BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasca runtuhnya Orde Baru, regulasi di bidang
media massa, bersamaan dengan tiadanya
Departemen Penerangan, menjadi sangat terbuka dan tanpa pembatasan. Media massa muncul bak cendawan di
musim hujan. Tetapi, agar media massa
tetap berpijak secara fungsional, profesional dan proporsional, maka pemerintah menerbitkan UU No 32/ 2002
tentang Penyiaran yang mengisyaratkan dijaminnya hak-hak rakyat dalam
mendapatkan informasi secara bebas dan adil, serta dijaminnya kemandirian
kelompok masyarakat dalam mengelola
lembaga penyiaran. Pemerintah hanya mengawasi secara administratif, namun tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin, sebagaimana kasus yang terjadi di zaman
Soeharto.
Jika membaca UU 32/ 2002, maka
stasiun TV seharusnya mampu berkaca dan
memperbaiki mutunya. UU tersebut antara lain melarang siaran yang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat
terlarang (Pasal 36 ayat 5 point b). Undang-Undang ini juga mengamanahkan
adanya sebuah komisi independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang
akan berlaku sebagai lembaga pengawas dan pengatur regulasi penyiaran (radio
dan TV) di luar kontrol pemerintah. Secara hukum, lembaga ini cukup
representatif sebagai perwakilan kepentingan masyarakat, yang selama ini diabaikan. Namun, pandangan sinis
dan curiga malah mendominasi pengelola
satasiun TV saat KPI dibentuk, mereka khawatir KPI akan menjadi “pengontrol” stasiun TV secara otoriter.
Benarkah? Ini adalah sebuah anomali lucu,
yang mencerminkan kultur individualistik-matrerialistik dari para pengelola TV
swasta.
Dengan membanjirnya media (cetak maupun
elektronik), informasi yang tersaji
begitu beragam. Sayangnya, setiap informasi tak selamanya membuat kita tercerahkan dan well informed,sebab dari
sekian banyak sajian media, menu
kekerasan-lah yang paling tampak. Di televisi, kekerasan disajikan dengan
berbagai program. Dari yang dikemas dengan reality show, sinetron, film hingga berita kriminal. Lengkap. Di media
cetak, kekerasan tampil dengan vulgar
melalui teks berita, gambar, teras berita (lead)yang mencolok, serta penggunaan kalimat bombastis, meski tak sesuai
dengan EYD.
Kedua jenis media ini, tanpa sengaja telah
melahirkan kekerasan psikologis terhadap masyarakat. Pemirsa dan pembaca
diteror melalui sajian berita disertai
gambar agar lebih valid, “wah”, dan dramatis. Namun efek yang tercipta justru
sebaliknya, sisi positif daripemberitaan malah tertutup efek negatifnya. Pendek
kata, apa yang disajikan media massa tak lebih dari melakukan kekerasan ulang dan teror lewat komoditas
informasi yang diberitakannya.
Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu; Teror Media
di Indonesia, h. 111 Rijal Mumazziq Z,
UU Penyiaran Tumpul, KPI Mandul, Radar Surabaya, Sabtu 6 Januari 2007 Kekerasan
yang tersaji di media (baik eksplisit maupun implisit) akan berpengaruh pada perilaku seseorang, baik
temporer maupun permanen.
Alhasil, tanpa sadar media telah
menjustifikasi kekerasan adalah hal lumrah yang tak perlu disesali. Nah, inilah yang
harus kita sesalkan.
Televisi memang bukan sembarang
media. Pengaruhnya sungguh luar biasa.
George Gerbner, Pakar Komunikasi Amerika Serikat, menyebut televisi sebagai agama masyarakat industri. Kedudukan
televisi mampu menggeser agama-agama
konvensional. Jika khutbah agama mampu menyedot ribuan jamaah, maka khutbah (budaya) televisi lebih
hebat lagi. Tidak jarang ritusritusnya diikuti dengan penuh khidmat, dan boleh
jadi lebih banyak menggetarkan dan
mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama manapun yang pernah ada.
Kini, televisi telah benar-benar menjadi agama
masyarakat industri.
Masyarakat sekarang sudah belajar
(gaya) hidup dari televisi. Bahkan, di Amerika,
televisi pernah menjadi "the second god". Cara dan gaya hidup anakanak,
seperti berpakaian dan berjalan dipengaruhi oleh televisi. Sekarang, televisi bahkan mungkin sudah menjadi
"the first god".
Jangan heran kalau media
elektonik (baca: TV) lebih disukai masyarakat.
Stimulus yang ditimbulkan TV
melalui program-programnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan media cetak. Sebab, pada
TV gambar-gambarnya bersifat Jalaluddin
Rahmat, Islam Aktual, h. 53 motion,
sedangkan media cetak bersifat statis. Ditinjau dari sisi psikologis, motion picture dan intensitas frekuensi yang
tinggi dapat “tertanam” dalam benak kita
dalam waktu lama. Makin besar daya pikat dan stimulus yang ditimbulkan, makin
dalam pula dampak yangditimbulkannya. Artinya, kita akan sering teringat dan membayangkannya.
Dengan pengaruh dan daya pikatnya ini, maka TV
(dengan suguhan tayangan seks, mistik, dan kekerasan) juga ikut andil
menyebabkan rontoknya moral bangsa.
Sangat tidak arif jika dengan UU yang sudah ada KPI tidak mampu menjewer pengelola stasiun TVyang masih
menayangkan program yang mengumbar seks
dan kekerasan. Masyarakat menaruh harapan besar terhadap KPI dalam melakukan
kontrol terhadap stasiun TV, agar mampu mewujudkan tayangan yang berkualitas
dan sarat pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU 32/ 2002 di atas.
Jika membaca UU 32/ 2002
(terutama pada Pasal 36), maka stasiun TV seharusnya mampu berkaca dan memperbaiki mutu
tayangannya. Namun sebaliknya, “kotak ajaib” ini malah menjadi referensi
tayangan yang tidak mendidik. Bukan bermaksud mengesampingkan nilai-nilai
positif dari adanya TV, tetapi rasio
nilai-nilai negatif yang lahir dari kotak ajaib ini merupakan bentuk “penindasan” masyarakat. Stasiun TV ibarat
raja kecil yang menempatkan masyarakat
tidak lebih sebagai koloni-nya. Sebagai koloni, masyarakat “di- Rijal Mumazziq
Z, Teror(is) itu Bernama Televisi, Duta Masyarakat, Jumat 5 Januari 2007 paksa”
untuk menuruti selera raja kecil (stasiun TV) yang berlindung di bawah ketiak Lembaga Rating.
Spirit yang terletak pada
pasal-pasal dalam UU 32/2002 ternyata menjadi fosil teoritik. UU tersebut belum digunakan
KPI untuk melindungi masyarakat dari
berbagai materi penayangan yang nir-kualitas dan berselera rendah. Kalaupun KPI
unjuk gigi, itupun hanya mampu “mengadili” stasiun TV nakal bukan dalam tataran hukum, melainkan hanya pada
etika. Sebab belum ada Peraturan Pemerintah
yang memperkuat status hukumnya. Dari semua ini, keyword-nya hanya satu, ketaatan stasiun TV terhadap UU
32/ 2002 beserta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3-SPS). Jika semua berjalan mulus,
KPI-pun tidak perlu repot “bertengkar” dengan pengelola stasiun TV.
Dalam konteks ini, masyarakat
ditempatkan sebagai objek semata, yang dibombardir
dengan begitu banyak informasi berupa gambar, teks, bunyi dan pesan-pesan visual. Dalam kondisi seperti ini
masyarakat yang sebenarnya jenuh media
(media saturated society)telah melahirkan apa yang disebut Paul F. Lazzarsfeld sebagai narcotizing
dysfunction. Istilah yang menggambarkan media
massa sebagai obat bius yang paling bisa diterima, yang efektif membuat orang
kecanduan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi