Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MENURUT AHMAD HASSAN DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM INDONESIA


 BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah  Dalam diskursus keagamaan kontemporer, dijelaskan bahwa "agama"  ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti  pemahaman orang-orang terdahulu, yakni semata-mata hanya terkait dengan  persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, dan  seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya yang memang  mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan  ketuhanan, agama juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis  kultural yang merupakan keniscayaan manusia.
 Campur aduk masalah keagamaan dengan kepentingan-kepentingan  yang lain, merupakan suatu persoalan keagamaan kontemporer yang paling  rumit untuk dipecahkan. Apalagi terkait masalah agama dengan politik  kenegaraan. Karena memang hal itu mempunyai multi tafsir, dan analisis serta  sudut pandang yang berbeda dari para pemikir.
Wacana tentang hubungan antara Islam dan politik, atau Islam dan  negara senantiasa menarik untuk dikaji. karena wacana tersebut juga  melibatkan berbagai kalangan, baik itu dari kiai, politisi, akademisi, partai  maupun negara, dan juga melintasi rentang waktu yang panjang dalam sejarah   Moh Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam,h.5   politik di negeri ini. Wacana tersebut telah melahirkan berbagai bentuk  konflik dan kompromi yang mencerminkan kekuatan sekaligus kelemahan  kelompok Islam itu sendiri. Dengan kekuatan dan kelemahan itu, Islam  diharapkan bisa lebih kongkrit berperan dalam kehidupan bernegara.

Ada beberapa hal yang menarik perhatian para pemikir, aktifis dan ahli  hukum muslim Indonesia selama kurang lebih enam puluh tahun, sejak  kemerdekaan Indonesia. Mereka ingin membaharui muslim Indonesia dengan  wajah yang baru dan dengan pemikiran yang baru pula. Seperti kaum  muslimin di belahan dunia lainnya, kaum muslim Indonesia merespon  beberapa persepsi tersebut secara berbeda.
 Dari respon yang yang ada, kelompok muslim dapat dikatagorisasikan  menjadi beberapa kelompok. Salah satu kelompok utama yang sering disebut  dengan “santri”, yakni kelompok muslim yang mengidentifikasi diri dengan  kuat pada keyakinan, ritual, dan fikih tradisional Islam Timur Tengah dan  berupaya menyesuaikan budaya lokal, pemikiran intelektual, dan istitusiinstitusi politik dengan sistem keagamaan tersebut.
 Istilah santri ini menjadi  istilah yang multi makna tergantung pada konteks apa kata ini digunakan.
Dalam bahasa antropologi seperti dikenalkan oleh Clifford Geertz, santri adalah varian yang dilawankatakan dengan kata abangan, yang tidak memiliki  gairah keIslaman lebih dari sekedar identitas kependudukan. Sementara dalam   Howard M. Federspiel, Labirin Idiologi Muslim, h.7   Ibid,h.7   terma keagamaan di Indonesia, santribermakna orang-orang yang pernah  belajar di pesantren.
 Kelompok kedua yang sering disebut “muslim puritan” masih terikat  dengan adat-istiadat dan nilai-nilai pribumi Asia Tenggara, yang kadangkadang memperbaharui keyakinan dan ritual Islam agar terhubung dengan  beberapa ciri penting dari nilai-nilai pribumi dan menyukai teknologi serta  mendukung solusi-solusi politik yang tampak sesuai dengan sistem nilai ini.
 Kelompok ketiga yang sering disebut dengan “nasionalis”merespon  pemikiran sekuler barat tentang negara bangsa, tentang pentingnya nilai-nilai  kewargaan yang muncul secara nasional, dan tentang pengunaan teknologi  untuk menciptakan ekonomi nasional yang makmur.
 Perbedaan ketiga kelompok tersebut di atas terletak pada aspek  interpretasi ideologis yang melatarbelakangi aplikasi pikiran-pikiran  kebangsaan mereka. Tujuannya sama mulia, yaitu merealisasikan kedamaian,  kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi bagaimana menggapainya adalah hal  yang berbeda. Inilah yang melahirkan perbedaan simbol dan wacana di antara  mereka.
Interaksi dari ketiga kelompok ini merupakan faktor penting dalam  perkembangan kehidupan sosial dan politik di Indonesia pada abad yang lalu.
Ada problem-problem nyata dalam masalah ini, tapi beberapa kategori   Ibid, h. 7   Ibid,h.8   Ibid. h.8   semacam ini penting untuk mengindentifikasi kelompok-kelompok dalam  kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Organisasi-organisasi Islam utama, yang muncul di Indonesia pada  abad ke-20, antara lain Syarekat Islam, Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama’  dan Masyumi. Semuanya mewakili kelompok yang menekankan keyakinankeyakinan dan praktek-praktek Islam Timur Tengah Tradisional.
 Semua  mementingkan keunggulan hukum Islam, walaupun konsep-konsep mereka  tantang apa sebenarnya hukum Islam itu kabur antara satu dengan yang  lainnya.
Alasan-alasan yang menyebabkan tidak terjadinya kesepakatan dan  kekaburan itu terletak pada perbedaan-perbedaan tentang apa yang sebenarnya  membentuk sumber-sumber agama Islam, walaupun ada perbedaan  interpretasi tertentu mengenai sumber-sumber ini. Kaum tradisionalis (kaum  tua), yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama’, meyakini bahwa kebenaran agama  termuat di dalam tulisan-tulisan ulama’ salaf, khususnya kitab yang ditulis  oleh fuqaha’ dan para teolog.
Kaum modernis (kaum muda), yang diwakili oleh Muhammadiyyah,  berpendapat bahwa penelitian dan interpretasi baru (ijtihad) terhadap dasardasar agama harus dilakukan, bukan bertumpu pada tradisi para penafsir masa  silam. Pendekatan ketiga mungkin lebih tepat sebagai sesuatu variasi dari  pendekatan kaum modernis, yang diwakili oleh Persatuan Islam yang menjadi   Ibid, h.8   salah satu materi pokok dalam penulisan skripsi ini, yaitu memberikan  penekanan khusus pada makna penting al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber  penelitian keagamaan.
 Dari berbagai pandangan tentang kebenaran agama yang termuat  dalam al-Qur’an dan Sunnah serta hubunganya dengan teori suatu negara  Islam memang menjadi suatu masalah tersendiri. Di dunia pesantren, sulit  diperoleh suatu karya yang berarti tentang masalah ini. Banyak kalangan yang  berbicara tentang sebuah negara dengan agama, namun sayangnya belum ada  yang mampu mengartikulasikan hakekat dan corak suatu negara yang ingin  mereka ciptakan.
 Federspiel mengolongkan kelompok masyarakat yang  memandang hakekat dan corak suatu negara menjadi tiga.
Pertama,adalah golongan sekuler, yakni golongan yang memisahkan  antara agama dan negara, mereka memandang bahwa antara agama dan  negara tidak ada kaitannya, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Agama  dipandang hanya mengatur urusan individu dengan Tuhannya dan negara  terlepas dari aturan-aturan agama itu. Negara mempunyai cara sendiri untuk  mengatur pemerintahannya, dan tanpa agamapun suatu negara bisa berdiri  sendiri.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi