Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI TERHADAP PENERAPAN PRINSIP STRICT LIABILITY DALAM KASUS KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DITINJAU DARI UU RI NO 32 TAHUN 2009 DAN HUKUM PIDANA ISLAM


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Istilah Lingkungan Hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam bahasa Belanda disebut juga dengan milieu atau dalam bahasa Perancis  disebut dengan I environment. Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah  semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang  tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya.
 Dalam pasal 1 UU RI No.32 tahun 2009 tercantum bahwa Lingkungan hidup  adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,  termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,  kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup  lain.
 Bumi ini diwariskan dari nenek moyang kita dalam keadaan yang sangat  berkualitas dan seimbang. Nenek moyang kita telah menjaga dan memeliharanya  bagi kita sebagai pewaris bumi selanjutnya, sehingga kita berhak dan harus  mendapatkan kualitas yang sama persis dengan apa yang didapatkan nenek   N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga. 2004),  4.
 UU RI No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.

2  moyang kita sebelumnya. Bumi adalah anugerah yang tidak ternilai harganya  dari Tuhan Yang Maha Esa karena menjadi sumber segala kehidupan.
Dengan demikian, menjaga alam dan keseimbangannya menjadi kewajiban  kita semua secara mutlak tanpa syarat. Sejak adanya ilmu pengetahuan sosial  yang mempunyai obyek kehidupan masyarakat, maka sejak itu pula studi  masalah sosial mulai dilakukan. Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat  menghambat perwujudan kesejahteraan sosial dan pada gilirannya selalu  mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan.
Perwujudan kesejahteraan setiap warganya merupakan tanggung jawab sekaligus  peran vital bagi keberlangsungan Negara. Salah satu contoh masalah sosial yang  ada ialah masalah rusaknya lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan  menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan-perbedaan sifat dasar masalahmasalah lingkungan hidup, baik di negara-negara dunia ketiga maupun di negaranegara industri maju, namun implikasi dan konsekuensi logis dari kenyataan  kerusakan lingkungan alam ini jelas akanmenimpa semua bangsa dan seluruh  umat manusia di dunia bahkan segala sumber hidup dan penghidupan, termasuk  peradaban umat manusia itu sendiri.
Di Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa pentingnya pengelolaan  lingkungan hidup dengan jaminan kepastian hukum sejak tahun 1982 dengan  diundangkannya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok  Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian diubah dengan UU No.23 Tahun  3  1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan diubah kembali dengan UU  No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di  dalam UU Lingkungan Hidup tersebut diatur tentang prosedur penyelesaian  sengketa lingkungan hidup, cara pengaduan adanya sengketa lingkungan hidup,  dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam sengketa  lingkungan hidup.
Adapun dalam bahasa asing, pertanggungjawaban pidana disebut sebagai  “teorekenbaarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”. Telah  diutarakan bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan  apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak  pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa  akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan  yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu  bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari  petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
 Selain orang perorangan yang dapat dituntut pidana, maka berdasarkan teori  hukum pidana modern, maka  corporate atau badan hukum (dalam UU  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebagai  legal person  Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Story Grafika,  2002),  250.
4  merupakan subjek hukum dapat dituntut pidana.
 Khusus mengenai  pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat  bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undangundang. Berkenaan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada  korporasi, terdapat 3 (tiga) sistem yaitu : 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat  dan penguruslah yang bertanggungjawab, 2. Korporasi sebagai pembuat dan  pengurus bertanggungjawab, 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai  yang bertanggungjawab.
 Mengenai masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan  masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan dibidang hukum,  khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggungjawaban pidana asas  kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku. Pada  pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar  untuk menuntut pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan  adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di dalam kepustakaan  biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability” atau “strict liability”.
Dengan prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya  kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung jawab yang   Syahrul Machmud,Penegakan Hukum lingkungan di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012), 137.
 Muladi,Pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi  Hukum Bandung. 1991), 67.
5  memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk  dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.
 Seperti yang terjadi di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten  Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 29 Mei 2006. Terjadinya semburan lumpur  panas di lokasi pengeboran PT. LBI yang menyebabkan tergenangnya kawasan  permukiman, pertanian dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya yaitu  Kecamatan Porong, Gempol dan Tanggulangin. Dilihat dari asal usulnya, bahwa  PT. LBI memulai kegiatan eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 di Desa Reno  Kenongo, Kec.Porong, Kab.Sidoarjo pada tanggal 8 Maret 2006, PT. LBI  melakukan pemboran dengan disub kontrakan kepada PT. Medici Citra Nusa  atau kontraktor mandiri dan selanjutnya PT. Medici Citra Nusa mengsub kontrakkan lagi pekerjaan tersebut ke beberapa sub kontraktor lain di antaranya  PT. Tiga Musim Mas Jaya, PT. Haliburton, PT. Baker Atlas, dan PT. MI Swaco.
PT. LBI (anak perusahaan Group Bakrie) adalah salah satu perusahaan  Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan  proses pengeboran minyak dan gas bumi. Oleh karena, PT. LBI sebagai pemilik  saham terbesar maka PT. LBI bertindak sebagai operator. Operator disini   Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana.
2010), 111.
6  diartikan sebagai perusahaan yang memegang kendali atas setiap kebijakan dari  proyek-proyek yang ditangani.
 Ada beberapa pandangan kronologi semburan lumpur terjadi dan  mengakibatkan bencana, yaitu:  1. Berdasarkan foto kopi dokumen PT. LBI, tanggal 8 Maret 2006, pemboran  sumur dimulai untuk melakukan pemboran dipandang aman sampai dengan  kedalaman 3.580 feet, casing  13 3/8” diset dan disemen. Pemboran  dilanjutkan sampai dengan kedalaman 9297 feet.Pada Sabtu pagi tanggal 27  Maret 2006 kehilangan lumpur. Kejadian ini ditanggulangi dengan LCM (lost  circulation material). Untuk mencegah hal tersebut, selanjutnya direncanakan  penyemenan di daerah loss (yang kehilangan lumpur) dan pemasangan  casing. Kemudian rangkaian pemboran dicabut (diangkat keatas) sampai  kedalaman 4.421 feet dimana terjadi well kickpada hari Minggu tanggal 28  Mei 2006. Kejadian well kicktersebut ditangani dengan Kill Mudsampai  sumur tersebut mati dan bias terkendali lagi. Selanjutnya dilakukan sirkulasi  lumpur untuk membersihkan sumur dari serpih bor. Rangkaian mata bor  direncanakan untuk dicabut sampai ke permukaan tetapi tidak berhasil  (terjepit). Pada Senin pagi tanggal 29 Mei 2006 timbul semburan lumpur  alami 150 meter dari lokasi pemboran. Seminggu kemudian semburan lumpur   Suharto, Hukum & Lumpur Lapindo: Tanggungjawab PT. Lapindo Brantas Inc. dalam  Sengketa Lingkungan di Sidoarjo Perspektif Budaya Hukum, (Surabaya: Rumah Pustaka Publisher,  2010), 73.
 Ibid, 76.
7  alami tidak mengalami penurunan itensitas. Kondisi pemboran dinilai tidak  aman. Diputuskan menyelamatkan sumur dan peralatan pemboran.
Rangkaian pemboran dilepaskan dan dipasang cement plugdi bawah mata  bor dan di atas pipa. Drilling rigdan alat pemboran lainnya dikeluarkan dari  lokasi dan dikembalikan kepada pemilik.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi