang paling ahli
dalam mengelola semua kepentingan.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siya> sah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 137-138.
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siya>sah: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 67.
Imam
Mawardi, (Terj.) Fadli
Bahri, al-Ahka>m as-Sulta>niyyah: Hukum-Hukum
Penyelenggara Negara dalam
Syariat Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 3.
Ahl
al-H}all wa al-‘Aqd
yang terdiri dari
orang-orang mukmin, apabila mereka
sepakat atas satu
perkara dari perkara-perkara yang
mengandung kemaslahatan umum,
yang tidak ada
nashnya dari Allah
atau rasul dan kesepakatan
itu atas kehendak mereka sendiri tanpa ada sedikitpun paksaan dari orang lain maka taat kepada mereka adalah
wajib, sebab mereka adalah
orangorang yang dipercayai
dan diikuti oleh
masyarakat. Mereka juga
wajib bermusyawarah dalam
menetapkan apa yang harus dilakukan.
Islam mewajibkan kepada penguasa untuk
bermasyarakat dalam perkaraperkara umum.
Mayoritas ulama sepakat
meletakkan ‚musyawarah‛ sebagai kewajiban
keislaman dan prinsip
konstitusional yang pokok
di atas prinsipprinsip umum
dan dasar-dasar baku
yang telah ditetapkan
oleh nash-nash alQur’an dan hadis.
Dan hal ini sesuai dengan
al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 159: Artinya : ‛Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. karena
itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Farid Abdul
Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), 43.
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya‛. (Q. S.
Ali Imron : 159).
Dalam pandangan Fiqh Siya>sah pengangkatan
orang-orang tertentu untuk mengisi kekuasaan
politik dalam pandangan
ulama Sunni seperti
Imam alMawardi, rekrutmen politik
atau penentuan seorang kepala pemerintahan dapat terjadi dengan salah satu dari dua cara: pertama, dengan ditunjuk langsung oleh pemimpin
sebelumnya kepada seseorang;
kedua, dengan pembai`atan
yang dilakukan oleh
dewan pemilih (Ahl
al-H}all wa al-‘Aqd).
Bai’at adalah sumpah setia
yang mempertalikan pemimpin
dan masyarakatnya, bai’at
identik dengan perjanjian.
Menurut
al-Mawardi penunjukkan oleh
khalifah sebelumnya sah menurut ijma`
dan para ulama
sepakat untuk membenarkannya berdasarkan sandaran argumentatif pada dua preseden
pergantian khulafa>’ ar-rasyidin
dalam sejarah Islam.
Dalam konteks rekrutmen politik
parlemen, ada sejumlah gejala maupun penyimpangan-penyimpangan yang
tidak kondusif bagi
proses membangun demokrasi
yaitu, pertama, sistem
pemilihan umum proposional
telah mengabadikan dominasi
KKN dalam proses
rekrutmen. Elite partai
di daerah sangat berkuasa penuh terhadap proses
rekrutmen, yang menentukan siapa yang bakal menduduki
‚nomor teratas‛ dan
siapa yang sengsara
menduduki ‚nomor Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Jakarta: PT. Hilal, 2010), 103.
Khalid Ibrahim Jinda, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu
Taimiyah tentang Pemerintahan Islam,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 78. terakhir‛. Dalam pemilu
legislatif 2009, sebetulnya
nomor urut teratas
tidak meentukan calon
anggota legislatif dapat
terpilih menjadi anggota
legislatif, namun telah diprediksi
sejak awal sulit
bagi calon anggota
legislatif di partai maupun
daerah untuk memperoleh
suara signifikan dalam
bilangan pembagi pemilih
di suatu daerah
pemilihan. Kedua, proses
rekrutmen tidak berlangsung secara
terbuka, transparan dan
partisipatif. Pihak kandidat
sama sekali tidak mempunyai
sense terhadap konstituen yang menjadi basisnya karena dia hanya mewakili
daerah administratif (bukan
dapil yang sebenarnya),
sehingga pembelajaran untuk
membangun responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya masyarakat juga tidak tahu siapa kandidat yang
bakal mewakilinya. Ada diantara mereka
juga yang tidak mau dipublikasikan mengenai daftar riwayat hidupnya.
Begitu juga
ada beberapa calon
anggota legislatif yang
bukan dari partai
itu sendiri sehingga
menjadikan mereka kader
intans. Ketiga, dalam
proses rekrutmen tidak dibangun
relasi yang baik antara partai politik dan masyarakat sipil.
Masyarakat sipil hanya
dipandang secara numerik
sebagai angka bukan sebagai
konstituen yang harus dihormati dan
diperjuangkan. Berbagi organisasi masyarakat hanya
ditempatkan sebagia underbow
sebuah alt politik
yang memobilisasi massa,
buan sebagai basis
perjuangan politik partai.
Keempat, proses pemilihan
umum dan proses
rekrutmen bekerja dalam
konteks massa mengambang
yang kurang terdidik,
kritis. Dalam jangka
yang cukup panjang masyarakat
tidak memperoleh pendidikan
politik secara sehat
sehingga menghasilkan jutaan
pemilih tradisional yang
sangat rentan dengan
praktikpraktik mobilisasi.
Penyimpangan-penyimpangan di
atas merupakan problem
yang rumit dalam
rekrutmen politik menuju
tatanan politik demokratis
di parlemen, terutama terjadi dalam proses rekrutmen bakal
calon anggota legislatif di tingkat lokal. Hal
ini menarik minat
penulis untuk melalukan
penelitian yang memfokuskan pada rekrutmen bakal calon anggota
legislatif di Partai HANURA.
Dari uraian-uraian yang telah
disebutkan di atas dan dengan mengingat pentingnya
partisipasi masyarakat dalam
rangka ikut melakukan
pengawalan dalam fungsi
partai yaitu pada
fungsi rekrutmen khususnya
pada bakal calon anggota legislatif,
maka penulis akan
mengangkatnya sebagai karya
ilmiah (skripsi) dengan judul
‚Mekanisme Rekrumen Bakal Calon Anggota Legislatif di DPD
Partai HANURA Jawa
Timur Menurut UU.
No. 2 Tahun
2011 dan Fiqh Siya>sah‛.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi