Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:PELANGGARAN KODE ETIK HAKIM DALAM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA ANTARA MAHKAMAH AGUNG RI DAN KOMISI YUDISIAL RI TAHUN 2009 PERSPEKTIF SIYASAH SYAR‘IYAH


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Kekuasaan  kehakiman  merupakan  kekuasaan  negara  yang  merdeka  untuk  menyelenggarakan  peradilan  guna  menegakkan  hukum  dan  keadilan  berdasarkan  Pancasila,  demi  terselenggaranya  Negara  Hukum  Republik  Indonesia.  Pernyataan  tersebut  merupakan  pengertian  kekuasaan  kehakiman  yang  tercantum  pula  dalam  Pasal  1  Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  2004  tentang Kekuasaan Kehakiman.
 Sebagai  konsekuensi  dari  sistem  pembagian  kekuasaan  yang  diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang  oleh  lembaga-  lembaga  yang  telah  ditentukan  oleh  Undang-Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Kekuasaan kehakiman, yang merupakan salah satu cabang kekuasaan  negara,  mempunyai  tujuan  utama  untuk  mewujudkan  masyarakat  yang  adil  dan  makmur  melalui  jalur  hukum.  Fungsi  kekuasaan  kehakiman  adalah  melakukan  kontrol  terhadap  kekuasaan  negara  untuk  mencegah  terjadinya  penyalahgunaan  kewenangan,  sehingga  tidak  terjadi  proses  instrumentasi  yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasaan.

 Undang- Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman   Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 2  Pada dasarnya kekuasaan kehakiman  mendapatkan pijakan  yang kuat  dari  undang-undang,  meskipun  telah  mengalami  berbagai  perubahan.
Perubahan  tersebut  bukan  tanpa  alasan,  ia  pasti  didasari  pada  adanya  kepentingan  dan  kondisi  tertentu.  Pada  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX terutama Pasal 24 yang menegaskan  bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung  dan  Mahkamah  Konstitusi.  Yang  secara  khusus  mengatur  kekuasaan  kehakiman ini sebelumnya adalah UU No. 4 Tahun 2004, dan yang sekarang  berlaku  adalah  UU  No.  48  Tahun  2009.  Dalam  undang-undang  ini,  dalam  menyelenggarakan  peradilan  demi  penegakan  hukum  dan  keadilan,  Kekuasaan Kehakiman mesti merdeka.
 Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa  dalam  melaksanakan  tugas  dan  fungsi  yang  terkait  dengan  Kekuasaan  Kehakiman  tersebut,  baik  yang  bersifat  fungsional  maupun  kelembagaan,  tidak  boleh  diintervensi  atau  dipengaruhi  oleh  kekuasaan  manapun.  Hal  itu  juga ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.
 UUD  1945  menyebutkan  tiga  lembaga  negara  yang  termasuk  dalam  lingkup  kekuasaan  kehakiman,  yaitu  Mahkamah  Agung  (MA),  Mahkamah  Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 Ayat  2:  “Kekuasaan  Kehakiman  dilakukan  oleh  sebuah  Mahkamah  Agung  dan   Ibid,2   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 3  badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,  lingkungan  peradilan  agama,  lingkungan  peradilan  militer,  lingkungan  peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
 Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu  unsur  penting  dalam  sebuah  negara  yang  berdasarkan  hukum  (rechtsstaat).
Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak  berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi  amat  vital,  terlebih  lagi  mengingat  segala  kewenangan  yang  dimilikinya.
Melalui  putusannya,  hakim  dapat  mengubah,  mengalihkan,  atau  bahkan  mencabut  hak  dan  kebebasan  warga  negara,  dan  semua  itu  dilakukan  dalam  rangka  menegakkan  hukum  dan  keadilan.  Besarnya  kewenangan  dan  tingginya  tanggung  jawab  hakim  ditunjukkan  melalui  putusan  pengadilan  yang  selalu  diucapkan  dengan  ikrah-ikrah  "Demi  Keadilan  Berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa".  Hal  ini  menegaskan  bahwa  kewajiban  menegakkan  keadilan  tidak  hanya  dipertanggungjawabkan  kepada  sesama  manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  Undang-Undang 1945 dan Amandemen ke 2   Surat Keputusan Bersama antara MA dan KY tahun 2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman  Perilaku Hakim, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012), 2  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 4  Untuk mewujudkan pengadilan yang bersih tidak hanya mengandalkan  profesionalisme hakim, diperlukan pula syarat integritas dan moralitas hakim  yang  tinggi  guna  menjaga keluhuran  martabat  hakim.  Hal  ini  bisa  terwujud,  selain  dari  kesadaran  hakim  itu  sendiri  untuk  mewujudkan  peradilan  yang  bersih, juga diperlukan pengawasan internal Mahkamah Agung dan eksternal  Komisi  Yudisial   secara  objektif  dan  serius  menindak  berbagai  penyalahgunaan  kewenangan  hakim  dalam  memutuskan  perkara  selain  itu  adanya  keterbukaan  dan  kebebasan  pers  untuk  mengontrol  kinerja  hakim  sehingga hakim merasa takut melakukan berbagai penyimpangan.
 Apabila  seorang  hakim  melakukan  pelanggaran  kode  etik  dan  pedoman  perilaku  hakim,  maka  hakim  itu  dapat  diberikan  sanksi,  dalam  menentukan  sanksi  yang  layak  dijatuhkan,  harus  dipertimbangkan    faktorfaktor  yang  berkaitan  dengan  pelanggaran,  yaitu  latar  belakang,  tingkat  keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap  lembaga peradilan  atau pihak lain.
 Hakim  yang  melakukan  pelanggaran  terhadap peraturan  ini  diperiksa  oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Mahkamah Agung RI dan  Komisi  Yudisial  RI  menyampaikan  hasil  putusan  hasil  pemeriksaan  kepada  ketua  Mahkamah  Agung.  Hakim  yang  diusulkan  untuk  di  karenakan  sanksi    Binsar  M.  Gultom,  Pandangan  Kritis  seorang  Hakim  dalam  Penegakan  Hukum  di  Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), 62.
  Surat  Keputusan  Bersama  antara  Mahkamah  Agung  RI   dan  Komisi  Yudisial  RI   Tahun  2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 5  pemberhentian  sementara dan diberhentikan oleh Mahkamah  Agung RI atau  Komisi  Yudisial  RI  diberi  kesempatan  untuk  membela  diri  di  Majelis  Kehormatan Hakim.
 Uraian  kode  etik  hakim  meliputi:  etika  kepribadian  hakim,  etika  melakukan  tugas  jabatan,  etika  pelayanan  terhadap  pencari  keadilan,  etika  hubungan  sesama  rekan  hakim,  dan  etika  pengawasan  terhadap  hakim.
Kemudian  analisis  hubungannya  dengan  undang-undang  diketahui  kode  etik  hakim  diatur  dalam  UU  No  8  Tahun  2004  Tentang  Peradilan  Umum.
Sesorang  yang  menjabat sebagai  hakim  harus mematuhi undang-undang dan  berpegang kode kehormatan hakim. Hubungannya antara undang-undang dan  kode kehormatan hakim yang juga diataur di dalam undang-undang sehingga  sanksi pelanggaran undang-undang juga diberlakukan pada pelanggaran kode  kehormatan hakim.
 Menurut  Majelis  Kehormatan  Hakim  apabila  terbukti  melakukan  pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 1, yaitu hakim  yang  bersangkutan  diberhentikan  dengan  tidak  hormat  dari  jabatannya  dengan  alasan:  a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan  b. Melakukan perbuatan tercela  c. Terus-menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan   Ibid, 39   Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), 104  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 6  d. Melanggar sumpah atau janji jabatan  e. Melanggar larangan pasal 18 (rangkap jabatan)  Pengusulan  pemberhentian  tidak  dengan  hormat  dilakukan  setelah  hakim yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri  di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
 Menurut  penjelasan  pasal  di  atas  yang  dimaksud  dengan  “dipidana”  ialah  dipidana  dengan  pidana  sekurang-kurangnya  3  (tiga)  bulan.  Yang  dimaksud  dengan  “melakukan  perbuatan  tercela”  ialah  apabila  hakim  yang  bersangkutan  karena  sikap,  perbuatan,  dan  tindakannya,  baik  di  dalam  maupun  di  luar  pengadilan  merendahkan  martabat  hakim.  Yang  dimaksud  dengan  “tugas  pekerjaan  hakim”  ialah  semua  yag  dibebankan  kepada  hakim  yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan sanksi undang-undang adalah juga  sanksi  Kode  Kehormatan  Hakim  yang  dapat  dikenakan  kepada  pelanggarnya.
 Perilaku  hakim  dapat  menimbulkan  kepercayaan,  tetapi  juga  menyebabkan  ketidakpercayaan  masyarakat  pada putusan  pengadilan  sejalan  dengan  hal  tersebut,  hakim  dituntut  untuk  selalu  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  menegakkan  hukum,  kebenaran  dan  keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  Ibid, 105   Ibid,106   Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 225  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 7  Dalam  struktur  kekuasaan  kehakiman  di  Indonesia,  dibentuk  sebuah  Komisi Yudisial. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka  dan  bersifat  (imparsial) diharapkan  dapat  diwujudkan.  Hal  tersebut  juga  dapat  diimbangi  prinsip  akuntabilitas  kekuasaan kehakiman. Baik dari segi hukum maupun segi etika. Di perlukan  institusi pengawasan yang indipenden terhadap para hakim itu sendiri.
 Dalam  pemerintahan  Islam  terdapat  lembaga  peradilan  Islam  atau  disebut  dengan  (qa>da>’).  Qa>da>’  adalah  suatu  keputusan  produk  pemerintah (hakim).
 Dapat  diketahui  lembaga  peradilan  maupun  pengadilan  merupakan  institusi  yang  sangat  penting  dalam  penegakan  hukum.  Dalam  institusi  ini  selalu  terkait  unsur-unsur  seperti,  pertama:  hukum  (hukum  syara’)  yang  digunakan  sebagai  dasar  dalam  memutuskan  perkara,  kedua:  orang  yang  bertugas  untuk  menjatuhkan  hukum  yakni qa>di> atau  hakim,  ketiga:  kompetensi dan  yuridiksi  lembaga peradilan  yang  menjadi  wewenang dalam  menyelesaikan perkara, keempat: ada pihak penggugat dan tergugat, kelima:  ada  kasus  yang  diperselisihkkan  atau  pihak  yang  dirugikan  sehingga  perlu  diberikan  hukuman  atau  putusan  hakim,  keenam:  putusan  hakim  yang   Ibid, 226   Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta; kencana, 2007), 6  Edited withthe trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping 8  mengikat para pihak dan wajib dijalankan, ketujuh: tujuan akhir dari lembaga  peradilan adalah penegakan hukum dan keadilan bagi umat manusia.
 Tugas  dalam  peradilan  dalam  Islam  merupakan  tugas  yang  sangat  mulia, sebab tugas dalam bidang ini merupakan yang sangat berat dan dituntut  tanggung  jawab  yang  besar  dalam  melaksanakannya.  Dilihat  dari  sudut  syari’ah  sebagaimana  dijelaskan  dalam  Al-Qur’an  dan  As-Sunnah  bahwa  melaksanakan tugas peradilan adalah suatu kewajiban bagi hakim bagi setiap  manusia (orang) yang beriman.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi