Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN KEKERASAN PASAL 368 (1) KUHP YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM


BAB I PENDAHULUAN
 A.  Latar Belakang Masalah Anak  merupakan  amanah  dari  Tuhan  Yang  Maha  Esa  yang  dalam  dirinya  melekat  harkat  dan  martabat  sebagai  manusia  seutuhnya.  Setiap  anak  mempunyai  harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang  terlahir harus  mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.
Anak  sebagai  generasi  muda  merupakan  potensi  dan  penerus  cita-cita  perjuangan  bangsa. Anak  merupakan  modal  pembangunan  yang  akan  memelihara,  mempertahankan,  dan  mengembangkan  hasil  pembangunan  yang  ada.  Oleh  karena  itu  anak  memerlukan  perlindungan  dalam  rangka  menjamin  pertumbuhan  dan  perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan seimbang.

 Keberadaan  anak  di  lingkungan  masyarakat  perlu  mendapatkan  perhatian  secara  khusus,  terutama  mengenai  tingkah  lakunya.  Kenakalan  anak  dapat  disebabkan  karena  pengaruh  lingkungan,  terutama  lingkungan  diluar  rumah,  jika  pengaruh  lingkungan  tidak  baik  maka  anak  pasti  terpengaruh  oleh  lingkungan  tersebut, karena itu diperlukan peran dan tanggung jawab orang tua terhadap anak,  terutama  dalam  membimbing  dan  mengarahkan  anak  untuk  melakukan  perbuatan  yang baik. Tanggungjawab orang tua terhadap anak merupakan perwujudan atas hak- Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1997), 2.
 hak yang dimiliki seorang anak.
Penyimpangan perilaku kenakalan bahkan tindak pidana yang dilakukan oleh  anak,  disebabkan  oleh  berbagai  macam  faktor  antara  lain,  adanya  dampak  negatif  dari  perkembangan  pembangunan  yang  cepat  dan  disertai  dengan  arus  globalisasi  dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta  perubahan  gaya  hidup  masyarakat  membawa  perubahan  sosial  serta  memberikan  pengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Dampak negatif dari pembangunan yang  cepat dan arus globalisasi yang pesat telah mempengaruhi perilaku anak,  perubahan  gaya dan cara hidup sebagian para orang tua juga telah membawa perubahan sosial  yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai  dan  perilaku  anak.
 Penyimpangan  perilaku  yang  dilakukan  anak  antara  lain:  pemerasan, perampasan, pencurian, pencabulan, dan bahkan pemerkosaan.
Dalam  kenyataannya  sekarang,  berbagai  masalah  di  dunia  tidak  terlepas  adanya  kriminal.  Sebagai bukti konkrit dalam berbagai media cetak elektronik tidak  pernah  sepi  dengan  pemberitaan  tindak  pidana  kriminal,  seperti  pembunuhan,  pencurian,  perjudian,  pemerkosaan,  dan  lain-lain,  baik  yang  dilakukan  oleh  orang  tua, terutama kaum muda bahkan anak-anak yang masih di bawah umur.
Semula  anak-anak  melakukan  perbuatan  yang  berkisar  pada  kenakalan  saja,  sekarang  perbuatan  anak-anak  tersebut  banyak  yang  sudah  dapat  dikategorikan  dalam kejahatan. Jika hal ini dibiarkan, maka tidak baik bagi pertumbuhan mental   Sholeh  Soeaidy, dan  Zulkhair,  Dasar  Hukum  Perlindungan Anak,  cet.  ke-1,  (Jakarta:CV.  Novindo  Pustaka Mandiri, 2001), 2   dan  moralnya  pada  masa  yang  akan  datang.  Oleh  karena  itu,  diperlukan  aturan  hukum yang mengatur pertanggungjawaban pidana apabila anak tersebut melakukan  tindak pidana.
Perbuatan  yang  dilakukan  oleh  anak-anak  adalah  sejenis  dengan  perbuatan  yang dilakukan oleh orang dewasa dan tindak pidana pemerasan juga biasa dilakukan  oleh anak-anak atau orang dewasa. Namun, hukuman yang dijatuhkan kepada orang  dewasa  berbeda  dengan  hukuman  yang  dijatuhkan  kepada  anak,  karena  masalah  hukuman sudah ditentukan dalam pasal 10 KUHP.
 Namun, ada Undang-undang baru  yang secara kompeten melindungi hak-hak anak yaitu Undang-undang No. 3  Tahun  1997 tentang Pengadilan Anak.
Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan  tindak pidana sesuai pasal 26 (1) Undang-undang No. 3  T ahun 1997 paling lama  ½  (satu per dua)  dari maksimal  ancaman pidana penjara  bagi  orang dewasa.
 Adapun  batas  usia  anak  yang  dapat  diajukan  ke  sidang  anak  yang  termuat  pada  Undangundang No. 3 Tahun 1997 adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum  mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Sementara, selama ini banyak kasus seorang anak kecil di bawah umur duduk  di  bangku  sekolah  tertuduh  dan  ditahan  seperti  layaknya  penjahat  besar  hanya  karena  perkara  sepele.  Padahal,  pada  hakikatnya  hukum  pidana  dan  kegunaannya  bermaksud agar masyarakat dan setiap orang anggota masyarakat dapat dilindungi   Soesilo R, KUHP serta Komentar-komentar Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1991),   Prinst Darwan, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), 24   hukum  pidana,  serta  untuk  mencapai  jalan  hidup  yang  sejahtera  lahir  dan  batin.
Sehubungan  dengan  perlindungan  hukum  pidana  bagi  masyarakat  dan  anggotanya  itu  perlu  diingatkan  tentang  perkembangan  pandangan  hukum  pidana  yang  baru,  karena  sejak  lama  dipikirkan  bahwa  pada  fungsi  primer  hukum  pidana  itu  untuk  menanggulangi  kejahatan,  dan  fungsi  subsidier  hukum  pidana  itu  hendaknya  mengingat  sifat  negatifnya  sanksi  agar  baru  ditetapkan  apabila  upaya  lain  sudah  tidak  memadai  lagi.  Hukum  pidana  hanyalah  salah  satu  sarana  atau  upaya  penanggulangan kejahatan.
 Adanya  suatu  hukuman  yang  diancamkan  kepada  seorang  pembuat  jari>mah agar  orang  banyak  tidak  memperbuat  suatu  jari> mah,  sebab  larangan  atau  perintah  semata-mata  tidak  akan  cukup.  Meskipun  hukuman  itu  sendiri  bukan  suatu  kebaikan,  bahkan  suatu  perusakan  bagi  si  pembuat  jari>mah  itu  sendiri.  Namun  hukuman  tersebut  diperlukan,  sebab  bisa  membawa  keuntungan  yang  nyata  bagi  masyarakat.
 Ketika  terdapat  seseorang  yang  berbuat  jahat  kemudian  ia  dihukum,  maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan.
Di samping itu suatu hukuman yang diancamkan terhadap seorang pelanggar,  dalam Islam dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar jari>mah, sanksi itu sendiri  pada  intinya  adalah  bukan  supaya  si  pembuat  jari>mah  itu  dapat  derita  karena  pembalasan,  akan  tetapi  bersifat  preventif  terhadap  perbuatan  jarimah  dan   Bambang Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988),   Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 3.     pengajaran serta pendidikan.
 Pada  masa  sekarang  ini  yang  menjadi  dasar  penjatuhan  hukuman  ialah  rasa  keadilan  dan  melindungi  masyarakat.  Rasa  keadilan  menghendaki  agar  sesuatu  hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan si pembuat  jari>mah. Dalam KUHP  berat  ringannya  hukuman  yang  harus  dijatuhkan  bagi  pelaku  tindak  pidana  seperti  pemerasan,  pencurian,  pembunuhan,  pemerkosaan,  dan  lain-lain  sudah  ada  ketentuannya  sendiri.  Akan  tetapi,  berat  ringannya  hukuman  tersebut  belum  sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya  batas  maksimal  dan  minimal  hukuman  yang  ada  dalam  KUHP.  Kebanyakan  para  hakim menjatuhkan hukuman mengambil di  antara kedua batas tersebut, dan jarang  sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu.
Berbicara tentang sanksi pidana, tindak pidana pemerasan telah diatur dalam  KUHP.  Dalam  hal  ini  tindak  pidana  pemerasan  dimuat  dalam  pasal  368  KUHP.
Dalam kejahatan itu pelaku bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang  lain  dengan  melanggar  hukum,  memaksa  orang  dengan  kekerasan  atau  ancaman  kekerasan  agar  orang  itu  memberikan  suatu  barang  yang  seluruhnya  atau  sebagian  kepunyaan  orang  itu  memberikan  suatu  barang  yang  seluruhnya  mengutang  atau  menghapuskan piutang.
  Ahmad  Wardi  Muslich,  Hukum  Pidana  Islam,  dikutip  dari  Abdul Al-Qadir  Audah,  Al  Tasyri>’  alJina>iy al-Isla>miy, Jilid I, (Kairo: Dār al Urubah, 1963), 442.
 Wiryono Projodikoro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2003), 27   Di  dalam  hukum  Islam  tidak  dibenarkan  mengambil  suatu  benda  atau  harta  orang lain dengan paksaan secara z}alim, karena Islam melindungi hak milik individu  manusia,  sehingga  hak  milik  tersebut  merupakan  hak  milik  yang  aman.  Dengan  demikian, Islam tidak menghalalkan seorang merampas hak milik orang lain dengan  dalih apapun. Islam menganggap segala perbuatan mengambil hak milik orang lain  dengan  dalih  kejahatan  sebagai  perbuatan  yang  batal.
 Secara  umum  dijelaskan  dalam firman Allah Ta'ala Q.s  Al-Baqarah: 188.
Artinya: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain  diantara  kamu  dengan  jalan  yang  bat}il  dan  (janganlah)  kamu  membawa  (urusan)  harta  itu  kepada  hakim,  supaya  kamu  dapat  memakan  sebahagian  daripada  harta  benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui".
 Dari ayat di atas, jelas bahwa Islam melarang umatnya untuk memakan harta  yang tidak halal misalnya dengan cara memeras orang lain.
Hukum  Pidana  Islam  membincangkan  berbagai  hal  seputar  pelanggaran  dan  tindak  pidana.  Dalam  hubungan  itu,  diatur  tidak  saja  prosedur  penghukuman  dan  materi hukuman,  tetapi juga diatur kemungkinan terjadi  pengecualian, pengurangan  dan penghapusan hukuman, yang dilihat dari perspektif pelaku tindak pidana.
  Sayyid Sabiq,  Fiqih Sunnah, Jilid IX, Terjemahan  Mohammad Nabhan Husein, (Bandung:  PT AlMa’arif,1984),   Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Bumi Restu, 1971),   Santoso  Topo,  Membumikan Hukum Pidan Islam;  Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda  (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 7.     Dalam  literatur  hukum  pidana  Islam,  dikenal  juga  tiga  istilah  yang  berhubungan  dengan  tindak  pidana  yakni  Jina> yat,  Jari>mah  dan  ‘Uqu> bat.
 Yang  pertama  adalah  perbuatan  yang  mengenai  jiwa  atau  harta  benda  atau  pun  lainya.
Yang kedua dipahami sebagai larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah  SWT dengan hukuman  h}ad  atau  ta’zi>r. Meskipun kelihatan memiliki  stressing point  yang  berbeda,  namun  para  ulama  kelihatan  sering  mengidentikkan  jari>mah  dan  jina>yah.
 Seorang  anak  tidak  akan  dikenakan  hukuman  h}ad  karena  kejahatan  yang  dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak atas  usia  berapapun  sampai  dia  mencapai  usia  puber,  qad}i  hanya  akan  berhak  untuk  menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi