BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Istilah
Lingkungan Hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam bahasa
Belanda disebut juga dengan milieu atau dalam bahasa Perancis disebut dengan I environment. Yang dimaksud
dengan lingkungan hidup adalah semua
benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan
dapat mempengaruhi hidupnya.
Dalam pasal 1 UU RI No.32 tahun 2009 tercantum
bahwa Lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Bumi ini diwariskan dari nenek moyang kita
dalam keadaan yang sangat berkualitas
dan seimbang. Nenek moyang kita telah menjaga dan memeliharanya bagi kita sebagai pewaris bumi selanjutnya,
sehingga kita berhak dan harus mendapatkan
kualitas yang sama persis dengan apa yang didapatkan nenek N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi
Pembangunan, (Jakarta: Erlangga. 2004), 4.
UU RI No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.
2 moyang kita sebelumnya. Bumi adalah anugerah
yang tidak ternilai harganya dari Tuhan
Yang Maha Esa karena menjadi sumber segala kehidupan.
Dengan demikian, menjaga alam dan
keseimbangannya menjadi kewajiban kita
semua secara mutlak tanpa syarat. Sejak adanya ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai obyek kehidupan masyarakat,
maka sejak itu pula studi masalah sosial
mulai dilakukan. Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial dan
pada gilirannya selalu mendorong adanya
tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan.
Perwujudan kesejahteraan setiap
warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan Negara. Salah
satu contoh masalah sosial yang ada
ialah masalah rusaknya lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan menunjukkan bahwa meskipun ada
perbedaan-perbedaan sifat dasar masalahmasalah lingkungan hidup, baik di
negara-negara dunia ketiga maupun di negaranegara industri maju, namun implikasi
dan konsekuensi logis dari kenyataan kerusakan
lingkungan alam ini jelas akanmenimpa semua bangsa dan seluruh umat manusia di dunia bahkan segala sumber
hidup dan penghidupan, termasuk peradaban
umat manusia itu sendiri.
Di Indonesia sendiri telah membuktikan
bahwa pentingnya pengelolaan lingkungan
hidup dengan jaminan kepastian hukum sejak tahun 1982 dengan diundangkannya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang kemudian diubah dengan UU No.23 Tahun 3 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan diubah kembali dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam
UU Lingkungan Hidup tersebut diatur tentang prosedur penyelesaian sengketa lingkungan hidup, cara pengaduan
adanya sengketa lingkungan hidup, dan
hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam sengketa lingkungan hidup.
Adapun dalam bahasa asing,
pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “teorekenbaarheid”, “criminal responsibility”,
“criminal liability”. Telah diutarakan
bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana
(crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia
dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang
dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut
memperlihatkan kesalahan dari petindak
yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
Selain orang perorangan yang dapat dituntut
pidana, maka berdasarkan teori hukum
pidana modern, maka corporate atau badan
hukum (dalam UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebagai
legal person Sianturi, Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Story Grafika, 2002),
250.
4 merupakan subjek hukum dapat dituntut pidana.
Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum
pidana, ternyata terdapat bermacam-macam
cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undangundang. Berkenaan dengan
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, terdapat 3 (tiga) sistem yaitu : 1.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggungjawab, 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab, 3. Korporasi
sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
Mengenai masalah pertanggungjawaban pidana
korporasi, asas kesalahan masih tetap
dipertahankan, tetapi dalam perkembangan dibidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut
pertanggungjawaban pidana asas kesalahan
atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang
menderitakan si korban dijadikan dasar untuk
menuntut pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah
berbicara sendiri. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or
liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute
liability” atau “strict liability”.
Dengan prinsip tanggung jawab
tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu
prinsip tanggung jawab yang Syahrul
Machmud,Penegakan Hukum lingkungan di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012), 137.
Muladi,Pertanggungjawaban korporasi Dalam
Hukum Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum
Bandung. 1991), 67.
5 memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak
relevan untuk dipermasalahkan apakah
pada kenyataan ada atau tidak.
Seperti yang terjadi di Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur pada tanggal 29 Mei 2006. Terjadinya semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT. LBI yang
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman,
pertanian dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya yaitu Kecamatan Porong, Gempol dan Tanggulangin.
Dilihat dari asal usulnya, bahwa PT. LBI
memulai kegiatan eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 di Desa Reno Kenongo, Kec.Porong, Kab.Sidoarjo pada tanggal
8 Maret 2006, PT. LBI melakukan pemboran
dengan disub kontrakan kepada PT. Medici Citra Nusa atau kontraktor mandiri dan selanjutnya PT.
Medici Citra Nusa mengsub kontrakkan lagi pekerjaan tersebut ke beberapa sub
kontraktor lain di antaranya PT. Tiga
Musim Mas Jaya, PT. Haliburton, PT. Baker Atlas, dan PT. MI Swaco.
PT. LBI (anak perusahaan Group
Bakrie) adalah salah satu perusahaan Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Oleh
karena, PT. LBI sebagai pemilik saham
terbesar maka PT. LBI bertindak sebagai operator. Operator disini Muladi & Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana.
2010), 111.
6 diartikan sebagai perusahaan yang memegang
kendali atas setiap kebijakan dari proyek-proyek
yang ditangani.
Ada beberapa pandangan kronologi semburan
lumpur terjadi dan mengakibatkan
bencana, yaitu: 1. Berdasarkan foto kopi
dokumen PT. LBI, tanggal 8 Maret 2006, pemboran sumur dimulai untuk melakukan pemboran
dipandang aman sampai dengan kedalaman
3.580 feet, casing 13 3/8” diset dan
disemen. Pemboran dilanjutkan sampai
dengan kedalaman 9297 feet.Pada Sabtu pagi tanggal 27 Maret 2006 kehilangan lumpur. Kejadian ini
ditanggulangi dengan LCM (lost circulation
material). Untuk mencegah hal tersebut, selanjutnya direncanakan penyemenan di daerah loss (yang kehilangan
lumpur) dan pemasangan casing. Kemudian
rangkaian pemboran dicabut (diangkat keatas) sampai kedalaman 4.421 feet dimana terjadi well
kickpada hari Minggu tanggal 28 Mei
2006. Kejadian well kicktersebut ditangani dengan Kill Mudsampai sumur tersebut mati dan bias terkendali lagi.
Selanjutnya dilakukan sirkulasi lumpur
untuk membersihkan sumur dari serpih bor. Rangkaian mata bor direncanakan untuk dicabut sampai ke permukaan
tetapi tidak berhasil (terjepit). Pada
Senin pagi tanggal 29 Mei 2006 timbul semburan lumpur alami 150 meter dari lokasi pemboran. Seminggu
kemudian semburan lumpur Suharto, Hukum
& Lumpur Lapindo: Tanggungjawab PT. Lapindo Brantas Inc. dalam Sengketa Lingkungan di Sidoarjo Perspektif
Budaya Hukum, (Surabaya: Rumah Pustaka Publisher, 2010), 73.
Ibid, 76.
7 alami tidak mengalami penurunan itensitas.
Kondisi pemboran dinilai tidak aman.
Diputuskan menyelamatkan sumur dan peralatan pemboran.
Rangkaian pemboran dilepaskan dan
dipasang cement plugdi bawah mata bor
dan di atas pipa. Drilling rigdan alat pemboran lainnya dikeluarkan dari lokasi dan dikembalikan kepada pemilik.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi