Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN BAWASLU PERIHAL SENGKETA VERIFIKASI PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILU


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Pemilihan  Umum  yang  bisa  disebut  juga  dengan  “Political  Market”  adalah merupakan pasar politik tempat individu atau masyarakat berinteraksi  untuk  melakukan  kontrak  sosial  (perjanjian  masyarakat)  antara  peserta  pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih  (rakyat) yang memiliki hak  pilih setelah terlebih dahulu melakukan aktifitas politik.
 Pemilu  membawa  pengaruh  besar  terhadap  sistem  politik  atau  Negara.  Melalui  pemilu  masyarakat  berkesempatan  berpartisipai  dengan  memunculkan  para  calon  pemimpin  dan  penyaringan  calon-calon  tersebut.
Pada  hakikatnya  pemilu  dinegara  manapun  mempunyai  esensi  yang  sama.
Pemilu,  berarti  rakyat  melakukan kegiatan memilih orang  atau  sekelompok  orang  menjadi  pemimpin  rakyat  atau  pemimpin  Negara.  Pemimpin  yang  dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya.

 Menjelang  Pemilu  Legislative  2014 partai  politik  di  haruskan  mendaftarkan diri ke KPU pusat agar bisa lolos dan menjadi peserta pemilu  pada  pemilihan  umum  mendatang  dan  hal  tersebut  dilakukan  dengan  baik   Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press,  2012),   Titik Triwulan Tutik,  Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD  1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 332.
1   oleh partai politik yang ada di indonesia. Sesuai dengan peraturan KPU No.
tahun  2012 bahwa  pendaftaran  sebagai  peserta  pemilu  dilakukan  pada  tanggal  9 Agustus  sampai  7 september  2012 yang  diikuti  oleh  46 partai  politik yang ada di Indonesia.
Proses  tahapan  dalam  Komisi  Pemilihan  Umum  untuk  menyeleksi  calon peserta pemilu  2014adalah dengan melakukan tahap pendaftaran yang  sudah dilakukan oleh seluruh partai,  akan tetapi hanya 34partai politik yang  lolos  dalam  tahap  selanjutnya  dengan  memenuhi  syarat  pendaftaran  mengumpulkan  minimal  17 dokumen wajib.  Kemudian tahapan  selanjutnya  adalah verifikasi administrasi.
Proses verifikasi administrasi tidak hanya dilakukan pada persyaratan  dokumen  saja  akan  tetapi  pada  keanggotaan  partai  politik.  Dalam  proses  verifikasi  administrasi  hanya  16 partai  yang  dinyatakan  lolos  oleh  Komisi  Pemilihan  Umum sehingga  dapat  menjalani  proses  verifikasi  faktual.  Akan  tetapi  atas  keputusan  Dewan  Kehormatan  Penyelenggara  Pemilihan  Umum  verifikasi  faktual  tidak  hanya  dilakukan  oleh  16 partai  politik  yang  telah  lolos  sebelumnya  namun  bisa  diikuti  18 partai  politik  yang  tidak  lolos  verifikasi administrasi.
Tahapan  selanjutnya  adalah  verifikasi  faktual  yaitu  dengan  menghitung  jumlah  pengurus  anggota  partai  politik,  setelah  semua   persyaratan dan tahapan untuk semua calon peserta pemilu yaitu para partai  politik  dilakukan,  maka  pihak  Komisi  Pemilihan  Umum  sebagai  penyelenggara  pemilihan  umum  menetapkan  dan  mengumumkan  daftar  partai politik yang telah lolos verifikasi sebagai peserta pemilu 2014. Adapun  penetapan  itu  dituangkan  dalam  keputusan  KPU  No.  05/Kpts/KPU/Tahun  2013tentang penetapan partai politik peserta pemilu 2014.
Melalui  keputusan  Komisi  Pemilihan  Umum  tersebut  banyak  partai  politik  yang  tidak  lolos  dalam  verifikasi.  Dari  46 partai  politik  yang  mendaftar hanya  10 partai dinyatakan  lolos  verifikasi yaitu:  Partai  Amanat  Nasional,  Partai  Demokrasi  Indonesia  Perjuangan,  Partai  Demokrat,  Partai  Gerakan Indonesia Raya, Partai Golongan Karya,  Partai Hati Nurani Rakyat,  Partai  Keadilan  Sejahtera,  Partai  Kebangkitan  Bangsa,  Partai  Nasional  Demokrat,  Partai Persatuan Pembangunan.
Atas  keputusan  KPU  tersebut  banyak  partai  politik  yang  merasa  keberatan  dan  mengajukan  keberatannya  kepada  Badan  Pengawas  Pemilu  sehingga hal tersebut menimbulkan sengketa politik antara KPU dengan para  calon  peserta  pemilu.  Sebagai  bagian  dari  lembaga  penyelenggara  pemilu  Badan  Pengawas  Pemilu  selain  mempunyai  wewenang  menerima  laporan  dugaan  pelanggaran  terhadap  pelaksanaan  pemilu  juga  mempunyai  wewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilu.
 Undang-Undang  No.  8 tahun  2012 pasal  257 menjelaskan  bahwa  “sengketa pemilu adalah sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dengan  penyelenggara pemilu  sebagai akibat  dikeluarkannya  keputusan  KPU, KPU  Provinsi  dan  KPU  Kabupaten/Kota”.
 Sengketa  pemilu  yang  terjadi  antara  partai  politik  dan  KPU  ini,  membuat  Bawaslu  menggelar  sidang  Ajudikasi  setelah  tahap  mediasi  yang  dilakukan  tidak  menemukan  benang  merah.
Dalam Proses ajudikasi, seorang hakim mencari bukti-bukti dan menerapkan  hukum,  baik  terhadap  bukti-bukti  yang  ditemukan  maupun  terhadap  persoalan-persoalan  yang  dibentuk  melalui  proses  gugatan  para  pihak.
 Sidang ajudikasi di Bawaslu merupakan sidang penyelesaian sengketa antara  partai  politik  dengan  KPU.  Partai  politik  tersebut  merasa  keberatan  dan  dirugikan atas keputusan KPU.
Bawaslu menggelar sidang ajudikasi  yang  mana Sidang ini diwarnai  oleh  adu  argumentasi,  adu  saksi  dan  adu  data.  Sidang  ajudikasi  ini  merupakan sidang penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi, dan saat  ini  mulai digunakan sebagai alternative bagi mereka yang terlibat sengketa.
  Lembaran Negara Republik Indonesia No.  117Tahun 2012Tentang Undang-undang No.   Tahun 2012Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD  Girindro Pringgodigdo, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,  1995),   Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika,  2012),    Undang-undang  No  8 tahun  2012 memang  memberikan  kewenangan  pada  Bawaslu dalam menangani permasalahan sengketa ini.
Putusan  sengketa  pemilu  yang  ditetapkan  oleh  Badan  Pengawas  Pemilu atas sengketa yang terjadi antara para partai politik dengan Komisi  Pemilihan Umum, menimbulkan perselisihan dan ketegangan diantara kedua  lembaga tersebut, Ketika pihak Komisi Pemilihan Umum tidak menjalankan  keputusan  Badan  Pengawas  Pemilu.  Sehingga  kewenangan  maupun  eksistensi Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa ini mulai di ragukan.
 Berbicara  mengenai  Penyelesaian  sengketa  maka  dalam  sejarah  peradilan  Islam  selain melalui  wilayah al-qadha  yaitu lembaga peradilan bisa  juga melalui lembaga non peradilan yaitu lembaga  Tah}ki>m  meskipun ruang  lingkup  wewenang  lembaga  Tah}ki>m  tidak  seluas  lembaga  al-qadha  dalam  menyelesaikan suatu sengketa.
Tah}ki>m  berasal dari kata kerja  Hakkama. Secara etimologis, kata itu  berarti  menjadikan  seseorang  sebagai  pencegah  suatu  sengketa.
 Lembaga  Tah}ki>m  telah  dikenal sejak  jauh sebelum masa  Islam. Orang-orang  Nasrani   Stefanus Osa,  “Sdang Ajudikasi Kasus PKPI Menjadi Pelajaran Berharga”,  Kompas,  (18,  Pebruari,  2013), 4.
 A. Rahmat Rosyadi,  Arbitrase dalam Perspektif  Islam  dan Hukum Positif,  (Bandung: PT  Citra Aditya Bakti,  2002),  43   apabila  mengalami  perselisihan  di  antara  mereka  mengajukan  perselisihan  tersebut kepada paus untuk diselesaiakan secara damai.
 Lembaga  Tah}ki>m  juga  dilakukan  oleh  orang-orang  Arab  sebelum  datangnya agama  Islam. Berbagai peristiwa perselisihan yang tercatat dalam  sejarah  juga  menyelesaiakan  permasalahnnya  melalui  lembaga  Tah}ki>m.
Adapun  dasar hukum lembaga  Tah}ki>m  dijelaskan dalam  Al-qur’an  maupun  hadist. Al-Qur’an surat 4, an-nisa’,  ayat 35menegaskan bahwa: Artinya  :  “dan  jika  kamu  khawatirkan  ada  persengketaan  antara  keduanya,  Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari  keluarga  perempuan.  jika  kedua  orang  hakam  itu  bermaksud  Mengadakan  perbaikan,  niscaya  Allah  memberi  taufik  kepada  suami-isteri  itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”  Mengenai  ayat  tersebut  ulama’  fiqh  menjelaskan  apabila  terjadi  persengketaan  di  antara  sepasang  suami  istri,  maka  hakimlah  yang  melerai  keduanya  sebagai  pihak  penengah  yang  mempertimbangkan  perkara   Abdul  Azis  Dahlan,  Ensiklopedi  Hukum  Islam  Jilid  V,  (Jakarta:  PT.  Ichtiar  Baru  Van  Hoeve, 2006),   Departemen  Agama  RI,  Al-Qur’an  dan  Terjemahnya,  (Jakarta:  Penerbit  Syaamil  AlQur’an, 2005), 487   keduanya  dan  mencegah  orang  yang  aniaya  dari  keduanya  melakukan  perbuatan aniayanya.
 Selain  dasar  hukum  dari  Al-Qur’an,  upaya  perdamaian  terhadap  suatu  permasalahan  yang  terjadi  atas  suatu  sengketa  dapat  di  jumpai  pada  assunnah yang sebagai sumber hukum  Islam  yang kedua dan dapat ditemukan  dalam salah satu riwayat Hadist Abu Daud yang sebagai berikut:  Artinya  :  “menceritakan kepada kami  Rabi’ bin  Nafi’  dari Yazid  yaitu  Ibn  Miqdam  bin  Syuraih,  dari  ayahnya,  dari  kakeknya,  Syuraih  dari  ayahnya  Hani’,  bahwa  ketika  ia  berkunjung  kepada  Rasulullah  SAW  bersama  kaumnya, Beliau mendengar mereka menjulukinya Abul Hakam. Rasulullah  memanggilnya  dan  bertanya,  "Sesungguhnya  Allah-lah  Sang  Penentu  (hakim) itu dan hanya kepada-Nya hukum itu ditentukan.  Mengapa engkau  dijuluki Abul Hakam?" Ia menjawab, "Sesungguhnya jika kaumku berselisih  tentang  sesuatu,  mereka  mendatangiku  dan  aku  memberikan  putusan  (hukum)ku  terhadap  masalah  di  antara  mereka  dan  mereka  menerimanya."  Rasulullah  SAW  bersabda,  "Alangkah  baiknya  ini!”  Apakah  engkau  tidak  mempunyai  anak?"  Ia  menjawab,  "Aku  mempunyai  anak  bernama Syuraih,   Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir ad-dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 5An-Nisa’ 

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi