Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:POSISI DAN KEWENANGAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI) DALAM MENGAWASI DAN MEMBERIKAN REKOMENDASI IZIN SIAR MENURUT UNDANG UNDANG NO. 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN MENURUT HUKUM ISLAM


BAB I PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Pasca runtuhnya Orde Baru, regulasi di bidang media massa, bersamaan  dengan tiadanya Departemen Penerangan, menjadi sangat terbuka dan tanpa  pembatasan. Media massa muncul bak cendawan di musim hujan. Tetapi, agar  media massa tetap berpijak secara fungsional, profesional dan proporsional,  maka pemerintah menerbitkan UU No 32/ 2002 tentang Penyiaran yang mengisyaratkan dijaminnya hak-hak rakyat dalam mendapatkan informasi secara bebas dan adil, serta dijaminnya kemandirian kelompok masyarakat dalam  mengelola lembaga penyiaran. Pemerintah hanya mengawasi secara administratif, namun tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin,  sebagaimana kasus yang terjadi di zaman Soeharto.
Jika membaca UU 32/ 2002, maka stasiun TV seharusnya mampu berkaca  dan memperbaiki mutunya. UU tersebut antara lain melarang siaran yang  menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan  obat terlarang (Pasal 36 ayat 5 point b). Undang-Undang ini juga mengamanahkan adanya sebuah komisi independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang akan berlaku sebagai lembaga pengawas dan pengatur regulasi penyiaran (radio dan TV) di luar kontrol pemerintah. Secara hukum, lembaga ini cukup representatif sebagai perwakilan kepentingan masyarakat, yang   selama ini diabaikan. Namun, pandangan sinis dan curiga malah mendominasi  pengelola satasiun TV saat KPI dibentuk, mereka khawatir KPI akan menjadi  “pengontrol” stasiun TV secara otoriter. Benarkah? Ini adalah sebuah anomali  lucu, yang mencerminkan kultur individualistik-matrerialistik dari para pengelola TV swasta.

 Dengan membanjirnya media (cetak maupun elektronik), informasi yang  tersaji begitu beragam. Sayangnya, setiap informasi tak selamanya membuat  kita tercerahkan dan well informed,sebab dari sekian banyak sajian media,  menu kekerasan-lah yang paling tampak. Di televisi, kekerasan disajikan dengan berbagai program. Dari yang dikemas dengan reality show, sinetron, film  hingga berita kriminal. Lengkap. Di media cetak, kekerasan tampil dengan  vulgar melalui teks berita, gambar, teras berita (lead)yang mencolok, serta  penggunaan kalimat bombastis, meski tak sesuai dengan EYD.
 Kedua jenis media ini, tanpa sengaja telah melahirkan kekerasan psikologis terhadap masyarakat. Pemirsa dan pembaca diteror melalui sajian berita  disertai gambar agar lebih valid, “wah”, dan dramatis. Namun efek yang tercipta justru sebaliknya, sisi positif daripemberitaan malah tertutup efek negatifnya. Pendek kata, apa yang disajikan media massa tak lebih dari melakukan  kekerasan ulang dan teror lewat komoditas informasi yang diberitakannya.
 Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu; Teror Media di Indonesia, h. 111   Rijal Mumazziq Z, UU Penyiaran Tumpul, KPI Mandul, Radar Surabaya, Sabtu 6 Januari  2007   Kekerasan yang tersaji di media (baik eksplisit maupun implisit) akan  berpengaruh pada perilaku seseorang, baik temporer maupun permanen.
Alhasil, tanpa sadar media telah menjustifikasi kekerasan adalah hal lumrah  yang tak perlu disesali. Nah, inilah yang harus kita sesalkan.
Televisi memang bukan sembarang media. Pengaruhnya sungguh luar  biasa. George Gerbner, Pakar Komunikasi Amerika Serikat, menyebut televisi  sebagai agama masyarakat industri. Kedudukan televisi mampu menggeser  agama-agama konvensional. Jika khutbah agama mampu menyedot ribuan  jamaah, maka khutbah (budaya) televisi lebih hebat lagi. Tidak jarang ritusritusnya diikuti dengan penuh khidmat, dan boleh jadi lebih banyak  menggetarkan dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama  manapun yang pernah ada.
 Kini, televisi telah benar-benar menjadi agama masyarakat industri.
Masyarakat sekarang sudah belajar (gaya) hidup dari televisi. Bahkan, di  Amerika, televisi pernah menjadi "the second god". Cara dan gaya hidup anakanak, seperti berpakaian dan berjalan dipengaruhi oleh televisi. Sekarang,  televisi bahkan mungkin sudah menjadi "the first god".
Jangan heran kalau media elektonik (baca: TV) lebih disukai masyarakat.
Stimulus yang ditimbulkan TV melalui program-programnya jauh lebih tinggi  dibandingkan dengan media cetak. Sebab, pada TV gambar-gambarnya bersifat   Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, h. 53   motion, sedangkan media cetak bersifat statis. Ditinjau dari sisi psikologis,  motion picture dan intensitas frekuensi yang tinggi dapat “tertanam” dalam  benak kita dalam waktu lama. Makin besar daya pikat dan stimulus yang ditimbulkan, makin dalam pula dampak yangditimbulkannya. Artinya, kita akan  sering teringat dan membayangkannya.
 Dengan pengaruh dan daya pikatnya ini, maka TV (dengan suguhan tayangan seks, mistik, dan kekerasan) juga ikut andil menyebabkan rontoknya  moral bangsa. Sangat tidak arif jika dengan UU yang sudah ada KPI tidak  mampu menjewer pengelola stasiun TVyang masih menayangkan program  yang mengumbar seks dan kekerasan. Masyarakat menaruh harapan besar terhadap KPI dalam melakukan kontrol terhadap stasiun TV, agar mampu mewujudkan tayangan yang berkualitas dan sarat pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU 32/ 2002 di atas.
Jika membaca UU 32/ 2002 (terutama pada Pasal 36), maka stasiun TV  seharusnya mampu berkaca dan memperbaiki mutu tayangannya. Namun sebaliknya, “kotak ajaib” ini malah menjadi referensi tayangan yang tidak mendidik. Bukan bermaksud mengesampingkan nilai-nilai positif dari adanya TV,  tetapi rasio nilai-nilai negatif yang lahir dari kotak ajaib ini merupakan bentuk  “penindasan” masyarakat. Stasiun TV ibarat raja kecil yang menempatkan  masyarakat tidak lebih sebagai koloni-nya. Sebagai koloni, masyarakat “di- Rijal Mumazziq Z, Teror(is) itu Bernama Televisi, Duta Masyarakat, Jumat 5 Januari 2007   paksa” untuk menuruti selera raja kecil (stasiun TV) yang berlindung di bawah  ketiak Lembaga Rating.
Spirit yang terletak pada pasal-pasal dalam UU 32/2002 ternyata menjadi  fosil teoritik. UU tersebut belum digunakan KPI untuk melindungi masyarakat  dari berbagai materi penayangan yang nir-kualitas dan berselera rendah. Kalaupun KPI unjuk gigi, itupun hanya mampu “mengadili” stasiun TV nakal bukan  dalam tataran hukum, melainkan hanya pada etika. Sebab belum ada Peraturan  Pemerintah yang memperkuat status hukumnya. Dari semua ini, keyword-nya  hanya satu, ketaatan stasiun TV terhadap UU 32/ 2002 beserta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Jika semua berjalan  mulus, KPI-pun tidak perlu repot “bertengkar” dengan pengelola stasiun TV.
Dalam konteks ini, masyarakat ditempatkan sebagai objek semata, yang  dibombardir dengan begitu banyak informasi berupa gambar, teks, bunyi dan  pesan-pesan visual. Dalam kondisi seperti ini masyarakat yang sebenarnya  jenuh media (media saturated society)telah melahirkan apa yang disebut Paul  F. Lazzarsfeld sebagai narcotizing dysfunction. Istilah yang menggambarkan  media massa sebagai obat bius yang paling bisa diterima, yang efektif membuat orang kecanduan.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi