BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tindak
pidana korupsi di
Indonesia sudah meluas
dalam masyarakat.
Perkembangannya terus
meningkat dari tahun
ke tahun, baik
dari jumlah kasus
yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari
segi kualitas tindak
pidana yang dilakukan
semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat.
Di
antara substansi hukum
yang berpotensi merusak
penegakan hukum terutama agenda pemberantasan korupsi, yaitu
keharusan adanya persetujuan tertulis
untuk pemeriksaan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Dalam hal ini, Pasal 36 UU 32/2004 juncto UU 12/2008
menyatakan: 1) Tindakan penyelidikan
dan penyidikan terhadap
kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah dilaksanakan
setelah adanya persetujuan
tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diberikan oleh
presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya
permohonan, proses penyelidikan
dan penyidikan dapat dilakukan.
3) Tindakan penyidikan
yang dilanjutkan dengan
penahanan diperlukan persetujuan
tertulis sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
4) Hal–hal yang dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Tertangkap tangan melakukan
tindak pidana kejahatan atau R.wiyono, Pembahasan
Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta:Sinar Grafika,2009) , 302.
Edited withthe trial version of Foxit
Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping
2 b. Disangka telah
melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau
telah melakukan tindak
pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
5) Tindakan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden
paling lambat dalam waktu 2 kali 24 jam.
Berdasarkan ketentuan
tersebut, adanya keharusan
berupa persetujuan tertulis atau izin dari Presiden apabila
penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan akan
melakukan pemeriksaan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dalam
perkara tindak pidana
termasuk tindak pidana
korupsi. Berdasarkan hasil
kajian Kejaksaan, izin
untuk memeriksa pejabat
negara tidak sesuai dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana,
yaitu: 1. Asas persamaan di depan hukum
(equality before the law); karena di dalam prosedur
ijin terkandung perlindungan
Hukum bagi pejabat
negara yang tidak dimiliki oleh warga negara biasa. Selain
itu, terhadap sesama pejabat juga ada
perlakuan yang berbeda karena ada pejabat negara harus ada ijin dan
ada yang tidak
diharuskan ada ijin
terlebih dahulu, seperti:
Presiden, Wakil Presiden dan Para
Menteri (Pasal 27 dan 28D UUD 1945,
Pasal 5 ayat
(1) Undang-UndangNomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Penjelasan Umum butir 3e KUHAP).
2. Asas peradilan
cepat, sederhana dan
biaya ringan (constante
justitie); karena prosedur
ijin memerlukan waktu
yang lama dan
melalui birokrasi yang
panjang, sehingga secara
tidak langsung membutuhkan
biaya operasional untuk
mengurusnya (Pasal 4 ayat (2)
dan Pasal 5
ayat (2) Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 3 Undang-Undang Nomor 4Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum
butir 3eKUHAP).
3. Asas independensi kekuasaan
kehakiman; karena prosedur ijin secara tidak langsung
dapat dijadikan alat
intervensi penguasa terhadap
penanganan perkara pidana
yang dilakukan penegak
hukum. Intervensi itu
bisa dilakukan dengan cara
menunda atau tidak mengeluarkan persetujuan bila yang
tersangkut korupsi berasal
dari kelompoknya dan
mempercepat keluarnya ijin
pemeriksaan bila berasal dari lawan politiknya (Pasal 4 ayat (3)
dan Pasal 5
ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Menimbulkan diskriminasi
bagi aparat penegak
hukum; karena hanya berlaku bagi
Kepolisian dan Kejaksaan
dan tidak berlaku
bagi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Hal
ini berarti, prosedur
ijin juga menimbulkan diskriminasi bagi pejabat negara yang perkaranya ditangani oleh
institusi yang berbeda,
karena untuk pejabat
negara yang ditangani kejaksaan
dan kepolisian harus
ada ijin, sedangkan
untuk pejabat negara yang
ditangani KPK tidak
memerlukan ijin (Pasal46
ayat (1) juncto Penjelasan
Pasal 46 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
Bentuk –
bentuk pengaruh gangguan
dan hambatan dalam
proses penegakan hukum
juga dikemukakan oleh
kejaksaan melalui hasil
kajian Edited withthe trial
version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping
4 Kejaksaan Agung mengenai Ijin
pemeriksaan Terhadap Pejabat Negara dalam proses penegakan Hukum antara lain : 1. Proses
penyidikan menjadi terhambat
karena menunggu keluarnya
ijin pemeriksaan. Bahkan,
seringkali ijin yang
diminta tidak pernah
ada jawaban apakah
disetujui atau ditolak,
sehingga penanganan perkaranya menjadi tidak jelas dan terkatung-katung
penyelesaiannya; 2. Terhambatnya proses
pemeriksaan terhadap pejabat negara, mempengaruhi proses
penyidikan terhadap tersangka
lainnya dalam perkara
yang melibatkan pejabat
negara, sehingga penyidikannya
menjadi lamban dan terkesan
macet; 3. Dengan adanya
rentang waktu yang
cukup lama sampai
keluamya ijin pemeriksaan,
tersangka masih bebas
menghirup udara segar,
sehingga dikhawatirkan: melarikan
diri, menghilangkan atau merusak barang bukti; mengganti atau merubah alat bukti surat; dapat
mengulangi tindak pidana korupsi; dapat
mempengaruhi para saksi;
dan memindah tangankan kekayaan hasil korupsi kepada orang lain; Meningkatnya
tindak pidana korupsi
yang tidak terkendali
akan membawa bencana
tidak saja terhadap
kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi
yang meluas dan
sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak
sosial dan hak
ekonomi masyarakat. Penegakan
hukum untuk Edited withthe trial version of Foxit Advanced
PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 5 memberantas
tindak pidana korupsi
yang dilakukan secara
konvensional selama ini
terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan
hukum secara luar
biasa melalui pembentukan
untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar
biasa melalui pembentukan suatu badan
khusus yang mempunyai wewenang luas, independen, serta bebas dari
kekuasaan manapun dalam
upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi yang
pelaksanaannya dilakukan secara
optimal, intensif, efektif,
profesional serta berkesinambungan.
Adanya ketentuan mengenai keharusan persetujuan tertulis
atau ijin dari Presiden
untuk melakukan pemeriksaan
dalam perkara korupsi
terhadap kepala daerah
dan/atau wakil kepala
daerah adalah bertentangan
dengan prinsip peradilan
yang independen, persamaan
kedudukan di dalam
hukum dan menimbulkan
perlakukan diskriminatif, asas
peradilan yang cepat sebagaimana yang
diatur dalam UUD
1945 dan peraturan
perundang undangan.
Dalil para
Pemohon mengenai pengecualian
atas syarat adanya persetujuan Presiden untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah terhadap tindak pidana kejahatan yang
tertangkap tangan, dan
tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana
mati, atau tindak
pidana kejahatan terhadap
keamanan negara yang Evi
hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) ,69.
Edited withthe trial version of Foxit
Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping
6 diatur
dalam Pasal 36
ayat (4) UU
Pemda bertentangan dengan
UUD 1945, menurut Mahkamah
beralasan menurut hukum,
sepanjang tidak dimaknai “Hal-hal
yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3). Selain itu, para Pemohon
juga mengajukan 2
(dua) orang ahli
dan seorang saksi
yang telah memberikan
keterangan pada persidangan
pada tanggal 8
Desember 2011 dan 22 Desember
2011 yang pada pokoknya menerangkan menurut Ahli para Pemohon.
Menurut para ahli yang diajukan oleh Nur
Kholis S.H.,M.A.
menyebutkan Pasal
36 Undang-Undang Pemerintahan
Daerah yang memberikan hak istimewa kepada kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah yang diduga
melakukan tindak pidana,
terutama korupsi, dalam
bentuk kewajiban menunggu izin
dari Presiden tidak sejalan dengan prinsip equality beforethe
law, sebagaimana diatur
dalam Pasal 27
ayat (1) dan
Pasal 28 ayat(1).
Bahwa pemberian hak
istimewa tersebut juga
tidak sejalan dengan tujuan dasar teori equality before the law
karena kepala daerah adalah orangorang
yang memiliki kekuatan
dan oleh karenanya
bertugas melindungi orang-orang
yang lemah, sehingga
orang-orang yang kuat
ini tidak membutuhkan perlakuan khusus lagi di depan
hukum. Bahwa prinsip di muka hukum, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal
27 dan Pasal
28D ayat (1) UUD1945 juga
diatur dalam butir 3a penjelasan
umum KUHAP pidana yangberbunyi,
“Perlakuan yang sama
atas diri setiap
orang di muka hukumdengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Sedangkan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi
N0.73/PUU-IX/2011,21-39.
Edited withthe trial version of Foxit
Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping
7 Prof.
Saldi Isra, S.H.
menerangkan bahwa praktik korupsi
telah mengancam upaya
negara dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Bahkan
dalam kehidupan bernegara,
praktik korupsi melemahkan
institusi dan nilai-nilai demokrasi serta institusi penegakan hukum.
Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dimaknai
ordinary crime melainkan dipahami sebagai extra ordinary crime.
Akhirnya mahkamah konstitusi memutuskan permohonan para pemohon mengabulkan
permohonan dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim oleh sembilan
Hakim Konstitusi, pada hari Selasa,
tanggal dua puluh lima, bulan September, tahun
dua ribu dua
belas, yang diucapkan
dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi