BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Anak
merupakan amanah dari
Tuhan Yang Maha
Esa yang dalam
dirinya melekat harkat
dan martabat sebagai
manusia seutuhnya. Setiap
anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung
tinggi dan setiap anak yang terlahir
harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak
tersebut meminta.
Anak sebagai
generasi muda merupakan
potensi dan penerus
cita-cita perjuangan bangsa. Anak
merupakan modal pembangunan
yang akan memelihara, mempertahankan, dan
mengembangkan hasil pembangunan
yang ada. Oleh
karena itu anak
memerlukan perlindungan dalam
rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial secara utuh, serasi, dan seimbang.
Keberadaan
anak di lingkungan
masyarakat perlu mendapatkan
perhatian secara khusus,
terutama mengenai tingkah
lakunya. Kenakalan anak
dapat disebabkan karena
pengaruh lingkungan, terutama
lingkungan diluar rumah,
jika pengaruh lingkungan
tidak baik maka
anak pasti terpengaruh
oleh lingkungan tersebut, karena itu diperlukan peran dan
tanggung jawab orang tua terhadap anak, terutama dalam
membimbing dan mengarahkan
anak untuk melakukan
perbuatan yang baik.
Tanggungjawab orang tua terhadap anak merupakan perwujudan atas hak- Darwan
Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1997), 2.
hak yang dimiliki seorang anak.
Penyimpangan perilaku kenakalan
bahkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak,
disebabkan oleh berbagai
macam faktor antara
lain, adanya dampak
negatif dari perkembangan
pembangunan yang cepat
dan disertai dengan
arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya
hidup masyarakat membawa
perubahan sosial serta
memberikan pengaruh terhadap
nilai dan perilaku anak. Dampak negatif dari pembangunan yang cepat dan arus globalisasi yang pesat telah
mempengaruhi perilaku anak, perubahan gaya dan cara hidup sebagian para orang tua
juga telah membawa perubahan sosial yang
mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan
perilaku anak.
Penyimpangan
perilaku yang dilakukan
anak antara lain: pemerasan,
perampasan, pencurian, pencabulan, dan bahkan pemerkosaan.
Dalam kenyataannya
sekarang, berbagai masalah
di dunia tidak
terlepas adanya kriminal.
Sebagai bukti konkrit dalam berbagai media cetak elektronik tidak pernah
sepi dengan pemberitaan
tindak pidana kriminal,
seperti pembunuhan, pencurian,
perjudian, pemerkosaan, dan
lain-lain, baik yang
dilakukan oleh orang tua,
terutama kaum muda bahkan anak-anak yang masih di bawah umur.
Semula anak-anak
melakukan perbuatan yang
berkisar pada kenakalan
saja, sekarang perbuatan
anak-anak tersebut banyak
yang sudah dapat
dikategorikan dalam kejahatan.
Jika hal ini dibiarkan, maka tidak baik bagi pertumbuhan mental Sholeh
Soeaidy, dan Zulkhair, Dasar
Hukum Perlindungan Anak, cet.
ke-1, (Jakarta:CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001), 2 dan
moralnya pada masa
yang akan datang.
Oleh karena itu,
diperlukan aturan hukum yang mengatur pertanggungjawaban pidana
apabila anak tersebut melakukan tindak
pidana.
Perbuatan yang
dilakukan oleh anak-anak
adalah sejenis dengan
perbuatan yang dilakukan oleh
orang dewasa dan tindak pidana pemerasan juga biasa dilakukan oleh anak-anak atau orang dewasa. Namun,
hukuman yang dijatuhkan kepada orang dewasa berbeda
dengan hukuman yang
dijatuhkan kepada anak,
karena masalah hukuman sudah ditentukan dalam pasal 10 KUHP.
Namun, ada Undang-undang baru yang secara kompeten melindungi hak-hak anak
yaitu Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Ancaman pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sesuai pasal 26 (1)
Undang-undang No. 3 T ahun 1997 paling lama ½ (satu
per dua) dari maksimal ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa.
Adapun batas usia
anak yang dapat
diajukan ke sidang
anak yang termuat
pada Undangundang No. 3 Tahun
1997 adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
Sementara, selama ini banyak
kasus seorang anak kecil di bawah umur duduk di
bangku sekolah tertuduh
dan ditahan seperti
layaknya penjahat besar
hanya karena perkara
sepele. Padahal, pada
hakikatnya hukum pidana
dan kegunaannya bermaksud agar masyarakat dan setiap orang
anggota masyarakat dapat dilindungi Soesilo
R, KUHP serta Komentar-komentar Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia,
1991), Prinst Darwan, Hukum Anak di
Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), 24 hukum
pidana, serta untuk
mencapai jalan hidup
yang sejahtera lahir
dan batin.
Sehubungan dengan
perlindungan hukum pidana
bagi masyarakat dan
anggotanya itu perlu
diingatkan tentang perkembangan
pandangan hukum pidana
yang baru, karena
sejak lama dipikirkan
bahwa pada fungsi
primer hukum pidana
itu untuk menanggulangi
kejahatan, dan fungsi
subsidier hukum pidana
itu hendaknya mengingat
sifat negatifnya sanksi
agar baru ditetapkan
apabila upaya lain
sudah tidak memadai
lagi. Hukum pidana
hanyalah salah satu
sarana atau upaya penanggulangan
kejahatan.
Adanya
suatu hukuman yang
diancamkan kepada seorang
pembuat jari>mah agar orang
banyak tidak memperbuat
suatu jari> mah, sebab
larangan atau perintah semata-mata
tidak akan cukup.
Meskipun hukuman itu
sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan
suatu perusakan bagi
si pembuat jari>mah
itu sendiri. Namun hukuman tersebut
diperlukan, sebab bisa
membawa keuntungan yang
nyata bagi masyarakat.
Ketika
terdapat seseorang yang
berbuat jahat kemudian
ia dihukum, maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain
agar tidak melakukan kejahatan.
Di samping itu suatu hukuman yang
diancamkan terhadap seorang pelanggar, dalam
Islam dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar jari>mah, sanksi itu
sendiri pada intinya adalah
bukan supaya si
pembuat jari>mah itu
dapat derita karena pembalasan,
akan tetapi bersifat
preventif terhadap perbuatan
jarimah dan Bambang Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana,
(Yogyakarta: Liberty, 1988), Ahmad
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 3. pengajaran
serta pendidikan.
Pada
masa sekarang ini
yang menjadi dasar
penjatuhan hukuman ialah
rasa keadilan dan
melindungi masyarakat. Rasa
keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan
si pembuat jari>mah. Dalam KUHP berat
ringannya hukuman yang
harus dijatuhkan bagi
pelaku tindak pidana
seperti pemerasan, pencurian,
pembunuhan, pemerkosaan, dan
lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri.
Akan tetapi, berat
ringannya hukuman tersebut
belum sepenuhnya dapat diterapkan
oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya batas
maksimal dan minimal
hukuman yang ada
dalam KUHP. Kebanyakan
para hakim menjatuhkan hukuman
mengambil di antara kedua batas
tersebut, dan jarang sekali hakim
menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu.
Berbicara tentang sanksi pidana,
tindak pidana pemerasan telah diatur dalam KUHP.
Dalam hal ini
tindak pidana pemerasan
dimuat dalam pasal
368 KUHP.
Dalam kejahatan itu pelaku
bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melanggar hukum,
memaksa orang dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan
agar orang itu
memberikan suatu barang
yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang
itu memberikan suatu
barang yang seluruhnya
mengutang atau menghapuskan piutang.
Ahmad Wardi Muslich,
Hukum Pidana Islam,
dikutip dari Abdul Al-Qadir
Audah, Al Tasyri>’
alJina>iy al-Isla>miy, Jilid I, (Kairo: Dār al Urubah, 1963), 442.
Wiryono Projodikoro, Tindak Pidana Tertentu di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2003), 27 Di
dalam hukum Islam
tidak dibenarkan mengambil
suatu benda atau
harta orang lain dengan paksaan
secara z}alim, karena Islam melindungi hak milik individu manusia,
sehingga hak milik
tersebut merupakan hak
milik yang aman.
Dengan demikian, Islam tidak
menghalalkan seorang merampas hak milik orang lain dengan dalih apapun. Islam menganggap segala
perbuatan mengambil hak milik orang lain dengan
dalih kejahatan sebagai
perbuatan yang batal.
Secara
umum dijelaskan dalam firman Allah Ta'ala Q.s Al-Baqarah: 188.
Artinya: "Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara
kamu dengan jalan
yang bat}il dan
(janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu
kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui".
Dari ayat di atas, jelas bahwa Islam melarang
umatnya untuk memakan harta yang tidak
halal misalnya dengan cara memeras orang lain.
Hukum Pidana
Islam membincangkan berbagai
hal seputar pelanggaran
dan tindak pidana.
Dalam hubungan itu,
diatur tidak saja
prosedur penghukuman dan materi
hukuman, tetapi juga diatur kemungkinan
terjadi pengecualian, pengurangan dan penghapusan hukuman, yang dilihat dari
perspektif pelaku tindak pidana.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid
IX, Terjemahan Mohammad Nabhan Husein,
(Bandung: PT AlMa’arif,1984), Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Jakarta: Bumi Restu, 1971), Santoso Topo,
Membumikan Hukum Pidan Islam;
Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 7. Dalam literatur
hukum pidana Islam,
dikenal juga tiga
istilah yang berhubungan
dengan tindak pidana
yakni Jina> yat, Jari>mah
dan ‘Uqu> bat.
Yang pertama adalah
perbuatan yang mengenai
jiwa atau harta
benda atau pun
lainya.
Yang kedua dipahami sebagai
larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah SWT dengan hukuman h}ad
atau ta’zi>r. Meskipun
kelihatan memiliki stressing point yang
berbeda, namun para
ulama kelihatan sering
mengidentikkan jari>mah dan jina>yah.
Seorang
anak tidak akan
dikenakan hukuman h}ad
karena kejahatan yang dilakukannya,
karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak atas usia
berapapun sampai dia
mencapai usia puber,
qad}i hanya akan
berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa
pembatasan baginya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi