Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MENGAWASI PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK (Studi Analisis UU RI Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia)


 BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan  dambaan setiap warga negara di manapun. Hal tersebut telah menjadi tuntutan  masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian  dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara hukum Republik  Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan  penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari  upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan  kesejahteraan masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good  governance).
 Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai  dengan praktek maladministrasi,  antara lain terjadinya korupsi, kolusi,  nepotisme, sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan  negara dan pemerintahan, demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan  pemerintahan yang efektif dan efesien, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari   Sunaryati Hartono, dkk, Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia, h. 1   Pasal 1 ayat 3 UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia,  Maladministrasiadalah  perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,  menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk  kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan  oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil  bagi masyarakat dan orang perseoarangan.

  korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang  baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur penyelenggara  negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang  baik.
 Setalah reformasi bergulir, reformasi mengamanatkan perubahan  kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang  didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis.
Sejalan dengan semangat reformasi itu, pemerintah melakukan perubahanperubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan  Republik Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan membentuk  lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Salah  satu diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim  disebut Ombudsman Nasional.
 Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret  2000,  berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi  Ombudsman Nasional.
 Penjelasan atas UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia   Galang Asmara, Ombudsman Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik  Indonesia, h. 2   Untuk pertama kalinya anggota Komisi Ombudsman Nasional ditetapkan dengan Keputusan  Presiden Nomor 44 Tahun 2000, dan berjumlah 8 (delapan) orang termasuk seorang ketua dan seorang  wakil ketua yang masing-masing merangkap sebagai anggota. Mereka dilantik dan diambil sumpah  pada tanggal 20 Maret 2000 di Istana Negara oleh Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman  Wahid. Adapun susunan keanggotaan Ombudsman Nasional adalah sebagaimana berikut: Ketua  merangkap anggota: Antonius Sujata, SH.; Wakil Ketua merangkap anggota Prof. Dr. C. F. G.
Sunaryati Hartono, SH.; anggota-anggota: 1. Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL; 2. Teten Masduki; 3.
Ir. Urip; 4. R.M. Surachman, SH; 5. Pradjoto, SH. MA; 6. KH. Masdar Mas’udi, MA.
 Pembentukan lembaga Ombudsman bertujuan untuk membantu  menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan  pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui peran serta  masyarakat.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas  membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif,  dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden  dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang  utama (mains state organs).
 Adapun selain itu, seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara  Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan  Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM),  Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU), termasuk Ombudsman Republik  Indonesia dan sebagainya adalah sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary  bodies).
 Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang  bersifat struktural oleh Inspektorat Jenderal, maupun fungsional yaitu Badan  Pemeriksa Keuangan. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit  dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat,   Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD  1945, h. 209   ibid, h. 211   Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu, juga ada  terdapat organisasi non pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang  sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas  pelaksanaan penyelenggaraan negara.
 Akan tetapi kesemua lembaga itu memiliki catatan tersendiri sehingga  mengecewakan masyarakat. Lembaga pengawas struktural yang dilakukan oleh  Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan  bagian dari kelembagaan atau departemen. Pengawasan fungsional oleh Badan  Pemeriksa Keuangan hanya sempit pada masalah pengawasan uang negara dan  tidak menerima keluhan yang bersifat individual. Dewan Perwakilan Rakyat  dengan fungsi pengawasannya kepada pemerintah lebih bersifat politis karena  memang secara kelembagaan adalah lembaga politik dan tidak terlepas dari  kelompok yang mereka wakili. Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh LSM  karena lembaga swasta dan kurang fokus sehingga sering ditanggapi “acuh tak  acuh”. Oleh karena itu, keberadaan Ombudsman sebagai lembaga negara yang  mandiri dan bebas dari kekuasaan manapun serta menerima pengaduan  masyarakat sangat dibutuhkan.
 Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional pengaduan pelayanan publik  hanya disampaikan kepada instansi yang dilaporkan dan penegakannya sering  dilakukan oleh pejabat yang dilaporkan sehingga masyarakat belum memperoleh   Antonius Sujata, dkk., Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang,  h. 70   ibid: 71 - 72   perlindungan yang memadai. Selain itu, untuk menyeleseikan pengaduan  pelayanan publik, selama ini dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui  pengadilan.
 Penyeleseian melalui pengadilan tersebut memerlukan waktu cukup  lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni  Ombudsman Republik Indonesia yang dapat menangani pengaduan pelayanan  publik dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi